Masyarakat
& Tokoh Keturunan Nusantara.
Dengan muslim yang merupakan 5 % dari 40-an juta
penduduk Afrika Selatan (The Influence of
Islam in Southern Africa and its Impact on Society, 2017, hal 22), orang Islam memperoleh ratio
tinggi dalam jumlah perwakilan di National
Assembly setelah terbentuknya Pemerintahan baru yang menghapuskan politik
perbedaan ras. Nelson Mandela yang
menjabat sebagai Presiden, mengangkat sahabat suka dukanya di penjara, Ahmed
Kathrada sebagai penasehat, tiga orang
duduk dalam Kabinet yaitu Dullah Oar, Kader Asmal dan Mohammed Vallie Moosa. Belum lagi sejumlah
orang yang duduk di berbagai jabatan penting lainnya.
Pada tanggal 1 Desember 2011, berkunjung ke Indonesia
dan diterima antara lain oleh Menteri Perdagangan Indonesia Gita Wiryawan, Menteri
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Afrika Selatan (Su)Tina(h) atau Tina Monica Joematt yang menyatakan
sebagai keturunan Jawa dari Kendal.
Demikian pula pada Oktober 2014 tiba di Bali untuk
mengikuti Forum Demokrasi Bali, Menteri Pengembangan Ekonomi Afrika Selatan
Ibrahim Patel, yang merupakan keturunan Tuan Guru Imam Abdullah bin Kadi Abdus
Salam. Sebelum ke Bali, Ibrahim Patel
menyempatkan melakukan kunjungan lebih dulu ke tanah lelulur di Pulau
Tidore. Ia didampingi oleh kerabatnya
seorang Gurubesar Universitas Cape Town Profesor Farid Esack, yang juga
keturunan Tidore. Dalam kunjungannya di Kedaton Kesultanan Tidore, Ibrahim
Patel mengatakan kisah heroik perjuangan dan perlawanan Tuan Kadi Imam Abdullah
dalam melawan kolonialisme Belanda selalu diceritakan oleh kedua orangtuanya
semenjak ia masih kecil. (KABARTIMURONLINE,
Jumat,10 Oktober 2014, 05.00 WIB).
Seperti penulis singgung di bagian lain, perihal
angka-angka kita harus teliti mencermatinya. Jika buku The Influence of Islam in Southern Africa and its Impact on Society,
menyebut jumlah penduduk muslim sekitar 5% dari jumlah seluruh penduduk Afsel,
dalam Islam in South Africa dari
Wikipedia, perkiraan penduduk muslim pada tahun 2015 adalah 1,9%.
Penduduk Afrika Selatan menurut Wikpedia yang diunduh pd
31 Januari 2018, berdasarkan sensus 2011 adalah 51.770.560 dan pada th 2015
diperkirakan menjadi 54.956.900. Sementara itu penduduk wilayah semenanjung
Cape per sensus 2011 adalah 3.740.025 dan perkiraan tahun 2014 menjadi
3.750.000, sedangkan di kota Cape sendiri berdasarkan sensus 2011 adalah
433.688 jiwa. Dari penduduk sebanyak itu, penduduk Malay diperkirakan sekitar
200.000 jiwa yang tersebar antara lain di Cape Town 166.000 dan di Johannesburg
10.000 jiwa.
Menurut Wikipedia, perkembangan Islam di Afrika Selatan
berlangsung dalam tiga gelombang. Pertama,
pada periode 1652 sampai pertengahan abad 19, berupa kedatangan para budak,
tahanan politik dan para politisi yang dibuang yang berasal dari kepulauan
Indonesia. Kedua, para buruh pabrik
gula di daerah Natal, yang didatangkan Inggris dari India pada periode 1860 –
1868 dan periode 1874 – 1911. Semuanya mencapai sekitar 176.000 orang. Dari
pengapalan di periode pertama itu saja, buruh muslim diperkirakan mencapai 7 –
10%. Ketiga, berlangsung setelah
penghapusan politik apartheid, terutama berasal dari para pendatang dari
seberang perbatasan Afrika Selatan , yang masuk sebagai imigran. Jumlah mereka
diperkirakan berkisar dari 75.000 – 100.000.
Perjuangan para budak sampai menghirup kebebasan dan
menjadi warga negara terhormat dewasa ini, terutama pada periode 1653 sampai
1834, merupakan periode yang sangat berat, yang banyak ditulis sebagai bagian
dari sejarah Afrika Selatan, antara dalam buku “ From Slavery to Citizenship. A walk through the history of Strand
Community” oleh Ibraham Rhoda. Dalam buku tersebut diungkapkan antara lain
pembangunan masjid kedua yaitu Masjid Nurul Anwar yang dilakukan pada tahun
1885 oleh Gatiep Railoun dari Jawa.
Dari buku tersebut, demikian pula dalam pergaulan sehari-hari
dewasa ini, kita juga bisa menjumpai sejumlah menu makanan, istilah, sebutan
dan nama-nama yang berbau Jawa dan Indonesia, misalkan piring, bubur, blacang, buka puasa, Tanah Baru,
tramakassie, tamaaf (minta maaf), batcha, sumpah, maniengal (meninggal), buka,
grana (gerhana), maskawi (mas kawin), agama, gielap (kilat), kamar mandie,
jamban, tjoekoer, boeta, santri, langgar, sembahyang dan
Tuan Guru. (The Strand Muslim Community dan
Regarding Muslim from Slavery to Post Apartheid ). Juga nama-nama seperti Bagus, Waris, V (w)arsity, Sutinah,
Mymoena dan lain-lain. Sayangnya di beberapa buku dan oleh sebagian besar
masyarakat Cape Town, apa yang disebut sebagai Malay adalah Malaysia, bukan
Indonesia .
Kata Malay itu sendiri berasal dari bahasa pengantar pergaulan yakni
Bahasa Melayu. Oleh sebab itu pula komunitas yang sekarang tumbuh dan
berkembang pesat yang berakar dari para budak, tahanan dan buangan politik,
satuan keamanan dan pasukan artileri kemudian juga disebut Cape Malay, Malay
Muslim. Sedangkan makanannya disebut Malay food. Bahkan lebih dari itu,
lantaran mereka pada umumnya adalah muslim, maka penyebutan Malay juga identik
dengan Muslim. Lebih jauh lagi penduduk asli berkulit hitam dan penduduk
keturunan Eropa yang berkulit putih, yang pindah agama dari Kristen ke Islam,
selanjutnya juga disebut Malay (Regarding
Muslim from slavery to post-apartheid halaman 17).
Penggunaan Bahasa Melayu terjadi karena mereka yang
berasal dari berbagai suku, pulau dan daerah di Nusantara seperti Sunda, Jawa,
Madura, Sumatera, Bolaangmangondou, Ternate, Tidore, Bugis, Sumbawa, Ambon,
Timor dan lain-lain, tidak mungkin saling berkomunikasi dengan bahasa daerah
masing-masing. Mereka kemudian
berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa pengantar Melayu yang
bisa dimengerti, karena pada saat itu sudah menjadi bahasa perdagangan antar
pulau di Nusantara.
Hal itu sesuai dengan gambaran pergaulan suku-suku
bangsa di Nusantara pada abad-abad sekitar itu, yang diuraikan oleh mantan
Gubernur Jawa (tahun 1811 – 1815/16) dan Sumatera (1818 – 1823/24) dari Inggris
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya yang termasyhur The
History of Java antara lain sebagai
berikut :
“Apapun pendapat mengenai asal-usul penduduk Jawa dan
pulau-pulau sekitarnya, ada kemiripan kuat dalam bentuk fisik, bahasa dan
kebiasaan yang ada di seluruh kepulauan ini sehingga bisa dipastikan mereka
berasal dari tempat yang sama. Beberapa perbedaan budaya itu hanya sebagai
akibat dari pemisahan yang lama, kondisi lokal dan juga interaksinya dengan
pedagang asing, pendatang atau penduduk lain.
Sama dengan bangsa Filipina, di negeri ini juga ada tiga
jenis etnis terbesar, yaitu Jawa, Sumatera ( Melayu atau Malaya : penulis) dan
Sulawesi. Bangsa pertama mempunyai
kebiasaan, budaya dan perkembangan peradaban yang lebih baik
dibandingkan kedua etnis lain. Baik bangsa Malaya atau Bugis merupakan bangsa
pelaut dan pedagang yang sangat
dipengaruhi semangat perjuangan dan penjelajahan ke tempat-tempat baru.”
Tentang pengaruh budaya Melayu, Raffles menyebut Malaya,
ia menulis lebih lanjut, “Sangat disayangkan tidak ada cukup keterangan
mengenai kondisi dan perkembangan kedua pulau ini ( Sumatera dan Sulawesi:
penulis), karena bangsa Eropa berkesempatan berinteraksi saat kejayaan bangsa
ini menurun. Kerajaan Malaya yang dulu meliputi seluruh Sumatera dengan ibukota
di Minangkabau, tampaknya telah lama dilupakan, tetapi wilayah koloninya masih
bisa dilihat di sepanjang pantai semenanjung ini, ke arah timur sampai sejauh
Maluku.” Penyebaran Islam oleh Raffles dianggap sebagai penyebab
keruntuhan kebudayaan nenek moyang
orang-orang Malaya.
Mengenai suku Bugis, Raffles menulis, tampaknya belum
terpengaruh oleh kedatangan pedagang asing
atau para penyebar agama dari Arab sehingga mereka mampu mempertahankan
kebudayaan nenek moyangnya lebih lama dibanding kerajaan lain. Seperti halnya
bangsa Melayu, bangsa Bugis juga memperluas wilayah koloninya sampai jauh ke
barat, ke Sumatera bahkan ke Keddah di Semenanjung Malaya, dan hampir di setiap
daerah di kepulauan ini (Nusantara : penulis) bisa ditemukan pemukiman Bugis
dan Melayu.
Demikian pula di Cape, budaya Malay yang kemudian
bercampur dengan budaya India cukup kuat pengaruhnya pada kehidupan sehari-hari
masyarakat. Bahasa Melayu dan Belanda semula cukup meluas dipergunakan tatkala
Cape masih dikuasai Belanda. Namun ketika sudah diambilalih Inggris, kedua
bahasa tersebut semakin sedikit dipergunakan dalam percakapan sehari-hari,
kecuali beberapa kata dan istilah masih mudah dijumpai. Namun demikian dalam
hal makanan, terus hadir dan berkembang sampai sekarang. Bahkan pakar kuliner
Faldela Williams yang menulis tiga buku masakan, satu diantaranya adalah
masakan-masakan tradisional Malay.
Komunitas Malay juga mengembangkan genre seni musik
rakyat yang khas yang semula dimaksudkan untuk merayakan pembebasan budak tahun
1883, dan selanjutnya merefleksikan sejarah kedatangan leluhur mereka berikut
penindasan serta perjuangannya di masa lalu. Beberapa lagu yang diciptakan
sungguh sangat menyayat hati dan mengaduk emosi. Gaya musik mereka dikenal
sangat unik bahkan mungkin terunik di dunia. Genre musik Malay menarik
perhatian para akademisi, musisi, penulis dan sejarawan bahkan para politisi. Musik tersebut selalu ditampilkan dalam
karnaval tahunan yang dikenal sebagai Cape Town Minstrel, sebagai bagian dari
Carnaval-Festival Jalanan. Musik ini menggunakan antara lain alat musik ghoema,
yaitu sejenis genderang
Meskipun penghayatan atas sejarah perjuangannya di Cape
cukup mendalam, sayang sekali pemahaman mereka
tentang Indonesia sangat kurang, bahkan semula menganggap pulau-pulau di
Indonesia adalah bagian dari Malaysia, sehingga dewasa ini mereka lebih kuat
menjalin kerjasama dengan Malaysia antara lain Kementerian Pariwisata dan
Federasi serta Asosiasi Penulis Malaysia.
Hery
Prasetyo dalam
Tribunews.com pada Minggu, 8 Desember 2013 06:32 WIB menulis, “Sebuah grup
opera yang disutradarai Luqmaan Adam saat tampil di Bloemfontein membawakan lagu
Indonesia yang dipopulerkan Krisdayanti, berjudul ‘Menghitung Hari’. Namun,
sang penyanyi memperkenalkannya sebagai ‘Malaysian song’. Sebuah kesalahan yang
mungkin tak mereka sadari, sekaligus menyedihkan karena produk Indonesia dikira
Malaysia.
Selanjutnya ia menulis, Indonesia dan Afrika Selatan
sebenarnya sudah melakukan hubungan erat sejat 1994. Tapi nampaknya silaturahmi
budaya kurang banyak terjadi. Dengan demikian banyak warga Cape Malay awam yang
kurang tahu banyak tentang Indonesia. Bahkan, ada yang mengira Indonesia bagian
dari Malaysia. Pasalnya, mereka hanya tahu bahwa negara AsiaTenggara adalah
Malay.
Yang menyedihkan pula, orang Afrika Selatan tak tahu
bahwa batik yang sering dikenakan tokoh mereka, Nelson Mandela, berasal dari
Indonesia. Ketika ditanya pakaian Mandela itu, mereka tak menyebut batik, tapi
‘Madiba’s Shirt’. Madiba adalah sebutan sayang untuk Mandela.”
Wartawan Pikiran Rakyat, juga memperoleh pengalaman yang
sama dengan Hery Prasetyo. Dalam www.pikiran-rakyat.com 20 Juni 2010, wartawannya
melaporkan, “sebagian besar orang asli Afrika Selatan tidak mengenal Indonesia.
Ketika ditanya , apakah Anda tahu Indonesia? Jawabannya beragam, ‘Malaysia?’
atau ‘Cina’, bahkan ada yang mengatakan “Bali’.
Demikianlah, sungguh sangat berat perjuangan
pahlawan-pahlawan Nusantara di masa itu, yang sebagian besar datang menjejakkan
kaki di bumi Afrika Selatan dalam keadaan dirantai, ditindas, bekerja keras
sebagai budak dan beberapa dipaksa menjadi pelacur dan berbagai bentuk
penindasan serta diskriminasi rasial serta agama. Sepatutnyalah kita
menundukkan kepala, mengheningkan cipta serta mendoakan mereka yang terbuang
dan tertindas itu, sebagai korban penjajahan yang datang ke Nusantara dengan
kedok bisnis. Seharusnya pula kita belajar dari sejarah kedatangan para kapitalis
di abad-abad tersebut, yang bukan tidak mungkin berulang kembali menjadi suatu
penetrasi atau invasi senyap di saat sekarang dan masa depan. Foto: Berfoto di depan sebuah toko di kawasan Kampung Malay, yang juga dikenal sebagai Bo-Kaap. Rumah dan bangunan di kawasan ini dicat warna-warni. (Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda