Rabu, 28 Maret 2018

PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN, dari Madura untuk Nelson Mandela (7): Masyarakat & Tokoh Keturunan Nusantara.



Masyarakat & Tokoh Keturunan Nusantara.





Dengan muslim yang merupakan 5 % dari 40-an juta penduduk Afrika Selatan (The Influence of Islam in Southern Africa and its Impact on Society, 2017,  hal 22), orang Islam memperoleh ratio tinggi dalam jumlah perwakilan di National Assembly setelah terbentuknya Pemerintahan baru yang menghapuskan politik perbedaan ras.  Nelson Mandela yang menjabat sebagai Presiden, mengangkat sahabat suka dukanya di penjara, Ahmed Kathrada sebagai penasehat,  tiga orang duduk dalam Kabinet yaitu Dullah Oar, Kader Asmal dan  Mohammed Vallie Moosa. Belum lagi sejumlah orang yang duduk di berbagai jabatan penting lainnya.

Pada tanggal 1 Desember 2011, berkunjung ke Indonesia dan diterima antara lain oleh Menteri Perdagangan Indonesia Gita Wiryawan, Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan  Afrika Selatan (Su)Tina(h) atau Tina Monica Joematt yang menyatakan sebagai keturunan Jawa dari Kendal.

Demikian pula pada Oktober 2014 tiba di Bali untuk mengikuti Forum Demokrasi Bali, Menteri Pengembangan Ekonomi Afrika Selatan Ibrahim Patel, yang merupakan keturunan Tuan Guru Imam Abdullah bin Kadi Abdus Salam. Sebelum ke Bali, Ibrahim Patel  menyempatkan melakukan kunjungan lebih dulu ke tanah lelulur di Pulau Tidore. Ia didampingi oleh kerabatnya  seorang Gurubesar Universitas Cape Town Profesor Farid Esack, yang juga keturunan Tidore. Dalam kunjungannya di Kedaton Kesultanan Tidore, Ibrahim Patel mengatakan kisah heroik perjuangan dan perlawanan Tuan Kadi Imam Abdullah dalam melawan kolonialisme Belanda selalu diceritakan oleh kedua orangtuanya semenjak ia masih kecil. (KABARTIMURONLINE, Jumat,10 Oktober 2014, 05.00 WIB).

Seperti penulis singgung di bagian lain, perihal angka-angka kita harus teliti mencermatinya. Jika buku The Influence of Islam in Southern Africa and its Impact on Society, menyebut jumlah penduduk muslim sekitar 5% dari jumlah seluruh penduduk Afsel, dalam Islam in South Africa dari Wikipedia, perkiraan penduduk muslim pada tahun 2015 adalah 1,9%.

Penduduk Afrika Selatan menurut Wikpedia yang diunduh pd 31 Januari 2018, berdasarkan sensus 2011 adalah 51.770.560 dan pada th 2015 diperkirakan menjadi 54.956.900. Sementara itu penduduk wilayah semenanjung Cape per sensus 2011 adalah 3.740.025 dan perkiraan tahun 2014 menjadi 3.750.000, sedangkan di kota Cape sendiri berdasarkan sensus 2011 adalah 433.688 jiwa. Dari penduduk sebanyak itu, penduduk Malay diperkirakan sekitar 200.000 jiwa yang tersebar antara lain di Cape Town 166.000 dan di Johannesburg 10.000 jiwa.

Menurut Wikipedia, perkembangan Islam di Afrika Selatan berlangsung dalam tiga gelombang. Pertama, pada periode 1652 sampai pertengahan abad 19, berupa kedatangan para budak, tahanan politik dan para politisi yang dibuang yang berasal dari kepulauan Indonesia. Kedua, para buruh pabrik gula di daerah Natal, yang didatangkan Inggris dari India pada periode 1860 – 1868 dan periode 1874 – 1911. Semuanya mencapai sekitar 176.000 orang. Dari pengapalan di periode pertama itu saja, buruh muslim diperkirakan mencapai 7 – 10%. Ketiga, berlangsung setelah penghapusan politik apartheid, terutama berasal dari para pendatang dari seberang perbatasan Afrika Selatan , yang masuk sebagai imigran. Jumlah mereka diperkirakan berkisar dari 75.000 – 100.000.

Perjuangan para budak sampai menghirup kebebasan dan menjadi warga negara terhormat dewasa ini, terutama pada periode 1653 sampai 1834, merupakan periode yang sangat berat, yang banyak ditulis sebagai bagian dari sejarah Afrika Selatan, antara dalam buku “ From Slavery to Citizenship. A walk through the history of Strand Community” oleh Ibraham Rhoda. Dalam buku tersebut diungkapkan antara lain pembangunan masjid kedua yaitu Masjid Nurul Anwar yang dilakukan pada tahun 1885 oleh Gatiep Railoun dari Jawa.

Dari buku tersebut, demikian pula dalam pergaulan sehari-hari dewasa ini, kita juga bisa menjumpai sejumlah menu makanan, istilah, sebutan dan nama-nama yang berbau Jawa dan Indonesia, misalkan piring, bubur, blacang, buka puasa, Tanah  Baru, tramakassie, tamaaf (minta maaf), batcha, sumpah, maniengal (meninggal), buka, grana (gerhana), maskawi (mas kawin), agama, gielap (kilat), kamar mandie, jamban, tjoekoer, boeta, santri, langgar, sembahyang  dan Tuan Guru. (The Strand Muslim Community dan Regarding Muslim from Slavery to Post Apartheid ). Juga nama-nama seperti Bagus, Waris, V (w)arsity, Sutinah, Mymoena dan lain-lain. Sayangnya di beberapa buku dan oleh sebagian besar masyarakat Cape Town, apa yang disebut sebagai Malay adalah Malaysia, bukan Indonesia .

Kata Malay itu sendiri  berasal dari bahasa pengantar pergaulan yakni Bahasa Melayu. Oleh sebab itu pula komunitas yang sekarang tumbuh dan berkembang pesat yang berakar dari para budak, tahanan dan buangan politik, satuan keamanan dan pasukan artileri kemudian juga disebut Cape Malay, Malay Muslim. Sedangkan makanannya disebut Malay food. Bahkan lebih dari itu, lantaran mereka pada umumnya adalah muslim, maka penyebutan Malay juga identik dengan Muslim. Lebih jauh lagi penduduk asli berkulit hitam dan penduduk keturunan Eropa yang berkulit putih, yang pindah agama dari Kristen ke Islam, selanjutnya juga disebut Malay (Regarding Muslim  from slavery to post-apartheid halaman 17).

Penggunaan Bahasa Melayu terjadi karena mereka yang berasal dari berbagai suku, pulau dan daerah di Nusantara seperti Sunda, Jawa, Madura, Sumatera, Bolaangmangondou, Ternate, Tidore, Bugis, Sumbawa, Ambon, Timor dan lain-lain, tidak mungkin saling berkomunikasi dengan bahasa daerah masing-masing. Mereka kemudian  berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa pengantar Melayu yang bisa dimengerti, karena pada saat itu sudah menjadi bahasa perdagangan antar pulau di Nusantara.

Hal itu sesuai dengan gambaran pergaulan suku-suku bangsa di Nusantara pada abad-abad sekitar itu, yang diuraikan oleh mantan Gubernur Jawa (tahun 1811 – 1815/16) dan Sumatera (1818 – 1823/24) dari Inggris Thomas Stamford Raffles dalam bukunya yang termasyhur  The History of Java  antara lain sebagai berikut :
“Apapun pendapat mengenai asal-usul penduduk Jawa dan pulau-pulau sekitarnya, ada kemiripan kuat dalam bentuk fisik, bahasa dan kebiasaan yang ada di seluruh kepulauan ini sehingga bisa dipastikan mereka berasal dari tempat yang sama. Beberapa perbedaan budaya itu hanya sebagai akibat dari pemisahan yang lama, kondisi lokal dan juga interaksinya dengan pedagang asing, pendatang atau penduduk lain.

Sama dengan bangsa Filipina, di negeri ini juga ada tiga jenis etnis terbesar, yaitu Jawa, Sumatera ( Melayu atau Malaya : penulis) dan Sulawesi. Bangsa pertama mempunyai  kebiasaan, budaya dan perkembangan peradaban yang lebih baik dibandingkan kedua etnis lain. Baik bangsa Malaya atau Bugis merupakan bangsa pelaut dan pedagang yang sangat  dipengaruhi semangat perjuangan dan penjelajahan  ke tempat-tempat  baru.”

Tentang pengaruh budaya Melayu, Raffles menyebut Malaya, ia menulis lebih lanjut, “Sangat disayangkan tidak ada cukup keterangan mengenai kondisi dan perkembangan kedua pulau ini ( Sumatera dan Sulawesi: penulis), karena bangsa Eropa berkesempatan berinteraksi saat kejayaan bangsa ini menurun. Kerajaan Malaya yang dulu meliputi seluruh Sumatera dengan ibukota di Minangkabau, tampaknya telah lama dilupakan, tetapi wilayah koloninya masih bisa dilihat di sepanjang pantai semenanjung ini, ke arah timur sampai sejauh Maluku.” Penyebaran Islam oleh Raffles dianggap sebagai penyebab keruntuhan  kebudayaan nenek moyang orang-orang Malaya.

Mengenai suku Bugis, Raffles menulis, tampaknya belum terpengaruh oleh kedatangan pedagang asing  atau para penyebar agama dari Arab sehingga mereka mampu mempertahankan kebudayaan nenek moyangnya lebih lama dibanding kerajaan lain. Seperti halnya bangsa Melayu, bangsa Bugis juga memperluas wilayah koloninya sampai jauh ke barat, ke Sumatera bahkan ke Keddah di Semenanjung Malaya, dan hampir di setiap daerah di kepulauan ini (Nusantara : penulis) bisa ditemukan pemukiman Bugis dan Melayu.

Demikian pula di Cape, budaya Malay yang kemudian bercampur dengan budaya India cukup kuat pengaruhnya pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahasa Melayu dan Belanda semula cukup meluas dipergunakan tatkala Cape masih dikuasai Belanda. Namun ketika sudah diambilalih Inggris, kedua bahasa tersebut semakin sedikit dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, kecuali beberapa kata dan istilah masih mudah dijumpai. Namun demikian dalam hal makanan, terus hadir dan berkembang sampai sekarang. Bahkan pakar kuliner Faldela Williams yang menulis tiga buku masakan, satu diantaranya adalah masakan-masakan tradisional Malay.

Komunitas Malay juga mengembangkan genre seni musik rakyat yang khas yang semula dimaksudkan untuk merayakan pembebasan budak tahun 1883, dan selanjutnya merefleksikan sejarah kedatangan leluhur mereka berikut penindasan serta perjuangannya di masa lalu. Beberapa lagu yang diciptakan sungguh sangat menyayat hati dan mengaduk emosi. Gaya musik mereka dikenal sangat unik bahkan mungkin terunik di dunia. Genre musik Malay menarik perhatian para akademisi, musisi, penulis dan sejarawan bahkan  para politisi.  Musik tersebut selalu ditampilkan dalam karnaval tahunan yang dikenal sebagai Cape Town Minstrel, sebagai bagian dari Carnaval-Festival Jalanan. Musik ini menggunakan antara lain alat musik ghoema, yaitu sejenis genderang

Meskipun penghayatan atas sejarah perjuangannya di Cape cukup mendalam, sayang sekali pemahaman mereka  tentang Indonesia sangat kurang, bahkan semula menganggap pulau-pulau di Indonesia adalah bagian dari Malaysia, sehingga dewasa ini mereka lebih kuat menjalin kerjasama dengan Malaysia antara lain Kementerian Pariwisata dan Federasi serta Asosiasi Penulis Malaysia.

Hery Prasetyo dalam Tribunews.com pada Minggu, 8 Desember 2013 06:32 WIB menulis, “Sebuah grup opera yang disutradarai Luqmaan Adam saat tampil di Bloemfontein membawakan lagu Indonesia yang dipopulerkan Krisdayanti, berjudul ‘Menghitung Hari’. Namun, sang penyanyi memperkenalkannya sebagai ‘Malaysian song’. Sebuah kesalahan yang mungkin tak mereka sadari, sekaligus menyedihkan karena produk Indonesia dikira Malaysia.

Selanjutnya ia menulis, Indonesia dan Afrika Selatan sebenarnya sudah melakukan hubungan erat sejat 1994. Tapi nampaknya silaturahmi budaya kurang banyak terjadi. Dengan demikian banyak warga Cape Malay awam yang kurang tahu banyak tentang Indonesia. Bahkan, ada yang mengira Indonesia bagian dari Malaysia. Pasalnya, mereka hanya tahu bahwa negara AsiaTenggara adalah Malay.

Yang menyedihkan pula, orang Afrika Selatan tak tahu bahwa batik yang sering dikenakan tokoh mereka, Nelson Mandela, berasal dari Indonesia. Ketika ditanya pakaian Mandela itu, mereka tak menyebut batik, tapi ‘Madiba’s Shirt’. Madiba adalah sebutan sayang untuk Mandela.”

Wartawan Pikiran Rakyat, juga memperoleh pengalaman yang sama dengan Hery Prasetyo. Dalam www.pikiran-rakyat.com 20 Juni 2010, wartawannya melaporkan, “sebagian besar orang asli Afrika Selatan tidak mengenal Indonesia. Ketika ditanya , apakah Anda tahu Indonesia? Jawabannya beragam, ‘Malaysia?’ atau ‘Cina’, bahkan ada yang mengatakan “Bali’.

Demikianlah, sungguh sangat berat perjuangan pahlawan-pahlawan Nusantara di masa itu, yang sebagian besar datang menjejakkan kaki di bumi Afrika Selatan dalam keadaan dirantai, ditindas, bekerja keras sebagai budak dan beberapa dipaksa menjadi pelacur dan berbagai bentuk penindasan serta diskriminasi rasial serta agama. Sepatutnyalah kita menundukkan kepala, mengheningkan cipta serta mendoakan mereka yang terbuang dan tertindas itu, sebagai korban penjajahan yang datang ke Nusantara dengan kedok bisnis. Seharusnya pula kita belajar dari sejarah kedatangan para kapitalis di abad-abad tersebut, yang bukan tidak mungkin berulang kembali menjadi suatu penetrasi atau invasi senyap di saat sekarang dan masa depan. Foto: Berfoto di depan sebuah toko di kawasan Kampung Malay, yang juga dikenal sebagai Bo-Kaap. Rumah dan bangunan di kawasan ini dicat warna-warni. (Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda