Gelombang
Kedatangan Pencerah-Pencerah Nusantara.
Sejarah perkembangan Islam di Afrika Selatan adalah
seumur dengan berdirinya kota Cape. Islam tiba di Cape segera atau bahkan
hampir bersamaan dengan dimulainya kolonisasi Belanda di daerah kepulauan yang
sekarang disebut Indonesia. Sebagian dari mereka tiba sebagai tahanan yang
dibuang karena melawan Belanda, dan sebagian lagi karena dijadikan sebagai
budak untuk melayani kebutuhan Belanda di Tanjung Harapan. Namun sementara itu
ada pula Satuan-Satuan Keamanan yang terdiri dari pemuda-pemuda muslim Ambon,
dan ada pula Pasukan Artileri dari Jawa (The
Mosques of Bo-Kaap : 90)
Orang-orang yang tergabung dalam satuan keamanan dan
pasukan Artileri tersebut dinamakan Mardycker
atau Maredhika, yang berasal dari kata
mardiko atau merdeka (Kamus Oxford dan
Wikipedia : Islam in South Africa).
Satuan keamanan dari Ambon dibentuk untuk menjaga
keamanan perusahaan-perusahaan dan pengusaha Belanda dari gangguan penduduk
asli, sedangkan Pasukan Artileri Jawa untuk berperang bersama Belanda melawan
Inggris terutama pada awal abad 19.
Guna menghadapi Inggris dalam perang babak kedua di awal
abad 19 tersebut, Belanda membentuk dua
formasi pasukan artileri yang anggota-anggotanya berasal dari orang-orang Jawa
Muslim. Dan demi memperoleh kesetiaan mereka, Belanda menukarnya dengan
memberikan keleluasan untuk mengelola masjid, berarti menyimpang dari ketentuan
yang dibuat Gubernur Jenderal John Maetsuycker, mereka diijinkan mengamalkan
dan mengajarkan agama islam di tempat umum.
Pasukan Artileri Jawa ini berperang secara gagah berani
dalam perang Blaauwberg tahun 1806. Banyak diantara mereka yang tewas dan
terluka. Keberanian mereka dalam pertempuran bahkan sampai dipuji oleh lawan
mereka, Penguasa Inggris, Lord Baird, yang berhasil mengambilalih Cape. Dua
pasukan Artileri Jawa maju ke medan tempur layaknya pasukan infanteri, setelah
pasukan resimen 22 Belanda kabur tanpa menembakkan satu pelurupun, menghadapi
pendaratan dan serbuan 6.000 (enam ribu) pasukan Inggris. Dalam buku Bo-Kaap & Islam (hal 76), keberanian serta pengorbanan pasukan
artileri Jawa dan para mahardhiker di Cape, yaitu pasukan de Javaansche Artilerie serta
de Ligte Javaansche Artilerie te Voet, disebut memegang prinsip a quid pro quo. Dalam hal ini menukar jiwa raganya dengan hak untuk
mengamalkan keislamannya secara terbuka.
Mardycker pertama dari Ambon tiba pada 1658. Di samping sebagai satuan
keamanan, sebagian dari mereka juga dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga,
mula-mula di keluarga-keluarga Portugis, kemudian Jan Van Riebeeck meminta
tenaga kerja dari Ambon untuk perkebunan dan kegiatan Belanda. Para Mardycker
ini memperoleh kebebasan menjalankan syariat agamanya sepanjang tidak dilakukan
di tempat umum dan melakukan propaganda atau dakwah. Pelanggaran atas hal
tersebut bisa dikenai hukuman mati
(plakat peraturan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Antonio van Dieman (1636 –
1645) th 1642, yang diumumkan kembali pada 23 Agustus 1657 oleh Gubernur
Jenderal John Maetsuycker (1653 -1678). Ketentuan
tersebut dibuat untuk mengantisipasi pengiriman para Mahardhike ke Cape, dan
oleh sebab itu terus diberlakukan ketika mereka berada di Cape (The Mosques of Bo-Kaap dan History of Muslim
in South Africa: 1652 – 1699 by Ebrahim Mahomed Mahida, South African History
Online) . Foto lukisan Pertempuran Blaauwberg antara Belanda - Inggris di Cape Town tahun 1806. Pasukan tempur Belanda terdiri dari orang-orang Jawa. Direpro dari buku Bo-Kaap & Islam. (Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda