Kamis, 29 Maret 2018

PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN, dari Madura untuk Nelson Mandela (8) Gelombang Kedatangan Pahlawan-Pahlawan Nusantara.


Gelombang Kedatangan Pencerah-Pencerah Nusantara. 



  
Sejarah perkembangan Islam di Afrika Selatan adalah seumur dengan berdirinya kota Cape. Islam tiba di Cape segera atau bahkan hampir bersamaan dengan dimulainya kolonisasi Belanda di daerah kepulauan yang sekarang disebut Indonesia. Sebagian dari mereka tiba sebagai tahanan yang dibuang karena melawan Belanda, dan sebagian lagi karena dijadikan sebagai budak untuk melayani kebutuhan Belanda di Tanjung Harapan. Namun sementara itu ada pula Satuan-Satuan Keamanan yang terdiri dari pemuda-pemuda muslim Ambon, dan ada pula Pasukan Artileri dari Jawa (The Mosques of Bo-Kaap : 90)

Orang-orang yang tergabung dalam satuan keamanan dan pasukan Artileri tersebut dinamakan Mardycker atau Maredhika,  yang berasal dari kata mardiko atau merdeka (Kamus Oxford dan Wikipedia : Islam in South Africa).
Satuan keamanan dari Ambon dibentuk untuk menjaga keamanan perusahaan-perusahaan dan pengusaha Belanda dari gangguan penduduk asli, sedangkan Pasukan Artileri Jawa untuk berperang bersama Belanda melawan Inggris terutama pada awal abad 19. 

Guna menghadapi Inggris dalam perang babak kedua di awal abad 19 tersebut,  Belanda membentuk dua formasi pasukan artileri yang anggota-anggotanya berasal dari orang-orang Jawa Muslim. Dan demi memperoleh kesetiaan mereka, Belanda menukarnya dengan memberikan keleluasan untuk mengelola masjid, berarti menyimpang dari ketentuan yang dibuat Gubernur Jenderal John Maetsuycker, mereka diijinkan mengamalkan dan mengajarkan agama islam di tempat umum. 

Pasukan Artileri Jawa ini berperang secara gagah berani dalam perang Blaauwberg tahun 1806. Banyak diantara mereka yang tewas dan terluka. Keberanian mereka dalam pertempuran bahkan sampai dipuji oleh lawan mereka, Penguasa Inggris, Lord Baird, yang berhasil mengambilalih Cape. Dua pasukan Artileri Jawa maju ke medan tempur layaknya pasukan infanteri, setelah pasukan resimen 22 Belanda kabur tanpa menembakkan satu pelurupun, menghadapi pendaratan dan serbuan 6.000 (enam ribu) pasukan  Inggris. Dalam buku Bo-Kaap & Islam (hal 76), keberanian serta pengorbanan pasukan artileri Jawa dan para mahardhiker di Cape, yaitu pasukan de Javaansche Artilerie serta de Ligte Javaansche Artilerie te Voet, disebut memegang prinsip a quid pro quo. Dalam hal ini menukar jiwa raganya dengan hak untuk mengamalkan keislamannya secara terbuka.

Mardycker pertama dari Ambon  tiba pada 1658. Di samping sebagai satuan keamanan, sebagian dari mereka juga dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, mula-mula di keluarga-keluarga Portugis, kemudian Jan Van Riebeeck meminta tenaga kerja dari Ambon untuk perkebunan dan kegiatan Belanda. Para Mardycker ini memperoleh kebebasan menjalankan syariat agamanya sepanjang tidak dilakukan di tempat umum dan melakukan propaganda atau dakwah. Pelanggaran atas hal tersebut  bisa dikenai hukuman mati (plakat peraturan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Antonio van Dieman (1636 – 1645) th 1642, yang diumumkan kembali pada 23 Agustus 1657 oleh Gubernur Jenderal John Maetsuycker (1653 -1678). Ketentuan tersebut dibuat untuk mengantisipasi pengiriman para Mahardhike ke Cape, dan oleh sebab itu terus diberlakukan ketika mereka berada di Cape (The Mosques of Bo-Kaap dan History of Muslim in South Africa: 1652 – 1699 by Ebrahim Mahomed Mahida, South African History Online) . Foto lukisan Pertempuran Blaauwberg antara Belanda - Inggris di Cape Town tahun 1806. Pasukan tempur Belanda terdiri dari orang-orang Jawa. Direpro dari buku Bo-Kaap & Islam. (Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda