Catatan Kritis 27 th Bergulat dalam :
Pembauran.
Pengantar:
Tak terasa tanggal 9 April 2018 ini usia
Yayasan Haji Karim Oei, yaitu sebuah lembaga non pemerintah yang bergerak di
bidang pembauran bangsa telah berusia 27 tahun.
Banyak suka duka yang kami lalui yang semuanya kami tuangkan dalam
sebuah buku berjudul “RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA DAN KETURUNAN TIONGHOA”,
yang kami luncurkan awal Oktober 2016 yang lalu. Tulisan ini adalah pengantar atas
buku tersebut, yang sekaligus juga merupakan renungan dan pengingat keadaan,
yang tak bosan kami kemukakan semenjak April 1997, yang nampaknya justru sangat
relevan dengan keadaan tahun 2018 sekarang. Semoga dengan ini, kita bisa mengambil
langkah-langkah antisipasi keadaan yang tepat demi terwujudnya pembauran,
kesatuan dan persatuan Indonesia nan jaya raya. Aamiin. B.WIWOHO.
Masalah kesenjangan sosial ekonomi
di Indonesia, nampaknya dalam waktu dekat belum akan reda, apalagi teratasi.
Jika pada tahun 1990-an indeks kesenjangan yang dikenal sebagai gini ratio itu
ada di sekitar angka 0,3 sampai 0,33 kini semakin memburuk menjadi di atas
0,43.
Pada akhir dasa warsa 1980-an sampai
awal 1990-an, sentimen rasial akibat kesenjangan tersebut sangat terasa,
sehingga berbagai upaya untuk mengatasinya gencar dilakukan oleh Pemerintah dan
tokoh-tokoh masyarakat ada periode itu misalkan, Presiden Soeharto menggariskan
kebijakan delapan jalur pemerataan, serta beberapa kali mengadakan pertemuan
dengan para konglomerat keturunan Cina, yang kemudian dikenal sebagai pertemuan
Tapos. Juga dilancarkan kebijakan untuk menggunakan sekitar 5% keuntungan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) buat membantu pengembangan usaha kecil dan koperasi,
kebijakan bapak angkat dengan anak angkat di bidang usaha serta tambahan
pungutan terhadap wajib pajak menengah atas untuk masyarakat tidak mampu.
Di kalangan masyarakat, Pimpinan
Pusat Muhammadiyah yang dimotori oleh Wakil Ketua Umum, Lukman Harun, merangkul
sejumlah tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa dan tokoh
pembauran antara lain Junus Jahja, menyelenggarakan berbagai dialog dan
kerjasama dengan pengusaha-pengusaha ke- turunan Cina, untuk bersama-sama
mencari jalan keluar demi mewujudkan persatuan dan kehidupan berbangsa serta
bernegara yang aman, tenteram, damai sejahtera.
Rangkaian pertemuan tersebut
mengilhami sejumlah tokoh dari NU, Muhammadiyah, Al – Wasliyah, HMI, KAHMI, Al.
Irsyad dan LSM untuk kemudian pada tanggal 9 April 1991 mendirikan Yayasan Haji
Karim Oei Tjeng Hien, yang selanjutnya disingkat Yayasan Karim Oei atau YHKO,
sebuah nama yang kental dengan nuansa Islam, Indonesia dan Cina sekaligus. Ini
sejalan dengan alasan utama pendirian, yakni mewujudkan persatuan dan kesatuan
bangsa melalui pembauran bisnis dan agama, terutama agama mayoritas masyarakat
yaitu Islam. Para pendiri meyakini, memperkuat kehidupan sosial ekonomi
masyarakat pribumi juga harus dilaksanakan secara sistemis dan keberpihakan
yang nyata, kuat tapi sehat, karena pribumi yang kuat akan menjadi kunci utama
bagi pembauran. Three in One (3 in 1), tiga dalam satu wadah, satu gerakan,
satu perjuangan. Begitu kami sering menyebutnya.
Tak terasa, kini sudah 25 (dua puluh
lima) tahun usia YHKO. Banyak dari 20 pendiri dan perintisnya yang kini sudah
almarhum, uzur atau sepuh, dan hanya sekitar 3 sampai 7 orang saja yang masih
aktif. Demikian pula para sahabat pendukung termasuk para pejabat tinggi
negara.
Alhamdulillah selama 25 tahun, telah
banyak kegiatan yang dilaksanakan dan lebih dari seribu lima ratus orang yang
sudah kita bantu memeluk agama Islam. Pelbagai kegiatan yang terkait dengan 3
in 1 tadi, baik yang berskala lokal atau internal, nasional maupun
internasional telah kami selenggarakan, secara sendiri atau pun bekerjasama
dengan lembaga-lembaga lain. YHKO telah dan akan selalu memperjuangkan agar
bisa menjadi rumah yang indah lagi nyaman bagi segenap anak bangsa, terutama
bagi WNI keturunan Cina, dan lebih khusus agar menjadi muslimin dan muslimat
yang taat, nasionalis sejati yang sukses dalam kehidupan sosial ekonominya.
ASING – ASENG MEREBAK KEMBALI.
Bersamaan dengan kelahiran YHKO,
tata kehidupan dunia juga mengalami perubahan yang semakin mencolok. Semenjak
akhir abad ke 20, sebagai dampak berpadunya kekuatan modal dengan kemajuan
ilmu-teknologi yang super canggih, terjadi Gelombang Globalisasi yang
mengumandangkan musik jiwa yang menggalang alam pikiran manusia, untuk terpadu
secara total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia melalui
kebutuhan- kebutuhan palsu yang menyihir.
Dimensi rasionalitas yang ditata
dalam tiga sistem utama yakni sistem pasar bebas, sistem sosial politik
demokratis yang individualis dan sistem sosial budaya yang lepas bebas, sudah
mulai kita rasakan dampaknya dengan berkembangnya sikap dan gaya hidup
masyarakat yang hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan narsis.
Musik jiwa dimensi rasionalitas
dengan 3 (tiga) paket sistem utama tersebut, menyerbu secara dahsyat
negara-negara bangsa, diantaranya menggempur secara langsung peradaban sesuatu
bangsa termasuk Indonesia, terutama pada aspek nasionalisme, sosial budaya,
kearifan lokal, adat dan tradisi, agama serta spiritualisme. Dalam hal
nasionalisme, Gelombang Globalisasi berusaha melunturkan serta mendangkalkan
nilai dan semangat nasionalisme sesuatu bangsa atau negara, mengobarkan
separatisme dan disintegrasi, memecah-belah, menghancurkan militansi rakyat,
menciptakan kesenjangan sosial ekonomi serta menyuburkan konflik horizontal dan
vertikal.
Dalam aspek sosial budaya, Gelombang
Globalisasi menggelora- kan sex bebas dan sex sejenis dengan apa yang sekarang
kita kenal sebagai LGBT (Lesbian, Gay, Bisex dan Transexual), mengobarkan
budaya hidup yang hedonistis-individualistis, pragamatis-mate- rialitis dan
narsis, merusak dan menghancurkan bangunan tata nilai keluarga – kebersamaan –
gotong-royong, merusak serta meng- hancurkan moral masyarakat, kebudayaan,
adat, tradisi dan ke- arifan lokal,
Dalam aspek agama dan spiritualisme,
Gelombang Globalisasi mendangkalkan dan menghancurkan nilai-nilai moral
spiritual dan kesalehan yang hakiki, melibas tradisi dan kearifan lokal yang
memperkuat spiritualisme dan agama, menciptakan dan mengembangkan aliran-aliran
sesat, mengembangkan sekularisme dan secara khusus melakukan deislamisasi
terhadap pemeluk agama terbesar dan militan ini.
Gempuran dahsyat tersebut kini sudah
bisa kita lihat pada pola pikir, perilaku, gaya hidup dan bahkan peradaban
masyarakat. Nampak jelas, masyarakat Indonesia kini sedang mabok dalam alunan
musik jiwa yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis. Kita
mulai berubah menjadi masyarakat yang sangat egois, yang memuja diri sendiri,
yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya agar bisa
“berkuasa dan kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.”
Hidup kita menjadi boros, keras lagi mementingkan diri sendiri. Menjadikan
kesalehan hanya sekedar sebagai formalitas.
Pola hidup masyarakat sedang
berkembang pesat ke pola hidup yang sangat konsumtif berlebihan, serba mewah
dan gemerlap, sehingga menjadikan negeri kita senantiasa defisit dalam neraca
pembiayan dan perdagangan luar negerinya. Kita telah menjadi bangsa yang tekor
lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita
sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai
dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor.
Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral
dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik
semen, rokok dan toko-toko kelontong dan bahan pokok, juga dikuasai oleh modal
asing atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di
sekitarnya tetap miskin.
Tak pelak lagi, kesenjangan sosial
ekonomi kembali merebak bahkan semakin melebar, sebagaimana ditunjukkan oleh
indeks kesenjangan di atas tadi, yang mendekati tanda bahaya. Suhariyanto,
Deputi Bidang Neraca dan Analisa Statistik BPS, dalam diskusi dengan para pemimpin
redaksi media massa April 2014 menjelas- kan, angka ketimpangan sosial ekonomi
Indonesia saat ini ter- cermin secara nyata dalam gini ratio Indonesia yang
tidak membaik sejak 2011 silam, yang berada di level 0,41.
Rasio gini berada di angka 0 hingga
1, yang dalam pengertian awam mencerminkan seberapa besar porsi orang kaya
menikmati kue ekonomi nasional. Semakin besar gini rasio, semakin besar tingkat
ketimpangan.
Gini rasio hingga 0,3 dianggap masih
aman, tetapi 0,4 hingga 0,6 sudah dianggap lampu kuning, sedangkan lebih dari
0,6 adalah rasio yang berbahaya, yang menunjukkan ketimpangan sosial ekonomi
tak lagi bisa ditoleransi. Kondisi gini rasio yang masih relatif “hijau”
terjadi hingga tahun 2010, di mana posisinya masih di angka 0,38. Di era Orde Baru,
gini rasio berkisar 0,31-0,38.
Data BPS juga mengindikasikan
kondisi ketimpangan sosial ekonomi yang makin melebar, jika dikonfrontasikan
dengan laju pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5%-6% dalam beberapa tahun
terakhir. Kelompok kaya lebih mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi
tersebut. Pada 2008, 40% penduduk di kelompok pendapatan terendah masih
menikmati PDB antara 21%- 23%. Namun porsi itu anjlok menjadi hanya 16% pada
2012.
Sebaliknya, 20% penduduk terkaya,
yang pada 2008 sudah menikmati 40% produk domestik bruto atau kue ekonomi
nasional, melonjak menjadi penikmat 49% kue ekonomi nasional pada 2012.
Ini terjadi, karena dari rata-rata
laju pertumbuhan ekonomi 6%, penduduk miskin hanya menikmati kenaikan
pendapatan maksimal 2% per tahun. Sebaliknya penduduk terkaya menikmati
kenaikan pendapatan hingga 8%. Artinya kenaikan pendapatan penduduk yang kaya
melonjak signifikan, sedangkan penduduk miskin meski pendapatannya naik tetapi
tidak besar. (http://finansial.bisnis.com/ read/20140419/9/220506/kesenjangan-kaya-miskin-vs-indeks-kebahagiaan-biar-
timpang-asal-bahagia). Kesenjangan tersebut semakin mengkuatirkan
jika kita menyimak laporan World Bank (Harian Kompas 8 Desember 2015) yang
menyatakan 1% keluarga terkaya di Indonesia menguasai 50,3% kekayaan nasional.
Ini berarti sebagian besar yaitu 99%
keluarga Indonesia berebut kue nasional yang 49.7% . (catatan tambahan per
Januari 2017).
Ironisnya, di negeri kita tercinta
Indonesia ini, yang justru memprihatinkan, kelompok-kelompok yang paling
menikmati sumber daya alam dan kue pembangunan, adalah kelompok yang oleh
berbagai media massa terutama media sosial yang sangat luas jaringan dan
jangkauannya, dicirikan dan disebut Asing–Aseng, yang tiada lain adalah
orang-orang asing dan WNI keturunan Cina, yang secara kebetulan dalam keyakinan
beragama juga banyak berbeda dengan mayoritas penduduk.
Jadi berbeda dengan kaum minoritas
di banyak negara lain yang hanya mengandung satu unsur minoritas misalnya
suku/ras saja atau hanya agama saja, di Indonesia tidak demikian halnya. Mereka
mengumpulkan dua unsur minoritas sekaligus yaitu suku/ras dan agama, sehingga
dengan demikian potensi kerawanan sosialnya jauh lebih besar.
Posisi strategis Asing - Aseng
khususnya WNI keturunan Cina yang non muslim pada kegiatan ekonomi, dalam
praktek kehidupan adalah merupakan kekuasaan potensial dan aktual, yang
selanjutnya mudah merambah ke penguasaan sumber daya alam, penguasaan media
massa kemudian ke politik dan pemerintahan dan lain sebagainya, yang apabila
tidak diatasi secara sistemis strategis, maka akan menjadi gurita kekuasaan
yang mendominasi. Padahal dominasi hanya akan melahirkan pertentangan. Cepat
atau lambat, dominasi akan membangkitkan perlawanan.
Demi ikut mewujudkan persatuan dan
keharmonisan nasional antara lain dengan mengantisipasi dan mengatasi
kesenjangan sosial ekonomi yang menajam, serta dominasi kekuasaan yang berbasis
ekonomi yang diwarnai dengan perbedaan SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan)
tersebutlah maka Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) pada tahun 1991 didirikan.
Dalam berbagai kesempatan, para
pendiri YHKO disamping berusaha keras mewujudkan pembauran, juga berkeyakinan
dan oleh sebab itu selalu menyatakan bahwa Indonesia harus memiliki pribumi
yang kuat, karena pribumi yang kuat merupakan kunci pembauran. Untuk itu pula
Pemerintah harus memiliki serta melaksanakan kebijakan strategis yang
menyeluruh dan terpadu, bukan hanya bersifat tambal sulam, emosional, dan
manipulatif, serta tidak pernah menyentuh persoalan utama yakni penguasaan modal
yang menyebabkan peta kompetisi menjadi sangat tidak seimbang. Yang juga tidak
kalah penting, adalah secara sungguh- sungguh tidak pandang bulu, memberantas
KKN (Korupsi – Kolusi - Nepotisme).
KEJAYAAN & KEHANCURAN PERADABAN.
Para pendiri Yayasan Karim Oei
memahami sejarah panjang dunia termasuk Indonesia, yang mengajarkan adanya
siklus kejajayaan dan kehancuran nan silih berganti tanpa henti akibat bencana
alam, perang dengan negara lain, perang saudara ataupun karena pergolakan-pergolakan
di dalam negara bahkan juga akibat kemerosotan peradabannya. Demikian pula
sejarah Nusantara.
Sejumlah peninggalan sejarah di
Indonesia membuktikan pernah berlangsungnya peradaban tinggi misalkan sejumlah
candi di pegunungan tinggi Dieng, candi Borobudur, puluhan candi di Prambanan
dan puing-puing rerentuhan Keraton Boko, semuanya di Jawa Tengah. Sementara itu
sejumlah candi serta bukti peninggalan peradaban yang sudah maju lainnya, juga
terdapat di berbagai pelosok Nusantara.
Di bidang pelayaran dan perdagangan,
beberapa sumber tulisan dari Barat sebagaimana dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas
Walisongo, Pustaka IIMaN, Trans Pustaka dan LTN PBNU, 2012, menyatakan pada
tahun 70-an Masehi, cengkih dari kepulauan Maluku sudah diperdagangkan di Roma,
dan semenjak abad ketiga Masehi, perahu-perahu dari kepulauan Nusantara telah
menyinggahi anak benua India serta pantai timur Afrika, dan sebagian di
antaranya bermigrasi ke Madagaskar.
Bukan hanya dari para pencatat
perjalanan orang-orang Barat saja, kisah pelayaran tadi juga bisa ditemukan di
relief Candi Borobudur. Pada tahun 2003, pengrajin kapal dari Madura telah
membuktikan kehandalan perahu di relief candi tersebut, dengan membuat
tiruannya, sekaligus napaktilas pelayarannya. Kapal yang dinamai “Samudraraksa”
ini berlayar ke Afrika dengan selamat dan kini disimpan di Musium Kapal
Samudraraksa di Borobudur. (http://
www.tempo.co/read/news/2003/07/03/05521575/Ekspedisi-Kapal-Borobudur- Dapat -Memberdayakan
- Budaya dan http://setuparch.blogspot.com/2013/09/ kapal -
kapal-sriwijaya.html ). Replika berikutnya diberi nama “Spirit of Majapahit”,
diluncurkan menuju Jepang dari dermaga Marina, Jakarta pada 4 Juli 2010.
(http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=67324).
Pencatat sejarah China anak buah Fa
Hsien di akhir abad III dan awal abad IV Masehi menerangkan pula bahwa
pelaut-pelaut Nusantara memiliki kapal-kapal besar yang panjangnya sekitar 200
kaki (65 meter), tinggi 20 – 30 kaki (7 – 10 meter) dan mampu dimuati 600 – 700
orang ditambah muatan seberat 10.000 hou. Sementara pada masa itu panjang jung
China tidak sampai 100 kaki (30 meter) dengan tinggi kurang dari 10 – 20 kaki
(3 – 7 meter). Catatan yang ditulis dalam Tu Kiu Kie ini telah dikutip oleh
banyak ahli yang mempelajari sejarah agama Buddha maupun Asia Tenggara di masa
lalu.
Ahli Javanologi Belanda, Van Hien
tahun 1920 dalam De Javansche Geestenwereld, yang disadur secara bebas oleh
Capt. R.P. Suyono dalam Dunia Mistik Orang Jawa, penerbit LkiS Yogyakarta 2007
halaman 12, menerangkan Shi Fa Hian (Fa Hsien) dalam perjalanannya pulang ke
China diserang badai dan terdampar di pantai Jawa. Ia berdiam lima bulan di
Jawa, menunggu selesainya pembuatan sebuah kapal besar yang sama dengan
kapalnya yang rusak dihantam badai (juga Atlas Walisongo halaman 20).
Berbagai catatan sejarah menyatakan,
pada sekitar abad VII – XII Masehi, di pulau Sumatera juga berlangsung
pemerintahan Kerajaan Sriwijaya yang kekuasaannya meliputi Asia Tenggara
termasuk pulau Jawa. Puncak kejayaan Sriwijaya terjadi pada abad VIII.
Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M),
seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan
sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah,
yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yangdapat
menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya.
Surat itu dikutip dalam Al-‘Iqd
Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan
redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah
karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir” Dari Raja sekalian para raja
yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari
ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah
kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah
wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil.
Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah
mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan.
Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan
segala hukum-hukumnya kepadaku.” (Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar
bin Abdul Aziz. http://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya, 1 Mei 2015 pukul 18.45
).
Bukti tentang peradaban yang cukup
maju lainnya ditemukan pula melalui berbagai prasasti dan kondisi lapangan,
yang men- jelaskan mengenai setidaknya ada lima sistem irigasi yang tertata
baik, yang dibangun pada rentang periode abad 9 sampai 14 di lembah Sungai
Brantas, Jawa Timur (1000 Tahun Nusantara, Kompas 2000, hal 128).
Pun demikian kondisi pada sekitar
abad XV – XVI, tatkala para ulama gencar berdakwah ke Nusantara. Pamor Kerajaan
Nusantara Majapahit yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur, memang sedang
memudar, bahkan kekuasaannya mulai runtuh. Meskipun demikian gambaran kebesaran
peradabannya dicatat oleh pengembara Portugis tahun 1512 – 1515 Tome Pires
dalam karyanya yang sangat terkenal dan sering menjadi sumber rujukan sejarah
Asia Tenggara, Suma Oriental (dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit
oleh Prof. Dr. Slamet Mulyana, Inti Idayu Press, Jakarta 1983 halaman 282, 283
dan seterusnya). Menurut Tome Pires, Sultan Malaka yang bergelar Raja Muzaffar Syah
(1450 – 1458) serta puteranya yaitu Raja Mansyur Syah (1458 – 1477), sebagai
raja bawahan Jawa, memiliki hubungan yang baik dengan Jawa. Bahkan untuk
keperluan menunaikan ibadah haji ke Mekah, Raja Mansyur Syah memesan jung besar
dari Jawa.
Demikianlah, dari sekilas gambaran
tadi kita bisa mempelajari siklus kejajayaan dan kehancuran negeri kita di masa
lampau sampai menjadi negara modern Indonesia sekarang ini, yang sudah barang
tentu memakan korban yang tidak sedikit. Kita tidak ingin kesenjangan sosial
ekonomi yang disertai unsur-unsur SARA menerpa Indonesia yang sekarang, yang
sedang mengalami ledakan penduduk menjadi sekitar 250 juta jiwa ini. Harus kita
syukuri, telah banyak kemajuan dan hal-hal postif yang kita capai. Namun begitu
masih banyak lagi tantangan dan ancaman di depan mata yang kita hadapi, yang
semoga dengan ridho dan berkah Tuhan Yang Maha Kuasa, akan kita atasi dengan
kerja keras, cepat dan tepat.
Kenyataan yang menuntut antisipasi
penanganan yang cepat dan tepat tersebut, mendorong Rapat Badan Pembina dan
Pengurus Karim Oei akhir 2015 yang lalu, untuk meningkatkan sumbangsihnya
dengan antara lain menerbitkan buku, yang kemudian kami beri judul : “Yayasan H
Karim Oei & Masjid Lautze : RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA dan KETURUNAN
TIONGHOA.”, sekaligus mensyukuri ulang tahun YHKO yang ke 25 (duapuluh lima),
pada tanggal 9 April 2016. (Pengantar
buku: Yayasan H.Karim Oei & Masjid
Lautze : RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA & KETURUNAN TIONGHOA, penerbit Teplok
Press, telp 081382896969. Yayasan Karim Oei : 0216257413 dan 085717649127)
1 Komentar:
Artikel kamu bagus gan! aku selalu menunggu artikel kamu.. Seperti artikel berjudul Tafsir Mimpi susu
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda