Jumat, 20 April 2018

Catatan Perjalanan ke Tanjung Harapan (III-3): PULAU 'PENJARA' ROBBEN, SEPERTI APA.


Pulau “Penjara” Robben, Seperti Apa.



Foto: Menara dan Gedung Musem Nelson Mandela di kota pelabuhan Waterfront Victoria. Dari dermaga di balik gedung tersebut wisatawan berangkat dan kembali dari Pulau Robben.


Belanda menyebut sebuah pulau kecil yang gersang yang berjarak beberapa kilometer dari pantai Cape Town, dengan nama pulau Robben atau Robin yang berarti pulau Anjing Laut. Karena pada saat itu di pantai dan lautan sekitar pulau tersebut banyak  dijumpai anjing laut dan juga burung penguin khas Afrika.

Daging kedua jenis hewan tadi sangat bermanfaat sebagai bahan makanan bagi orang-orang Eropa yang singgah di pulau Robben untuk menambah persediaan makanan dalam perjalanan selanjutnya, sedangkan bulu anjing laut dijual di Eropa sebagai bahan pakaian. Di kemudian hari, penguasa Pulau Robben juga mendatangkan domba untuk digemukkan sebelum dipotong.

Tentang jarak antara pantai Cape Town dan Pulau Robben, sejumlah buku dan referensi menuliskan angka yang berbeda. Hal itu mungkin terjadi lantaran perbedaan titik ukur di Teluk Meja di pantai Cape Town. Buku Robben Island, A Place of Inspiration: Mandela’s Prison Island  menyebutkan angka 11 kilometer. Buku The Island menyebut beberapa kilometer. Buku Robben Island, Out of Despair, Hope menyebut 9,67 km. Robben Island, Wikipedia  yang diunggah awal September 2017 menyebut 6,9 km diukur dari pantai dekat Bloubergstrand. Sedangkan dalam Robben Islan, New World Encyclopedia disebutkan sejauh 5 mil atau 8 km.

Meski angka jarak berbeda-beda, hampir semua sumber referensi menyebut waktu tempuh perjalanan dengan kapal ferry yang hampir sama, yakni sekitar setengah jam tergantung cuaca. Perjalanan penulis sendiri pada hari Rabu yang cerah,  11 Oktober 2017, baik berangkat maupun pulangnya memakan waktu masing-masing sekitar 28 menit, tidak termasuk waktu tunggu.

Pulau yang anjing lautnya sudah sangat sedikit namun dua-tiga ekor masih kelihatan dari jendela kapal ferry ini, berbentuk oval dan nyaris datar dengan titik tertinggi 24 meter di atas permukaan laut, dengan panjang utara – selatan sekitar 3 km dan lebar barat – timur sekitar 2 km, meliputi area seluas sekitar 507 hektar dengan lapisan bebatuan utama kapur dan lapisan batu sabak biru. Kata sekitar juga harus penulis pakai untuk menyebut ukuran pulau ini, mengingat beberapa sumber bahan bacaan pun menyebutkan angka-angka yang tidak sama.

Kedua jenis lapisan bebatuan utama itulah yang diambil sebagai bahan galian tambang terbuka untuk membangun benteng di Cape Town oleh Jan van Riebeeck, serta berbagai bangunan bahkan jalanan baik di Cape Town maupun pulau Robben sendiri. Nelson Mandela sewaktu dipenjara selama 18 tahun di sana, hampir setiap hari juga bekerja menambang atau membelah batu yang sudah ditambang, meski matahari bersinar terik. Tidak mengherankan banyak tahanan dan mantan tahanan yang menderita gangguan mata permanen.

Karena tidak memiliki tanaman asli yang berbatang keras, tak pelak lagi pulau Robben pada awalnya adalah pulau yang gersang dan tandus. Waktu kunjungan yang tidak lebih dari dua jam, membuat penulis kekurangan waktu untuk mengetahui bagaimana sumber air bersih di pulau ini, sejak dahulu sampai sekarang. Tapi dari informasi sepintas yang masih harus dicek, air bersih sebagai sumber air minum didatangkan dari Cape Town, yang pada saat saya berkunjung bulan Oktober 2017 juga sedang menghadapi kekurangan suplai. Kabarnya, di pulau Robben sedang akan dibangun sarana pengolahan air laut menjadi air bersih bagi keperluan sehari-hari.

Di kemudian hari terutama pada abad ke 20, beberapa jenis flora dan fauna didatangkan ke pulau Robben yang gersang tersebut. Hewan –hewan itu antara lain beberapa jenis rusa dan kelinci Eropa untuk diambil dagingnya. Di pulau ini kelinci Eropa dengan cepat berkembang biak.

Meski langka hewan darat berkaki empat, pulau Robben kaya dengan aneka jenis burung dan bahan makanan yang bersumber dari laut termasuk oyster dan abalone. Maka tak mengherankan bila para penulis wisata mengibaratkan berjalan-jalan di Pulau Robben, bagaikan berada di dalam sangkar burung, yang kini mencapai sekitar 150 spesies. Khusus untuk abalone, area laut di sekitar pulau sekarang ini dijadikan area penangkaran dan perlindungan abalone. Juga bagi anjing laut dan burung penguin khas Afrika. Penguin Afrika berukuran jauh lebih kecil yakni berat dewasa sekitar 3 kg dengan tinggi antara 60 cm – 70 cm, dibanding penguin Antartika yang bisa berukuran berat 35 kg dengan tinggi lebih dari satu meter.

Semenjak pada akhir abad ke 15, Bartolomeu Dias dan  Joao del Infanto menjadikan pulau tandus di ujung Selatan Afrika ini sebagai pangkalan peristirahatan armada-armada Portugis setelah mengarungi Samudra Atlantis, dan bagi Vasco da Gama  sebelum menjelajah Samudara Hindia. Jejak itu diikuti armada-armada  laut bangsa-bangsa Eropa lainnya yang tertarik mencari peruntungan ke Asia dan Timur Jauh. Bebatuan di lautan sekitar Afrika Selatan yang dikenal ganas dan sudah memakan banyak korban kapal-kapal Eropa, membuat pulau Robben sangat ideal untuk beristirahat, memperbaiki kerusakan-kerusakan kapal dan menambah perbekalan makanan, khususnya daging yang tinggal mengambil dari berburu anjing laut, burung penguin dan penyu. Pada awal abad ke 17, tak kurang dari 4.005 lembar kulit anjing laut telah diekspor oleh Jacob le Maire dan kawan-kawan ke Eropa (Robben Islan, A Place of Inspiration: Mandela’s Prosin Island hal 17).

Rintisan Vasco da Gama dilanjutkan dan dikokohkan oleh dwi fungsi pengusaha-penguasa Belanda  Jan van Riebeeck secara lebih terencana dan sistemis, yang bahkan dikembangkan menjadi pulau penjara sekaligus pengasingan bagi penduduk pribumi Afrika Selatan dan pribumi Nusantara yang menolak serta melawan dominasi kekuasaan Belanda yang berkedok perusahaan dagang.

Statusnya sebagai pulau penjara sesungguhnya sudah dimulai oleh Portugis pada 1525. Sedangkan bagi Belanda, tahun 1658 menjadi awal penjara politik bagi penduduk pribumi Afrika yang bernama Autshumato. Tahun 1671 juga tercatat ada lima penduduk pribumi Afrika Selatan yang ditahan di sini, yang dari waktu ke waktu terus bertambah. Hampir bersamaan dengan itu digunakan sebagai lahan pertanian serta penggemukan bagi sapi, domba dan babi. Ironisnya hewan-hewan ternak itu memperoleh perlakuan yang lebih baik dibanding para terpidana, yang bahkan ada yang harus dipotong telinganya dan dirantai lantaran hanya mencuri sayuran.

Pada tahun 1681, Belanda membawa para tahanan dan budak-paksa dari kepulauan Nusantara, India dan Sri Lanka. Tahun 1744 Belanda membuang dua ulama dari Kraton Kartasura, yaitu Kyai Haji Mataram dan seorang ulama keturunan Arab, Sayed Alawie. Mereka diangkut dengan kapal yang berangkat dari Batavia, sekarang Jakarta. Tahun berikutnya Haji Mataram wafat. Namun tak seberapa lama berturut-turut tiba Raja dari Madura, Pangeran Cakraningrat IV dan juga seorang Pangeran dari Makassar, Daeng Mangenan. Tahun 1769, datang lagi Raja Bolaang Mangondow, Eugenius Manopo. Berbeda dengan tahanan lainnya, Eugenius Manopo memperoleh tunjangan selama dua dasawarsa sebesar 36 rix dollar setahun, serta diijinkan untuk membangun pondok sederhana.

Selanjutnya pada 1788 tiba Pangeran Achmet dari Ternate, namun kemudian dipulangkan kembali ke tanah air.  Penguasa Belanda di Afrika Selatan memiliki arsip yang memuat daftar orang-orang yang ditahan di Pulau Robben. Pertama adalah Cape Archives CA CJ 3188 untuk rentang waktu 1728 -1795.Kedua, CA CJ 3189 untuk periode 1758 – 1802, namun kenyataan memuat sampai tahun 1806.

Pangeran Cakraningrat yang sewaktu dalam tahanan menggunakan nama Abdurahman Moturu atau Abdurahman dari Madura,  oleh masyarakat muslim Cape Town dikenal sangat legendaris. Beberapa buku yang menuliskan namanya, menyebutkan ia mempunyai kemampuan supra natural yang luar biasa, bisa berjalan di atas air dan mampu menembus pintu-pintu tertutup, datang dan pergi kapan dia mau, untuk membantu terutama mengobati tahanan-tahanan yang membutuhkan pertolongannya.

Sejak dikelola oleh Belanda pada 1652, status pulau Robben adalah milik negara yang tidak bebas dikunjungi oleh sembarang orang, lebih-lebih setelah berfungsi sebagai pulau penjara, beralih menjadi pulau karantina bagi penderita lepra, penyakit mental, serta penyakit kronis dan menular lainnya pada periode 1846 – 1931, menjadi daerah militer antara 1931 – 1960, dan sesudah itu kembali menjadi penjara, bahkan ditingkatkan menjadi penjara dengan pengamanan maksimum semenjak 1964.

Sesuai fungsinya sebagai tempat karantina bagi penderita lepra, di pulau ini terdapat tidak kurang dari 1.500 makam mereka. Namun sejalan dengan itu, juga mulai ditanam pohon-pohon tanaman keras sebagai pohon pelindung.
Sebagai wilayah militer, selama Perang Dunia II  pulau Robben dilengkapi dengan meriam-meriam tipe BL 9,2 inci dan 6 inci. Meriam BL 9,2 adalah meriam pertahanan buatan Inggris yang lazim dipakai oleh angkatan laut dan pertahanan pantai, yang terdiri dari tipe Mk I – Mk VII, dengan  variasi kemampuan jarak tembak dari belasan ribu meter sampai sekitar 26.700 meter.

Bersamaan dengan kembali berfungsi sebagai penjara, kunjungan ke pulau Robben diperketat, termasuk kedatangan orang-orang muslim yang ingin menziarahi makam Pangeran Cakraningrat.

Penduduk, atau lebih tepat disebut penghuni pulau Robben mencapai jumlah tertinggi, yaitu lebih dari 2.000 jiwa pada awal dekade abad 20. Selama periode 1962 sampai 1991, tak kurang dari 3.000 orang tahanan politik telah dipenjara di pulau ini.

Perjalanan sejarah mulai berubah tatkala Presiden FW de Klerk yang dilantik pada September 1989, berjuang mengakhiri pemerintahan rasial dan membebaskan Nelson Mandela pada 11 Februari 1990.

Nelson Mandela telah menghuni penjara pulau Robben selama 18 tahun dari keseluruhan masa tahanannya selama 27 tahun. Segera sesudah itu seluruh tahanan politik dibebaskan. Tahanan politik terakhir meninggalkan penjara pulau Robben pada Mei 1991. Semenjak itu penghuni pulau Robben merosot drastis. Pada Maret 2009 penduduknya hanya tingga 120 jiwa, sebagian besar para mantan tahanan, yang tinggal untuk menjadi pemandu wisata dan mengurus pulau berikut segenap bangunan dan isinya, termasuk 8 (delapan) gereja dan satu kramat, yaitu makam P.Cakraningrat yang dikeramatkan, yang sekaligus berfungsi sebagai musholla.

Pada tahun 1997, Pemerintah Afrika Selatan menetapkan penjara pulau Robben menjadi museum, dan pada 1 Desember 1999 United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESC0) atau Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, menetapkan pulau Robben sebagai situs warisan dunia.

Pulau dengan penjaranya itu menyimpan sejarah kelam, namun sekaligus juga merupakan simbol kemenangan dari semangat perjuangan mewujudkan kebebasan dan demokrasi melawan penindasan.  Tak pelak lagi, ribuan wisatawan sepanjang tahun mengunjungi penjara pulau yang bagi Nelson Mandela dan para politisi, dianggap sebagai pulau sumber inspirasi politik.
Pulau Robben pada Rabu 11 Oktober 2017, menurut pengemudi sekaligus pemandu wisata kami Ilyas Salie, dihuni sekitar 200 jiwa termasuk keluarganya. Ilyas adalah seorang muslim dengan dua anak, dan anak laki-lakinya ia beri nama Abdurahman, samadengan nama Pangeran Cakraningrat semasa di Pulau Robben.

Catatan: Seri tulisan ini merupakan Bagian III dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini menceritakan perjalanan wisata ziarah ke negeri yang di dalam pelajaran sejarah disebut Tanjung Harapan. Bagaimana menuju negeri tersebut, memesan hotel, kendaraan, mencari pemandu wisata dan makanan halal serta mengamati tempat-tempat yang kita kunjungi. Semoga anda wahai pembaca memperoleh anugerahNya untuk berwisata menziarahi para pahlawan kita di negeri orang nun jauh ini. Aamiin. (Bersambung). 



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda