Selasa, 24 April 2018

Catatan Perjalanan ke Tanjung Harapan (III-6) : MAKAM KERAMAT SUMBER INSPIRASI NELSON MANDELA


Makam Keramat Sumber Inspirasi Nelson Mandela.



Di sudut kiri depan halaman penjara, berdiri satu menara pengawas berdinding batu nan kokoh, dan di samping kiri menara tersebut berdiri sebuah bangunan lazimnya sebuah masjid, berkubah hijau. Dari jauh bagaikan sebuah masjid dengan menaranya. Itulah kramat yang di dalamnya di makamkan jenazah pahlawan Nusantara dari pulau Madura, Pangeran Cakraningrat IV.

Di pulau penjara ini, entah karena dilarang Belanda atau entah kenapa, ia mengganti nama menjadi Abdurrahman dari Madura, yang kemudian lebih terkenal sebagai Sheik Sayed Abdurachman Motura. Tapi boleh jadi itu juga salah satu namanya, karena bangsawan-bangsawan Madura, juga bangsawan Jawa di masa kesultanan atau kasunanan,  pada umumnya memang mempunyai nama lahir, nama panggilan, nama sewaktu muda dan nama sesudah dewasa atau saat memangku jabatan penting. Bagi trah Cakraningrat yang dari garis ibu merupakan keturunan Sunan Giri, dari beberapa contoh yang tercatat menggunakan nama Arab. Misalkan cucu kedua Cakraningrat IV bernama Raden Abdurrahman, sama dengan yang dipakai Cakraningrat tatkala di pulau Robben. Cucu yang bernama Raden Abdurrahman ini ketika beranjak muda menjadi Pangeran Tawang Alun dan begitu naik tahta tahun 1780 – 1815, bergelar Sultan Cakra Adiningrat I atau kerap pula dipanggil Sultan Abduh, dari nama Abdurrahman. (Menyingkap Tabir Sejarah Kerajaan Madura Barat). Boleh jadi sebagai pengobat rindu, Pangeran Cakraningrat IV memakai nama cucunya menjadi nama sebutan bagi pengganti namanya sendiri.

Di berbagai buku dan tulisan tentang sejarah perkembangan Islam di CapeTown, ada beberapa cara penulisan nama Pangeran Cakraningrat. Penulisan yang pertama di atas, yaitu Sayed Abdurachman Motura, adalah yang tertera pada tembok makamnya. Tetapi pada dua plakat yang menempel di dinding dalam bangunan juga berbeda lagi penulisannya. Yang dibuat oleh Organisasi Pengelola Keramat, tertulis Sayed Abdurahman Motura, sedangkan yang dibuat penguasa Afrika Selatan 11 Mei 1969, dan ini adalah pembangunan pelestarian makam P.Cakraningrat yang pertama, tertulis Sayed Abdurahmen Motura.

Di sejumlah buku dan tulisan, kita juga bisa menjumpai Abdurahman Moturu atau Abdurahman Matarah atau Tuan Matarah. Ada pula yang menulis Hadje Mattaram dan Sheikh Madura – King, Prince, Pangeran or Raja of Madura. Nampaknya disamping karena tergantung latar belakang bahasa ibu masyarakat Afrika Selatan yang memang beraneka macam, ada Belanda, Inggris, Melayu tempo dulu dan bahasa penduduk-penduduk pribumi, juga timbul kerancuan antara Kyai Haji Mataram yang tiba tahun 1744 dan wafat pada tahun berikutnya, dengan Raja Madura yang wafat tahun 1754. Dari berbagai sumber referensi, yang cukup jelas membedakan antara keduanya adalah buku The Island, A History of Robben Island 1488 – 1990.

Perihal makam Pangeran Cakraningrat ini ada keunikan, sama halnya dengan makam seorang Pahlawan Nusantara lainnya di Cape Town yaitu Syeh Yusuf. Makam Pangeran Cakraningrat selain di Pulau Robben juga terdapat di Kompleks Makam Ratu Ibu atau juga Kompleks Makam Cakraningrat di Aer Mata, Arosbaya, Bangkalan, Madura.  Demikian pula makam Syeh Yusuf, selain di Cape Town menurut sebuah tulisan bahkan juga ada di lima tempat yaitu Srilanka, Banten, Sumenep dan Makassar. (http://gosulsel.com/2016/09/16/misteri-5-makam-syekh-yusuf-ulama-besar-sulawesi-selatan/) . Tapi dari yang penulis ketahui yang di Banten itu bukan makam Syeh Yusuf, melainkan Sultan Banten II Maulana Yusuf, yang berada di Sunyatan, Pekalangan Gede, Kasemen, Serang, Banten.

Menurut cerita, ketika wafat jenazah kedua bangsawan Nusantara yang berperang melawan penjajahan Perusahaan Dagang Belanda diminta oleh keluarganya untuk dikirim pulang ke tanah kelahirannya. Namun sejumlah pengamat menyangsikan apakah benar jenazah yang kemudian dimakamkan di Indonesia tersebut adalah jenazah yang sebenarnya.

Makam kembar seperti itu juga berlaku terhadap Dea Koasa sebagaimana disinggungung di bagian II bab Syeh Yusuf & Kampung Makasar di Afrika Selatan, yaitu satu di Simon’s Town di wilayah Cape dan satu lagi di Pemakaman Sampar, Sumbawa.

Bagi penulis hal itu tidaklah terlalu penting, meskipun akan lebih baik apabila kelak ada suatu penelitian sejarah yang mengungkapkan apa dan bagaimana yang sebenarnya. Di Jawa sendiri, makam dan petilasan tokoh terutama wali penyebar agama Islam pun ada beberapa yang seperti itu, dijumpai di beberapa kota yang berbeda. Sebagai contoh makam Sunan Bonang. Satu berada di Rembang, satu di Tuban dan satu lagi di pulau Bawean. Sesuai kelaziman di Indonesia, yang disebut makam atau kuburan adalah tempat di mana jenazah dimakamkan atau dikuburkan, sedangkan petilasan adalah tempat yang dimuliakan, di mana seseorang tokoh pernah singgah atau tinggal di tempat tersebut.

Kunjungan ke situs-situs tersebut buat penulis bukanlah untuk mengkultuskan apalagi memuja guna meminta pertolongan, melainkan untuk mengenang sejarah perjuangannya, mengenang jasa-jasanya, berusaha mengambil hikmah atas kehidupan dan perjuangannya, serta menghaturkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah menganugerahkan tokoh tersebut kepada kita dan memanjatkan doa untuknya. Semua itu sesungguhnya bisa dilakukan di mana saja, tetapi dengan mengunjungi langsung situs-situsnya, penghayatan ziarah kita menjadi lebih total karena menyatunya jiwa raga, menyertakan kehadiran perasaan hati dengan jasmani dalam tempo yang sama.

Kehidupan Pangeran Cakraningrat bagi masyarakat Cape Town seperti melegenda. Beberapa tulisan di internet maupun sejumlah buku menyebut ia memiliki kemampuan supranatural yang luar biasa. Ia menerima secara ikhlas penahanannya dengan tekun mendekatkan diri kepada Gusti Allah Tuhan Yang Maha Esa, meskipun jika mau ia bisa bebas dan pergi ke mana pun sekehendak hati. Bagi orang-orang yang percaya pada kemampuan supranatural, ia bagaikan memiliki “ilmu melipat bumi”, yaitu kemampuan pergi kemana saja di permukaan bumi hanya dalam sekejap, karena bumi seakan terlipat pendek dalam jangkauan langkah kakinya.

Ia juga dipercaya bisa berjalan di atas air menyeberangi lautan untuk mengunjungi kenalannya di Cape Town, dan keluar masuk kamar tahanan yang terkunci tanpa membuka pintunya, demi membantu narapidana lain yang membutuhkan pertolongannya, terutama yang sedang sakit. Tak mengherankan banyak para narapidana politik khususnya yang beragama Islam, menyempatkan berziarah ke makamnya sewaktu dibebaskan, guna memberikan penghormatan sebelum meninggalkan Pulau Robben (Robben Island, A Place ig Inspiration: Mandela’s Prison Island ; Kramats of The Western Cape; South Africa Travel News, Visit these 5 Popular Kramats in Cape Town – The Circle Of Kramats, SA-Venues.com).

Bagi Nelson Mandela, Pangeran Cakraningrat bukanlah sekedar kemampuan supranaturalnya, melainkan sebagai sumber inspirasi di masa-masa tatkala menghadapi keputusasaan. Cakraningrat adalah tahanan politik gelombang pertama dan juga merupakan satu dari bapak pendiri atau pengembang Islam di Afrika Selatan, satu dari sejumlah tokoh yang diasingkan karena melawan penguasa kolonial. (Senior Manager Tourism Services dalam Kramats Of The Western Cape dan Pidato Nelson Mandela di Sheldonian Theatre, Oxford, Inggris 11 Juli 1997).

Dalam Nelson Mandela The Authorised Biography, Anthony Sampson, ia juga menceritakan selama di penjara pulau Robben para tahanan menyelenggarakan acara keagamaan mingguan dengan khotbah para alim ulama dari berbagai agama yang sempat berlangsung selama 3 tahun. Banyak yang menyenangi acara yang diisi oleh ulama Islam sehingga akhirnya banyak yang menyatakan memeluk Islam. Tatkala 24 narapidana mendadak menyatakan diri sebagai mualaf dan memeluk Islam, kegiatan tersebut langsung dihentikan. Tetapi Mandela bersyukur “karena dengan acara-acara itu bisa memanfaatkan peluang belajar lebih banyak tentang agama yang telah mempengaruhi banyak kawannya. Ia bahkan memperoleh izin dan terpesona mengunjungi masjid di pulau Robben yang  didirikan sebagai penghormatan untuk salah seorang pahlawan Muslim di Afrika Selatan, Syekh Mantura, yang dibuang ke pulau itu pada 1744 dan meninggal di sana.”

Penghargaan Nelson Mandela kepada Pangeran Cakraningrat rupanya juga didengar oleh Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra yang kemudian dia tulis dan dimuat di berbagai media massa baik cetak maupun on line pada Desember 2013 antara lain sebagai berikut:

“Suatu hari saya pergi ke Afrika Selatan sebagai menteri Kehakiman RI. Saya menghadiri Konvensi PBB di sana. Saya bertemu Mandela, Yasser Arafat dan Fidel Castro di Johannesburg. Mandela mengatakan kepada saya tentang sebuah kuburan di Pulau Robben, tempat dia pernah dipenjarakan, yang menjadi misteri baginya.

Dalam sebuah kesempatan di kunjungan kedua saya ke Afsel, saya menyempatkan diri datang ke pulau Robben di lepas pantai Cape Town . Di sana rupanya ada sebuah penjara yang berdiri sejak Belanda menguasai Afrika Selatan abad 16. Di pulau Robben itulah Mandela dipenjara selama 29 tahun oleh regim apartheid.

Begitu saya mendarat di pulau Robin, persis di depan gerbang penjara ada sebuah kuburan yang dikeramatkan oleh kaum muslimin di sana. Saya pun datang ke kuburan keramat yang ada mushollanya itu untuk sholat ashar. Beberapa jemaah tertarik melihat saya datang ke kuburan itu, yang banyak sekali asap dupanya.

Seorang jemaah bertanya pada saya apakah saya orang Indonesia. Saya jawab, ‘Ya’. Dia mengatakan bahwa dia keturunan Melayu. Orang itu mengatakan bahwa ketika Mandela dibebaskan dari penjara, dia mampir ke kuburan keramat itu. Mandela berkata, ‘Apalah artinya saya dipenjara di pulau ini selama 29 tahun, dibanding orang ini, sambal menunjuk ke kubur keramat itu. Orang ini, kata Mandela,saya tidak tahu dari mana asalnya. Nampaknya dia seorang pejuang di negerinya  sehingga dia begitu dihormati. Orang ini dipenjarakan penjajah sampai dia mati di pulau ini. Dia tak pernah pulang ke negerinya.’ ” Demikian tulis Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra.

Catatan: Seri tulisan ini merupakan Bagian III dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini menceritakan perjalanan wisata ziarah ke negeri yang di dalam pelajaran sejarah disebut Tanjung Harapan. Bagaimana menuju negeri tersebut, memesan hotel, kendaraan, mencari pemandu wisata dan makanan halal serta mengamati tempat-tempat yang kita kunjungi. Semoga anda wahai pembaca memperoleh anugerahNya untuk berwisata menziarahi para pahlawan kita di negeri orang nun jauh ini. Aamiin. (Bersambung). 



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda