Makam
Keramat Sumber Inspirasi Nelson Mandela.
Di sudut kiri depan halaman penjara, berdiri satu menara
pengawas berdinding batu nan kokoh, dan di samping kiri menara tersebut berdiri
sebuah bangunan lazimnya sebuah masjid, berkubah hijau. Dari jauh bagaikan
sebuah masjid dengan menaranya. Itulah kramat yang di dalamnya di makamkan
jenazah pahlawan Nusantara dari pulau Madura, Pangeran Cakraningrat IV.
Di pulau penjara ini, entah karena dilarang Belanda atau
entah kenapa, ia mengganti nama menjadi Abdurrahman dari Madura, yang kemudian
lebih terkenal sebagai Sheik Sayed Abdurachman Motura. Tapi boleh jadi itu juga
salah satu namanya, karena bangsawan-bangsawan Madura, juga bangsawan Jawa di
masa kesultanan atau kasunanan, pada
umumnya memang mempunyai nama lahir, nama panggilan, nama sewaktu muda dan nama
sesudah dewasa atau saat memangku jabatan penting. Bagi trah Cakraningrat yang
dari garis ibu merupakan keturunan Sunan Giri, dari beberapa contoh yang
tercatat menggunakan nama Arab. Misalkan cucu kedua Cakraningrat IV bernama
Raden Abdurrahman, sama dengan yang dipakai Cakraningrat tatkala di pulau
Robben. Cucu yang bernama Raden Abdurrahman ini ketika beranjak muda menjadi
Pangeran Tawang Alun dan begitu naik tahta tahun 1780 – 1815, bergelar Sultan
Cakra Adiningrat I atau kerap pula dipanggil Sultan Abduh, dari nama
Abdurrahman. (Menyingkap Tabir Sejarah
Kerajaan Madura Barat). Boleh jadi sebagai pengobat rindu, Pangeran
Cakraningrat IV memakai nama cucunya menjadi nama sebutan bagi pengganti
namanya sendiri.
Di berbagai buku dan tulisan tentang sejarah
perkembangan Islam di CapeTown, ada beberapa cara penulisan nama Pangeran
Cakraningrat. Penulisan yang pertama di atas, yaitu Sayed Abdurachman Motura,
adalah yang tertera pada tembok makamnya. Tetapi pada dua plakat yang menempel
di dinding dalam bangunan juga berbeda lagi penulisannya. Yang dibuat oleh
Organisasi Pengelola Keramat, tertulis Sayed Abdurahman Motura, sedangkan yang
dibuat penguasa Afrika Selatan 11 Mei 1969, dan ini adalah pembangunan
pelestarian makam P.Cakraningrat yang pertama, tertulis Sayed Abdurahmen
Motura.
Di sejumlah buku dan tulisan, kita juga bisa menjumpai
Abdurahman Moturu atau Abdurahman Matarah atau Tuan Matarah. Ada pula yang
menulis Hadje Mattaram dan Sheikh Madura – King, Prince, Pangeran or Raja of
Madura. Nampaknya disamping karena tergantung latar belakang bahasa ibu
masyarakat Afrika Selatan yang memang beraneka macam, ada Belanda, Inggris,
Melayu tempo dulu dan bahasa penduduk-penduduk pribumi, juga timbul kerancuan
antara Kyai Haji Mataram yang tiba tahun 1744 dan wafat pada tahun berikutnya,
dengan Raja Madura yang wafat tahun 1754. Dari berbagai sumber referensi, yang
cukup jelas membedakan antara keduanya adalah buku The Island, A History of Robben Island 1488 – 1990.
Perihal makam Pangeran Cakraningrat ini ada keunikan,
sama halnya dengan makam seorang Pahlawan Nusantara lainnya di Cape Town yaitu
Syeh Yusuf. Makam Pangeran Cakraningrat selain di Pulau Robben juga terdapat di
Kompleks Makam Ratu Ibu atau juga Kompleks Makam Cakraningrat di Aer Mata,
Arosbaya, Bangkalan, Madura. Demikian pula
makam Syeh Yusuf, selain di Cape Town menurut sebuah tulisan bahkan juga ada di
lima tempat yaitu Srilanka, Banten, Sumenep dan Makassar. (http://gosulsel.com/2016/09/16/misteri-5-makam-syekh-yusuf-ulama-besar-sulawesi-selatan/)
. Tapi dari yang penulis ketahui yang di Banten itu bukan makam Syeh Yusuf,
melainkan Sultan Banten II Maulana Yusuf, yang berada di Sunyatan, Pekalangan
Gede, Kasemen, Serang, Banten.
Menurut cerita, ketika wafat jenazah kedua bangsawan
Nusantara yang berperang melawan penjajahan Perusahaan Dagang Belanda diminta
oleh keluarganya untuk dikirim pulang ke tanah kelahirannya. Namun sejumlah
pengamat menyangsikan apakah benar jenazah yang kemudian dimakamkan di
Indonesia tersebut adalah jenazah yang sebenarnya.
Makam kembar seperti itu juga berlaku terhadap Dea Koasa
sebagaimana disinggungung di bagian II bab Syeh
Yusuf & Kampung Makasar di Afrika Selatan, yaitu satu di Simon’s Town
di wilayah Cape dan satu lagi di Pemakaman Sampar, Sumbawa.
Bagi penulis hal itu tidaklah terlalu penting, meskipun
akan lebih baik apabila kelak ada suatu penelitian sejarah yang mengungkapkan
apa dan bagaimana yang sebenarnya. Di Jawa sendiri, makam dan petilasan tokoh
terutama wali penyebar agama Islam pun ada beberapa yang seperti itu, dijumpai
di beberapa kota yang berbeda. Sebagai contoh makam Sunan Bonang. Satu berada
di Rembang, satu di Tuban dan satu lagi di pulau Bawean. Sesuai kelaziman di
Indonesia, yang disebut makam atau kuburan adalah tempat di mana jenazah
dimakamkan atau dikuburkan, sedangkan petilasan adalah tempat yang dimuliakan,
di mana seseorang tokoh pernah singgah atau tinggal di tempat tersebut.
Kunjungan ke situs-situs tersebut buat penulis bukanlah
untuk mengkultuskan apalagi memuja guna meminta pertolongan, melainkan untuk
mengenang sejarah perjuangannya, mengenang jasa-jasanya, berusaha mengambil
hikmah atas kehidupan dan perjuangannya, serta menghaturkan terima kasih kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah menganugerahkan tokoh tersebut kepada kita dan
memanjatkan doa untuknya. Semua itu sesungguhnya bisa dilakukan di mana saja,
tetapi dengan mengunjungi langsung situs-situsnya, penghayatan ziarah kita
menjadi lebih total karena menyatunya jiwa raga, menyertakan kehadiran perasaan
hati dengan jasmani dalam tempo yang sama.
Kehidupan Pangeran Cakraningrat bagi masyarakat Cape
Town seperti melegenda. Beberapa tulisan di internet maupun sejumlah buku
menyebut ia memiliki kemampuan supranatural yang luar biasa. Ia menerima secara
ikhlas penahanannya dengan tekun mendekatkan diri kepada Gusti Allah Tuhan Yang
Maha Esa, meskipun jika mau ia bisa bebas dan pergi ke mana pun sekehendak
hati. Bagi orang-orang yang percaya pada kemampuan supranatural, ia bagaikan
memiliki “ilmu melipat bumi”, yaitu kemampuan pergi kemana saja di permukaan
bumi hanya dalam sekejap, karena bumi seakan terlipat pendek dalam jangkauan
langkah kakinya.
Ia juga dipercaya bisa berjalan di atas air menyeberangi
lautan untuk mengunjungi kenalannya di Cape Town, dan keluar masuk kamar
tahanan yang terkunci tanpa membuka pintunya, demi membantu narapidana lain
yang membutuhkan pertolongannya, terutama yang sedang sakit. Tak mengherankan
banyak para narapidana politik khususnya yang beragama Islam, menyempatkan berziarah
ke makamnya sewaktu dibebaskan, guna memberikan penghormatan sebelum
meninggalkan Pulau Robben (Robben Island,
A Place ig Inspiration: Mandela’s Prison Island ; Kramats of The Western Cape; South
Africa Travel News, Visit these 5 Popular Kramats in Cape Town – The Circle Of
Kramats, SA-Venues.com).
Bagi Nelson Mandela, Pangeran Cakraningrat bukanlah
sekedar kemampuan supranaturalnya, melainkan sebagai sumber inspirasi di
masa-masa tatkala menghadapi keputusasaan. Cakraningrat adalah tahanan politik gelombang
pertama dan juga merupakan satu dari bapak pendiri atau pengembang Islam di
Afrika Selatan, satu dari sejumlah tokoh yang diasingkan karena melawan
penguasa kolonial. (Senior Manager Tourism
Services dalam Kramats Of The Western Cape dan Pidato Nelson Mandela di
Sheldonian Theatre, Oxford, Inggris 11 Juli 1997).
Dalam Nelson
Mandela The Authorised Biography, Anthony Sampson, ia juga menceritakan
selama di penjara pulau Robben para tahanan menyelenggarakan acara keagamaan
mingguan dengan khotbah para alim ulama dari berbagai agama yang sempat
berlangsung selama 3 tahun. Banyak yang menyenangi acara yang diisi oleh ulama
Islam sehingga akhirnya banyak yang menyatakan memeluk Islam. Tatkala 24
narapidana mendadak menyatakan diri sebagai mualaf dan memeluk Islam, kegiatan
tersebut langsung dihentikan. Tetapi Mandela bersyukur “karena dengan acara-acara itu bisa memanfaatkan peluang belajar lebih
banyak tentang agama yang telah mempengaruhi banyak kawannya. Ia bahkan
memperoleh izin dan terpesona mengunjungi masjid di pulau Robben yang didirikan sebagai penghormatan untuk salah
seorang pahlawan Muslim di Afrika Selatan, Syekh Mantura, yang dibuang ke pulau
itu pada 1744 dan meninggal di sana.”
Penghargaan Nelson Mandela kepada Pangeran Cakraningrat
rupanya juga didengar oleh Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra yang kemudian dia tulis
dan dimuat di berbagai media massa baik cetak maupun on line pada Desember 2013
antara lain sebagai berikut:
“Suatu hari saya pergi ke Afrika Selatan sebagai menteri
Kehakiman RI. Saya menghadiri Konvensi PBB di sana. Saya bertemu Mandela,
Yasser Arafat dan Fidel Castro di Johannesburg. Mandela mengatakan kepada saya
tentang sebuah kuburan di Pulau Robben, tempat dia pernah dipenjarakan, yang
menjadi misteri baginya.
Dalam sebuah kesempatan di kunjungan kedua saya ke
Afsel, saya menyempatkan diri datang ke pulau Robben di lepas pantai Cape Town
. Di sana rupanya ada sebuah penjara yang berdiri sejak Belanda menguasai Afrika
Selatan abad 16. Di pulau Robben itulah Mandela dipenjara selama 29 tahun oleh
regim apartheid.
Begitu saya mendarat di pulau Robin, persis di depan
gerbang penjara ada sebuah kuburan yang dikeramatkan oleh kaum muslimin di
sana. Saya pun datang ke kuburan keramat yang ada mushollanya itu untuk sholat
ashar. Beberapa jemaah tertarik melihat saya datang ke kuburan itu, yang banyak
sekali asap dupanya.
Seorang jemaah bertanya pada saya apakah saya orang
Indonesia. Saya jawab, ‘Ya’. Dia mengatakan bahwa dia keturunan Melayu. Orang
itu mengatakan bahwa ketika Mandela dibebaskan dari penjara, dia mampir ke
kuburan keramat itu. Mandela berkata, ‘Apalah artinya saya dipenjara di pulau
ini selama 29 tahun, dibanding orang ini, sambal menunjuk ke kubur keramat itu.
Orang ini, kata Mandela,saya tidak tahu dari mana asalnya. Nampaknya dia
seorang pejuang di negerinya sehingga
dia begitu dihormati. Orang ini dipenjarakan penjajah sampai dia mati di pulau
ini. Dia tak pernah pulang ke negerinya.’ ” Demikian tulis Prof.Dr.Yusril Ihza
Mahendra.
Catatan:
Seri tulisan ini merupakan Bagian III dari seri tulisan PARA PAHLAWAN
NUSANTARA
DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini menceritakan perjalanan wisata ziarah ke
negeri yang di dalam pelajaran sejarah disebut Tanjung Harapan.
Bagaimana menuju negeri tersebut, memesan hotel, kendaraan, mencari
pemandu wisata dan makanan halal serta mengamati tempat-tempat yang kita
kunjungi. Semoga anda wahai pembaca memperoleh anugerahNya untuk
berwisata menziarahi para pahlawan kita di negeri orang nun jauh ini.
Aamiin. (Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda