Inilah
Makam Pangeran Madura Cakraningrat
Foto: Atas, makam Pangeran
Cakraningrat IV di Pulau Robben, Afrika Selatan. Bawah, makam Pangeran
Cakraningrat IV di Kompleks Pemakaman Keluarga Besar Cakraningrat "Ratu
Ibu" di Arosbaya, Bangkalan, Madura.
Kisah Nelson Mandela dan tulisan Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra tentang makam
Cakraningrat itu berkecamuk di hati dan pikiran saya, sehingga saking
semangatnya, begitu keluar dari penjara Nelson Mandela lupa menghitung jarak dari pintu gerbang
penjara ke makam. Mungkin sekitar 150 m. Kami memilih berjalan kaki demi lebih
meresapi suasana.
Bangunan makam berkubah hijau itu menyerupai masjid
kecil degan dinding bermotif batu, serasi dengan dinding menara pengawas
penjara yang berdiri tegak di sampingnya, sehingga lebih mengesankan sebagai
menara masjid dibanding menara penjara.
Bangunan berukuran sekitar 6 X 6 meter itu nampak sunyi,
pintu pagarnya terbuka sedangkan pintu makam sekaligus mushola itu tertutup
namun tidak terkunci. Di samping kiri depan bangunan ada tempat wudhu dan kami
pun berwudhu lebih dulu, baru kemudian benar-benar membuka pintu, mengucap
salam dan masuk. Makam berada di tengah-tengah, sedangkan lantainya ditutup
dengan hamparan karpet merah yang diatasnya terlihat ada beberapa sajadah terlipat
rapi di samping kiri dan kanan makam, satu diantaranya tergelar di samping kiri
makam. Di bagian bawah kepala makam dihamparkan lagi karpet kecil bermotif
bunga. Di samping kiri depan ada lemari gantung berisi beberapa Al Qur’an dan
sejumlah buku. Bangunan beserta segenap isinya nampak terawat bagus lagi
bersih, separuh bagian bawah dinding dalam bercat hijau sementara bagian atas putih keabu-abuan sedikit semburat kuning karena pantulan cahaya.
Segera di atas sajadah yang sudah tergelar itu, penulis
melakukan shalat sunnah tahiyatul masjid, dilanjutkan shalat doha, shalat sunnah
mutlak, berzikir, berdoa, sujud syukur dan bertafakur, baru kemudian beranjak
dan duduk di depan makam, membaca beberapa surat, berzikir, membaca shalawat
dan mendoakan almarhum. Sementara isteri saya langsung duduk di depan makam, membaca
surat Al Fatihah dan surat Yaasin.
Sesungguhnya penulis tidak yakin betul apakah shalat
sunnah yang pertama tadi tepat disebut
sebagai tahiyatul masjid atau bukan atau lebih tepat disebut sebagai sunnah
mutlak.Tapi di dalam hati penulis
niatkan shalat untuk berbakti kepadaNya seraya berdoa memohonkan berkah bagi
bumi dan tempat di mana penulis hendak bersujud, serta bagi orang-orang yang
mengunjunginya. Di tempat terasing yang mayoritas penduduknya bukan Islam ini,
keberadaan bangunan serbaguna yang menaungi makam atau kramat dengan
menyediakan sebagian ruangannya untuk shalat ini, sungguh luar biasa artinya.
Lagi pula bukankan setiap jengkal tanah adalah juga sajadah tempat bersujud dan
setiap rumah adalah rumah Allah Swt.?
Setelah itu kami menyimak lebih jauh serta membuat foto
dan video dokumentasi. Kami buka lemari, ada sebotol air putih, boleh jadi air
zamzam, beberapa Al Qur’an dan sejumlah buku kecil Surat Yaasin yang berasal
dari masyarakat berbagai negara, kebanyakan India dan Pakistan. Tidak ada yang
dari Indonesia. Di bagian belakang atau
di arah kaki makam ada tempat membakar dupa atau setanggi. Juga beberapa
sajadah terlipat rapi.
Di tembok depan makam ada tulisan : “Sheik Sayed Abdurachman Motura (R.A). Behold! Verily on the friends Of
Allah there is no fear; nor shall they greive; Those who believe And
(constantly) guard. Against evil.” Ini adalah kutipan dari firman Allah Swt
dalam Al Qur’an, Surat Yuunus ayat 62 dan 63 yang berarti: “Ketahuilah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah punya rasa takut dan tidak pula
bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.”
Di dinding kiri ada plakat prasasti dalam bahasa Inggris
dan Belanda tertanggal 11 Mei 1969, yang menandai pembangunan makam untuk menghormati
Sayed Abdurahman Motura, oleh Presiden Afrika Selatan C.A.Swart bersama
Jenderal J.C.Steyn, Komisioner Penjara Letnan Kolonel P.A.Kellerman dan staf
serta Sheik Sayed Ahmed Kaderi dan perhimpunannya.
Di dinding belakang terpasang prasasti yang dibuat oleh
Cape Mazzar Society atau Perkumpulan Kramat-Kramat Cape, yang menerangkan
tentang Sayed Abdurahman Motura, tahanan politik dari Republik Batavia, yang
dibuang ke Pulau Robben selama 11 tahun sampai wafatnya Januari 1744. Berbagai
sumber lain mencatat Pangeran Cakraningrat IV atau Abdurahman, tiba tahun
1740an dan wafat 1754. (The Island, A
History of Robben Island editor Harriet Deacon halaman 30 – 31 dan Robben
Island, A Place Of Inspiration: Mandela’s Prison Island halaman 21). Sebagaimana
tulisan di dinding makam, prasasti ini juga mengutip firman Allah Swt dalam
Surat Yuunus ayat 62 (Q10:62).
Selanjutnya kami keluar mengelilingi bangunan. Di halaman
belakang dan samping didirikan tiang-tiang dan rangka besi untuk
sewaktu-sewaktu dipasang tenda. Juga ada satu makam yang di batu nisannya
tertulis Sayed Biin Yamiin. Hanya itu
yang tertulis, tidak lebih dan tidak ada informasi lainnya tetang makam ini.
Yang mengherankan adalah di dalam lokasi kramat dan di sekitarnya hanya ada dua
makam, yaitu Pangeran dari Madura yang
berada di dalam bangunan dan Sayed Biin Yamin di luar bangunan di halaman
belakang. Lokasi kramat berada di pojok luar penjara yang sekarang dan di dekat
bekas bangunan penjara lama, tapi agak jauh dari lokasi pemakaman umum.
Nampaknya sering ada acara besar di situ. Kabarnya pada
setiap Februari ada perayaan yang dimeriahkan dengan tari pedang. Juga pada
setiap hari kelahiran Nabi Muhammad Saw atau maulid Nabi. Demikian pula pada
setiap hari Minggu banyak peziarah yang mengunjungi.
Kami bersyukur pada pagi menjelang siang itu memperoleh
suasana sepi, sehingga sangat bebas dan leluasa. Tatkala kembali ke Waterfront
puluhan rombongan anak-anak remaja berseragam sekolah, para wanitanya
mengenakan jilbab, bersiap naik ke kapal ferry yang kami tumpangi, yang akan
langsung bertolak kembali ke pulau Robben. Rombongan ini akan berziarah ke
Kramat Pangeran Cakraningrat IV. Jikalau kami pergi bersama rombongan ini, akan
ada plus-minusnya. Di satu pihak bisa berbincang-bincang dengan mereka sehingga
memperoleh tambahan informasi, namun di lain pihak tentu kami tidak bisa
leluasa karena mushola Kramat pasti penuh.
Dari Kramat, Ilyas Salie, membawa kami mengelilingi
pulau sambil bercerita tentang aneka jenis burung yang indah-indah dari yang
kecil sampai yang seukuran burung bangau, sekelompok burung migrasi dari Mesir,
dan menunjukkan tempat budidaya abalone yang dilindungi pemerintah serta
singgah di kafe untuk membeli kopi hangat.
Karena waktunya hampir habis, kami tidak bisa
berlama-lama. Di tengah jalan, Mr.Thulani menyetop dan menumpang mobil kami
yang sudah mengarah kembali ke dermaga Murray. Sempat Mr.Ilyas Salie mengatakan,
sesungguhnya kalau diatur rapi sebelumnya, kami bisa menginap di pulau Robben,
bahkan di rumah dia, atau setidaknya bisa 4 sampai 6 jam.
Tak cukup waktu untuk merenungkan suasana pulau Robben
di abad 18. Tentu lebih gersang lantaran belum tersentuh penghijauan. Tapi akan
banyak menjumpai anjing laut, penguin Afrika dan penyu. Ketiganya sekarang
tinggal sedikit, sulit ditemui dan dilindungi. Yang selalu terlihat jelas
adalah hampir di mana pun kita berada nampak Table Mountain, Gunung Meja nan
indah, yang berada di daratan benua
Afrika. Pemandangan dan suasana seperti itulah kira-kira yang detik demi detik,
menit demi menit sampai hari, minggu, bulan dan tahun demi tahun menemani
Pangeran Cakraningrat dan juga Nelson Mandela serta para pejuang
sahabat-sahabat mereka dalam menghabiskan waktu, belasan tahun mengukir sunyi sendirian lantaran
“berperang” melawan ratusan tahun penjajahan dan penindasan atas bangsanya oleh bangsa lain.
Kita sungguh patut bersyukur karena telah menikmati rumah kemerdekaan yang
dibangun dari susunan tulang belulang dan pengorbanan mereka.
Perjalanan sekitar tiga setengah jam termasuk satu jam
perjalanan ferry pergi pulang dan waktu tunggu menjelang naik dan selama berada
di dalam kapal, rasanya sangat kurang. Belum banyak informasi lapangan yang
bisa digali dan belum cukup puas untuk tafakur dan berkontemplasi.
Menjelang pukul 13.00 kapal ferry We Do Madiba 1 membawa
kami balik ke dermaga Museum Nelson Mandela di Waterfront. Madiba adalah
panggilan kesayangan rakyat Afrika Selatan terhadap Nelson Mandela. Siang itu
kami baru sempat berkeliling melihat-lihat suasana di Waterfront, mengambil
foto Museum Nelson Mandela, Menara Jam dan lain-lain.
Sore hari kami kembali ke hotel dengan taksi. Kebetulan saat
itu hanya ada satu taksi dan pengemudinya tidak mau menggunakan tarif meteran
atau argometer, tapi meminta biaya R300, seratus R100 lebih mahal dari tarif
mobil yang mengantar kami dari hotel pagi sebelumnya, namun tetap masih lebih
murah dibanding apabila menyewa dari biro perjalanan. Terpaksa kami menyetujui.
Tiba di hotel kami ceritakan pengalaman kami kepada staf hotel Miss Bevlynne
dan Miss Lamees Harris yang ramah dan banyak membantu kami. Mereka membantu
mencarikan buku-buku yang bisa menjadi sumber bahan bacaan berikut alamat
beberapa toko buku. Satu di daerah Waterfront dan satu di Jalan Long Steet di
pusat kota. Mereka juga memberitahu apabila mau naik taksi, agar dengan tegas
meminta tarif meteren.
Demikianlah dua hari berikutnya kami kembali ke
Waterfront, dengan naik kendaraan layanan gratis dari hotel, ke toko buku dan
toko souvenir di Museum Nelson Mandela. Para petugas di kedua toko tersebut
sangat ramah dan membantu kami, mencarikan buku-buku yang kami cari, bahkan
untuk beberapa judul yang tidak ada di tokonya, petugas yang melayani saya
bersedia menelponkan ke toko buku di Long Street. Begitu pula tatkala saya
mengambil dan mau membayar, ada tiga buku tentang Nelson Mandela, satu berjudul
Nelson Mandela, Long Walk to Freedom
dan dua lainnya lebih tipis tapi saya lupa judul masing-masing, petugas kasir
memberitahu kalau dua buku yang lebih tipis itu versi pendek dari Long Walk to
Freedom, sehingga tidak perlu dibeli.
Dari Waterfront kami kami naik taksi dan meminta dengan
tarif meteran ke Jalan Long Street. Ternyata hanya R59 dan kami bayar R70.
Pulangnya ke hotel, setelah makan di restoran India Muslim Bolywood yang
kasirnya pernah tinggal beberapa tahun di Brunai, kami juga naik taksi yang
dikemudikan oleh seorang imigran dari Konggo, dengan tarif meteran dan tak
sampai R90. Sesungguhnyalah, makin hari makin mudah menemukan cara berwisata yang
enak di Cape Town.
Sahabat-sahabatku, inilah sekelumit laporan perjalanan wisata ziarah kami ke
Cape Town dan Pulau “Penjara” Robben. Menggetarkan hati, ternyata banyak
pahlawan pejuang dan pencerah dari bumi Nusantara yang terbuang putus harapan
di Tanjung Harapan, yang dihargai bangsa lain, tapi belum diketahui apalagi dihargai
oleh bangsanya sendiri. Padahal kita
selalu diajarkan kata-kata bernas, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai jasa pahlawan -pahlawannya.” Semoga kita tidak terlambat untuk menjadi
bangsa besar yang pandai bersyukur.
Sejumlah informasi tambahan, alamat dan nomer telpon
yang mungkin bisa membantu perjalanan wisata ke Tanjung Harapan dan Pulau
Robben, insya Allah penulis sampaikan apabila tulisan ini diterbitkan sebagai
buku. Allahumma aamiin. TAMAT.
1 Komentar:
Prediksi Togel HK Mbah Bonar 21 Februari 2020 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda