Senin, 09 April 2018

Pergulatan Cakraningrat – Mataram – Kompeni (II-1) : BERMULA DARI SULTAN AGUNG


Bermula Dari Sultan Agung.


Catatan: Seri tulisan ini merupakan Bagian II dari seri tulisan PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN. Bagian ini dimaksudkan untuk menggali gambaran situasi yang melatarbelakangi mengapa sampai Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Pulau “Penjara” Robben nun jauh di Afsel. Kami berharap para pembaca dan terutama para ahli sejarah, pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah di Nusantara lainnya, dengan ridho dan berkahNya tergerak  untuk menggali sejarah para pahlawan daerah-daerah lain yang juga dibuang ke Afsel sampai kemudian menjadi tokoh-tokoh yang dimuliakan oleh masyarakat Afsel. Aamiin. B.WIWOHO.

Perlawanan dan pemberontakan Pangeran Cakraningrat IV dari Madura sehingga mengakibatkan ia dibuang ke Pulau “Penjara” Robben di Afrika Selatan, adalah satu dari puluhan atau bahkan mungkin lebih pergulatan politik dan kekuasaan yang penuh intrik serta ganas di lingkungan dalam kerajaan Mataram dan Kartasura, yang melibatkan Kompeni Belanda.

Intrik dan pergulatan politik itu tak peduli apakah ada hubungan darah antara ayah dan anak, suami-isteri, saudara kandung, mertua dan punggawa terkasih, bisa membawa risiko dari mulai yang paling ringan berupa denda sampai hukuman mati seketika, atau bertarung dengan harimau.

Bagi pangeran-pangeran pemberontak yang  masih keluarga dekat raja dan pejabat-pejabat yang tinggi tingkatannya, oleh Kompeni diupayakan memperoleh hukuman pembuangan, dengan alasan antara lain untuk disimpan sebagai jago aduan yang sewaktu-waktu bisa kembali diturunkan ke gelanggang.  Daerah pembuangan dipilih mulai dari pantai Ayah di Banyumas sampai ke Batavia bahkan Tanjung Harapan di Afrika Selatan dan Srilanka. 

Untuk yang ke Batavia dan luar Jawa biasanya membutuhkan pertolongan Kompeni, dan apabila itu terkait langsung dengan ancaman terhadap kekuasaan raja, maka raja harus menanggung biaya pengiriman pembuangan.

Pergulatan kekuasan yang keras dimulai semenjak masa pemerintahan putera Sultan Agung, yaitu Amangkurat I yang terus berlangsung setidaknya sampai dengan Pakubuwana III.  Pergulatan semakin seru dan kompleks, tatkala Kompeni Belanda mulai merapat ke Amangkurat I, selanjutnya memperoleh legalitas resmi dari Pangeran Adipati Anom yang kemudian dikukuhkan menjadi Amangkurat II, dan semakin kokoh di masa Pangeran Puger berjuang merebut tahta kerajaan dan dinobatkan sebagai Susuhunan Pakubuwana I.

Pergulatan yang seru dan kompleks tersebut bagai bandul jam yang satu saat mengayun ke kiri dan pada saat yang lain mengayun ke kanan. Satu saat antara raja dan para pangeran, satu saat lain antara para pangeran dengan Kompeni dan satu saat yang lain pula antara raja dengan Kompeni, tetapi yang terakhir ini tidak berlangsung terbuka, apalagi berkobar menjadi peperangan antara raja dan Kompeni.

Pertalian erat  bahkan kekeluargaan antara Madura dan kerajaan Jawa, dalam sejarah sudah tercatat semenjak Kerajaan Singasari di abad 12 – 13, berlanjut ke Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Islam Demak serta Pajang. Di masa kerajaan Islam Demak dan Pajang, kekuasaan politik pemerintahan juga menyebar hampir ke semua wilayah Jawa sampai ke Madura, terutama dalam bentuk jaringan kekuasaan yang dilandasi dengan dakwah dan syiar Isam serta kekerabatan melalui perkawinan. Penguasa Madura, Panembahan Lemah Duwur yang memiliki turunan darah raja Majapahit Brawijaya, dan di kemudian hari menurunkan dinasti Cakraningrat, menikah dengan puteri Sultan Kerajaan Pajang, Hadiwijaya, dengan menjadikannya sebagai permaisuri (DR.H.J.De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram dan Menyingkap Tabir Sejarah Kerajaan Madura Barat).

Upaya membangun jaringan politik kekuasan dikokohkan kembali tatkala Sultan Agung dinobatkan menjadi raja Mataram tahun 1613. Ia menancapkan kuku kekuasaannya  ke timur sampai ke Madura, sebagai balasan dan serangan balik dari Adipati-Adipati wilayah Timur yang dihimpun dan dipimpin oleh Pangeran Surabaya. Serbuan dari Timur itu berkat ketajaman analisa intelijen yang tepat beserta operasi penyesatan informasi, bisa di tahan di wilayah Pajang (Surakarta), diisolasi oleh pasukan Mataram sehingga kehabisan logistik baru dipukul mundur.

Delapan bulan kemudian setelah membuat persiapan yang matang, Mataram mengirim serbuan balasan ke Timur dari darat dan laut, merambah satu demi satu ke kadipaten-kadipaten wilayah Timur, mulai dari Tuban, Surabaya, Madura sampai Blambangan. Dengan bantuan pasukan telik sandi yang handal, pasukan Sultan Agung, mengisolasi ketat pasukan lawan sehingga dengan mudah dapat dikalahkan. Satu-satunya daerah yang sulit dikalahkan adalah Madura yang dipimpin oleh Pangeran Mas.

Pangeran Mas adalah adik dari Pangeran Koro atau Pangeran Tengah yang wafat pada tahun 1621. Ia menjabat sebagai wali Raden Prasena, putera Pangeran Koro yang masih kanak-kanak. Di masa pemerintahan Pangeran Mas selama 1621 – 1624 itulah Pasukan Sultan Agung dua kali menyerbu Madura. Serbuan pertama dapat dipukul balik, tapi serbuan kedua yang mengerahkan sekitar 50.000 balatentara, tak bisa dibendung oleh 2.000 pasukan Madura yang dibantu oleh laskar wanita baik isteri, saudara maupun anak dari pasukan utama. Kraton Kadipaten Madura di Arosbaya pada tahun 1624 itu berhasil diduduki Pasukan Mataram, Pangeran Mas mengungsi ke Giri di Gresik. Seribu anggota pasukan Madura yang masih tersisa bersama putera mahkota Raden Prasena yang masih kanak-kanak diboyong ke ibukota Mataram.

Dalam menundukkan wilayah-wilayah di sekitarnya, Sultan Agung tidak melakukan politik bumi hangus dan tumpas habis, melainkan merangkul pangeran-pangeran yang menyerah, untuk kemudian dibawa ke ibukota Mataram dan diangkat sebagai kerabat ataupun orang kepercayaan. 

Hal itu diterapkan pula terhadap Surabaya dan Madura. Pangeran Pekik dari Surabaya kelak menjadi besan Sultan Agung bagi putera mahkotanya, sementara Raden Prasena bahkan tumbuh dewasa di Mataram menjadi putera angkat kesayangan Sultan dan kemudian dinikahkan dengan adik kandung Sultan serta diberikan berbagai kemudahan untuk mendirikan kerajaan di Madura.  Ia dianugerahi berbagai kelengkapan kebesaran kerajaan termasuk uang dan dinobatkan sebagai Adipati untuk Madura dengan gelar Cakraningrat I.

Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung menghabiskan banyak waktu, biaya dan pasukan untuk menyerbu Belanda di Batavia dari berbagai penjuru. Sebagai akibatnya ia membutuhkan pendampingan dari Cakraningrat dan kedua orang puteranya, yaitu putera sulung Raden Ario Atmojonegoro dan adiknya Demang Mloyokusumo, sehingga ketiga orang ini menjadi kepercayaan Sultan yang justru lebih banyak berada di kerajaan Mataram dibanding di Madura.

Kedekatan dan kesetiaan mereka bertiga kepada Sultan Agung dibuktikan dengan mengamankan putera mahkota yang ditunjuk menggantikan menjadi raja apabila Sultan Agung wafat. Penobatan putera mahkota menjadi Sunan Amangkurat I ini mendapatkan perlawanan dan pemberontakan dari adiknya, Pangeran Alit beserta para pendukungnya. 

Cakraningrat turun tangan memadamkan pemberontakan dan berhasil, namun ia tewas dibunuh oleh Pangeran Alit. Demikian pula kedua putera Cakraningrat yang mendampingi dan membantu ayahnya. Sebagai penghormatan, jenazah Cakraningrat dan putera sulungnya dimakamkan di Pemakaman Raja-Raja Mataram Imogiri, berdekatan dengan makam Sultan Agung, yang merupakan lokasi utama kompleks pemakaman agung itu. Sedangkan jenazah putera satunya, Demang Mlayakusuma di makamkan di Madura di Kompleks Makam Raja-Raja Madura di Aermata, Arosbaya, Bangkalan.

Foto : Penulis bersama sahabat-sahabat Prof Gunawan Sumodiningrat dan Prof Tjuk Kasturi Sukiadi, mengenakan pakaian adat Jawa Surakarta, berfoto sebelum berziarah ke makan Sultan Agung dan Pangeran Cakraningrat I di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Di depan gapura kompleks makam, peziarah harus mengesetkan yaitu menginjak-injak seraya menggesek-gesekan seperti orang membersihkan kaki, di lantai yang konon dimakamkan kepala pengkhianat Mataram yang memihak Kompeni Belanda. Sebuah simbol yang dalam dan luas maknanya. Semoga bangsa Indonesia bisa menghayati dan mengambil hikmahnya. Aamiin. (Bersambung).


1 Komentar:

Blogger Okta Ahmad Faisal mengatakan...

permisi pak wiwoho kalau boleh tau saya bisa mendapatkan buku "Menyingkap Tabir Sejarah Kerajaan Madura Barat" dimana ya?

atau mungkin ada rekomendasi buku2 tentang Cakraningrat? soalnya saya baru tau ada keturunan cakraningrat dan mau mempelajari tentang mbah2 saya

maturnuwun pak wiwoho

26 Maret 2020 pukul 08.41  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda