Kamis, 13 September 2012

JATUH - BANGUN STRATEGI PEMBANGUNAN: PERTUMBUHAN ATAU PEMERATAAN.




Pemuda – pemudi zaman sekarang, tentu sulit membayangkan bagaimana kehidupan orangtua mereka pada masa-masa sebelum tahun 1970-an. Bahan pakaiannya adalah tekstil-tekstil sederhana  hasil produksi dari alat tenun bukan mesin (ATBM). Satu dua orang kaya memang mengenakan pakaian dari bahan wol asal  impor. Tapi sebagian besar masyarakat , khususnya laki-laki, mengenakan celana drill dari katun, yang sesudah dicuci dan sebelum dijemur, direndam terlebih dahulu dalam cairan tepung tapioka, agar nanti sewaktu diseterika bisa tampil  indah dan tidak nampak kumal.

Di kala mencuci, pada masa itu tidak bisa langsung membuka keran air seperti sekarang, namun harus menimba air dari sumur yang digali. Timba yang digunakan terbuat dari karet bekas ban mobil atau seng, kemudian dituang ke dalam ember-ember kaleng atau seng, yang jika kurang pandai merawatnya bisa menyebabkan karatan, dan karat tersebut dapat menempel, membekas di pakaian dan tak bisa hilang. Lagi-lagi beberapa orang kaya, bisa membeli pompa air manual, yang digerakkan dengan tangan, bukan pompa mesin listrik seperti sekarang. Adapun tali ember, terbuat dari karet irisan bekas ban mobil. Sedangkan tali-temali untuk keperluan lain, terbuat dari sabut kelapa atau ijuk pohon enau (aren).

Jika haus, kita tidak minum minuman kaleng atau botol produksi pabrik-pabrik besar. Untuk air putih kita harus merebus air sumur, yang selanjutnya disimpan  di dalam kendi (tempat air bercerat terbuat dari tanah liat) agar menjadi sejuk.  Sedangkan untuk minuman penyegar di siang hari nan terik, kita sudah sangat puas dengan minuman botol hasil industri kecil atau rumahan yang disebut limun. Ada rasa jeruk “orange crus”, saparela, rasa moka atau rasa sirsak ditambah es batu buatan pabrik, yang di sebagian besar ibukota Kabupaten di Jawa buatan pabrik es Petojo.

Barang-barang dan  hasil pertanian yang mau dibawa pergi, dikemas dalam suatu wadah yang disebut keranjang, dunak dan tenggok yang terbuat dari anyaman bambu hasil kerajinan tangan masyarakat kecil.

Untuk memperoleh beras dan minyak tanah rakyat harus menukarkan kupon,  dengan mengantri panjang pada  hari-hari tertentu saja di kelurahan. Beras dan lauk  oleh sebagian besar masyarakat dimasak di tungku tradisional berbahan bakar kayu, karena kompor gas belum ada dan kompor minyak tanah baru dimiliki sejumlah kecil masyarakat saja. Sebagai lampu penerangan di malam hari,  sebagian besar masyarakat memakai aneka jenis pelita, lampu tempel atau lampu pompa tekan berbahan bakar minyak tanah. Listrik pada masa itu baru sampai di ibukota kabupaten atau di wilayah perumahan perusahaan  perkebunan besar. Itu pun sering mengalami pemadaman, sehingga tidak jarang orang-orang yang mandi paginya terburu-buru, sampai dikantor atau sekolahan, baru sadar setelah kawannya memberitahu lobang hidungnya masih hitam penuh jelaga dari lampu minyak.

Itulah secuil gambaran kehidupan di penghujung akhir kekuasaan Orde Lama yang tumbang pada tahun 1966, yang selanjutnya digantikan Orde Baru yang dipimpin Jenderal TNI Soeharto. Pada periode peralihan tersebut perekonomian negara ditandai dengan  ketidakseimbangan yang amat sangat antara pengeluaran dan penerimaan negara. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang waktu itu disebut Anggaran Moneter, mengalami defisit yang luar biasa.

Jika pada tahun 1964: Penerimaan Rp.283,386 milyar,- Pengeluaran mencapai Rp.681,328 milyar,- sehingga defisit Rp.397,942 milyar.

Tahun 1965: Penerimaan Rp.923,444 milyar,- Pengeluaran Rp.2.244,105 milyar sehingga defisit Rp.1.320,661 milyar.

Pada tahun 1966, selama triwulan I: Penerimaan Rp.333 milyar,- Pengeluaran
sudah Rp.2.472 milyar sehingga defisit Rp.2.139 milyar,- (Sumber: buku ‘Radius Prawiro Kiprah, Peran dan Pemikiran’). Sementara menurut Frans Seda dalam bukunya ‘Simfoni Tanpa Henti’, defisit negara selama 6 bulan sudah melebihi anggaran pengeluaran negara untuk seluruh tahun, sementara inflasi berlangsung sangat ganas mencapai 650%. Akibatnya Anggaran Moneter 1966, istilah untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada saat itu,  tidak bisa dipakai lagi sebagai alat kebijaksanaan.

Dalam kondisi yang seperti itu, dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Universitas Indonesia, 8 – 9 Mei 1966, Prof.Dr.Widjojo Nitisastro yang selanjutnya tampil memimpin tim arsitek perekonomian Orde Baru, mengemukakan dua penyebab kemerosotan perekonomian Indonesia yaitu:
     1. Selama bertahun-tahun perekonomian kita terbengkalai  dan tidak
         memperoleh perhatian yang cukup memadai.
     2. Bahkan dalam menghadapi soal-soal ekonomi, prinsip-prinsip ekonomi 
         Seringkali diabaikan,
Oleh karena itu ia kemudian menyerukan agar kita senantiasa berpegang pada  prinsip-prinsip ekonomi, antara lain keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan, ekspor dan impor, arus barang dan arus uang, penyediaan kesempatan kerja dan pertambahan penduduk usia kerja. Demikian pula asas efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber ekonomi, asas keadilan dalam pembagian beban dan pembagian rezeki serta asas perlunya investasi bagi pertumbuhan ekonomi.

Kondisi yang seperti itu mendorong Jenderal Soeharto bukan hanya memimpin Komando Pengganyangan Gerakan 30 September PKI (Partai Komunis Indonesia) saja, tapi juga tampil mengambil peranan komando stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi yang semula menjadi tugas utama Dewan Stabilisasi dan Rehabilitasi Kabinet Ampera yang dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno. Sidang  Dewan Stabilisasi  dan Rehabilitasi di bawah komando Pak Harto, dalam catatan Frans Seda dilaksanakan pertama kali di Operation Room Departemen Pertahanan dan
Keamanan, berlangsung dari pukul 20.00 sampai 02.00 dini hari.  Dalam Sidang ini Pak Harto secara tegas memberikan dukungan jaminan stabilitas politik serta pengamanan pelaksanaan kebijakan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi yang akan diambil oleh tim arsitek ekonomi.

Kehendak dan tekad politik yang kuat dari Pak Harto melahirkan  pondasi kebijaksan ekonomi yang dikenal dengan “Peraturan-Peraturan 3 Oktober 1966”, yang meletakkan dasar bagi proses stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, yang di kemudian hari menimbulkan polemik, kritik bahkan emosi politik yang sempat meledak menjadi Peristiwa Malari 1974, bahkan tidak berhenti sampai di tahun1974 itu saja, sampai sekarang pun masih menjadi sumber permasalahan.

Berdasarkan Peraturan 3 Oktober 1966,  pada tanggal 2 November 1966, digariskan pola kebijaksanaan operasional  di bidang ekonomi-keuangan, antara lain berupa Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (RUUPMA) dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1967.

RUUPMA disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan ditandatangani menjadi UUPMA (UU No.1 Tahun 1967)  oleh Presiden Sukarno  pada tanggal 10 Januari 1967. Selanjutnya pada tanggal 3 Juli 1968 Presiden Soeharto menandatangani Undang Undang Penanaman Modal  Dalam Negeri (UU No.6 Tahun 1968).

Bersamaan dengan proses penggodogan RUU-PMA, pada bulan November 1967 di Jenewa, berlangsung konferensi selama tiga hari antara tim ekonomi Orde Baru dengan perusahaan-perusahaan multi nasional raksasa (Multi National Corporation – MNC). Konferensi yang dibongkar ke publik oleh wartawan dan peneliti-peneliti asing ini, sampai sekarang masih terus menjadi bahan perbincangan di kalangan para aktivis yang kecewa terhadap eksploitasi sumber daya alam  serta penguasaan ekonomi Indonesia oleh para MNC tersebut.

Betapa pentingnya mengetahui kilas balik permasalahan mendasar ini,  ijinkanlah saya mengutip catatan yang sering diungkapkan oleh mantan Menteri Koordinato Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) dan juga mantan Menteri Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie, yang antara lain dikemukakan dalam Kongres Indonesia Raya 2004, di mana penulis menjadi Sekretaris Panitia Pelaksana, sekaligus salah satu anggota tim perumus dan tim penyunting yang kemudian menerbitkannya menjadi buku ‘Indonesia Raya Bangkit atau Hancur’ sebagai berikut:

“Marilah sekarang kita telusuri sedikit sejarah hubungan kita dengan negara-negara besar yang merupakan awal keterpurukan kita. John Pilger, seorang wartawan Australia yang bermukim di Inggris membuat film dokumenter tentang Indonesia yang juga dituangkan dalam sebuah buku dengan judul ‘The New Rulers of the World’.Saya kutip dan terjemahkan secara bebas bagian-bagian dari bukunya yang relevan untuk pembicaraan hari ini.

Di halaman 37 tercantum: ‘Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya rezeki terbesar dari Indonesia, hasilnya dibagi. TimeLife Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank. General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American  Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah Tim Ekonomi Pemerintah Indonesia  yang oleh Rockefeller disebut ‘Indonesian top economists’.

Di Jenewa, tim ekonomi Indonesia tersebut terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley Mafia’, karena beberapa diantaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley.  Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan  hal-hal yang diinginkan oleh para wakil dari perusahaan-perusahaan multinasional.  Butir-butir  yang dijual dari negara dan bangsanya adalah buruh murah yang melimpah, cadangan besar dari sumber daya alam dan pasar yang besar. Demikian yang tercantum di halaman 37.

Di halaman 39 ditulis: ‘Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler, kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, dengan mahasiswanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Sampson, telah mempelajari dokumen-dokumen  rahasia konferensi yang masa rahasianya  sudah kadaluwarsa. Mereka membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain,  industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi  yang mendiktekan   kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh dirinya  dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: ini yang kami inginkan: ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya  merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia.

Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat, tetapi para investor asing ini yang  merancangnya sendiri persyaratan buat
masuknya investasi mereka ke Indonesia sambil diantar oleh para teknokrat  Indonesia sendiri.

Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam Board Freeport). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa memperoleh bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis  di Sumatera, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing yang dengan buru-buru  disodorkan kepada Presiden Soeharto membuat perampokan (plunder) ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia
pergi ke Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.

Kalau kita percaya John Pilger, Brad Sampson dan Jeffrey Winters, sejak tahun1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan dituntun oleh para elit bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu berkuasa.” Demikian mantan Menteri Era Reformasi yang kritis, Kwik Kian Gie, merangkum telaah kritis wartawan serta
pengamat ekonomi Barat tentang peristiwa penting yang melibatkan tim arsitek ekonomi Orde Baru, yang memperoleh mandat penuh dari Pak Harto tersebut.

Bertitik-tolak dari Peraturan 3 Oktober 1966, maka dimulailah rancang bangun ekonomi era Orde Baru. Hasilnya, jika tingkat inflasi pada tahun 1966 mencapai 650 persen, maka dalam tahun 1967 bisa dikendalikan menjadi 120 persen dan pada tahun 1968 turun lagi menjadi 85 persen. Dengan kondisi inflasi yang  sudah terkendali, mulai tahun anggaran 1969/70  sampai dengan  1973/74, dilancarkan akselerasi pembangunan 25 (dua puluh lima) tahun tahap I yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I).

Repelita menganut strategi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan. Sudah menjadi rahasia umum yang dibahas dalam diskusi-diskusi terbuka, para arsitek ekonomi  waktu itu memang sangat dipengaruhi pemikiran W.Arthur Lewis dan W.W.Rostow. Lewis dalam bukunya ‘The Theory of Economic Growth (1955)’  mengemukakan bahwa masalah pembangunan adalah masalah pertumbuhan, dan bukan pembagian pendapatan. Sedangkan Rostow dalam bukunya ‘The Stages of Economc  Growth (1960)’ berpendapat, masalah pembangunan adalah masalah input dan modal  serta  teknologi, yang merupakan  faktor penentu keterbelakangan.

Segera terjadi perubahan besar dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.  Perusahaan-perusahaan MNC dengan modal  besarnya masuk  secara leluasa ke dalam perekonomian nasional. Dan dengan sertamerta pula gaya hidup masyarakat khususnya kelas menengah atas sontak berubah.
Pabrik-pabrik tekstil modal Jepang membanjiri pasar dengan bahan-bahan pakaian
yang halus lagi awet. Pabrik-pabrik perabot rumah tangga melibas tali, ember, keranjang,  tenggok-tenggok tradisional dan lain-lain dengan berbagai produk berbahan baku plastik. Demikian pula pompa-pompa air menggantikan timba dan kompor menggantikan tungku-tungku masa lalu. Sementara itu industri-industri
kecil yang memproduksi limun bangkrut,  lantaran masyarakat lebih merasa terpuaskan jika menyiram dahaganya  dengan minuman botol dan kaleng produksi MNC khususnya Coca Cola, Fanta, Sprite dan Seven-Up.

Tak pelak lagi, industri-industri rakyat, industri-industri rumah tangga dan industri kecil hancur tergilas industri-industri besar MNC. Para pengamat,  wartawan, aktivis dan mahasiswa terperangah. Mulailah strategi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan dengan memberi perlakuan istimewa kepada modal asing dan modal besar dipertanyakan. Pihak-pihak yang mendukung pengutamaan strategi pertumbuhan, berpendapat yang terpenting adalah menciptakan kue pertumbuhan dulu, baru sesudah ada kue yang cukup, dilakukan pemerataan. Sebab jika tidak, apanya yang mau dibagi? Mereka menganut apa yang disebut  ‘trickle down theory’,  teori kue pembangunan akan otomatis mengucur ke bawah. Sementara yang kontra menyatakan itu teori yang ‘tricky’, yang penuh tipu muslihat.

Pada periode itu sampai dengan pertengahan dasawarsa tahun 1970-an, memang belum ada kajian internasional yang bisa dijadikan rujukan utama bagi strategi Pembangunan: pertumbuhan sekaligus pemerataan. Bahkan Bank Dunia pun baru pada 1977 ( Twenty Five Years of Economic Development, World Bank 1977), menyimpulkan bahwa pendekatan pendapatan nasional sebagai tujuan dari politik pembangunan ternyata terlalu sederhana, dan perlu diperluas dengan sasaran memerangi kemiskinan, memperbaiki pembagian pendapatan , memenuhi  kebutuhan pokok dan penyediaan lapangan kerja. Nama-nama pakar internasional seperti Profesor Simon Kusnets, Felix Paukert dan H.T.Oshima, acapkali jadi sumber rujukan dalam diskusi-diskusi tentang hal itu. Kusnets yang telah melakukan pengamatan sejak1954, mulai menginsyafi  adanya hubungan dilematis  antara pertumbuhan ekonomi dan pembagian pendapatan. Perkembangan ekonomi
modern dan modernisasi sosial yang mengiringinya, adalah suatu revolusi yang terkontrol dari suatu proses transisi yang sulit, di mana pergeseran-pergeseran
dalam kelompok-kelompok kepentingan dan perubahan struktural berlangsung cepat sekali.

Namun sampai dengan pertengahan 1970an itu,  bahkan di Indonesia masih juga sampai sekarang,  para pengambil kebijakan tetap saja menggunakan kerangka pemikiran Keynes, Lewis dan juga Rostow,  yang mengutamakan pada laju pertumbuhan, yang diukur berdasarkan perkembangan  Gross National Product (GNP). Padahal tak kurang dari Proklamator Bung Hatta, di awal Repelita I sudah mengingatkan  kurang percaya pada perhitungan GNP, pendapatan per kapita dan semacamnya. Beliau menyatakan  tidak sejalan dengan strategi pembangunan yang menitikberatkan pada usaha menaikkan GNP saja. Sebab hitungan itu tidak cocok dengan kenyataan. Ambillah misalnya, tiga orang. Yang pertama berpendapatan satu juta  setahun.  Yang kedua tiga ratus ribu. Yang ketiga duaratus ribu. Apa dalam kenyataannya bisa dikatakan pendapatan mereka masing-masing setengah juta? Karena itu pada hematnya, usaha mencapai keadilan sosial harus memperoleh prioritas pertama. Dengan tegas Bung Hatta menyatakan tidak sependapat dengan mereka yang beranggapan bahwa kue nasional harus besar dulu baru dibagi.

Felix Pauker (Majalah Prisma,  Februari 1976),  dengan menggunakan data-data dari 56 negara juga sampai pada kesimpulan bahwa pembagian pendapatan memang mengalami  ketimpangan yang terus membesar hingga pendapatan per
kapita mencapai  US$300. Namun setelah titik kritis ini, ketimpangan akan cenderung mengecil, dan proses ini semakin cepat lagi setelah pendapatan per kapita mencapai US$1.000. Dilain pihak, H.T.Oshima  meragukan kebenaran hipotese tersebut setelah meneliti data 7 negara Asia. Menurut Oshima ketidakmerataan pendapatan pada tahap pertama pembangunan  bukan merupakan hal yang tidak  bisa dihindarkan di beberapa negara Asia (Malayan Economic Review, Vol.XV, No.2, September 1970).

Sementara modal asing dan modal besar membanjir, menerjang industri rumah tangga dan industri kecil sehingga gulung tikar,  para aktivis dan mahasiswa bergolak untuk melakukan koreksi.  Pergolakan diawali dengan sebuah diskusi di Universitas Indonesia 13 – 16 Agustus 1973, dengan pembicara  antara lain Ali Sastroamidjojo, Subadio, Sjafruddin Prawiranegara dan TB Simatupang.  Adapun tema diskusi yaitu “Meninjau kembali strategi pembangunan dan kebijaksanaan modal asing, serta masalah ketimpangan dalam pembagian hasil pembangunan”.

Diskusi ini segera menggelinding dengan cepat, menjadi sebuah ‘travelling discussion’ ke berbagai kampus dan daerah, yang dimotori oleh Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Hariman Siregar . Bagaikan gelombang laut yang bergulung sambung-menyambung, melibatkan bukan hanya kalangan mahasiswa tapi juga tokoh-tokoh masyarakat, dosen, pengacara, wartawan, budayawan dan lain-lain. Meskipun pada awalnya diskusi-diskusi tersebut hanya dihadiri oleh beberapa puluh orang saja, tapi karena bersifat terbuka, diliput oleh wartawan dan terjadi terus-menerus, diikuti oleh lintas generasi dan lintas disiplin dengan tema sentral yang sama, serta menyentuh titik-titik rawan dari keresahan sosial, maka dengan cepat membentuk suatu gerakan yang berpotensi eksplosif.

Sebagai wartawan muda yang di siang hari bertugas meliput kegiatan Kepresidenan dan penugasan-penugasan khusus, saya tertarik mengikuti gerakan tersebut, terutama diskusi-diskusi yang diselenggarakan di malam hari antara lain diskusi “Penilaian Situasi Terakhir” tanggal 6 November 1973 di Computer Centre UI, diskusi “Untung Rugi Modal Asing di Indonesia yang diselenggarakan di Balai Budaya, Jakarta yang menelorkan “Ikrar Warganegara Indonesia”,  renungan akhir tahun 31 Desember 1973 di halaman kampus UI Salemba. Bahkan tatkala Ketua IGGI JP Pronk  berkunjung ke Indonesia pada periode itu, saya juga ditugasi untuk mengikutinya, meliput semenjak kedatangannya di Bandar Udara Kemayoran , yang disambut oleh para demonstran,  sampai dengan kunjungannya ke berbagai tempat dan wilayah.

Gerakan ini juga merumuskan sebuah petisi menyambut peringatan Sumpah Pemuda, yang dibacakan di Taman Makam Pahlawan pada tanggal 24 Oktober 1973, yang berisi antara lain:
  1.Strategi pembangunan perlu ditinjau kembali. Strategi yang baru hendaknya
                menciptakan keseimbangan di bidang politik, sosial dan ekonomi.
  2. Rakyat harus dibebaskan dari ketidakpastian hukum, korupsi serta   
      penyelewengan-penyelewengan kekuasaan.
   3.Perlunya refungsionalisasi lembaga-lembaga penyalur pendapat rakyat.
   4.Penentuan masa depan adalah hak dan kewajiban generasi muda. (buku:    ‘Memori Jenderal Yoga’ oleh B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin).

Hampir seluruh kegiatan, tema serta topik-topik diskusi gerakan tersebut  menjadi bahan perhatian wartawan dan pemberitaan media massa,  dan terus mengemuka sampai ke dalam briefing RAPBN 1974/75, hari Minggu malam 6 Januari 1974 di kantor Bappenas, Taman Suropati dan liputan Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto mengantarkan Nota Keuangan dan RAPBN 1974/75 di DPR keesokan harinya. Hari berikutnya lagi saya memperoleh kehormatan mewawancarai Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas Prof.Dr.Widjojo Nitisastro tentang mengapa Pemerintah bersikukuh dengan kebijakan “trickle down theory”, yang memang pada saat itu tidak ada pilihan lain. Berbeda dengan keadaan sekarang, tatkala kita sudah berhasil melakukan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.  
Sampai akhir hayatnya, Pak Widjojo dikenal sebagai pejabat yang “pelit” memberikan keterangan pers apalagi wawancara khusus.  Saya beruntung beberapa kali  memperoleh kehormatan mewawancari bahkan mengikuti kunjungan kerjanya ke  luar negeri. Pak Widjojo juga dikenal sebagai seorang pejabat tinggi yang hidup sederhana. Kesederhanaannya tercermin dari suasana dan perangkat ruang kerja  serta rombongan kunjungan kerjanya, yang hampir tidak pernah membawa staf apalagi ajudan.  Akibatnya saya menyertainya bagaikan seorang pemuda mendampingi  sang ayah yang bepergian jauh sendirian, dengan penuh perhatian dan rasa hormat.

Menanggapi gerakan dan tututan mahasiswa, pada hari Jumat 11 Januari 1974 Presiden Soeharto di Bina Graha, menerima delegasi 90 pengurus Dewan Mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia. Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua jam itu, Hariman Siregar selaku pimpinan delegasi , disamping menyampaikan Petisi 24 Oktober, juga mengemukakan kerisauan mahasiswa atas kesenjangan sosial ekonomi  masyarakat yang semakin melebar.  Bila kesenjangan ini tidak segera diatasi, dia kuatir bisa terjadi seperti pergolakan akibat berbagai kesenjangan di Pakistan, yang kemudian berakhir dengan pecahnya negeri tersebut menjadi Pakistan untuk Pakistan Barat dan Bangladesh untuk Pakistan Timur.

Pak Harto dengan pembawaannya yang tenang dan tetap tersenyum, berusaha menenteramkan para mahasiswa dengan  menjelaskan program-program pembangunan, sebagaimana sudah dituangkan dalam Repelita I. Pembangunan tidaklah segera akan memberi kepuasan dan pemenuhan secara menyeluruh. Semua orang berhasrat untuk segera menikmati hasil-hasil pembangunan. Akan tetapi mengusahakan pembangunan memerlukan sikap hidup yang berani mengurangi konsumsi, berani menabung  dan memupuk modal serta rela membayar pajak. Pembangunan sungguh memerlukan cucuran keringat, kerja keras dan pengorbanan yang tidak kecil. Sementara itu hasil pembangunan tidak akan segera terasa. Hasil jerih payah hari ini baru akan bisa dirasakan beberapa waktu kemudian. Oleh karena itu janganlah mengharap terlalu banyak dalam waktu yang terlalu pendek.  Yang penting kita semua mengetahui ke arah mana bangsa dan negara ini kita bawa. Meyakini apa yang diharapkan dapat terjadi di hari esok.

Di akhir acara beliau menyerahkan buku-buku Repelita I kepada mahasiswa, masing-masing terdiri dari 5 buku yaitu Buku I, IIA, IIB, IIC dan Buku III, dan tidak seperti biasanya, dalam kesempatan itu ia memeluk sang tamu, Hariman Siregar.

Meskipun para pengurus Dewan Mahasiswa sudah bertemu Presiden, ketidakpuasan mahasiswa terus berkobar, di samping karena kebijakan Repelita I yang memang masih lebih mengutamakan pertumbuhan dan mengesampingkan pemerataan,  juga karena gerakan itu sendiri sudah menggelinding bukan hanya menjadi gerakan mahasiswa semata-mata, tapi juga sudah diikuti oleh lintas profesi dan usia. Suasana ibukota Jakarta, semakin hari semakin panas dengan berbagai aksi demontrasi,  yang terkesan mengerucut menjadi anti modal Jepang. Padahal pada Senin malam 14 Januari 1974, Perdana Menteri Jepang  Tanaka direncanakan akan tiba di Bandar Udara Halim Perdanakusuma dalam rangka kunjungan kenegaraan di Indonesia.

Dalam suasana seperti itu, pada sore hari saya memperoleh informasi, secara mendadak Presiden Soeharto memanggil tiga pejabat penting  Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Panggabean,  Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Sumitro dan Menteri Penerangan Mashuri. Keluar dari pertemuan di kediaman Presiden di Jalan Cendana, Jakarta itu, tidak seperti biasanya yang nampak garang, Jenderal Sumitro nampak agak lesu, dan kepada beberapa wartawan yang mencegatnya ia hanya mengatakan, “saya pasrah”. Pertemuan menurut Menteri Penerangan membahas situasi terakhir, khususnya pengamanan penyambutan tamu negara yang akan tiba dua jam lagi, yang menurut informasi akan dihadang oleh para demonstran.

Pertemuan tiga Jenderal bintang empat ( Soeharto, Panggabean, Sumitro) ditambah Menteri Penerangan Mashuri itu ternyata tidak bisa menghentikan gerakan masyarakat yang dimotori para mahasiswa. Memang pada malam itu, ratusan demonstran gagal menghadang Perdana Menteri Tanaka di Halim, namun pada keesokan harinya,  demontrasi yang terus berlangsung, berubah menjadi huru-hara yang membakar Jakarta, yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Malari (Lima Belas Januari).  Buku ‘Memori Jenderal Yoga’ menyebutkan,  peristiwa tersebut mengakibatkan paling kurang 11 orang meningggal, 177 orang mengalami luka

berat, 120 lainnya luka ringan dan 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak/terbakar serta 144 bangunan rusak karena pelemparan batu atau pembakaran. Kerugian harta benda lain sulit dihitung, tapi sedikitnya 160 kg emas  hilang dari sejumlah toko perhiasan.

Meskipun para mahasiswa dan pelajar menegaskan tidak melakukan perusakan dan pembakaran, Dewan Mahasiswa dan Pelajar se-Jakarta  segera menyataan  sikap ksatria mereka yang tidak akan cuci tangan.  Buntut dari Peristiwa Malari, sejumlah tokoh masyarakat, budayawan, para aktivis dan tokoh-tokoh mahasiswa juga ikut ditahan, termasuk Hariman Siregar yang beberapa hari sebelumnya dipeluk Pak Harto di Bina Graha.

Kerusuhan sosial yang membakar Jakarta tatkala sedang berlangsung kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang tadi, mempermalukan aparat intelijen, ketertiban dan keamanan, yang dengan segera dilakukan perombakan besar. Meskipun Pak Harto pasti juga merasa malu dan kecewa sebagaimana kemudian ditersirat dalam pidato akhir tahun 1974, yang menyebut peristiwa tadi sebagai peristiwa pengacauan, toh beliau memperhatikan dengan seksama aspirasi mahasiswa yang menuntut dilakukannya koreksi terhadap strategi pembangunan yang terlalu mengutamakan pertumbuhan.

Dalam Sidang Kabinet seminggu setelah Peristiwa Malari, yaitu Selasa 22 Januari 1974, Pemerintah menggariskan kebijakan terobosan yang cukup mendasar di bidang penanaman modal dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.  Dibidang penanaman modal ditetapkan agar penanaman modal asing harus berbentuk usaha patungan dengan pemodal pribumi. Selanjutnya pada tanggal 11 Pebruari 1974, dibentuk Dewan Pembina Pengembangan Pengusaha Pribumi, dan kemudian dalam memasuki Repelita II (1974 – 1979) dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengakhiri kegiatan usaha asing dalam bidang perdagangan.

Guna mendukung permodalan pengusaha pribumi, sektor informal dan bakul-bakul kecil di pedesaan , diputuskan bahwa kredit investasi hanya diperuntukkan bagi pengusaha pribumi. Juga diperkenalkan  model pembiayaan Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP)  sebesar  Rp.5juta,  Kredit Desa dan Kredit Candak Kulak dari Rp.10.000,- sampai dengan Rp.100.000,-  serta skema asuransi kredit melalui P.T.Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo).

Sedangkan untuk memeratakan pembangunan ke daerah sampai ke pelosok desa, dialokasikan anggaran  pembangunan yang dikenal sebagai Proyek Instruksi
Presiden (Proyek Inpres) Daerah Tingkat (Dati) I,  Inpres Dati II, Inpres Desa, Inpres Kesehatan , Inpres Pembangunan Sekolah Dasar dan Inpres Pasar.

Kebijakan pemerataan pembangunan itu dipertegas dan dirumuskan dalam strategi pembangunan yang semula diwacanakan:  pertumbuhan – pemerataan – pemantapan menuju keadilan sosial, tapi pada pengantar RAPBN  1977/78 Pak Harto memperkenalkan sebagai Trilogi Pembangunan yaitu (1) Stabilitas nasional yang dinamis. (2) Pertumbuhan ekonomi tinggi. (3) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.

Sejalan dengan itu Badan Koordinasi Penanaman Modal memerinci dan menetapkan jenis-jenis usaha apa saja yang hanya diperuntukkan bagi usaha kecil dan koperasi. Jenis-jenis itu tertutup bagi modal asing dan modal besar. Demikian pula Departemen-departemen teknis khususnya Departemen Perindustrian, menindaklanjuti dengan mendorong pengembangan industri kecil, kerajinan dan rumah tangga. Pusat-pusat industri kecil dikembangkan di berbagai daerah.

Dalam periode Kabinet 1983 – 1988, dibentuk unit kerja Usaha Peningkatan Penggunaan Produksi (barang dan jasa) Dalam Negeri (UP3DN) yang aktif memerinci serta  mengarahkan produk dan jasa-jasa apa saja  yang harus dipenuhi
dan memakai produk dalam negeri. Belanja atau pengadaan barang dan jasa  Pemerintah serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diawasi secara ketat. 

Selaku pengurus Gabungan Industri Aneka Tenun Plastik Indonesia,  beberapa kali saya dipanggil rapat oleh Menteri Muda UP3DN Ginanjar Kartasasmita,  untuk membahas kemungkinan bagi anggota kami memproduksi geotekstil di dalam negeri, yang akan dipergunakan sebagai hamparan landasan pembangunan jalan tol Cengkareng. Setelah kami kaji secara mendalam dan ternyata perusahaan anggota kami tidak ada yang sanggup, barulah kontraktor jalan tol tersebut diijinkan mengimpor. Contoh lain lagi, kami  juga diajak berunding dan didorong untuk bisa memproduksi di dalam negeri, kemasan atau kantong-kantong plastik jumbo berkapasitas sampai dengan satu ton.

Dengan cara-cara seperti ini, tumbuh dan berkembang pengusaha-pengusaha muda nasional yang beberapa diantaranya sekarang telah menjadi pengusaha besar yang sukses.

Sejalan dengan itu semua, gerakan menabung yang sudah dimulai pada Repelita I semakin ditingkatkan.  Jenis-jenis tabungan masyarakat di perbankan dan kantor pos diperbanyak, dengan keringanan-keringanan bea adminstrasi dan manajeman, agar tabungan-tabungan kecil yang dimiliki masyakarat bawah tidak habis digerogoti oleh beban-beban administrasi dan manajemen bank atau lembaga keuangan di mana mereka menabung. Lebih dari itu, kepada para penabung justru diberikan insentif berupa undian berhadiah.

Pola hidup sederhana juga digalakkan. Kunjungan-kunjungan ke daerah yang memang diperlukan, dianjurkan memakai pola inspeksi mendadak. Rombongan kunjungan kerja dibatasi, upacara-upacara disederhanakan. Bahkan pesta-pesta keluarga pegawai negeri dan TNI/Polri khususnya pesta perkawinan pun dibatasi, termasuk jumlah undangannya. Saya tidak sempat mencari data yang tepat, tapi seingat saya paling banyak sekitar 250 (duaratus limapuluh) undangan, dan tidak boleh di tempat-tempat mewah seperti hotel dan sejenisnya. Pada masa itu, balai-
balai pertemuan mewah hanya ada di hotel-hotel. Balai-balai pertemuan mewah seperti Bidakara, Balai Sudirman,  Balai Kartini dan Balai Sidang Senayan sekarang ini, belum ada.

Strategi Pembangunan yang dinamakan Trilogi Pembangunan itu, meskipun  pemerataan di jadikan butir ketiga, namun dalam berbagai pengarahannya Pak Harto menegaskan agar di dalam pola oprasionalnya didahulukan, dijadikan batu pijakan. Sebagai contoh, dalam pidatonya tatkala meresmikan dua pabrik teh di Panglejar, Bandung, 18 Mei 1984,  Presiden berkata: “Watak kerakyatan pembangunan harus kita camkan sedalam-dalamnya dalam jiwa kita. Harus tercermin jelas dalam keseluruhan perencanaan dan  pelaksanaan pembangunan”.

Sayang sekali, berbagai kebijakan yang pada awalnya berjalan baik itu, tidak berlangsung lama. Selalu saja tantangangannya adalah bagaimana melaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara
(BAKIN) Jenderal Yoga Sugomo, yang selama sebelas tahun hampir pada setiap Jumat malam di kediaman Pak Harto, Jalan Cendana 8, selalu menyampaikan analisa keadaan terakhir serta perkiraan keadaan ke depan, tak jemu mengemukakan potensi ancamannya, yaitu dua hal bersumber dari aparat dengan sistemnya dan satu lagi berpa “intruder” atau pengganggu-pengganggu di sekeliling kita.

Yang bersumber dari aparat adalah pertama, para birokrat kita belum bisa membuktikan dirinya sebagai abdi masyarakat, yang gaji berikut kemudahan-kemudahan yang mereka nikmati berasal dari pajak rakyat. Mereka belum, dan sebab itu harus benar-benar memahami strategi pembangunan tersebut, serta melaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Kedua, sistem komunikasi dan
penerangan pembangunan belum mampu merangsang interaksi antara pemerintah dan masyarakat , apalagi menggerakkan peranserta dan swadaya masyarakat.

Adapun yang berupa pengganggu adalah bisnis kroni keluarga pejabat mulai dari tingkat pusat sampai daerah, yang saling berkelindan dan saling menguntungkan dengan  aparat,  sehingga  acapkali melahirkan perlakuan-perlakuan istimewa yang mudah mengobarkan kecemburuan sosial. Yang sangat menyolok pada saat itu adalah berbagai kebijakan monopoli atas beberapa komiditi perdagangan. Sepak terjang mereka melahirkan istilah-istilah olok-olokan seperti “rent seeker economy” dan “profit before investasi” atau “profit before operation”.

Tentu tidak mudah membuat analisa seperti itu untuk disajikan kepada Presiden. Staf-staf pak Yoga Sugomo harus bekerja keras mengumpulkan bukti fakta-fakta dan perkiraan keadaan secara cermat, yang dikemas secara indah agar Pak Harto bisa menerima tanpa harus tersinggung.  Dalam beberapa hal misalkan masalah monopoli, dengan didukung oleh sejumlah Menteri dan pejabat tinggi lainnya, akhirnya bisa meyakinkan Pak Harto sehingga  kemudian menghapuskannya. Tetapi tidak selamanya Pak Yoga berhasil, sampai suatu saat pada sekitar pertengahan tahun 1985,  merasa jemu dan bahkan patah arang (lihat tulisan: “Cara Presiden Soeharto Merekrut Para Menterinya”).

Demikianlah, tidak mudah menjaga pengelolaan negeri ini agar istiqomah, agar konsisten dan konsekuan dalam menjalankan strategi pembangunan yang mengusung sekaligus tiga sasaran yaitu pertumbuhan – pemerataan – stabilitas nasional. Tidak mudah membuat  rakyat kecil bisa tertawa bahagia, menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dalam suasana  adil, makmur sejahtera. Selalu saja strategi itu jatuh bangun, pasang-surut berebut mana yang paling utama. Bahkan sampai sekarang, sangat terasa perekonomian negeri ini sudah seperti dijajah kembali oleh kekuatan  asing, yang justru kebih mengkhawatirkan dibanding di zaman Orde Baru,  karena jalan permadani merahnya dihamparkan  oleh para elite melalui berbagai perangkat hukum dan perundang-undangan. Kalau toh ada pengusaha-pengusaha nasional yang berjaya, dari heboh kasus pemberian  Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) semenjak tahun 1997, sampai dengan gambaran
di tahun 2012 ini, secara kasat mata orang bisa menghitung jumlah mereka dan siapa mereka, yaitu-itu saja yang tak lebih dari hitungan dua digit.

Maka sungguh tidak terkejut kita membaca di harian Kompas, Rabu 5 September 2012, penilaian dua pakar ekonomi dunia yang menyatakan pertumbuhan ekonomi tidak menjamin pemerataan.  Kedua pakar itu adalah Eric Maskin, penerima
Penghargaan Nobel Ekonomi tahun 2007, dan Kaushik Basu, Guru Besar Ekonomi Universitas Cornell, Amerika Serikat.  Mereka datang ke Jakarta guna mengikuti  Konferensi Asosiasi Pembangunan Manusia dan Kapabilitas.
Menurut mereka, mengukur pembangunan hanya dari produk domestik bruto atau GNP dan pertumbuhan ekonomi, menghilangkan kenyataan ada ketimpangan di masyarakat dalam menikmati hasil pembangunan. Hal ini disebabkan produk domestik bruto hanya melihat pendapatan secara rata-rata dan pertumbuhan ekonomi, dan tidak melihat manfaat pada pembangunan manusia.

Mereka juga menyimpulkan, globalisasi merupakan salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan, terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia.  Globalisasi dapat menaikkan pendapatan rata-rata, tetapi menimbulkan masalah distribusi pendapatan. Globalisasi menguntungkan hanya tenaga kerja terlatih dan terdidik.

Sekarang terpulang kepada kita segenap anak bangsa, bagaimana kita mengambil pelajaran  dan memetik hikmah dari masa lalu. Akankah kita kembali jatuh bangun, terperosok pada lubang kesalahan  yang sama? Celakanya adalah jika pertumbuhan yang dikejar itu bertumpu pada obral hasil sumber daya alam secara mentah tanpa diolah di dalam negeri terlebih dulu menjadi produk akhir, seperti yang sekarang berlangsung, maka  yang  sesungguhnya terjadi adalah eksploitasi  yang mengakibatkan  kerusakan alam yang dahsyat,  sekaligus  pemiskinan nasional yang luar biasa cepat.
Naudzubillah. (B.WIWOHO).

Beji, 12 September 2012.