Jumat, 18 Maret 2016

JUNUS JAHJA : PRIBUMI KUAT KUNCI PEMBAURAN

Ini adalah cover buku yang kami terbitkan untuk mensyukuri usia sahabat kami Junus Jahja yang ke 70, 22 April 1997. Junus Jahja adalah WNI Keturunan Cina, tokoh pembauran yang memperoleh Bintang Mahaputera Utama dari Presiden BJ.Habibie. Sampai akhir hayatnya dengan tubuhnya yang sangat renta dan ringkih, ia terus akjtif memperjuangkan pembauran nasional. Salah satu syarat (yang disetujui oleh banyak sahabat), pada hematnya adalah "Pribumi Kuat Kunci Pembauran". Siapa pun yang tidak setuju dan tidak membantu terwujudnya hal tersebut, pada hematnya tidak cinta pada Indonesia. Insya Allah pandangan, sikap dan kiprahnya bersama para sahabat pendamba pembauran demi integrasi dan keharmonisan nasional akan kami himpun dan terbitkan dalam buku baru Mei 2016 yad. Allahumma aamiin.

Selasa, 15 Maret 2016

TANTANGAN KEPEMIMPINAN NASIONAL DI MASA PERANG ASIMETRIS : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (26).





Membahas masalah kepemimpinan dari masa ke masa, ibarat membuka kalender kehidupan yang sambung menyambung tiada henti. Sebab usia kepemimpinan itu sendiri seiring dan sejalan dengan peradaban manusia yang senantiasa bergerak dan berubah.

Apa yang telah diuraikan dalam tulisan-tulisan sebelumnya hanyalah sekelumit dari timbunan yang bak gunung, dalam gudang sejarah nan luas tak bertepi dan tak beratap. Buat kita yang penting adalah sejauh mana bisa memetik hikmah dan pelajaran darinya.

Pada tahun 1991  para pengamat sosial politik telah digemparkan oleh tulisan Sammuel P.Huntington (The Third Wave: Democratization in The Late Twentieth Century, University of Oklahoma Pers, 1991), yang menyatakan bahwa gelombang demokrasi telah terus-menerus tanpa henti menghantam pantai kediktatoran; dan untuk mewujudkan demokrasi, para elit politik di masa depan harus percaya bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling sedikit keburukannya. Oleh karena itu mereka harus memiliki ketrampilan untuk mewujudkannya, terutama dalam menghadapi golongan konservatif yang pasti akan terus bertahan.

Demokrasi itu sendiri mempunyai dua dimensi yaitu, dimensi kemasyarakatan dan dimensi kekuasaan/pemerintahan. Prinsip dasar tingkat kemasyarakatan adalah, masyarakat memiliki kebebasan yang hanya dibatasi oleh konstitusi, hukum dan etika. Sebaliknya di tingkat pemerintahan, pada dasarnya terbatas, sehingga pemerintahan dalam demokrasi disebut “governing” dan bukan “rulling”. Governing adalah satu proses pengelolaan kekuasaan di mana keputusan-keputusan secara sepihak, tetapi dirundingkan melalui proses tawar-menawar yang demokratis dan transparan.

Perubahan dalam sistem ketatanegaraan tersebut membawa dampak besar dalam aturan main dan gaya kepemimpinan ataupun pemerintahan. Namun demikian bebagai literatur klasik maupun modern menunjukkan bahwa etika dan moral kepemimpinan tidaklah berubah. Etika dan moral kepemimpinan dari suatu negara yang bermoral yang mengutamakan keadilan, ketenteraman, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya merupakan suatu kebutuhan yang universal.

Memahami Permasalahan.

Namun demikian gelombang demokratisasi yang dikumandangkan Sammuel Huntingtong tadi, tidaklah berjalan sendiri. Ia bergulung bersama gulungan-gulungan Gelombang Globalisasi yang berlangsung sebagai dampak berpadunya kekuatan modal dengan kemajuan ilmu-teknologi yang super canggih. Tak jemu penulis mengingatkan, Gelombang Globalisasi tersebut telah mengumandangkan musik jiwa yang menggalang alam pikiran manusia, untuk terpadu secara total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia melalui kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir. Dimensi rasionalitas yang ditata dalam tiga sistem utama yakni sistem pasar bebas, sistem sosial politik demokratis yang individualis dan sistem sosial budaya yang lepas bebas, sudah mulai kita rasakan dampaknya dengan berkembangnya sikap dan gaya hidup masyarakat yang hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan narsis.

Musik jiwa dimensi rasionalitas dengan 3 (tiga) paket sistem utama tersebut, menyerbu secara dahsyat negara-negara bangsa, dengan mengerahkan 17 (tujuhbelas) Divisi Perang yang menggempur setiap aspek kehidupan rakyat negara bangsa (http://bwiwoho.blogspot.co.id/2014/02/kapitalisme-global-kekuatan-perang.html).
Tiga Divisi Perang diantaranya menggempur secara langsung peradaban sesuatu bangsa termasuk Indonesia, terutama pada  aspek nasionalisme, sosial budaya, kearifan lokal, adat dan tradisi, agama serta spiritualisme. Perang seperti itulah yang sekarang kita kenal sebagai perang asimetris, yaitu peperangan gaya baru secara non militer, tetapi memiliki daya hancur yang tidak kalah hebat bahkan dampaknya lebih dahsyat dari perang militer.
Perang asimetris memiliki spektrum yang sangat luas yang oleh Dewan Riset Nasional  dirumuskan mencakup aspek-aspek astagatra yang merupakan paduan antara trigatra yaitu geografi, demografi, dan sumber daya alam/SDA serta pancagatra yakni ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya [Dewan Riset Nasional (DRN), 2008, Suatu Pemikiran tentang Perang Asimetris (Asymmetric Warfare), Jakarta].

Di Indonesia, kini sudah semakin disadari pula bahwa Perang Semesta itu juga telah masuk dan menguasai bidang politik dengan slogan  “Demokrasi, HAM & Lingkungan Hidup". Adalah sebuah kenyataan pahit, mereka sedang berusaha keras  memporakporandakan ketahanan nasional khususnya aspek Pertahanan dan  Keamanan, telah menjarah sumber daya nasional kita terutama Sumber Daya Alam  serta mencoba mengendalikan Kepentingan National Indonesia.

Dalam  hal nasionalisme, Gelombang Globalisasi berusaha melunturkan serta mendangkalkan nilai dan semangat nasionalisme sesuatu bangsa atau negara, mengobarkan separatisme dan disintegrasi, memecah-belah, menghancurkan militansi rakyat, menciptakan kesenjangan sosial ekonomi serta menyuburkan konflik horizontal dan vertikal.

Dalam aspek sosial budaya, Gelombang Globalisasi menggelorakan sex bebas dan sex sejenis seperti halnya LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender), mengobarkan budaya hidup yang hedonistis-individualistis, pragamatis-materalitis dan narsistis, merusak dan menghancurkan bangunan tata nilai keluarga – kebersamaan – gotongroyong, merusak serta menghancurkan moral masyarakat, kebudayaan, adat, tradisi dan kearifan lokal,

Dalam aspek  agama dan spiritualisme, Gelombang Globalisasi mendangkalkan dan menghancurkan nilai-nilai moral spiritual dan kesalehan yang hakiki, melibas tradisi dan kearifan lokal yang memperkuat spiritualisme dan agama, menciptakan dan mengembangkan aliran-aliran sesat, mengembangkan sekularisme dan secara khusus melakukan deislamisasi terhadap pemeluk agama terbesar dan militan ini.

Gempuran dahsyat tersebut kini sudah bisa kita lihat pada pola pikir, perilaku, gaya hidup dan  bahkan peradaban masyarakat. Nampak jelas, masyarakat Indonesia kini  sedang mabok dalam alunan musik jiwa yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis. Kita mulai berubah menjadi masyarakat yang sangat egois, yang memuja diri sendiri, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya agar bisa “berkuasa dan kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.” Hidup kita menjadi boros, keras lagi mementingkan diri sendiri. Menjadikan kesalehan hanya sekedar sebagai formalitas.

Pola hidup masyarakat sedang berkembang pesat ke pola hidup yang sangat konsumtif berlebihan, serba mewah dan gemerlap, sehingga menjadikan negeri kita senantiasa defisit dalam neraca pembiayan dan perdagangan luar negerinya. Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor. Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik semen, rokok dan toko-toko kelontong dan bahan pokok, juga dikuasai oleh modal asing atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di sekitarnya tetap miskin dengan tingkat kesenjangan sosial ekonomi bahkan politik yang semakin melebar.  (http://bwiwoho.blogspot.co.id/2015/09/revolusi-mental-demi-mencegah.html , bahan seminar “Revolusi Mental Mewujudkan Ekonomi Berdikari, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unversitas Gajah Mada, 4 September 2015).


Revolusi Peradaban Sebagai Keharusan.

Tata nilai kehidupan yang dibentuk oleh Kapitalisme Global tersebut, apabila tidak segera dihentikan dan diantisipasi, sudah pasti akan segera menghancurkan diri kita sendiri, bahkan meluluhlantakkan Indonesia sebagai negara bangsa. Hal itu sangat dimungkinkan sejalan dengan kekuatiran Prof.Dr.M.Sahari Besari, yang menyatakan sistem nilai serta struktur sosial masyarakat Indonesia ternyata tidak terkonstruksi untuk mengakomodasi, apalagi melawan, gelombang dahsyat globalisasi yang datang tanpa henti. (Teknologi di Nusantara, 40 Abad Hambatan Inovasi, M.Sahari Besari, Penerbit Salemba Teknika 2008, halaman 1).

Perubahan total atas tata nilai hedonis dan lain-lainnya tadi, bukanlah sekedar merupakan Revolusi Mental melainkan Revolusi Budaya, Revolusi Peradaban, yang sudah merupakan keharusan yang mendesak. Karena tata nilai hedonis dan sekutunya tersebut, pada hakikatnya adalah krisis moral bahkan krisis peradaban yang akan  membawa bangsa Indonesia masuk ke dalam pusaran krisis multidimensi yang besar, berat dan kompleks.

Karena kita tidak mungkin menghindar dari percaturan global, maka dengan memahami gempuran Perang Semesta dari Gelombang Globalisasi tadi, kita bisa menarik kesimpulan,  gempuran perang asimetris dengan alunan musik jiwanya masih akan terus berlangsung; oleh karena itu kita harus bergerak cepat, tepat dan  memadai. Jika tidak, maka  eksistensi kita sebagai negara bangsa di kawasan negeri maritim Nusantara Raya ini, yang terdiri lebih dari 300 etnis dengan ragam adat budaya masing-masing, yang tersebar di lebih 17.500 pulau akan sangat terancam.

Itulah tantangan dan peperangan yang sedang dan masih akan dihadapi oleh kita bangsa Indonesia. Untuk itu kita membutuhkan Pemimpin yang bisa memimpin kita mengatasi tantangan dan memenangkan Perang Semesta Global. Pemimpin yang memahami persoalan bangsanya, yang bermoral dan bermental baja, yang mampu berpikir dan bertindak cepat, yang tidak takut dengan risiko atas diri pribadinya apalagi sekedar pencitraan, namun sangat peduli pada kehidupan dan kesejahteraan masyarakatnya. Semoga Gusti Allah Yang Maha Kuasa, menganugerahi kita pemimpin-pemimpin yang seperti itu. Aamiin. Berikutnya, Seri terakhir: INILAH  PEMIMPIMPIN YANG KITA BUTUHKAN : PEDULI, BERSIH, SEDERHANA & MENGABDI.





Rabu, 09 Maret 2016

OPERASI WOYLA 35 TAHUN SILAM

OPERASI WOYLA 35 TAHUN SILAM. Silaturahmi dengan crew pesawat Garuda Woyla yang dibajak 28 Maret 1981. B.Wiwoho baju hitam menghadap lensa, sebelah kanan BW adalah Co Pilot Hedhy Juwantoro, jilbab merah pramugari Deliyanti dan jilbab hitam pramugari Retna Wiyana Barnas. Siapa mau gabung? Pak No, pak Hidayat......dll dll....yuukkkkk kita ngumpul....


KELOMPOK YANG HARUS DISINGKIRKAN DARI PEMERINTAHAN : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (25).




Suatu Pemerintahan akan kuat dan berjaya mewujudkan visi-misinya apabila terdiri dari seorang penguasa dengan para pembantu-pembantunya, yang kompak dalam satu tim kerja. Terhadap hal ini Al Ghazali mengutip pendapat Aristoteles yang menyatakan, “Sebaik-baik penguasa adalah orang yang pandangannya tajam bak burung rajawali, sedangkan orang-orang yang berada di sekelilingnya memiliki kecerdasan serupa, bagaikan banyak burung rajawali, bukan seumpama burung pemakan bangkai.”

Dengan mengkombinasikan pandangan tokoh-tokoh lain di masa sebelumnya, Al Ghazali kemudian menegaskan adanya tiga kelompok orang yang harus disingkirkan dari sisi penguasa yaitu: (1) Orang-orang yang menodai kekuasaannya; (2) Orang-orang yang menodai kehormatannya; (3) Orang-orang yang menyebarkan rahasianya.
Tipuan yang paling berbahaya. Selain mengajarkan untuk menyingkirkan tiga kelompok orang, Al Ghazali memperingatkan pula untuk mewaspadai hal-hal yang bisa menipu penguasa, terutama tiga hal yang paling berbahaya yaitu kekuasaan, kekuatan dan kesenangan akan pendapat dan pengetahuannya. Tiga hal ini serupa dengan ajaran Sinuhun Pakubuwono IV dalam Serat Wulangreh sebagai berikut :

wonten pocapanipun,
adiguna adigang adigung,
pan adigang kidang adigung pan èsthi,
adiguna ula iku
telu pisan mati sampyuh.

Terjemahan bebasnya adalah, ada ungkapan tentang adiguna adigang adigung. Yang adigang yaitu kijang yang menyombongkan kekuatan serta kecepatannya dalam berlari. Yang adigung adalag gajah yang takabur atas kebesaran dan kehebatan fisiknya, sedangkan yang adiguna adalah ular yang merasa paling hebat dengan racun atau bisanya yang mematikan lawan. Tetapi tatkala diadu ketiganya mati bersama-sama tiada yang menang.

Secara harfiah adigang berarti takabur dengan kekuatannya, adigung dengan kebesaran dan keagungan dirinya, sementara adiguna berarti takabur dengan  kepandaian dan pengetahuannya. Ketiga sifat buruk itu mudah melekat pada setiap diri manusia, terutama yang yang sedang berkuasa.

Tentang ketiga tipuan tersebut, ada baiknya juga kita merenungkan sebuah pelajaran dari kisah Oedipus dalam mitologi Yunani, tentang kecaman Antigone putri Oedipus kepada Kreon penguasa Tebes, “Kelemahan seorang tiran adalah melakukan apa saja yang dipikirkannya cocok tanpa banyak mendengarkan pikiran rakyatnya.”

Syarat Kepemimpinan. Di samping beberapa kiat kepemimpinan di atas, ada baiknya pula kita menyimak syarat-syarat kepemimpinan menurut filsuf-filsuf Islam terkemuka lainnya. Al Farabi (870 – 950M) misalkan dalam bukunya “Al Madinah al Fadilah,”  menetapkan 12 (dua belas) syarat, dan syarat yang pertama adalah sempurna anggota badannya. Satu setengah abad kemudian Al Ghazali (1058 – 1111M) memerasnya menjadi 4 (empat) persyaratan utama yakni (1) Najdah, cukup memiliki kekuatan dan wibawa; (2) Kifayah, mampu menyelesaikan segala soal; (3) Wara’, bersih dan jujur sikap hidupnya; (4) Ilmu, mempunyai pengetahuan, yang dalam perwujudannya dapat dibantu oleh suatu tim.

Imam Al Mawardi, tokoh seangkatan Al Ghazali sementara itu menguraikan syarat dan sebab-sebab yang cukup kuat untuk membebastugaskan seorang Kepala Negara, ialah (1) Pelanggaran moral umum atau moral politik dan pelanggaran terhadap keyakinan agama Islam; (2) Mengalami gangguan atau cedera kesanggupannya dalam menjalankan tugas, baik karena panca indera atau anggota tubuhnya rusak, maupun karena kebebasannya untuk berbuat sudah hilang atau akalnya tidak sehat lagi.

Sahabatku, sebagaimana sabda Kanjeng Nabi Muhammad Saw., kita semua ini adalah pemimpin dalam ruang lingkup tugas dan kehidupan kita masing-masing. Sebagai pemimpin, marilah kita jaga keras agar tidak terjerumus dalam kelemahan seorang tiran, yang cenderung melakukan apa saja yang menurut kita paling benar dengan tanpa banyak mendengarkan pikiran rakyat atau anak buah kita. Lebih-lebih bagi para sahabat yang berada dalam lapisan elit kepemimpinan nasional. Janganlah kita merasa benar dan hebat sendiri. Jangan sesumbar dan jangan menggampangkan persoalan. Semoga. Berikutnya: TANTANGAN KEPEMIMPINAN DI MASA PERANG ASIMETRIS.



DIALOG FESTIVAL ISTIQLAL : PEJABAT TIMTIM HARUS MAMPU AYOMI MASYARAKAT

Kiriman Arsip Lama:

IN/ET: RPK - Pejabat di Timtim Haru

From: apakabar@clark.net
Date: Fri Oct 20 1995 - 08:27:00 EDT
From: John MacDougall <apakabar@clark.net>
Subject: IN/ET: RPK - Pejabat di Timtim Harus Mampu Ayomi Masyarakat

   [LINK] (Republika - Kamis, 19 Oktober 1995)
   
                PEJABAT DI TIMTIM HARUS MAMPU AYOMI MASYARAKAT
                                       
   
   JAKARTA -- Koordinator Muallaf Asal Timor Timur se-Jabotabek
   (Kormattim) kemarin mengeluarkan pernyataan sikap. Pernyataan yang
   ditandatangani 18 pemuda muslim Timtim itu, antara lain, meminta
   pemerintah agar menempatkan pejabat yang mampu mengayomi seluruh
   lapisan masyarakat Timtim dan memiliki wawasan kebangsaan.
   
   Pernyataan empat butir itu dibacakan Ketua Umum Kormattim Abdel Malik
   KA Soares dalam dialog jamaah Majlis Taklim se-Jakarta dengan panitia
   Festival Istiqlal II di Masjid Istiqlal Jakarta.
   
   Dalam pernyataan sikap tersebut, mereka juga mengharapkan agar
   pemerintah menghapus sistem tiga pilar di Timtim. Ketiga pilar yang
   dimaksud adalah: gereja sebagai penentu kebijaksanaan/penguasa
   tertinggi, Pemda/Birokrasi berada di tengah-tengah, dan ABRI yang
   berada di bawah.
   
   "Ketiga pilar tersebut tidak sesuai dengan sistem demokrasi Pancasila,
   karena sistem tersebut merupakan warisan Portugis yang menyerahkan
   kekuasaan sepenuhnya kepada Gereja Katolik. Dengan demikian, sistem
   yang diterapkan di Timtim tersebut tidak konstitusional," katanya.
   
   Mereka juga mengimbau dipercepatnya upaya membangun kembali Timtim.
   Berkait dengan rusaknya berbagai bangunan setelah terjadinya kerusuhan
   awal September lalu, termasuk bangunan sarana umum seperti pasar,
   masjid dan sekolah, mereka mengharapkan pemerintah pusat -- dalam hal
   ini Pemda Tingkat I Timtim -- untuk segera membangun kembali sarana
   dan prasarana ibadah (masjid/musala), sarana pendidikan, pasar, kantor
   serta rumah dinas lainnya.
   
   Sebelum pembacaan pernyataan, Soares memperkenalkan satu per satu
   pemuda-pemudi muslim yang kini tengah menempuh pendidikan di berbagai
   lembaga pendidikan Islam, seperti IAIN Jakarta, Universitas
   Muhammadiyah Jakarta, Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Lembaga
   Pengetahuan Islam dan Arab Jakarta, dan beberapa lembaga pendidikan
   Islam lainnya.
   
   Soares pun sempat mengisahkan keadaan umat Islam di Timtim.
   Penderitaan yang dialami orang-orang Islam Timtim awal September lalu,
   bukanlah yang pertama. "Sejak 1985 kami diintimidasi dan ditindas.
   Anehnya, tidak satu pun media massa dan elektronik yang mau
   mengungkapkan penderitaan tersebut," paparnya.
   
   Soares menyatakan, mereka memiliki beban yang sangat tinggi untuk
   melakukan kegiatan dakwah di tempat asalnya. "Tapi itu tetap harus
   kami laksanakan," tandasnya.
   
   Untuk itu, mereka mengharapkan dukungan dari saudara-saudara muslim di
   berbagai daerah agar kegiatan belajar mengajar mereka demi membangun
   umat Islam di Timtim bisa terlaksana dengan baik. "Dukungan Bapak dan
   Ibu sangat besar artinya untuk pengembangan dakwah di propinsi
   termuda," harapnya.
   
   Soares juga menjelaskan bahwa Islam bukan sesuatu yang baru saja
   berkembang di Timtim. Ketika penjajah Portugis masuk ke Timtim pada
   tahun 1512, katanya, mereka justru disambut oleh orang-orang Islam
   yang dipimpin Syekh Abdullah Afif.
   
   Mendengar penuturan pemuda muslim asal Timtim itu, tidak sedikit
   jamaah majlis taklim yang terharu. "Saya benar-benar terharu mendengar
   kisah langsung dari orang-orang Timtim," ungkap Kamsanah HDM. Menurut
   sekretaris Yayasan Permata Sari ini, sudah selayaknya umat Islam di
   tempat lain mendukung kegiatan orang-orang Islam di Timtim.
   
   "Sebagai saudara sesama muslim, kita wajib membantu orang-orang Islam
   di Timtim. Kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita, dan penderitaan
   mereka adalah penderitaan kita juga," tutur H. Murni asal Pademangan
   Utara, Jakarta Barat.
   
   Secara spontan, para hadirin yang memenuhi ruang dialog jamaah majlis
   taklim se-Jakarta dengan panitia Festival Istiqlal II dan
   pemuda-pemudi muslim Timtim itu, sempat menghimpun dana bagi umat
   Islam di Timtim.
   
   "Dana ini belum sempat kami hitung. Ini terkumpul secara spontan saja.
   Mudah-mudahan bisa membantu biaya pendidikan adik-adik di sini," papar
   B Wiwoho, kepala bidang Humas FI II saat menyerahkan bantuan dana
   tersebut kepada wakil pemuda-pemudi muslim Timtim. dam (https://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/10/20/0015.html)
     ________________________________________________________

Rabu, 02 Maret 2016

SENI & KIAT KEPEMIMPINAN AL GHAZALI : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (24




Sahabatku.                                                                                                                                                                                                                                                                Setelah membahas berbagai seni, kiat dan falsafah kepemimpinan berbagi tokoh dunia maupun Jawa, marilah kita kembali mengkaji seni dan kiat kepemimpinan Al Ghazali sebagaimana yang dituangkan dalam bukunya Nasihat Bagi Penguasa.

Siasat Politik. Nikmat paling besar setelah nikmat Islam menurut Al Ghazali adalah kesehatan dan ketenteraman. Rasa aman tenteram masyarakat banyak, dapat tercapai hanya dengan siasat politik sang penguasa. Oleh karena itu seorang penguasa mesti menggunakan siasat politik  yang dilaksanakan secara adil. Sebagai khalifah Allah di muka bumi, maka seorang penguasa harus memiliki kemuliaan, yakni kewibawaan dan kenegarawanan yang dirasakan, diakui, disegani dan dihormati rakyatnya di mana pun berada.

Kemuliaan Pemimpin. Demi menjadikan dirinya mulia di mata rakyat, seorang Pemimpin, Penguasa atau Raja harus melakukan tiha hal yaitu: Pertama, menciptakan keamanan, dengan melindungi seluruh pelosok negeri dari gangguan keamanan. Rakyat yang dilanda ketakutan lantaran perasaan tidak aman akan menganggap pemimpinnya sebagai orang yang lemah. Kedua, menghormati dan menghargai para cerdik pandai. Ketiga, mencintai orang-orang yang memiliki keutamaan.

Hal buruk yang harus dihindari. Seorang Pemimpin atau penguasa, lanjut Al Ghazali, harus taat kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw.  Ketidaktaatan seorang pemimpin terhadap perintah Allah dan sunah rasul merupakan hal yang buruk. Di samping itu seorang pemimpin negara juga tidak boleh memasukkan kecintaan atau pun kebencian atas sesuatu ke dalam hati. Demikian juga ia harus menghindari kecenderungan emosional dan pilih kasih, tidak bertindak seronok-gegabah dan tergesa-gesa. Namun lebih dari itu, tiga hal buruk berikut ini harus dicegah yaitu marah dan murka, loba dunia dan kikir.

Yang harus melekat dan yang harus dijauhi. Ada empat hal yang selalu wajib melekat pada diri penguasa yakni akal, adil, sabar dan sifat malu.Sebaliknya ada empat hal pula yang harus dijauhi ialah dengki, sombong, kikir dan permusuhan.

Lima kewajiban. Yang dimaksud kewajiban di sini bukanlah kewajiban sebagaimana yang terkait dalam tujuan dan cita-cita bernegara, melainkan kewajiban dalam rangka seni dan kiat kepemimpinan. Dalam hal ini Al Ghazali menggariskan enam hal. Pertama, menjauhkan orang-orang bodoh dari kepemimpinan dan pemerintahannya. Kedua, merekrut orang-orang cerdas dan potensial demi membangun negeri. Ketiga menghargai orang tua dan orang bijak. Keempat, melakukan uji coba dan meningkatkan kemajuan negara dengan melakukan penertiban serta pembersihan terhadap segala tindak kejahatan. Kelima, taat 
pada aturan serta Undang-Undang dan jangan sekehendak hati.

Di samping hal-hal tersebut, Al Ghazali juga menganjurkan seorang penguasa meneladani ajaran Plato mengenai tanda-tanda seorang penguasa yang berjaya, serta ajaran Socrates tentang ciri-ciri penguasa yang kekal kekuasaannya.

Ajaran Plato yang dianjurkan adalah fisik yang kuat, diam yang bermakna, pendapat yang selalu direnungkan dan dipertimbangkan dengan hati, rasional dalam pemerintahan, mulia hatinya, dicintai rakyat, sayang terhadap pegawai dan bawahannya, belajar dari sejarah serta konsisten terhadap agama dan keputusannya.

Sedangkan ajaran Socrates yang dianjurkan yaitu, menghidupkan akal dan agama di hatinya, pemikirannya logis dan relistis, cinta ilmu pengetahuan, memiliki keutamaan dan rumah yang besar, mendidik orang-orang yang suka membesar-besarkan kelemahan orang lain dari pemerintahan sehingga terhindar dari caci-maki.

Sahabatku, inilah sebagian dari seni dan kiat kepemimpinan yang diajarkan oleh Sang Pembela Akidah Islam Al Ghazali. Nampak adanya benang merah mengenai etika dan moral kepemimpinan, baik dari ajaran-ajaran Islam, filsuf-filsuf Cina, Jawa maupun Yunani. Semoga kita bisa meneladaninya. Aamiin. Berikutnya: KELOMPOK YANG HARUS DISINGKIRKAN DARI PEMERINTAHAN.