Rabu, 28 Oktober 2020

BUKU ORANG JAWA MENCARI GUSTI ALLAH

Buku baru ORANG JAWA MENCARI GUSTI ALLAH, CIPTA - RAHSA - KARSA. Dilengkapi kajian SERAT WIRID HIDAYAT JATI,


 

Senin, 26 Oktober 2020

RASULULLAH LEBIH DULU MENGUCAPKAN SALAM DAN MENGULURKAN TANGAN. KITA?

 

Sudahkah kita sambut salam dan doa sahabat? Mosyok sih  gak mau didoakan?

Seorang ibu anggota Jemaah Pengajian  An-Nisa di kediaman kami, bertanya bagaimana menyikapi tetangga yang tidak mau membalas ucapan salam. Pertanyaan seperti ini bukan pertama penulis terima. Juga pertanyaan mengapa teman-teman media sosial jarang yang mau membalas salam dan doa. Mengapa dikirim doa kok tidak pada mau menjawab?

Sebelum mengupas lebih lanjut, ijinkan penulis mengisahkan bagaimana sikap Kanjeng Nab Muhammad saw. dalam bersilaturahmi dan bertegur sapa. Muhammad Husain Haekal dalam Hayat Muhammad  menulis, Rasulullah apabila mengunjungi sahabat-sahabat duduk di mana saja ada tempat yang terluang. Ia bergurau , bercakap-cakap, bergaul dengan mereka.  Anak-anak mereka pun diajak bermain dan didudukkan dipangkuannya.

Dipenuhinya undangan yang datang dari orang merdeka atau dari si budak dan si miskin. Dikunjunginya orang yang sedang sakit, termasuk yang jauh di ujung kota. Orang yang datang minta maaf dimaafkan, dan luar biasa, dengan rendah hati Baginda Rasul memulai memberi salam kepada orang yang dijumpainya. Bahkan ia yang lebih dulu mengulurkan tangan menjabat sahabat-sahabatnya. Baik hati ia kepada setiap orang dan selalu senyum.

Demikianlah utusan Allah yang mulia ini , telah mengajarkan kepada semua umat Islam sehingga pasti tau ucapan,  “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”, yang artinya “Semoga kedamaian, rahmat dan berkah Allah dilimpahkan kepada anda”. Ucapan salam yang merupakan doa tersebut menjadi kebiasan dan ciri khas umat Islam, mematuhi ajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Kalian tak akan masuk surga sampai kalian beriman dan saling mencintai. Maukah aku tunjukkan satu amalan yang bila dilakukan akan membuat kalian saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam diantara kalian”.

Jika kita kaji secara cermat, hakekat dan tujuan menyebarkan salam yang dilandasi keimanan itu adalah untuk saling mencintai. Kata saling berarti ada dua pihak yang melakukan hal yang sama terhadap satu sama lain. Ibarat bertepuk tangan, tak mungkin dilakukan hanya dengan satu telapak tangan, melainkan harus dengan dua telapak tangan. Lebih lengkap klik: https://panjimasyarakat.com/2020/10/22/rasulullah-lebih-dulu-mengucapkan-salam-dan-mengulurkan-tangan-kita/

Rabu, 14 Oktober 2020

MENGAMBIL HIKMAH DAN PELUANG DIKABULKANNYA DOA KETIKA DIZALIMI

 

Siapa yang tidak sakit hati bila dizalimi apalagi ditambah penganiayaan fisik? Hampir semua kita pasti seperti itu. Betapa besar penderitaan orang yang dizalimi, dan sebaliknya betapa kejamnya kezaliman, sampai Allah Yang Mahaadil, membuka tabir hijab-Nya kepada orang yang dizalimi, memberikan peluang besar sehingga doanya akan dikabulkan.

Karena itu Kanjeng Nabi Muhammad saw. mengingatkan sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas,  “Takutlah kalian terhadap doa orang yang didzalimi, karena tidak ada hijab antara dia dengan Allah,”.

Meskipun tiada tabir pembatas antara orang yang sedang terzalimi dengan Allah, Rasulullah dan para sahabat tidak serta merta memanfaatkan peluang emas tersebut untuk membalas dendam, bahkan sebaliknya, memaafkan serta  mendoakan kebaikan kepada orang-orang  yang menzalimi beliau.

Hal yang sama dilakukan oleh para sahabat. Mereka  mengamalkan asma Allah, Rahman dan Rahim, dalam bentuk kepedulian dan kasih sayang terhadap sesamanya. Banyak dalil yang memerintahkan kita agar saling menyayangi satu sama lain, bahkan menyayangi orang lain seperti menyayangi diri sendiri, sebagai  tanda kesempurnaan iman. Semua itu mereka lakukan semata-mata untuk mendapatkan ridha Ilahi.

Sebaliknya tidak sedikit dalil yang mengecam segala bentuk kezaliman. Walau demikian Rasulullah dan para sahabat tidak membalas kezaliman dengan kezaliman, juga tidak mau mendoakan keburukan meski terhadap orang yang menzalimi, sebab itu berarti kita pun menjadi ikut berbuat keburukan

Kanjeng Nabi Muhammad, memberikan contoh bagaimana memaafkan serta berdoa memohon kebaikan bagi diri kita sendiri (yang dizalimi), selagi tiada tabir yang menghalangi dengan Allah, karena Allah akan mengabulkan doa orang yang dizalimi.

Bahasa terangnya, marilah kita mengambil hikmah dengan memanfaatkan peluang dikabulkannya doa kita (yang terbuka karena kita dizalimi), bagi kebaikan dan keberkahan kita dalam perjalanan hidup selanjutnya, dunia maupun akhirat. Lebih lengkap klik: https://panjimasyarakat.com/2020/10/08/mengambil-hikmah-dan-peluang-dikabulkannya-doa-ketika-dizalimi/

Minggu, 04 Oktober 2020

TAK MEMBALAS KEZALIMAN DENGAN KEZALIMA

 

Rasulullah bahkan mendoakan kebaikan kepada yang menzalimi.

Dalam memandang kesuksesan seseorang, banyak di antara kita yang hanya melihat sisi terang atau bagian senangnya saja, tak melihat sisa gelap atau dukalara kehidupannya sebelum mencapai sukses. Padahal peribahasa mengajarkan, berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Demikian pula riwayat perjuangan seorang hamba Allah, utusan Allah, Nabi yang butahuruf, junjungan kita Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Kisah dakwah Rasulullah ke Ta’if pada tahun kesepuluh kenabiannya misalkan, beliau yang datang menemui tokoh-tokoh masyarakat, bukannya disambut sebagaimana layaknya seorang tamu, melainkan diusir dan dilempari batu sehingga sendirian tertatih-tatih penuh luka dan berlumuran darah, berlindung di kebun anggur Utba dan Syaiba.

Dalam keadaan seperti itulah Baginda Rasul berserahdiri bermunajat yang kemudian dikenal sebagai doa Ta’if. Begitu sedih dan menyayat hati, sehingga Gusti Allah mengutus Jibril menyapa Kanjeng Nabi, serta menawarkan bantuan dengan menugaskan malaikat penjaga gunung untuk membantu Rasulullah, dengan mematuhi perintahnya. Kepada Nabi Saw. Malaikat Gunung berkata, “Apapun yang kau perintahkan akan kulaksanakan. Bila engkau suka, akan kubenturkan kedua gunung di samping kota ini, sehingga siapa pun yang tinggal di antara keduanya akan hancur binasa. Jika tidak, apapun hukuman yang kau inginkan, aku siap melaksanakan.”

Jika kita yang bersembunyi di kerimbunan kebun anggur, teraniaya penuh luka ditanya seperti itu, kemungkinan besar akan mengangguk. Kapan lagi akan membalas penderitaan ini? Tetapi Baginda Rasul tidak aji mumpung. Beliau yang hidup penuh penderitaan sebagai anak yatim piatu semenjak kecil, adalah orang sabar yang berhati mulai dan penuh cinta kasih terhadap sesamanya. Karena itu jawabnya, “Aku hanya berharap kepada Allah, andaikan saat ini mereka tidak menerima Islam, mudah-mudahan keturunan mereka kelak akan menjadi orang-orang yang beribadah kepada Allah.”

Ulama India tersohor, Syehkhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandhalawi (1357H/1939M), dalam bukunya “Fadhail A’mal”  mengambil faedah dari peristiwa tersebut dengan menyatakan, “demikianlah akhlak mulia Nabi. Kita mengaku sebagai pengikutnya, namun ketika ditimpa sedikit kesulitan atau celaan saja , langsung marah, bahkan menuntut balas seumur hidup kita. Kezaliman dibalas kezaliman, sambil terus mengaku sebagai umat Nabi Saw. Padahal dengan pengakuan itu, seharusnya segala tingkah laku kita mengikuti beliau. Nabi apa bila mendapat kesulitan dari orang lain, tidak pernah mendoakan keburukan dan tidak pernah ingin menuntut balas.”

Sikap pemaaf dan bukan pendendam, ditunjukkan oleh Kanjeng Nabi dalam banyak kesempatan, meski pernah juga sekali sempat beliau lakukan, menolak memberi maaf terhadap seorang pemuda, pembongkar kuburan untuk mencuri kain kafan.       Lebih lengkap klik: https://panjimasyarakat.com/2020/10/01/tak-membalas-kezaliman-dengan-kezaliman/