Selasa, 30 April 2013

PRAGMATISME PEMBANGUNAN MEMBENTUK MASYARAKAT HEDONARSIS

1.PRAGMATISME TELAH MERASUKI KITA MEMBENTUK MASYARAKAT HEDONARSIS YANG MATERIALISTIS@SBYudhoyono@kospirasiglobal

2.     Selasa 23 April 2013, dari Singapura Presiden@SBYudhoyono ngetwit, pemimpin itu harus pragmatis. Pragmatisme dengan visi@kospirasiglobal
3.     Pragmatisme yang demikian, menurut@SBYudhoyono, bisa menunjukkan arah dan bisa mengerjakannya@kospirasiglobal
4.     Sejarah telah menunjukkan, Indonesia diproklamasikan oleh para tokoh yang menganut filosofi ideologis@SBYudhoyono@kospirasiglobal
5.     Penganut filosofi ideologis mengikuti faham pemikiran tertentu yang fokus pada konsep bersistem untuk membuat arah dan tujuan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan tata nilai idealisme@SBYudhoyono@kospirasiglobal
6.     Sayangnya, Pemerintah Orde Lama menganut filosofi ini secara ekstrim, emosional dan tidak berpijak di bumi@SBYudhoyono@kospirasiglobal
7.     Mereka melupakan kenyataan hidup bahkan mengabaikan kebutuhan pokok hidup sehari-hari@SBYudhoyono@kospirasiglobal
8.     Akibatnya barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari langka dan harganya melambung ke langit dengan hyper inflasi 650%@SBYudhoyono@kospirasiglobal
9.     Pemerintah Orde Baru  pada akhir 1966/awal 1967 mengganti filosofi ideologis dengan filosofi  pragmatis yang fokus pada hal-hal yang bisa membuahkan hasil nyata@SBYudhoyono@kospirasiglobal
         10. Hyper inflasi dengan segera turun jadi 120% tahun 1967, 85% tahun 1968 dan turun terus           sehingga menjadi hanya belasan persen bahkan satu digit@SBYudhoyono@kospirasiglobal
11.Api semangat pragmatisme yang dinyalakan tersebut berkobar membara setelah disiram boom minyak akibat Perang Teluk ke 4 yang meletus pada 6 Oktober 1973@SBYudhoyono@kospirasiglobal
         12.Sebelum Perang itu, harga minyak bumi di pasar dunia hanya berkisar dari US.$.1,67 pada      tahun 1970 ke $.3 per barrel tahun 1973@SBYudhoyono@kospirasiglobal
         13.Perang Teluk’73 telah melambungkan harga minyak menjadi $.12 di tahun 1974 dan stabil di $.13,5 sampai kemudian berkobar Revolusi Iran 1979@SBYudhoyono@kospirasiglobal
14.Revolusi Iran menyebabkan harga minyak meroket ke $.!5,65 tahun 1979, $.29,5 tahun 1980 dan stabil di $.35 pada periode 1981 – 1984@SBYudhoyono@kospirasiglobal
15.Minyak dan gas bumi tiba-tiba menjadi emas hitam yang kemudian membawa pengaruh besar bagi Indonesia@SBYudhoyono@kospirasiglobal
16.Sebagai wartawan muda, saya terperangah menyaksikan pengaruhnya pada gaya birokrasi pemerintahan bahkan gaya hidup masyarakat luas@SBYudhoyono@kospirasiglobal
         17.Instansi-instansi Pemerintah berpesta pora, belanja dengan gampang, sebentar-sebentar upacara, kunjungan kerja besar-besaran dan aneka pemborosan lainnya@SBYudhoyono@kospirasiglobal
         18.Pelacuran klas menengah atas yang berkedok sauna, panti pijat dan klab malam marak bagai                 jamur tumbuh di musim hujan. Juga berbagai restoran dan hotel mewah dibangun@SBYudhoyono@kospirasiglobal
19. Korupsi dengan dalih hadiah, komisi dan tanda terima kasih mewabah. Aneka cara seperti opera tender, mark up dan mempermainkan spesifikasi teknis dipakai@SBYudhoyono@kospirasiglobal
20. Gaya hidup para birokrat, aparat, rekanan-rekanan pemerintah serta keluarga mereka sontak berubah memuja materi. Mengikuti teori “trickle down effect”, meluas ke kalangan yang terkait@SBYudhoyono@kospirasiglobal
21. Bersamaan dengan itu, tata nilai dan budaya asing khususnya Barat, menyerbu bagaikan booster yang mendorong percepatan laju gaya hidup materialistis sekuler@SBYudhoyono@kospirasiglobal
22. Budaya dan tata nilai materialistis sekuler dikemas dan diproduksi dengan biaya besar untuk mengubah dan mengisi tata nilai masyarakat negara-negara berkembang@SBYudhoyono@kospirasiglobal
23. Mereka juga mengkader generasi muda negara sasaran termasuk Indonesia dengan memberikan beasiswa untuk belajar di negara-negara Barat@SBYudhoyono@kospirasiglobal
24. Berbagai bantuan dan kerjasama internasional juga didisain untuk itu@SBYudhoyono@kospirasiglobal
25. Bagaikan bola salju, gaya hidup memuja materi dan pesona dunia itu terus menggelinding makin besar sampai sekarang berhasil membentuk masyarakat hedonarsis yang materialistis@SBYudhoyono@kospirasiglobal
26. Jika semula pragmatisme  digunakan hanya pada kebijakan pembangunan nasional, kini sudah menjadi gaya hidup masyarakat@SBYudhoyono@kospirasiglobal
27. Pragmatisme Orde Baru telah membentuk generasi muda instant yang ingin kaya raya dan berkuasa dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dengan segala cara@SBYudhoyono@kospirasiglobal
28. Pragmatisme sebagai filosogi pembangunan Orde Baru telah berjalan liar membabi buta, bersinergi dan berkonspirasi dengan globalisme, materialisme dan sekulerisme@SBYudhoyono@kospirasiglobal.
29. Pragmatisme dalam aksinya telah membentuk masyarakat khususnya klas menengah yang hedonarsis, individualistis dan apatis terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara@SBYudhoyono@kospirasiglobal
30. Pragmatisme telah berjalan dan bekerja tanpa visi ideologis@SBYudhoyono@kospirasiglobal
31. Maka pragmatisme dengan visi seperti apakah gerangan, yang dimaksud oleh@SBYudhoyon@kospirasiglobal.
32. Sudilah mengajarkannya, terima kasih@SBYudhoyono@kospirasiglobal.

(Materi tweeter @b_wiwoho dengan 44 tuips, Selasa 30 April 2013).

Suluk, tembang dakwah Walisongo (5): ILIR - ILIR, KOLABORASI TOKOH ISLAM ABANGAN DENGAN ISLAM PUTIHAN.



         Tembang Ilir-Ilir selain mengiringi pembukaan Festival Istiqlal II Sabtu malam tanggal 23 September 1995, juga dibuat secara instrumentalia untuk “jingle” atau “sign music” yang disiarkan secara berulang-ulang setiap hari di area Masjid Istiqlal selama Festival berlangsung dua bulan.

         Tembang ini bagi kami masyarakat Pantura (Pantai Utara) Jawa, dianggap sebagai produk kolaborasi tokoh Islam Putihan yaitu Sunan Giri dengan tokoh Islam Abangan yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Giri bersama Sunan Ampel dan Sunan Drajat adalah tokoh-tokoh Islam Putihan dalam Walisongo, sedangkan Sunan Kalijaga bersama Sunan Bonang, Sunan Kudus dan Sunan Muria merupakan tokoh-tokoh Islam Abangan.

         Islam Abangan berdakwah dengan  cara menyusupkan secara halus simbol dan nilai-nilai keislaman ke dalam adat-istiadat dan budaya kehidupan sehari - hari masyarakat. Mereka memakai tamzil – tamzil dan simbol adat – kebudayaan yang masih bercorak Syiwa atau Hindu – Budha, yang bisa multi tafsir, bersama dengan kebudayaan Arab, Persi, China dan Melayu. Mereka memasukkan nilai – nilai keislaman secara bertahap agar mudah dipahami dan tidak menimbulkan gejolak.

          Sementara itu Islam Putihan berpendapat Islam harus disyiarkan  sebagaimana aslinya secara lurus. Oleh sebab itu adat – istiadat yang tidak sesuai harus langsung dibuang, agar di kemudian hari tidak timbul salah persepsi yang membingungkan. Sejak awal Islam harus diajarkan secara bersih dari segala tata nilai yang mengotorinya, bagaikan kain putih yang bersih dari segala kotoran.  Pendapat ini dipatahkan oleh Sunan Bonang dan kawan-kawan, yang khawatir dakwah akan gagal jika dilakukan dengan memaksakan kehendak tanpa mau memahami kondisi nyata sasaran dakwahnya. Dakwah haruslah komunikatif dan kontekstual. Bahwa ada kekurangan dan kelemahan, biarlah waktu dan generasi-generasi berikutnya yang menyempurnakan.

         Yang sungguh patut dicontoh, meskipun berbeda pendapat tidaklah menyebabkan mereka berpisah jalan apalagi bermusuhan. Tidak ada di antara mereka, semenjak dahulu sampai dengan para pengikutnya di masa sekarang, yang merasa dirinya paling hebat dan paling suci. Istilah anak muda zaman sekarang, tidak ada di antara mereka yang mengklaim sebagai pemegang kunci surga. Mereka tetap bersahabat dan bersaudara, namun berdakwah dengan cara dan metode masing-masing. Meskipun demikian tidak berarti mereka tidak memiliki persamaan sama sekali. Dalam hal berdakwah menggunakan media kesenian, mereka menemukan titik pertemuan bahkan sepakat mengembangkan gamelan Jawa serta menciptakan tembang-tembang dengan irama khas, mulai dari jenis tembang mainan atau tembang dolanan anak-anak, sampai dengan yang berirama meditatif – kontemplatif seperti tembang-tembang macapat yang terus kita kenal dan lestarikan sekarang ini.

          Sebagaimana telah saya singgung dalam berbagai tulisan terdahulu, memang tidak banyak data sejarah yang bisa dijadikan pegangan 100 persen tentang kisah perjuangan mereka. Sebagian besar bahkan bertolak dari cerita-cerita yang dituturkan secara lesan dari generasi ke generasi menjadi legenda. Sebagai contoh adalah suluk tembang “Ilir-Ilir”, sebagian masyarakat menyebut “Lir-Ilir”, yang dipercaya merupakan karangan Sunan Giri namun disempurnakan serta dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga. Menilik kelaziman masa kini, kemungkinan besar Sunan Giri itu penciptanya, sedangkan Sunan Kalijaga yang pandai mendalang itu menjadi penyanyinya. Sungguh keteladanan yang perlu dilestarikan, meskipun berbeda namun mereka tetap bisa berkolaborasi dalam bidang musik, dan jalan seiring serta saling melengkapi dalam berdakwah.

         Syair tembang pengobar semangat dalam berdakwah yang merupakan hasil kolaborasi Islam Putihan dengan Islam Abangan itu adalah sebagai berikut:

                  Lir-ilir, lir ilir
                  Tandure wus (wis) sumilir
                  Tak ijo royo – royo
                  Tak sengguh penganten anyar
                 
                     Cah angon, cah angon
                  Penekno blimbing kuwi
                  Lunyu-lunyu penekno
                  Kanggo mbasuh dododiro (dodotiro)
                 
                  Dodotiro – dodotiro
                  Kumitir bedah ing pinggir
                  Domono jlumatono
                  Kanggo sebo mengko sore
                 
                  Mumpung padhang (gede) rembulane
                  Mumpung jembar kalangane
                  Sun (Yo) surako,
                  Surak hore (iyo).

          Untuk memahami makna tembang ini marilah kita kupas sedikit demi sedikit. Ilir itu adalah bahasa Jawa dari kipas. Jadi  “lir-ilir” berarti dikipasi, dikipas-kipas. Bisa juga dimaksudkan sebagai cuaca sejuk mendukung. Intinya, bersegeralah, bergegaslah!

         “Tandure wis sumilir”,  maksudnya kondisi untuk menanam benih sudah mendukung. Benih itu adalah “Islam”, yang akan mengalir bagaikan hembusan angin sepoi-sepoi (sumilir).

         Islam disimbolkan “ijo royo-royo”, hijau dari padi yang tumbuh subur menutup seluruh permukaan sawah.”Tak sengguh penganten anyar”, bagaikan pengantin baru yang harus disambut gembira dan dimuliakan.

         “Cah angon, cah angon”, wahai anak gembala, wahai kaum muda, para santri penggembala umat. “Penekno blimbing kuwi”, panjatlah pohon belimbing itu. Belimbing adalah buah bersegi lima, yang melambangkan rukun islam sekaligus juga salat lima waktu. Bersamaan dengan itu masyarakat di sekitar Demak –Jepara – Kudus, diajak menanam belimbing dalam arti kata yang sesungguhnya, sehingga sampai sekarang wilayah tersebut merupakan salah satu penghasil utama buah belimbing.

         “Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodotiro”,  meskipun licin pajatlah, karena diperlukan untuk mencuci pakaianmu. Manusia hidup wajib mengenakan pakaian khususnya pakaian keimanan atau agama. Agama dalam bahasa Jawa adalah agami, akronim dari agemaning iman atau pakaian keimanan.

         “Dodotiro – dodotiro, kumitir bedahing pinggir”,  dodot adalah kain tradisional Jawa yang dipergunakan sebagai pakaian sehari-hari.  Pakaian yang ada itu sudah robek di semua pinggirnya, di seluruh kelilingnya. Karena itu “domono jumlatono”, jahitlah. Perbaiki diri. Karena akan “kanggo sebo mengko sore”, akan dipakai untuk menghadap Gusti Allah di akhir kehidupan. Sore itu menandakan akhir hari. Agama yang baik akan menjadi pembungkus diri, menemani kita menghadap Gusti Allah di akhir kehidupan kita. Dan hidup itu hanya sebentar, bagaikan orang yang sedang dalam perjalanan, berhenti sejenak untuk minum.

          “Mumpung padhang rembulane”, menggambarkan suasana yang bagus, terang – benderang karena bulan purnama. “Mumpung jembar kalangane”, menggambarkan bulan purnama di langit yang cerah itu, di kelilingi oleh sebuah lingkaran besar yang indah, bagaikan sebuah arena permainan yang luas dan lapang. Semua ini mengisyaratkan situasi, kondisi dan “timing” yang tepat serta mendukung kegiatan dakwah. Sebab itu marilah kita sambut dengan sorak – sorai gegap gempita. “ yo (ayo) surako….. surak iyo…….”.

         Begitu mendalam makna tembang Ilir-Ilir ini. Begitu besar semangat dakwah yang dikobarkan.

         Begitu mulia cerminan ukhuwah islamiyah, jalinan rasa persaudaraan di antara sesama umat Islam, meski itu Islam Putihan dan Islam Abangan. Yang dicari dan diutamakan adalah persamaannya, bukan perbedaannya. Dengan sikap dan dakwah yang seperti itu, kini Indonesia dengan pulau Jawa di dalamnya, menjadi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Pasti ada saja yang tidak senang dengan kenyataan ini. Tetapi biar sajalah. Mari kita terus perbaiki saja diri kita sendiri, agar bisa menjadi teladan yang baik bagi keluarga dan masyarakat di sekeliling kita.

Alhamdulillah.

Depok, 26 Maret 2013.

Jumat, 26 April 2013

Suluk, tembang dakwah Walisongo (4): BEDUG, ILIR-ILIR & GAMELAN SEKATEN MENANDAI FESTIVAL ISTIQLAL II





Sabtu malam Minggu, 23 September 1995 itu mendung menggelayut di langit Jakarta. Meskipun demikian, lebih seribu undangan dan panitia memenuhi halaman Masjid Istiqlal guna mengikuti upacara pembukaan Festival Istiqlal II, yang semula direncanakan hanya akan berlangsung selama satu bulan, tapi karena pengunjung terus membludak maka akhirnya diperpanjang menjadi dua bulan.

Dalam suasana mendung seperti itu, Presiden Soeharto menabuh bedug Sunan Ampel menandai pembukaan Festival, yang langsung disambut oleh “rampak bedug”, bunyi alunan berirama dari puluhan bedug yang membahana sampai membuat bulu roma berdiri.

Alhamdulillah bersamaan dengan itu mendung sirna dan beberapa bintang mulai menampakkan diri. Padahal sore menjelang maghrib, 3 orang panitia yaitu Ponco Sutowo (Ketua Harian) Parni Hadi dan saya, dalam pengecekan akhir di depan panggung acara mencemaskan cuaca yang mulai gerimis. Sempat mas Parni bertanya, “Upacara kita ini open air, ngomong-omong kita pakai pawang hujan nggak?”. Saya langsung menjawab, “Marilah kita bertiga yang menjadi pawangnya.”  Yang disambut mas Parni “ Okey mari kita berdoa memohon agar hujannya ditunda sampai selesai acara pembukaan”. Spontan kami bertiga menengadahkan tangan seraya membaca Al Fatihah.

Rampak bedug usai, disusul gerakan dinamis puluhan penari yang dipimpin oleh seniman tari Tom Ibnur, yang selanjutnya disambung lagi oleh dentingan piano oleh pianis dan komposer musik Trisuci Juliati Kamal yang mengalunkan tembang “Ilir-Ilir”. Selesai acara dipanggung kehormatan, Presiden Soeharto dan tamu negara Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad serta para undangan lainnya, memasuki Masjid Istiqlal, yang langsung disambut oleh alunan gending dari “Gamelan Sekaten” yang khusus didatangkan dari Surakarta.
           
Demikianlah, ada tiga jenis senibudaya peninggalan masa lalu yang dipakai dalam menandai pembukaan Festival Istiqlal II, yaitu festival senibudaya yang bernafaskan Islam. Ketiga jenis senibudaya tersebut adalah bedug peninggalan Sunan Ampel, tembang Ilir-Ilir dan gamelan Sekaten.

Tidak ada tahun yang pasti kapan bedug mulai dikenal dan dipakai di Indonesia. Dari “google search”, kata bedug itu konon disebut di dalam “Kidung Malat” (maaf, saya belum pernah membaca sendiri naskah Kidung ini), sebuah karya sastra tentang cerita-cerita Panji yang lazim di daerah Jawa Timur, yang diperkirakan ditulis  pada sekitar abad 14 – 16 Masehi. Bedug disebut sebagai  alat komunikasi dan penanda waktu.

Cornelis de Houtman dalam catatan perjalanannya “D’eerste Boek” juga menyebutkan tentang keberadaan bedug yang sudah meluas penggunaannya di abad ke-16. Di setiap perempatan jalan di daerah Banten, ia melihat  bedug digantung dan di bunyikan sebagai penanda waktu serta alat komunikasi. Namun demikian, jauh sebelum Masehi, yaitu sekitar 600 tahun sebelum Masehi, sejenis alat yang menyerupai bedug tetapi dibuat dari bahan baku perunggu, sudah ditemukan  hampir di seluruh Nusantara, dari Sumatera sampai ke pulau Alor di Nusa Tenggara Timur. Alat itu disebut “nekara” atau “moko”. Begitu banyaknya moko di pulau Alor, sehingga dalam dunia pariwisata pulau Alor disebut pulau ‘Seribu Moko”. Nekara atau moko, dikenal pula sebagai “ metal drum” atau “kettle gong”. Nekara terbesar di Asia Tenggara dan tertua di dunia ditemukan di Kabupaten Kepulauan Selayar, dengan garis tengah 126 cm dan tinggi 95 cm.

Pemakaian bedug sebagai penanda tibanya waktu  5 salat wajib dalam Islam adalah khas Nusantara, yang tidak dijumpai di negara-negara lain. Alat komunikasi tradisional lainnya yang juga digunakan seperti itu, adalah kentongan yang seluruhnya terbuat dari bahan baku kayu.

Menurut kepercayaan masyarakat pantai utara Jawa khususnya Semarang, bedug pertama kali dipakai sebagai penanda waktu salat di masjid Semarang, pada masa Adipati Pandanaran atas petunjuk gurunya yaitu Sunan Kalijaga. Bedug yang ditabuh Presiden Soeharto tadi, adalah bedug yang khusus didatangkan dari Masjid Ampel, Surabaya, yang diyakini oleh masyarakat Surabaya sebagai peninggalan Sunan Ampel.

Akan halnya gamelan sekaten,  dipercaya sebagai gagasan Sunan Kalijaga tetapi dibuat pertama kali oleh Sunan Giri pada masa pemerintahan Sultan Demak I, Raden Patah. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, gamelan ini dibawa ke Cirebon sebagai hadiah perkawinan puterinya dengan Sunan Gunung Jati. Kata “sekaten” berasal sahadaten atau dua  kalimat syahadat. Penciptaan gamelan ini dimaksudkan sebagai daya tarik masyarakat, dan dibunyikan dalam bulan Maulud sebagai dakwah tentang Kanjeng Nabi Muhammad Saw. 

Masyarakat yang tertarik mendengar bunyi gamelan yang unik, mendatangi mesjid Demak dengan melalui pintu gerbang yang diberi nama gapuro, dari kata “Ghoffur”, yaitu salah satu asma Allah yang berarti Yang Maha Pengampun. Di pintu ini rakyat mulai diajari beristighfar, memohon ampun atas kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Masuk pintu gapura, kemudian diajak bersuci mengambil air wudhu dan masuk ke masjid.

Di dalam masjid, kepada mereka diceritakan kisah Nabi Muhammad dan pakaian keimanan (agama) yang baru. Agama dalam bahasa Jawa disebut agami, akronim dari agemaning iman (pakaian keimanan). Selanjutnya masyarakat dibimbing mengucapkan dua kalimat syahadat. Pulangnya mereka diberi oleh-oleh seperangkat kapur sirih, kamal atau telor asin dan cambuk. Seperangkat kapur sirih yang terdiri dari 5 macam bahan yaitu  kapur, gambir, tembakau, pinang atau jambe dan daun sirih, melambangkan 5 rukun Islam. Telor asin atau kamal, mengisyaratkan rukun Islam tersebut harus segera diamalkan, sedangkan cambuk mengandung makna  harus dilecut, dicambuk atau disegerakan.

Kebiasaan ini sekarang masih dilestarikan. Di jajaran keraton Cirebon dikenal sebagai acara “Panjang Jimat”, sedangkan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta tetap disebut sebagai “Sekatenan”.

Setelah gamelan “sekaten” yang pertama dibawa ke Cirebon, kemudian dibuat dua perangkat gamelan yang baru, satu gamelan Kyai Guntur Madu yang sekarang ada di Yogyakarta dan Kyai Guntur Sari yang sekarang ada di Surakarta. Namun demikian ada dua pendapat yang berbeda tentang masa pembuatan  kedua gamelan tersebut, yang pertama pada masa Demak dan yang kedua pada masa Sultan Agung.

Sewaktu Kerajaan Mataram di masa Raja Pakubuwono III pecah pada tahun 1754, menjadi Kasunanan Surakarta dibawah Pakubuwono III dan Yogyakarta dibawah Hamengkuwono I, gamelan itu pun dibagi dua. Kyai Guntur Sari di Surakarta dan Kyai Guntur Madu di Yogyakarta. Agar masing-masing tetap bisa memiliki dua perangkat, maka Pakubuwono IV membuat tiruan Kyai Guntur Madu, sedangkan Hamengkubuwono I membuat tiruan Kyai Guntur Sari yang kemudian diberi nama baru Kyai Nagawilaga.

Adapun gamelan sekaten yang dibunyikan di Festival Istiqlal, adalah juga gamelan tiruan yang dibuat oleh Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, dengan para penabuh atau niyaga gabungan dari Kasunanan Surakarta dan ISI. Mereka resmi mewakili Kasunanan dan dilepas dengan upacara resmi dari Keraton Kasunanan Surakarta oleh Sinuwun Pakubuwono XII dan Ketua Umum Panitia Festival Istiqlal Mar’ie Muhammad. Dari Solo gamelan ini dikirab atau dibawa dalam truk trailer besar secara terbuka menuju Rembang, bertemu dan disatukan dalam satu rangkaian dengan kirab bedug Sunan Ampel yang beberapa jam sebelumnya dilepas oleh Pak Mar’ie Muhammad dari Surabaya.

Dari Rembang, keduanya dibawa bagaikan sebuah pawai besar menuju Jakarta melalui pantai utara Jawa. Sampai di Cirebon berbelok ke arah Bandung melalui Sumedang, selanjutnya ke Jakarta melalui Bogor.  Di setiap ibukota kabupaten yang disinggahi dan beristirahat, diadakan penyambutan dengan tabligh akbar dan pertunjukan kesenian daerah yang bernuansa Islami, termasuk membunyikan bedug Sunan Ampel dan gamelan Sekaten. Di sepanjang jalan, masyarakat menyambut dengan gegap gempita  “Kirab Gamelan Sekaten dan Bedug Sunan Ampel” yang juga diliput penuh oleh para wartawan tersebut. Alhamdulillah, meskipun berparade secara terbuka hampir sepanjang pulau Jawa, semuanya berjalan lancar, selamat dan sehat. Sebelum dan sesudah kirab tadi, sampai sekarang saya belum pernah menyaksikan lagi ada parade seni budaya dengan truk-truk trailer terbuka “segila”, eh, seluar biasa itu.

Depok, 25 Maret 2013.






Senin, 22 April 2013

JANGAN MENCEMOOH AJAKAN BERSUMPAH UNTUK MENGUJI KEJUJURAN

Beberapa waktu yang lalu kita menyaksikan drama peliputan media massa tentang  kebohongan, kesaksian palsu dan bersumpah. Bahkan seorang politisi non-muslim menantang politisi muslim yang ustadz bergelar Prof. Dr utk berani bersumpah atas nama agama masing-masing, guna membuktikan siapa yang bohong dan siapa yang jujur. Masya Allah. Padahal dulu yg menantang spt itu Junjungan Kanjeng Nabi Muhammad kepada orang-orang non muslim.
Dua hari belakangan ini media massa kembali diramaikan dengan tantangan mantan Bendahara Partai Demokrat, Nazaruddin, terhadap Ketua Umumnya, Anas Urbaningrum, untuk berani melakukan “sumpah pocong” demi membuktikan siapa yang bohong dan siapa yang jujur. Tantangan ini memperoleh banyak reaksi, namun pada umumnya bersikap sinis terhadap sumpah seperti itu.
Sesungguhnyalah, kejujuran dan sumpah mrpkn ajaran penting yg bernilai utama, sehingga banyak disinggung dalam Al Qur’an. Kesaksian palsu misalkan, disinggung dlm Surat Al Furqaan: 72, sbg hal yg hrs dihindari oleh hamba-hamba Allah Yg Maha Pengasih. Sedangkan ttg bersumpah bahkan ditegaskan dlm Surat Ali Imran: 61 yg mengkisahkan bagaimana Rasulullah menantang bersumpah + berdoa sungguh-sungguh agar siapa yang berbohong beserta keluarganya untuk segera dilaknat Allah (mubahalah).
Di Jawa, mubahalah ini dikemas sedemikian rupa menjadi amat sangat seram dan disebut Sumpah Pocong, karena yang bersumpah harus dalam keadaan dikafani (dipocong) layaknya orang meninggal.
Karena itu sebagai muslim, janganlah kita mencemoohkan mubahalah, atau ajakan bersumpah untuk menguji kejujuran. Mubahalah yang jelas-jelas ada di dalam Al Qur’an, nampaknya perlu direnungkan untuk diterapkan di zaman sekarang, tatkala kejujuran, sumpah jabatan, sumpah di pengadilan dll sudah tidak memiliki wibawa sama sekali. Kalau jujur, kenapa takut? Maasyaa-Allaahu la quwwata illaa billaah.
Beji, 12/3/2012.

Jumat, 19 April 2013

Suluk, tembang dakwah Walisongo (3): LAGU "GUNDUL - GUNDUL" PACUL BUKTI KEJENAKAAN PARA ULAMA

Dalam buku “Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan”, saya gambarkan betapa kurang baiknya citra Islam di mata anak-anak priyayi Jawa, termasuk saya, pada periode tahun 1950-an. Kami merindukan para kyai bisa ramah, bermain dan bercanda dengan kami anak-anak kecil, seperti halnya para pendeta Kristen dan romo pastor Khatolik bermain gembira dengan anak-anak dalam “Sekolah Minggu”. Padahal sementara itu kami sering bermain sendiri sambil bernyanyi atau nembang lagu-lagu “dolanan”, yaitu lagu permainan anak-anak yang konon merupakan ciptaan Walisongo.Berbeda dengan kenyataan yang saya alami semasa kecil, tembang dolanan mengisyaratkan bahwa para wali yang menciptakannya, amat peduli terhadap anak-anak. Sedangkan suluk-suluk tembang macapat dengan orkestra gamelan Jawanya yang meditatif-kontemplatif, mencerminkan Walisongo yang menciptakannya juga memiliki jiwa yang lembut serta kemampuan dan selera seni-budaya yang tinggi. Sungguh sulit membayangkan betapa luar biasa kemampuan para ulama-ulama awal tersebut, dengan melihat karya-karya peninggalannya yang masih eksis bahkan berkembang sampai sekarang. Demikian pula keberhasilannya mengislamkan penduduk pulau Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, sehingga kini menjadi negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Pasti, mereka memperoleh anugerah hidayah dan kunci-kucil pembuka perbendaharaan ilmu.Jika Sunan Bonang (lihat berbagai tulisan sebelumnya tentang Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, khususnya: “Memahami Suluk-Suluk Sunan Bonang”), mengarang tembang-tembang suluk yang serius dengan kandungan tasawuf yang kental, Sunan Giri yang justru termasuk “Islam Putihan”, mengarang berbagai tembang dolanan yang jenaka dan riang gembira. Sedangkan Sunan Kalijaga membuat keduanya, suluk yang serius meditatif-kontemplatif maupun yang gembira pengobar semangat. Meskipun tembang dolanan, tetap saja suluk tersebut penuh dengan kandungan dakwah dan filosofi yang tinggi.
Salah satu tembang dolanan yang populer di masyarakat adalah “Gundul-Gundul Pacul”.(lihat ilustrasi/not lagu di bagian bawah).

Teks versi lain yang sedikit berbeda yaitu:

Gundul-gundul pacul-cul, gelelengan
Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gelelengan
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar.

Perbedaan ada di kata gelelengan dan gembelengan, namun keduanya memiliki arti yang sama. Perbedaan yang lain adalah kata ratan dengan latar. Ratan berarti jalan atau jalanan, sedangkan latar berarti halaman rumah. Tapi ternyata susah juga menterjemahkan syair tembang tersebut, kecuali diartikan lebih dulu kata per kata sebagai berikut:
- gundul = kepala yang tidak ada rambutnya sama sekali, biasanya karena dicukur habis.
- pacul = cangkul.
- gelelengan, gembelengan = sikap atau cara berjalan sambil menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan ke kanan, menandakan kesombongan.
- nyunggi = membawa sesuatu dengan menaruhnya di atas kepala.
- wakul = bakul atau tempat nasi.
- ngglimpang = terguling.
- segane dadi sak ratan/latar = nasinya tumpah tersebar memenuhi jalanan/halaman rumah.

Dengan begitu bisa digambarkan, seseorang yang berkepala gundul tanpa rambut, membawa cangkul dan “menyunggi” bakul nasi di atas kepalanya, berjalan “gembelengan”. Akibatnya bakulnya tumpah dan nasinya tersebar mubazir memenuhi jalan. Apa makna dari itu semua? Ada dua hal yang perlu kita lihat terlebih dulu sebelum mengupas kandungan maknanya.

Pertama, sang pencipta yaitu Sunan Kalijaga, adalah putera Adipati Tuban yang kecewa dengan kehidupan feodal kerajaan Majapahit yang tidak amanah bahkan cenderung “menindas’ rakyat. Para punggawa kerajaan termasuk di lingkungan kadipaten Tuban dianggapnya congkak serta tidak peduli dengan kesulitan hidup rakyat kecil. Karena itu jiwanya berontak dan sering melakukan tindakan yang berlawanan dengan ayahanda dan para punggawanya, sampai kemudian ia berjumpa dan berguru kepada Sunan Bonang.

Kedua, pada saat yang bersamaan, Sunan Kalijaga juga menggubah sendiri dan selanjutnya menyisipkan dalam cerita wayang Mahabarata, kisah jamus kalimasada (dua kalimat syahadat) yang merupakan senjata paling ampuh, hebat tiada tara yang dimiliki oleh Raja Kerajaan Amarta – Prabu Puntadewa. Uniknya, Prabu Puntadewa ini adalah satu-satunya raja yang tidak memakai mahkota serta perlengkapan pakaian kebesaran lainnya yang lazim dikenakan oleh seorang raja. Ia hidup dan berpenampilan sederhana sebagaimana seorang ksatria biasa dengan rambut digelung di atas kepalanya. Muka dan kepalanya pun dilukiskan menunduk sebagai cerminan kerendahaan hati. Kecuali pernah melakukan kesalahan dengan berjudi mempertaruhkan kerajaannya sampai kalah dan terusir terlunta-lunta, kehidupan selebihnya suci bersih. Demikian pula hatinya, selalu ikhlas, jujur dan tidak pernah berbohong sehingga karena itu darahnya diceritakan berwarna putih.
Puntadewa adalah contoh pemimpin yang sudah dan harus mencapai maqam seorang hamba Allah yang hidup sederhana, amanah, jujur, rendah hati, tidak ujub – riya, ikhlas, taat dan tawakal.

Dua hal tersebut nampaknya ada hubungannya dengan makna ajaran yang terkandung dalam tembang “Gundul-Gundul Pacul”, yaitu seorang pemimpin yang ideal adalah pemimpin tanpa mahkota, ibarat kepala gundul tanpa rambut. Pemimpin yang tak peduli dengan pesona dunia demi mengemban amanah bagi alam dan kehidupan rakyatnya, yang dilambangkan dengan pacul sebagai alat pertanian, serta kesejahteraan rakyatnya yang dilambangkan dengan bakul berisi nasi.

Pemimpin tidak boleh gembelengan, besar kepala – congkak lagi sombong. Karena kesombongan itu bagaikan mengambil selendang kebesaran Gusti Allah. Jika itu dilakukan, maka hilanglah keberkahan yang menaungi amanah kepemimpinan, sehingga bakul terguling dan hakekat kesejahteraan tumpah tak berguna bagi rakyat. Mau bagaimana lagi jika nasi sudah tumpah tersebar di jalanan?

Di samping melambangkan rakyat kecil, pacul juga merupakan akronim dari papat kang ucul atau empat hal yang terlepas. Empat hal itu merupakan kunci utama untuk mencapai derajat ketaqwaan, oleh sebab itu harus dikendalikan dan tidak boleh lepas atau ucul. Ini sesuai dengan ajaran Al Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin (Menuju Mukmin Sejati). Menurut beliau, guna mencapai maqam ini, kita harus menghayati serta mengamalkan tiga hal yaitu takut dengan sebenar-benarnya takut kepada Allah, bakti dan tunduk kepadaNya serta membersihkan hati dari segala dosa. Ketiganya itu bisa kita capai asalkan kita bisa menahan diri dari mengerjakan yang haram, dan juga bisa menahan diri dari mengerjakan perbuatan halal yang berlebih-lebihan.

Bagaimana bisa melakukan itu? Sang Pembela Akidah Islam ini mengajarkan agar kita memelihara dan mengendalikan: (1) mata, (2) telinga. (3) mulut dengan lidahnya, (4) hati, (5) perut, dan (6) anggota-anggota tubuh lainnya. Dari enam hal itu yang paling menentukan adalah 5 yang pertama. Namun oleh sebagian ulama, mata dan telinga dianggap sebagai satu kesatuan, terutama jika menyangkut kepemimpinan, sebagaimana surat Al Anfaal ayat 22 yang menyatakan, “Sesungguhnya seburuk-buruk binatang yang melata pada sisi Allah, ialah orang yang pekak dan bisu (tentang kebenaran), mereka tidak mengerti”. Jika mata dan telinga dihitung sebagai kesatuan maka empat hal yang tidak boleh lepas liar tanpa kendali adalah (1) mata dan telinga, (2) mulut dengan lidahnya, (3) perut, (4) hati.

Mata, demikian Al Ghazali, adalah pangkal dari fitnah. Pandangan mata akan mempengaruhi hati. Karena itu Sayidina Ali berkata, “Orang yang tidak menguasai matanya, maka hatinya tidak ada harganya”. Demikian pula telinga, berguna untuk mendengarkan pembicaraan dalam kebaikan atau sebaliknya. Pengaruh pendengaran terhadap hati, bisa lebih buruk dari pengaruh makanan terhadap perut.

Mengenai mulut dengan lidahnya, adalah anggota tubuh yang paling binal lagi nakal, yang paling banyak menimbulkan keonaran dan kerusakan, sampai-sampai ulama Malik bin Dinar berpesan, “Jika engkau melihat hatimu membatu, badanmu lemah, rejekimu terhalang maka itu disebabkan oleh ucapanmu yang tidak karuan.

Akan halnya perut, adalah salah satu anggota yang paling payah diperbaiki, paling banyak ongkos dan bimbangnya serta paling besar mudharat dan pengaruhnya. Dari perut bergolak segala tenaga yang timbul pada anggota tubuh lainnya seperti kekuatan dan kelemahan, ketelitian dan kecerobohan. Makanan yang masuk ke perut merupakan benih amal, sedangkan minuman menjadi air yang menyirami benih amal. Makanan yang baik, akan menjadi benih yang baik, yang jika disiram dengan air yang baik akan tumbuh serta berbuah menjadi pohon dengan buah amalnya.

Tentang hati, adalah yang paling besar bahayanya, paling kuat pengaruhnya, paling lembut urusannya, paling payah memperbaikinya dan paling ruwet ihwalnya. Maka sebagaimana hadis yang sangat populer, “Sesungguhnya dalam jasad manusia ada segumpal darah yang bila keadaannya baik, maka baik pula seluruh anggotanya. Namun bila rusak, rusak pula seluruh anggota badannya. Gumpalan itu adalah hati”. Karena itu Al Ghazali menasihati, kita harus menjaga hati yang merupakan pokok dari kehidupan manusia. “Kalau engkau merusak hati, maka seluruhnya akan rusak. Dan kalau engkau memperbaiki hati, maka seluruhnya akan baik. Sebab hati itu ibarat pohon. Sedangkan anggota tubuh lainnya hanya bagaikan dahan, cabang dan ranting”.

Selanjutnya ia mengajak kita meneladani kebiasaan para wali yang bisa disayang Allah setelah menjalani empat hal yakni (1) membiasakan perutnya lapar dengan berpuasa, (2) mengendalikan mulutnya dengan membiasakan berdiam diri tidak banyak omong, (3) menyendiri dari pergaulan yang tidak karuan dan (4) menahan mata mengurangi tidur malam untuk beribadah.

Itulah saudaraku, pemahaman dan makna filosofis dari tembang dolanan “Gundul – Gundul Pacul”, yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Sungguh saya merindukan suasana masa kecil, tatkala bermain bersama kawan-kawan dan adik-adik saya, bernyanyi riang gembira seraya memperagakan seseorang “menyunggi” bakul dan memegang pacul, berjalan dengan sombong “gembelengan”. Semoga kita khususnya anda saudaraku para pembaca, dan lebih khusus lagi diri saya sendiri, bisa mengambil hikmah serta menghayati dan mengamalkan makna filosofis dari tembang dolanan ini. Aamiin.

Depok, 22 Maret 2013.
Suluk, tembang dakwah Walisongo (3):
LAGU “GUNDUL-GUNDUL PACUL”
BUKTI KEJENAKAAN PARA ULAMA

         Dalam buku “Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan”, saya gambarkan betapa kurang baiknya citra Islam di mata anak-anak priyayi Jawa, termasuk saya, pada periode tahun 1950-an. Kami merindukan para kyai  bisa ramah, bermain dan bercanda dengan kami anak-anak kecil, seperti halnya para pendeta Kristen dan romo pastor Khatolik bermain gembira dengan anak-anak dalam “Sekolah Minggu”. Padahal sementara itu kami sering bermain sendiri sambil bernyanyi atau nembang lagu-lagu “dolanan”, yaitu lagu permainan anak-anak yang konon merupakan ciptaan Walisongo.

Berbeda dengan kenyataan yang saya alami semasa kecil, tembang dolanan mengisyaratkan bahwa para wali yang menciptakannya, amat peduli terhadap anak-anak. Sedangkan suluk-suluk tembang macapat dengan orkestra gamelan Jawanya yang meditatif-kontemplatif, mencerminkan Walisongo yang menciptakannya juga memiliki jiwa yang lembut serta kemampuan dan selera seni-budaya yang tinggi. Sungguh sulit membayangkan betapa luar biasa kemampuan para ulama-ulama awal tersebut, dengan melihat karya-karya peninggalannya yang masih eksis bahkan berkembang sampai sekarang. Demikian pula keberhasilannya mengislamkan penduduk pulau Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, sehingga kini menjadi negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Pasti, mereka memperoleh anugerah hidayah dan kunci-kucil pembuka perbendaharaan ilmu.

           Jika Sunan Bonang (lihat berbagai tulisan sebelumnya tentang Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, khususnya: “Memahami Suluk-Suluk Sunan Bonang”), mengarang tembang-tembang suluk yang serius dengan kandungan tasawuf yang kental, Sunan Giri yang justru termasuk “Islam Putihan”, mengarang berbagai tembang dolanan yang jenaka dan riang gembira. Sedangkan Sunan Kalijaga membuat keduanya, suluk yang serius meditatif-kontemplatif maupun yang gembira pengobar semangat. Meskipun tembang dolanan, tetap saja suluk tersebut penuh dengan kandungan dakwah dan filosofi yang tinggi.

               Salah satu tembang dolanan yang populer di masyarakat adalah “Gundul-Gundul Pacul”.
           

         
    











Teks versi lain yang sedikit berbeda yaitu:
     
     Gundul-gundul pacul-cul, gelelengan
     Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gelelengan
     Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
     Wakul ngglimpang segane dadi sak latar.

            Perbedaan ada di kata gelelengan dan gembelengan, namun keduanya memiliki arti yang sama. Perbedaan yang lain adalah kata ratan dengan latar. Ratan berarti jalan atau jalanan, sedangkan latar berarti halaman rumah. Tapi ternyata susah juga menterjemahkan syair tembang tersebut, kecuali diartikan lebih dulu kata per kata sebagai berikut:  
- gundul = kepala yang tidak ada rambutnya sama sekali, biasanya karena dicukur habis.        
- pacul = cangkul.
- gelelengan, gembelengan = sikap atau cara berjalan sambil menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan ke kanan, menandakan kesombongan.
- nyunggi = membawa sesuatu dengan menaruhnya di atas kepala.
- wakul = bakul atau tempat nasi.
- ngglimpang = terguling.
- segane dadi sak ratan/latar = nasinya tumpah tersebar memenuhi jalanan/halaman rumah. 

Dengan begitu bisa digambarkan, seseorang yang berkepala gundul tanpa rambut, membawa cangkul dan “menyunggi” bakul nasi di atas kepalanya, berjalan “gembelengan”. Akibatnya bakulnya tumpah dan nasinya tersebar mubazir memenuhi jalan. Apa makna dari itu semua? Ada dua hal yang perlu kita lihat terlebih dulu sebelum mengupas kandungan maknanya. 

Pertama, sang pencipta yaitu Sunan Kalijaga, adalah putera Adipati Tuban yang kecewa dengan kehidupan  feodal kerajaan Majapahit yang tidak amanah bahkan cenderung “menindas’ rakyat. Para punggawa kerajaan termasuk di lingkungan kadipaten Tuban dianggapnya congkak serta tidak peduli dengan kesulitan hidup rakyat kecil. Karena itu jiwanya berontak dan sering melakukan tindakan yang berlawanan dengan ayahanda dan para punggawanya, sampai kemudian ia berjumpa dan berguru kepada Sunan Bonang. 

Kedua, pada saat yang bersamaan, Sunan Kalijaga juga menggubah sendiri dan selanjutnya menyisipkan dalam cerita wayang Mahabarata, kisah jamus kalimasada (dua kalimat syahadat) yang merupakan senjata paling ampuh, hebat tiada tara yang dimiliki oleh Raja Kerajaan Amarta – Prabu Puntadewa. Uniknya, Prabu Puntadewa ini adalah satu-satunya raja yang tidak memakai mahkota serta perlengkapan pakaian kebesaran lainnya yang lazim dikenakan oleh seorang raja. Ia hidup dan berpenampilan sederhana sebagaimana seorang ksatria biasa dengan rambut digelung di atas kepalanya. Muka dan kepalanya pun dilukiskan menunduk sebagai cerminan kerendahaan hati. Kecuali pernah melakukan kesalahan dengan berjudi mempertaruhkan kerajaannya sampai kalah dan terusir terlunta-lunta, kehidupan selebihnya suci bersih. Demikian pula hatinya, selalu ikhlas, jujur dan tidak pernah berbohong sehingga karena itu darahnya diceritakan berwarna putih.
Puntadewa adalah contoh pemimpin yang sudah dan harus mencapai maqam seorang hamba Allah yang hidup sederhana, amanah, jujur, rendah hati, tidak ujub – riya, ikhlas, taat dan tawakal.

Dua hal tersebut nampaknya ada hubungannya dengan makna ajaran yang terkandung dalam tembang “Gundul-Gundul Pacul”, yaitu seorang pemimpin yang ideal adalah pemimpin tanpa mahkota, ibarat kepala gundul tanpa rambut. Pemimpin yang tak peduli dengan pesona dunia demi mengemban amanah bagi alam dan kehidupan rakyatnya, yang dilambangkan dengan pacul sebagai alat pertanian,  serta kesejahteraan rakyatnya yang dilambangkan dengan bakul berisi nasi. 

Pemimpin tidak boleh gembelengan, besar kepala – congkak lagi sombong. Karena kesombongan itu bagaikan mengambil selendang kebesaran Gusti Allah. Jika itu dilakukan, maka hilanglah keberkahan yang menaungi amanah kepemimpinan, sehingga   bakul terguling dan hakekat kesejahteraan tumpah tak berguna bagi rakyat. Mau bagaimana lagi jika nasi sudah tumpah tersebar di jalanan?

Di samping melambangkan rakyat kecil, pacul juga merupakan akronim dari papat kang ucul atau empat hal yang terlepas. Empat hal itu merupakan kunci utama untuk mencapai derajat ketaqwaan, oleh sebab itu harus dikendalikan dan tidak boleh lepas atau ucul. Ini sesuai dengan ajaran Al Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin (Menuju Mukmin Sejati).  Menurut beliau, guna mencapai maqam ini, kita harus menghayati serta mengamalkan tiga hal yaitu takut dengan sebenar-benarnya takut kepada Allah, bakti dan tunduk kepadaNya serta membersihkan hati dari segala dosa. Ketiganya itu bisa kita capai asalkan kita bisa menahan diri dari mengerjakan yang haram, dan juga bisa menahan diri dari mengerjakan perbuatan halal yang berlebih-lebihan.

Bagaimana bisa melakukan itu? Sang Pembela Akidah Islam ini mengajarkan agar kita memelihara dan mengendalikan: (1) mata, (2) telinga. (3) mulut dengan lidahnya, (4) hati, (5) perut, dan (6) anggota-anggota tubuh lainnya. Dari enam hal itu yang paling menentukan adalah 5 yang pertama. Namun oleh sebagian ulama, mata dan telinga dianggap sebagai satu kesatuan, terutama jika menyangkut kepemimpinan, sebagaimana surat Al Anfaal ayat 22 yang menyatakan, “Sesungguhnya seburuk-buruk binatang yang melata pada sisi Allah, ialah orang yang pekak dan bisu (tentang kebenaran), mereka tidak mengerti”. Jika mata dan telinga dihitung sebagai kesatuan maka empat hal yang tidak boleh lepas liar tanpa kendali adalah (1) mata dan telinga, (2) mulut dengan lidahnya, (3) perut, (4) hati.

Mata, demikian Al Ghazali, adalah pangkal dari fitnah. Pandangan mata akan mempengaruhi hati. Karena itu Sayidina Ali berkata, “Orang yang tidak menguasai matanya, maka hatinya tidak ada harganya”. Demikian pula telinga, berguna untuk mendengarkan pembicaraan dalam kebaikan atau sebaliknya. Pengaruh pendengaran terhadap hati, bisa lebih buruk dari pengaruh makanan terhadap perut.

Mengenai mulut dengan lidahnya, adalah anggota tubuh yang paling binal lagi nakal, yang paling banyak menimbulkan keonaran dan kerusakan, sampai-sampai ulama Malik bin Dinar berpesan, “Jika engkau melihat hatimu membatu, badanmu lemah, rejekimu terhalang maka itu disebabkan oleh ucapanmu yang tidak karuan.

Akan halnya perut, adalah salah satu anggota yang paling payah diperbaiki, paling banyak ongkos dan bimbangnya serta paling besar mudharat dan pengaruhnya. Dari perut bergolak segala tenaga yang timbul pada anggota tubuh lainnya seperti kekuatan dan kelemahan, ketelitian dan kecerobohan. Makanan yang masuk ke perut merupakan benih amal, sedangkan minuman menjadi air yang menyirami benih amal. Makanan yang baik, akan menjadi benih yang baik, yang jika disiram dengan air yang baik akan tumbuh serta berbuah menjadi pohon dengan buah amalnya. 

Tentang hati, adalah yang paling besar bahayanya, paling kuat pengaruhnya, paling lembut urusannya, paling payah memperbaikinya dan paling ruwet ihwalnya. Maka sebagaimana hadis yang sangat populer, “Sesungguhnya dalam jasad manusia  ada segumpal darah yang bila keadaannya baik, maka baik pula seluruh anggotanya. Namun bila rusak, rusak pula seluruh anggota badannya. Gumpalan itu adalah hati”. Karena itu Al Ghazali menasihati, kita harus menjaga hati yang merupakan pokok dari kehidupan manusia. “Kalau engkau merusak hati, maka seluruhnya akan rusak. Dan kalau engkau memperbaiki hati, maka seluruhnya akan baik. Sebab hati itu ibarat pohon. Sedangkan anggota tubuh lainnya hanya bagaikan dahan, cabang dan ranting”.

Selanjutnya ia mengajak kita meneladani kebiasaan para wali yang bisa disayang Allah setelah menjalani empat hal yakni (1) membiasakan perutnya lapar dengan berpuasa, (2) mengendalikan mulutnya dengan membiasakan berdiam diri tidak banyak omong, (3) menyendiri dari pergaulan yang tidak karuan dan (4) menahan mata mengurangi tidur malam untuk beribadah.

Itulah saudaraku, pemahaman dan makna filosofis dari tembang dolanan “Gundul – Gundul Pacul”, yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Sungguh saya merindukan suasana masa kecil, tatkala bermain bersama kawan-kawan dan adik-adik saya, bernyanyi riang gembira seraya memperagakan seseorang “menyunggi” bakul dan memegang pacul, berjalan  dengan sombong “gembelengan”. Semoga kita khususnya anda saudaraku para pembaca, dan lebih khusus lagi diri saya sendiri, bisa mengambil hikmah serta menghayati dan mengamalkan makna filosofis dari tembang dolanan ini. Aamiin.

Depok, 22 Maret 2013.

Rabu, 10 April 2013

PREMAN BERBAJU SUTERA.



Ayo Berikan Sanki Sosial Kepada Koruptor

1.Met malam saudara-saudaraku. Sebagai renungan, saya sajikan seri
 (kultwit) Preman Berbaju Sutera #premanbs. Siapakah mereka?

2.Kasus Serbuan Kopassus di Lapas Cebongan menyentakkan kita ada sesuatu
 yang jauh lebih besar dibalik itu#premanbs

3.Secara sepintas, kasus Cebongan adalah balas dendam terhadap para
 #premanbs

4.Tetapi jika merunut berbagai kejadian main hakim sendiri yang marak
 belakangan ini, hal itu tak bisa dianggap sepele #premanbs

5.Trend main hakim sendiri dan kerusuhan massal di berbagai pelosok tanah
 air menyiratkan terjadinya “social unrest + social distrust” #premanbs

6.Itu semua terjadi karena masyarakat tidak puas terhadap jaminan
 keamanan, ketertiban umum dan keadilan #premanbs.

7.Oleh sebab itu  rakyat jadi gampang marah dan mencoba mencari jalannya
 sendiri #premanbs

8.Aneh bukan? Main hakim sendiri membunuh tersangka yang belum diadili,
 kok disambut gembira #premanbs.

9.Masyarakat Yogya bahkan masyarakat umum di segenap pelosok tanah air
 menyambut bak pahlawan terhadap 11 anggota Kopassus yang main hakim
 sendiri tersebut #premanbs

10.Lebih-lebih sesudah para prajurit Kopassus itu dengan ksatria mengaku dan
 siap bertanggungjawab #premanbs.

11.Kerinduan pada sikap jujur dan bertanggungjawab seperti rasa dahaga yang
 tersiram air sejuk dengan pengakuan mereka #premanbs.

12.Kejujuran dan tanggungjawab dewasa ini bagaikan barang
 langka #premanbs

13.Simak saja sidang-sidang DPR tentang  Skandal Bank Century dan sidang-sidang pengadilan kasus korupsi, penuh dengan ketidakjujuran #premanbs.

14.Cermati saja sidang tabrak mati anak Menko Hatta Rajasa dan bandingkan
 dengan kasus yang  sama lainnya #premanbs

15. Coba bandingkan hukuman-hukuman klas "pencuri sandal dan maling
 ayam" dengan para koruptur milyaran rupiah. Betapa timpangnya #premanbs

16.Coba cermati di sekeliling anda, orang-orang kaya baru yang tidak jelas
 pekerjaannya #premanbs.

17.Coba cermati para birokrat/aparat/pejabat negara yang kekayaannya
 melimpah ruah jauh di atas gajinya#premanbs.

18.Masih segarkah ingatan anda tentang kekayaan Jenderal DS tersangka
 kasus simulator SIM yang disita KPK? Luar biasa bukan? #premanbs

19.Jujur saja, siapa yang pernah bisnis dengan instansi Pemerintah? Katakan
 berapa persen “mark-up” dan komisinya? #premanbs

20.Dari mana para birokrat/aparat/pejabat itu bisa punya mobil mewah, rumah
 mewah, hidup newah dan menyekolahkan anak ke LN dg gajinya yang
 pas-pasan? #premanbs

21.Sementara itu rakyat tanpa kecuali sejak bayi dalam kandungan sampai
 masuk liang kubur "dipaksa" bayar pajak PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
#premanbs.

22.Th 2013 ini, anda, kita semua harus rame-rame bayar pajak
 Rp.1193Trilyun, diantaranya Rp.424Trilyun berupa PPN #premanbs.

23.Uang itu seharusnya kembali kepada rakyat, pada kita, pada anda dalam
 bentuk berbagai pelayanan, kesejahteraan sosial dll #premanbs

24.Uang itu untuk menggaji birokrat/aparat/pejabat agar mereka melayani
 rakyat dengan baik #premanbs

25.Uang itu untuk berbagai fasilitas antara lain pendidikan, kesehatan,
 kesejahteraan sosial, jaminan hari tua, infrastruktur dlan lain-lain #premanbs

26.Uang pajak dari rakyat itu harus untuk menjamin keamanan, ketertiban
 umum dan keadilan #premanbs.

27.Demikian pula sumber daya alam yang ada harusnya dikelola untuk
 sebesar-besarnya kemakmuran rakyat #premanbs

28.Nyatanya SDA Indonesia hanya dikuasai segelintir orang bahkan kapitalis
 asing #premanbs

29.Nyatanya pelayanan birokrat/aparat/pejabat negara sangat buruk, bahkan
 mereka cenderung "memaksa" untuk dilayani #premanbs

30.Nyatanya sekolah susah, berobat mahal, cari kerja susah. Akibatnya banyak
 anak putus sekolah dan menganggur #premanbs.

31.Anak-anak putus sekolah dan para pengangguran itulah yang kemudian jadi
 preman jalanan yang meresahkan masyarakat #premanbs.

32.Mengapa mereka jadi preman jalanan? Karena kesempatannya untuk hidup
 layak dengan baik sudah ditutup+dirampas #premanbs

33.Bagaimana mungkin? Karena dana untuk mengangkat derajat  mereka
 supaya menjadi hidup layak dan baik telah dikorupsi oleh para
 pejabat/aparat/birokrat/rekanan #premanbs.

34.Rekanan/birokrat/aparat/pejabat negara yang korup itulah para Preman
 Berbaju Sutera #premanbs.

35.#premanbs sering berbaju sutera necis atau jas yang mahal dan harum
 baunya, tidak kumel dan apek seperti preman jalanan.

36.#premanbs adalah pembunuh berdarah dingin, menyiksa dan mencekik
 pelan-pelan kehidupan seluruh rakyat.

37.Anda suka terhadap teroris? Tentu tidak. Teroris itu kejam. Tapi #premanbs
 jauh lebih kejam lagi. Meraka nampaknya baik namun sesungguhnya zolim.

38.Karena itu pula para #premanbs tidak mau ada Undang-Undang
 Pembuktian Terbalik Asal-Usul Harta Kekayaan.

39.Karena UU Pembuktian Terbalik itu akan menutup jalan pesta pora mereka,
 bahkan bisa memenjarakan #premanbs

40.Sesungguhnyalah preman jalanan itu merajalela karena ulah #premanbs
 yang zolim luar biasa.

41.#premanbs juga mengancam kelangsungan kehidupan berbangsa dan
 bernegara, karena juga merusak sistem.

42.#premanbs itu sesungguhnya adalah "silent killer", yang zolim luar biasa.

43.#premanbs itulah musuh besar kita bersama seluruh rakyat termasuk
 musuh para prajurit TNI yang patriotis.

44.Ayo bangkit bersatu melawan koruptor. Jangan toleran terhadap
 #premanbs. Beri mereka sanksi sosial dan kucilkan!

45.Jangan mudah kena bujukrayu #premanbs yang sok dermawan. Lawan dan
 basmi mereka. Allah mengasihi kita orang-orang yang dizolimi. Aamiin.

Depok, 9 April 2013.

Senin, 08 April 2013

Dwi Anggia Protes Hasil Sidang Terbuka Komite Etik KPK

video.tvonenews.tv/.../dwi_anggia_protes_hasil_sidang_ter...
12 jam yang lalu – Salah satu saksi Komite Etik KPK, Dwi Anggia, memprotes hasil sidang terbuka beberapa waktu lalu. Presenter tvOne itu keberatan dengan ...

SOAL BOCORNYA SPRINDIK ANAS.

Wiwin Blak-blakan Kredibilitas Pimpinan KPK Dipertanyakan

OPINI | 08 April 2013 | 14:27 Dibaca: 801   Komentar: 0   2 menarik
Pagi ini Kompas TV menyiarkan wawancara eksklusif dengan Wiwin Suwandi mantan sekretaris ketua KPK yang membocorkan sprindik. Saya salut pada  Kompas TV sebagai media yang non partisan berani membuat terobosan yg mencerahkan masyarakat.
Dalam wawancara tersebut Wiiwin secara terus terang mengakui bahwa ialah yang sengaja membocorkan sprindik Anas ke publik. Dugaan dugaan seputar motif pembocoran sprindikpun jadi gamblang. Wiwin mengungkap bahwa ia sengaja membocorkan sprindik tersebut karena melihat kejanggalan ditingkat pimpinan KPK yg sangat lambat menetapkan anas jadi tersangka kasus hambalang, sementara di tingkat penyidik sudah ada kesimpulan bahwa Anas seharusnya sudah menjadi tersangka.
“Kenapa anda  hanya membocorkan sprindik Anas dan tidak pada kasus lain misal koerlantas, impor daging dll”, tanya Aiman Wicaksono (reporter Kompas TV). Dikatakan wiwin bahwa kasus hambalang yang sudah berulang tahun dipandang sebagai kasus besar dengan nilai proyek yang mencapai 2,1 T dianggapnya sangat penting bagi masyarakat untuk segera dituntaskan, apalagi dengan sudah terpenuhinya syarat bukti dan sudah puluhan saksi yg  diperiksa. Pada kasus lain wiwin juga berperan memberikan informasi ke media meskipun bukan dalam bentuk sprindik.
Wiwin dengan jantan dan tegar siap menerima resikonya karena dia sadar bahwa banyak pihak yang merasa dirugikan akan menyerangnya. Tentu dalam kasus sprindik ini ada peran Abraham Samad secara tidak langsung , namun pernyataan wiwin ini menunjukkan bahwa ia memang sudah siap berkorban. Seharusnya sidealisme  inilah yang seharusnya dimiliki semua pimpinan KPK.
Sekarang terbukti bahwa upaya intervensi terhadap KPK bukan dalam hal memaksa Anas untuk dijadikan tersangka tetapi justru sebaliknya, memaksa untuk tidak menjadikan anas menjadi tersangka. Isu beberapa waktu  yang lalu tentang pertentangan di internal pimpinan KPK juga menjadi lebih jelas siapa diantara unsur pimpinan yang menjadi duri dalam daging.
Akhirnya kita perlu merenungkan lagi penerapan hukum di indonesia mana yg lebih dibutuhkan saat ini, penegak hukum yg adil dan berintegritas, ataukelengkapan sistem  perundang-undangan yg selalu dikambing hitamkan sebagai sumber masalah penegakan hukum di Indonesia.
Mari selalu kita kawal KPK karena KPK masih yg terbaik dari banyak yg buruk. (Ade Darma, Kompasiana 08 April 2013).

Minggu, 07 April 2013

MENCARI HIKMAH DI BALIK SERBUAN KOPASSUS DI LAPAS CEBONGAN



SERBUAN KOPASSUS DI LAPAS CEBONGAN (seri tweeter @b_wiwoho)


1.Main hakim sendiri itu salah. Tapi sekarang lagi ngetrend. Ada apa dengan bangsa kita?
2. Seperti halnya Kopassus yg mengeksekusi “preman” di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman jelas salah. Tapi menjadikan preman bagai pahlawan juga salah besar!

3.Setuju! RT @eae18: Pembantaian ala Kopassus layak diteruskan ke para ang DPR, pejabat, aktivis yg (cont) http://tl.gd/lfv54k 
4.Danjen Kopassus Mayjen Agus Sutomo menyatakan bertanggungjawab atas eksekusi Lapas Cebongan
5. Jika Mayjen Agus Sutomo berani menyatakan mundur sebagai rasa tanggungjawab, maka dia potensial jadi calon pemimpin masa depan Indonesia.
6. Sambutan positip masyarakat thd eksekusi Cebongan, juga mengisyaratkan kerinduan sekaligus kemuakan thd penegakan hukum.
7. Dari waktu ke waktu kejahatan jalanan + tempat2 umum terus meningkat.
8. Kejahatan dg kekerasan sudah jadi bahan pemberitaan media massa sehari-hari.
9. Kehadiran negara dlm menjamin keamanan + ketertiban umum dirasakan menurun.
10.Masih ingat keberanian+keberhasilan Serda Kopassus Nicholas Sandi yg menggalkan perampokan+perkosaan disekitar Monas Juli 2012?
11. Kejahatan yg digagalkan Nicolas Sandi terjadi Senin mlm 23/7.12 di sekitar Istana Merdeka.
12. Pdhl Nicolas sdg cuti utk pulang kampung ke Papua n sdg memboncengkan calon isterinya naik motor
13. Keberaniannya disambut luar biasa oleh masyarakat+media. Banyak pihak harapkan prajurit2 TNI+Kopassus meneladani Nicolas.
14. Semua mencerminkan kerinduan akan penegakkan keamanan,ketertiban umum+keadilan
15. Jk negara tdk bisa jamin penegakkan keamanan, ketertiban umum+keadilan, mk rakyat termasuk prajurit2 TNI pasti akan mencari cara sendiri.
16. Jaminan keamanan, ketertiban umum+keadilan itulah pangkal permasalahan yg harus kita sadari bersama
17. Contoh kegeraman anak bangsa thd keadilan!"@rimanews: Pembocor Sprindik Anas: Saya Geram Kasus Anas Lamban ! http://j.mp/13Zdd0I  [WEB]"
18.Karena itu “kasus Cebongan” tidak boleh berhenti dengan peradilan terhadap para prajurit Kopassus, tapi harus mengatasi penyebab mengapa itu bisa terjadi.
19.Jika tidak “cebong” atau bayi katak yang berbentuk seperti ikan itu akan bermetamorfosis menjadi katak atau kodok
20.Entah katak apa, semoga bukan jenis katak beracun.

SUMPAH JABATAN HARUS DIUBAH.



TANTANGAN BERSUMPAH PEMBOCOR SPRINDIK “ANAS”  (seri tuip @b_wiwoho).


 
1."Wawancara eksklusif Wiwin soal sprindik Anas" (http://merdeka.com ). Menarik dibaca.
2.Wiwin sudah mengaku semua atas inisiatifnya sendiri dan menantang bersumpah dengan Al Qur'an.
3.Islam mengajarkan tentang sebuah sumpah yang sangat berat sanksinya, sebagai solusi final atas persengketaan yang sulit pembuktiannya.
4.Sumpah itu disebut "mubahalah" atau saling melaknat, sesuai Surat Ali Imran ayat 61.
5.Di Indonesia, khususnya Jawa, mubahalah dikemas dengan mengenakan kain kafan (pocong) pada mereka yang bersumpah.
6.Karena mengenakan kain kafan seperti pocongan (jenazah) maka disebut "sumpah pocong", sehingga menjadi sangat dramatis.
7.Belakangan ini semenjak kasus Skandal Bank Century, disusul terbongkarnya sejumlah mega korupsi, banyak kesaksian yang saling bertentangan. Ini berarti salah satu pihak pasti ada yang tidak jujur alias berbohong.
8.Nazaruddin yang banyak membongkar beberapa mega korupsi sampai menantang melakukan sumpah pocong pihak-pihak lain yang membantahnya.
9. Tetapi meskipun sesama muslim, mereka yang ditantang mubahalah atau sumpah pocong tidak ada yang berani melakukan. Padahal jika jujur dan merasa benar, mengapa takut?
10.Ajakan bersumpah dengan Al Qur'an, mestinya ya sesuai Surat Ali Imran ayat 61 atau mubahalah tersebut.
11. Ajakan sumpah seperti itu kini diajukan kembali oleh Wiwin Suwandi yang sudah mengaku membocorkan sprindik Anas.
12.Sidang terbuka Komite Etik kemarin (Rabu 3 April 2013) telah menyudutkan Wiwin dan Abraham Samad, dengan akibat menelanjangi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sendiri.
13. Sekarang Abraham seperti menantang dan Wiwin yang sebelumnya sudah mengaku salah, membuka borok KPK sendiri.
14. Apakah memang ini tujuan Komite Etik KPK? Kenapa pula tidak berani melayani tantangan sumpah Al Qur'an Wiwin?
15.Demikian pula tantangan sumpah serupa dari Nazaruddin, kenapa pada tidak berani melayani? (maksudnya orang-orang yang disebut Nazaruddin ikut menerima suap atau ikut terlibat kasus-kasus korupsi yang diungkapkan Nazaruddin).
16.Melihat kerusakan moral para elit dan oknum-oknum birokrat/aparat dewasa ini, rasanya Sumpah Jabatan bagi yang muslim, sudah sepantasnya Sumpah"Mubahalah" (sedangkan bagi non muslim, mengucapkan sumpah yang sederajat dengan itu).
17. Siapa yg tulus dan jujur, pasti tidak takut bersumpah "mubahalah" seperti itu.