Jumat, 21 Juli 2017

KIDUNG SUNAN KALIJAGA, MEDITATIF - KONTEMPLATIF




Banyak cara dan ukuran untuk menilai peradaban sesuatu bangsa, antara lain dengan melihat perkembangan kebudayaannya seperti kesenian, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, sastra dan organisasi kenegaraannya. Dari semua itu yang paling mudah adalah dengan melihat masakannya, pakaian adat, sastra dan musik termasuk alat musiknya.

Seni musik gamelan Jawa beserta alunan irama yang dimainkannya, khususnya irama tembang-tembang macapat, harus diakui memiliki keunggulan yang tinggi dalam hal sastra, seni musik dan teknologi pembuatan peralatan gamelannya pada masa dahulu kala.

Di Inggris, menurut laporan media massa terkemuka BBC 15 Januari 2015 (http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/01/150119_trensosial_gamelan_penjara), gamelan telah dipakai untuk membantu rehabilitasi mental ribuan nara pidana. Mereka mendapatkan bantuan 'terapi' dengan belajar dan bermain gamelan bersama melalui satu yayasan yang berkeliling di puluhan penjara dalam 10 tahun ini.
Direktur eksekutif Yayasan Good Vibrations yang didirikan tahun 2003, Katherine Haigh, mengatakan dari sekitar 4050 peserta - sebagian besar adalah narapidana- 75% di antaranya menyebutkan bahwa belajar gamelan membantu meningkatkan kepercayaan diri mereka.

Di Inggris banyak tumbuh kelompok-kelompok gamelan yang dimotori oleh Catherine Eastburn, yang sudah  mahir bermain antara lain kelompok  The Southbank Gamelan Players dan Gamelan Naga Mas.
Pakar gamelan dari Inggris lain yaitu Dr.Helen Loth dalam Seminar “Therapeutic Uses Of Gamelan” yang diselenggarakan Universitas Pelita Harapan  10 September 2016 (http://musicalprom.com/2016/09/19/musik-terapi-menggunakan-gamelan-hasil-penelitian-dari-inggris/ ), memaparkan hasil penelitian di Inggris mengenai penggunaan musik termasuk gamelan sebagai sarana terapi bagi kesehatan mental. Ketua dari Program Magister Bidang Terapi Musik Universitas Anglia Ruskin, Cambridge, Inggris ini melakukan penelitian doktoralnya dengan judul “ An Investigation Into the Relevance of Gamelan Music to the Practise of Music Therapy.”

Berdasarkan hasil wawancaranya dengan berbagai pihak yang berkecimpung dalam dunia gamelan di Inggris, ternyata gamelan telah digunakan di banyak tempat dan kesempatan seperti pendidikan, orkestra dan bahkan rumah sakit. Bermain gamelan, katanya, memberikan banyak manfaat seperti pengembangan kemampuan belajar, kesejahteraan hidup, kemampuan sosial, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bekerjasama dan kesadaran sensoris.

Bagaimana halnya dengan di Indonesia? Kecuali di Bali, hampir semua seni tradisonal Nusantara makin meredup keberadaannya. Bukan hanya seni gamelan Jawa dan seni tembang macapat, tapi juga seni musik suku-suku bangsa kita yang lain, hanya merupakan kelompok-kelompok kecil yang jarang, dan pada umumnya sekedar tampil melengkapi upacara-upacara adat pernikahan pada keluarga-keluarga menengah atas.

Gamelan Jawa yang kita kenal sekarang, memilik sejarah panjang yang memperoleh penyempurnaan dan kelengkapan dari para ulama penyebar agama Islam yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga abad ke 15 – 16, terutama dari Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Lebih khas lagi adalah tembang-tembang macapat, yang memang diciptakan Wali Sanga sebagai media untuk berdakwah. Irama tembang-tembang macapat, dipakai untuk mengiringi sastra tutur yang berisi materi-materi dakwah agama Islam khususnya tasawuf, yang pada masa Kesultanan Demak disebut Sastra Suluk. Suluk berarti jalan menuju Tuhan, kemudian juga dipakai untuk pengantar sesuatu babak dalam seni pewayangan.

Dengan suluk tembang-tembang macapat tersebut, agama Islam yang semula diacuhkan masyarakat Jawa, akhirnya diterima dan kemudian berkembang pesat menjadi umat Islam terbesar di dunia sekarang ini. Padahal menurut temuan arkeologi, Islam sudah masuk ke Jawa pada awal abad ke 11, bahkan sejumlah ahli sejarah kini sedang meneliti berbagai data yang mengindikasikan Islam sudah masuk ke Jawa sejak periode awal Islam, yakni abad ke 7 Masehi. Jika kita berpatokan pada temuan arkeologi yaitu inskripsi kuno pada makam Fatimah binti Maimun (1082 M) yang berada di desa Leran, Kecamatan  Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, maka Islam sudah masuk ke Jawa padaabad 11, namun seperti tertahan dan tidak berkembang sampai periode Wali Sanga.

Kidung Kawedar atau Kidung Sariro Ayu atau Kidung Rumekso ing Wengi, selanjutnya penulis sebut Kidung Kawedar, adalah sebuah suluk yang memperkenalkan tentang agama Islam pada masyarakat Jawa abad ke 15 – 16. Masyarakat Jawa penggemar seni gamelan sekarang ini, baik yang Islam maupun bukan, pada umumnya mengenal Suluk Kidung Kawedar  terutama bait pertama sampai ketiga. Sedangkan bagi penghayat kebatinan dan Kejawen, bait ke 17 dan 18 lebih disenangi. Suluk ini jika dikidungkan dengan irama Dandhangula yang diiringi lantunan lembut gamelan, sungguh akan membangun suasana meditatif-kontemplatif yang luar biasa.

Bagi masyarakat umum, meskipun orang Jawa, makna syair-syair Kidung Kawedar sudah mulai sulit dipahami karena disajikan dalam bahasa Jawa Tengahan (Bahasa Jawa Madya). Sedangkan yang berlaku di masyarakat Jawa sekarang adalah bahasa Jawa Baru, yang sudah gado-gado, campur dengan berbagai bahasa daerah dan asing lainnya. Demi memahami Kidung Kawedar, melalui buku ini penulis mempersembahkan terjemahan sekaligus berikut tafsirnya. Sebelum dihimpun menjadi sebuah buku, tulisan-tulisan tersebut telah dimuat di dalam blog/website b.wiwoho.blogspot.com dan islamjawa.wordpress.com serta facebook Bambang Wiwoho, facebook Tasawuf Djawa Full dan grup Tasawuf Djawa.

Tafsir ini diilhami oleh pengalaman penulis sebagai pengurus harian dalam Festival Istiqlal I (tahun 1991) dan Festival Istiqlal II, yaitu festival seni budaya yang bernafaskan Islam, serta nasihat dan dorongan kuat dari ulama sepuh Prof.K.H.Ali Yafie. Untuk itu penulis menyampaikan rasa takzim dan terima kasih nan tak terhingga. Ungkapan terima kasih juga wajib disampaikan kepada tiga sahabat yang telah berkenan memberikan ulasan dan kata pengantar. Pertama kepada putera beliau Helmy A.Yafie (Sekretaris Jenderal Darud Dakwah wal Irsyad), yang bukan orang Jawa tapi telah memberikan ulasan Kidung Kawedar secara mendalam. Kedua, sahabat Gus Anis Sholeh Ba’asyin (pimpinan Suluk Maleman/Orkes Sampak Gusuran dan Rumah Adab Indonesia di Pati) yang sejumlah sahabat sering memanggilnya Habib Anis. Ketiga, sahabat penulis selama lebih 40 tahun, wartawan senior yang memiliki banyak hobi dan pernah menduduki berbagai jabatan penting yaitu mas Parni Hadi. 

Ungkapan terima kasih selanjutnya kami sampaikan kepada mas Rachmat Riyadi dan mas Faried Wijdan serta sahabat-sahabat dari penerbit Pustaka IIMAN. Juga terima kasih untuk mas Luluk dan mbak Lies Sumiarso pimpinan Rumah Puspo Budoyo/Nusantara Institute serta mas Djoko Muljono, yang secara bersama-sama telah bertekad menggelorakan kembali seni macapat Nusantara, dengan mendayagunakan segenap potensi jejaring seni budaya Nusantara.

Semoga dengan hikmah Kidung Kawedar ini, beserta ridha, rahmat dan berkah-Nya, kita bisa terus tumbuh dan berkembang menjadi bangsa dan umat Islam yang sejahtera, tinggi serta mulia peradabannya. Aamiin.

(Pengantar penulis untuk buku: ISLAM MENCINTAI NUSANTARA, JALAN DAKWAH SUNAN KALIJAGA. Tafsir Suluk Kidung Kawedar)






Kamis, 13 Juli 2017

WALI SANGA DAN PENYEBARAN ISLAM DI JAWA : Jalan Dakwah Sunan Kalijaga




 Wali Songo dan Penyebaran Islam  di Jawa : Oleh Helmy Ali Yafie

Para Sarjana berbeda pendapat, tentang kedatangan Islam di Indonesia. [1] Tetapi ada satukenyataan, yang tampaknya disepakati, adalah bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai. [2] Islam, dalam batas-batas tertentu, di sebarkan oleh pedagang, bersama atau kemudian dilanjutkan oleh para guru dan pengembara sufi. Tampaknya orang yang terlibat dalam kegiatan penyebaran agama (Islam), pada tahap-tahap awal kedatangan Islam, tidak bertendensi apapun selain bertanggung bertanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama mereka berlalu begitu saja. [3]  Tidak ada catatan-catatan sejarah atau prasasti  pribadi yang sengaja dibuat oleh mereka untuk mengabadikan apa yang telah mereka lakukan.



Oleh karena itu wajar jika terjadi perbedaan pendapat tentang kapan, dari mana dan dimana pertama kali Islam datang ke Indonesia. Yang dapat dikatakan adalah bahwa para penyebar agama yang berdatangan bersama atau menyusul para pedagang, dan kebanyakan adalah para sufi pengembara. Pada proses berikutnya terjadi perkawinan antara para pedangang dan para penyebar agama tersebut dengan penduduk setempat dan anak bangsawan  Indonesia, yang kemudian membentuk keluarga, komunitas inti,  keluarga Muslim dan kemudian masyarakat Muslim.

Perkawinan dengan para anak bangsawan, membuat status social mereka menjadi meningkat lebih tinggi. Apalagi  jika mereka kawin dengan putri Raja, maka keturunannya menjadi pejabat kerajaan, syahbandar, qadi dan lain-lain, bahkan menjadi putra mahkota[4].

Pada periode berikutnya, setelah para pedagangan dan para penyebar agama itu mempunyai kedudukan cukup kuat,  para pedagang menguasai perekonomian terutama bandar-bandar seperti Gresik, mereka kemudian membangun pusat-pusat pendidikan, yang kini disebut pesantren. Di Jawa, pusat-pusat pendidikan itu menjadi semacam tempat penggemblengan kader-kader ulama dan politik. Misalnya Raden Patah, Raja Demak  pertama, adalah santri Ampeldenta. Proses penyebaran agama Islam, peran dan asal usul aktor yang terlibat di dalamnya, juga terdapat perbedaan diantara para ahli, tetapi gambaran umum tampaknya kurang lebih seperti yang disebutkan secara sederhana diatas. Tampaknya hal itu kemudian yang mempercepat proses perkembangan Islam di Indonesia.

Tahap awal penyebaran Islam terlihat lamban, terbatas pada kota-kota pelabuhan. Lalu kemudian pada periode berikutnya  memasuki daerah pesisir lainnya dan pedalaman. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum kedatangan Islam,  kepercayaan masyarakat di Nusantara didominasi agama Hindu, Budha dan agama-agama atau kepercayaan lokal. Abad ke-5 sampai dengan abad-14 M dapat dikatakan sebagai abad dominasi Hindu Budha di Nusantara. Bahkan pada satu masa tertentu  kedua agama (yang pada dasarnya bertentangan) itu bergabung, yang dikenal dengan nama Syiwa-Budha,  dan hal ini hanya ditemui di Indonesia[5].   

Beberapa kerajaan Hindu dan Budha yang berkembang dan menguasai beberapa daerah, pusat-pusat jalur perdagangan di Nusantara. Di tanah Jawa  pelabuhan-pelabuhan penting yang merupakan daerah pusat jalur perdagangan internasional pada masa berada dibawah pengaruh Hindu-Budha tersebut.  Artinya, ketika Islam masuk  agama Hindu dan Budha, disamping kerecayaan local masyarakat, mendominasi kepercayaan dan  dianut oleh masyarakat Jawa saat itu. Dengan adanya system kepercayaan, yang sudah begitu mengakar kuat dalam dalam masyarakat, di dukung oleh system kerajaan,  seperti itu maka menjadi logis jika penyebaran Islam terlihat lamban. Tetapi pada masa-masa berikutnya terlihat terjadi perubahan, penyebaran Islam berjalan relatif cepat.

Terlihat ada bentangan waktu yang cukup panjang. Kalau patokannya diambil  abad ke 11 M sebagai tahun kedatangan dan abad ke 15,  tepatnya tahun 1481 M,  tahun berdirinya kerajaan Islam yang pertama di tanah Jawa yaitu Kerajaan Demak. Maka terdapat jarak waktu selama kurang lebih empat abad lamanya. Atau kalau ditarik lebih jauh kebelakang, sampai pada abad pertama Hijriyah, maka perkembangannya terlihat sangat lamban.  Tetapi dalam perkembangan berikut, terlihat proses berjalan lebih cepat. Islam  berkembang dengan cepatnya di tanah Jawa,  antara abad 15 sampai 17 M, yang ditandai  dengan adanya beberapa kerajaan Islam yang mendominasi di tanah Jawa yang wilayah kekuasaannya  sangat luas, hampir mencakup seluruh pulau tersebut.
Tampaknya semua itu terkait langsung dengan dengan adanya proses yang lebih terencana dan sistematis. Di beberapa daerah di tanah Jawa, misalnya, pada masa-masa itu, berdiri  beberapa pusat-pusat penyiaran agama Islam. Di Jawa Timur,  dipelopori  oleh Sunan Ampel, di daerah Gresik Jawa Timur dipelopori oleh Sunan Giri. Hal yang sama terjadi di Jawa Barat, dibawah kepemimpinan  Sunan Gunung Jati, di Jawa Tengah bagian utara di pelopori oleh Sunan Kudus dan Sunan Muria, sedangkan di Jawa Tengah bagian selatan dipelopori oleh Sunan Kalijaga

Kemungkinkan hal itu karena adanya kepemimpinan para wali yang konsisten dan solid. Dengan kata lain pada periode itu, ketika para wali, yang dikenal dengan nama Wali Sembilan (Wali Songo), melanjutkan memimpin penyebaran agama Islam di seluruh pulau Jawa, maka penyebaran agama Islam relative berlangsung lebih cepat. [6]  
Wali Songo  adalah sebuah dewan wali yang memiliki otoritas tertinggi pada jamannya, dalam keagaman dan penyebaran agama, yang secara berkala melakukan pertemuan (musyawarah), untuk menentukan strategi dan mengeluarkan fatwa[7]. Sesuai namanya, Wali Songo, jumlah wali di Jawa sembilan orang dan menurut urutan dari Timur ke Barat  adalah : Sunan Ampel (Raden Rahmat), makamnya terdapat di Ampel dalam kota Surabaya; Malik Ibrahim (Maulana Magribi) di Gersik, Sunan Drajad (makamnya terletak di Sidayu Lawas); Sunan Giri (Raden Paku) makamnya terletak di Giri tempatnya di Gersik; Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim), makamnya terletak di Tuban;  Sunan Kudus (konon adalah panglima bala tentara para wali yang menyerbu Majapahit), Sunan Murya (pejuang melawan Majapahit), Sunan Kalijaga (Jaka Syaid, atau Raden Mas Syahid), Jawa Tengah;  Sunan Gunung Jati (adalah Putera Pasai yang kawin dengan saudara perempuan Sultan Trenggana), di Cirebon, Jawa Barat. [8]

Jelas bahwa Wali Songo memiliki peran yang sangat besar dalam proses penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Mereka tidak hanya berdakwah menyebarkan agama Islam tetapi juga menjadi penasehat raja-raja yang memerintah. Bahkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah juga raja. Dia mendapat julukan Pandita Ratu. Pada umumnya Wali Sembilan itulah yang mendirikan pesantren-pesantren atau padepokan, yang menjadi pusat-pusat pendidikan untuk melakukan kaderisasi.  Santrinya datang dari berbagai daerah, dari seluruh pelosok Nusantara. Itu  menjadi bagian penting  bagi perkembangan Islam di tanah Jawa.  


Tentang Sang Wali

Sunan Kalijaga dapat dikatakan salah satu tokoh sentral dalam proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Pendekatannya unik. Sunan Kalijaga,  melihat keadaan masyarakat Jawa pada waktu itu dimana masyarakatnya masih kental dengan tradisi Hindu, Budha dan kepercayaan-kepercayaan lama  maka dia melakukan pendekatan seni dan budaya, dalam arti mencoba menyerap budaya dan tradisi yang sudah ada dalam menyebarkan ajaran-ajarannya. Dia berkeliling dari satu tempat ketempat lain, memasuki daerah-daerah terpencil.

Ada beberapa versi silsilah Sunan Kalijaga. Hal itu  karena memang  tidak ada catatan atau bahan–bahan yang secara penuh dan datail memberikan informasi secara jelas mengenai asal usul Sunan Kalijaga. Salah satu versi mengatakan bahwa Dia diperkirakan ia lahir sekitar tahun 1450 M.  Nama kecilnya adalah Raden Mas Syahid, putera Tumenggung Wilatika, Bupati Tuban dari Ibu bernama Dewi Ningrum. Sunan Kalijaga kawin dengan Sarah binti Maulana Ishaq dan berputra tiga orang, yakni Raden Umar Said (kelak menjadi Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Sofihah[9].

Sunan Kalijaga  terkenal,  karena berjiwa besar, toleran, berpandangan tajam dan juga seorang pujangga. Sunan Kalijaga juga dikenal dalam Babad Tanah Jawi. Ia dipandang salah satu dari Sembilan wali yang banyak memperlihatkan mu’jizat.[10] Menurut riwayatnya, masa remajanya nakal, sehingga dia diusir oleh orang tuanya. Dia menadapt julukan Lokajaya, karena sakti dan tidak ada dapat mengalahkannya. Oleh karena itu, sebagai perampok dan penyamun, sangat ditakuti sampai dia bertemu dengan Sunan Bonang yang kemudian dapat menaklukkannya.

Sunan Kalijaga  ingin menjadi murid  Sunan Bonang, tetapi Sunan Bonang menolaknya, dan hanya mau menerimanya sebagai murid apabila dia sanggup menjaga tongkatnya yang dia tancapkan di tepi sungai. Dengan setia Raden Mas Syahid menjaga tongkat itu, menepati janjinya, sehingga karena itu dis disbeut Kalijaga (penjaga kali/sungai). Setelah menjadi Wali dia juga disebut Syekh Malaya, karena dia berdakwah sambil berkelana. Masa hidupnya cukup panjang, dari akhir masa kerajaan Majapahit sampau pada masa kerajaan Pajang (akhir abad ke 15 sampai pertengahan abad 16).[11]

Jasanya bagi Demak cukup besar. Pada waktu pendirian Mesjid Demak, dia salah seorang wali yang berkewajiban menyediakan salah satu dari 4 tiang pokok (soko guru) yang menurut lagenda dia buat dari tatal (serpihan-serpihan kayu sisa)[12]. Konon tiang itu dibuat menurut konstrukti tiang kapal, terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang sangat tepat dan rapi. Sangat kuat dapat menahan angina topan.[13] Kalau difahami secara simbolik, maka peranan dalam pendirian masjid itu sangatlah penting.

Dalam menyebarkan agama, Sunan Kalijaga berbeda dengan Sunan Giri. Menurut Sunan Kalijaga, menyampaikan ajaran Islam perlu disesuaikan dengan keadaan setempat, sedikit demi sedikit. Kepercayaan, adat istiadat dan kebudayaan lama tidak harus dihapus, bahkan diisu dengan unsur dan roh ke Islaman.

Sunan Giri, sebaliknya, berpendapat bahwa Islam harus disampaikan menurut aslinya. Kepercayaan lama harus diberantas. Demikian pula dengan adat istiadat dan kebudayaan lama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tampaknya kedua Wali ini memang berbeda pendekatannya. Sunan Kalijaga lebih beroientasi dan mendekati rakyat, sedangkan Sunan Giri lebih dekat dengan kaum bangsawan dan hartawan. [14] Tetapi tidak berarti bahwa Sunan Kalijaga anti terhadap kaum bangsawan. Karena dia merupakan salah seorang penasehat raja-raja Demak, sejak Raden Patah sampai Sultan Trenggana, sehingga diberi tanah perdikan (tanah bebas pajak) di Kadilangu[15]. Kesepakatan kemudian tercapai bahwa dakwah memang perlu dua pendekatan, ada yang dari atas dan ada pula yang dari bawah.[16]


Sebagai budayawan dan seniman, banyak yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga, dan itu menggambarkan pendiriannya tersebut. Dia menciptakan dua perangkat gamelan yang semula bernama Nagawilaga dan Guntur Madu, kemudian dikenal dengan nama Nyai Sekati (lambang dua kalimat syahadat). Wayang yang pada zaman Majapahit dilukis diatas kertas yang lebar sehingga disebut wayang beber, oleh Sunan Kalijaga dijadikan satu-satu dan dibuat dari kulit kambing, yang sekarang dikenal dengan nama wayang kulit.[17] Banyak lakon-lakon yang digubah untuk kepentingan ini. Diantaranya yang terkenal adalah lakon Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci.
Menurut Hazim Amir,  setelah agama Islam datang ke Indonesia (pulau Jawa), lakon wayang mengalami perubahan. Wali Songo mengubah  sistem hirarki kedewaan yang menempatkan para dewa sebagai pelaksana perintah Tuhan saja,  bukan sebagai Tuhan. Untuk itu disusunlah cerita-cerita baru yang bernafas Islami, seperti lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada dan lakon-lakon wahyu. [18]

Sunan Kalijaga, menjadikan wayang kulit sebagai media pendidikan atau dakwah, dengan menampilkan tokoh-tokoh pewayangan yang menjadi favorit rakyat, ke dalam pewayangan hampir keseluruhan kisahnya dipentaskan ceritera dan dialog-dialog tentang tashawuf dan akhlakul karimah. Karena dia faham betul bahwa yang dihadapi itu (audiens) adalah pemeluk Hindu ataupun Budha, yang keseluruhan ajarannya berpusat pada ajaran kebatinan. Mungkin karena itu,  maka Sunan Kalijaga mengekspose unsur-unsur tashawuf dan akhlaqulkarimah.

Sebagai tahap awal dari suatu proses, tampaknya itu berhasil dalam dakwahnya. Kepercayaan kebatinan memang sangat penting, akan tetapi arti agama (Islam) tidaklah hanya itu[19]. Satu personifkasi yang sangat dekat dengan masyarakat Jawa adalah diciptakannya tokoh Punakawan dalam cerita pewayangan yang terdiri atas Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong, adalah tokoh-tokoh yang selalu ditunggu-tunggu dalam setiap pergelaran Wayang di Jawa, dan tokoh-tokoh ini tidak ditemui pada cerita Wayang asli yang berasal dari India. Para tokoh Punakawan dibuat sedemikian rupa mendekati kondisi masyarakat Jawa yang beraneka ragam.[20]

Awalnya, apa yang dikembangkan oleh Sunan Kalijaga pada awalnya tidak memperoleh dukungan dari beberapa Wali lainnya.
Sunan Giri, misalnya berpendapat bahwa wayang itu itu hukumnya haram, karena gambarnya menyerupai manusia. Maka terjadi debat. Tetapi Sunan Kalijaga, mengemukakan jalan keluar yang bijaksana. Gambar wayang dirubah bentuknya, agar tidak haram. Ukurannya tangannya dibuat menjadi lebih panjang, begitu pula kakinya. Hidung dibuat panjang, kepala dibuat menyerupai binatang. Gagasan itu disetujui oleh para Wali, bahkan membantu dengan menciptakan gamelannya.[21] Maka menjadilah wayang itu media dakwah yang efektif.

Banyak hal yang telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Dia menciptakan baju yang disebut takwo (artinya: Takwa). Kain batik bermotifkan burung, konon dari Sunan Kalijaga juga. Pemanfataan kebudayaan dalam bentuk ide-ide lainnya dapat dijumpai pada makna-makna yang terkandung dalam suluk, seperti Kidung Rumeksa Ing Wengi dan Dhandanggula. Dandanggula, yang dia ciptakan adalah salah satu jenis macapat, yang setiap baitnya terdiri dari 10 baris, dengan guru lagu (jumlah suku kata) dan guru swara (bunyi akhir bait). [22]

Agaknya karena Sunan Kalijaga adalah asli Jawa maka pengaruhnya lebih merata di kalangan rakyat. Dia wafat pada usia relative tua, dan di makamkan di desa Kalidangu, sebelah timur kota Demak.



Warisan Sang Wali

Sunan Kalijaga, adalah salah seorang dari Wali Sembilan (Wali Songo). Salah seoarng tokoh sentral dalam proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Terkenal,  karena berjiwa besar, toleran, berpengatahuan luas dan dalam, serta berpandangan tajam. Dia juga seorang pujangga.  Dia adalah gabungan dari seorang ulama dan budayawan. Dia tampak unik dengan pendekatannya. Dia meninggalkan banyak karya, meninggalkan banyak jejak dengan apa yang telah dilakukannya, pada tempat-tempat tertentu  yang masih dipelajari dan digunakan sampai sekarang.
Buku yang berjudul SULUK[23] KIDUNG KAWEDAR SUNAN KALIJAGA, di tulis oleh B. Wiwoho, berisi salah satu warisan dari Sunan Kalijaga. Buku ini memuat, mengurai, menafsirkan dan mencoba menempatkan posisi karya Sunan Kaligjaga tersebut dalam peta penyebaran Islam.
Suluk Kidung Kawedar disusun  dalam bentuk Kidung, sebagaimana sudah disebutkan diatas adlah sebuah bentuk karya sastra dalam bahasa Jawa Tengahan yang digubah dalam bentuk puisi menggunakan metrum Jawa Tengahan atau tembang tengahan (sekar madya).  Kawedar  adalah kidung pujian dalam bentuk puisi Jawa, yang dilagukan dengan apa yang disebut macapat (maca papat-papat; membaca empat-empat).
Suluk Kidung Kawedar juga memberikan gambaran tentang keadalaman pengetahuan keagamaannya dan pemahamanannya terhadap masyarakatnya.  Kita bisa membayangkan bagaimana sulitnya masyarakat ketika itu untuk memahami bahasa dan tradisi keagamaan (Islam) yang baru bagi mereka; sementara mereka hidup dalam tradisi keagamaan dan pemahan keagamaan yang sudah mengakar kuat dalam diri diri dan lingkungan mereka.  Bagi orang Jawa tidak mudah mengucapkan dan memahami doa dalam bahasa Arab, maka Sunan Kalijaga menyusun doa dalam bahasa Jawa, dengan bentuk kalimat dan gaya bahasa kidung sesuai dengan alam pikiran Jawa.  

Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian Pertama, berisi  kidung-kidung SULUK KIDUNG KAWEDAR,  tentang ajaran Islam. Uniknya,  dimulai  dengan kidung mantra penolak bala, yang secara sepintas seperti tidak begitu prinsipil. Tetapi ketika dibaca dengan teliti, direnungkan maknanya, ternyata ini merupakan ajaran tentang keimanan kepada Ke Maha Esaan, Ke Maha Kuasaan dan Ke Maha Besaran Allah SWT. Bahwa semua hal yang ada disekitar kita ini; penyakit, senjata tajam, hama, binatang buas, bisa ditaklukkan.  Kawasan-kawasan angker, keadaan gawat, kekeringan bisa dirubah menjadi keadan yang indah damai, subur, damai dan penuh kebahagiaan.  Jika kita bersandar kepada Allah SWT. Ini adalah pesan keimanan, keimanan yang tidak terbagi. Bahwa Allah Swt mengatasi segalanya, hanya dengan menyebut namanya.  Ini juga tentang konsistensi, dengan mengacu  Nabi Adam (perasaan), Nabi Sis (pemikiran) dan Nabi Musa (Ucapan).
Lalu dengan cara yang sama Sunan Kalijaga lebih jauh mengenalkan  Islam, dengan mengenalkan para Nabi, sejarah Nabi Saw, para sabahatnya dan keluarganya.   
Bagian berikutnya, menggambarkan hubungan antara Allah Swt dengan hamba-hambaNya dan ciptaanNya.  Bahwa hidup yang berasal dari Allah, sebenarnya hanya berlangsung singkat. Dunia ini hanya tempat persingahan untuk sejenak beristirahat, bagi seorang musafir, penuh dengan godaan dan jebakan yang membuat orang bisa terpeleset dan tersesat, sehingga kesulitan mencapai tujuan. Maka hidup yang singkat itu, digunakan sebaik-baiknya dengan aktivitas yang bermanfaat bagi sesama, bagi diri sendiri, sebagi bekal untuk menuju tujuan. Untuk kepentingan itu, sebaiknya manusia selalu mengingat dan berdoa kepada Tuhan. Ini penting karena setan atau iblis diberi mandat untuk menggoda manusia selama dalam perjalanannya.
Ada ajaran yang sangat mendalam, yang membutuhkan perenungan mendalam dengan menangkap tanda-tanda yang disekitar kita,  yakni ‘mangunggaling kawulo gusti’. Ini soal pengetahuan dan  pemahaman hubungan antara manausia dengan Sang Pencipta. Penyatuan di sini bisa bermakna penyatuan kehendak, dan itu bisa dilakukan jika manusia mampu mengendalikan segala nafsu dan kemauan. Manusia yang menyatu dengan Tuhannya bisa berarti manusia bisa mengendalikan segala macam nafsu dan kemauannya, sehingga menyatu dengan kehendak Allah Swt. Dan ini mencapai derajat yang dicapai para wali Allah.  Manusia yang bisa memahami, menaklukann dan mengendalikan hawa nafsunya juga akan memiliki arta daya, atau kebijakan atau kekuatan batin yang luar biasa. Proses dan cara penyatuan, begitu juga dampak dari penyatuan itu, tergambar pada Kidung Dewa Ruci.
Kembali tentang kandungan Suluk Kidung Kawedar, penulis melihat pendekatan atau metode yang dikembangkan oleh Sunan Kalijaga. Sebagaimana di ketahui bahwa pada abad ke 15 - 16 adalah zaman dimana ajaran-ajaran dominan, Hindu Budha, atau kepercayaan lama yang memuja roh-roh halus, mempercayai hal-hal gaib dan mistis. Dalam situasi seperti itulah Sunan Kalijaga menciptakan Suluk Kidung Kawedar yang di dendangkan dengan irama dhandanggula yang bernuansa kontemplatif,  untuk mengatasai segala macam problem kehidupan sehari-hari. Itu semua dikemas dengan bahasa dan tradisi yang sudah dikenal masyarakat.

Keakraban semakin terasa karena kidung ini juga terkait dengan problem-peroblem kehidupan sehari-hari.  Jadi kidung dibangun dengan bentuk kalimat dan gaya bahasa kidung sesuai dengan alam pikiran Jawa. Tidak salah jika kemudian menggunakan istilah ‘menyusup’. Maksudnya, Sunan Kalijaga mengajarkan Islam tanpa menghadap-hadapkannya dengan  budaya dan tradisi yang sudah ada. Bahkan beberapa bagian diangkat dan diberi landasan dan roh Islam.

Sunan Kalijaga, dengan Suluk Kidung Kawader, seperti datang memberi energi baru kepada kepercayaan masyarakat. Dia tidak mengecam kepercayaan yang sudah  ada dalam masyarakat. Bahkan seperti menguatkannya. Tetapi sesungguhnya dia menggantikan nilai-nilai dan makna-makna dasar. Kalau dikembalikan kepada pertanyaan, ‘kenapa pada abad-abad 15-17 Islam tampak cepat diterima dan menyebar, dibanding dengan sebelumnya?’. Mungkin salah satu jawaban adalah sosok Sunan Kalijaga. Maka, kalau kita berkaca pada masa kita ini yang penuh dengan benturan, kita bisa memahami ajakan penulis
Bagian Kedua di beri judul “Berguru pada Sunan Kalijaga”. Kalau dilihat  sub judul terakhir pada bagian kedua ini, tampak penulis  berefleksi, melihat kembali dan merenungkan apa yang sudah dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Ini merupakan bagian penting, kalau bukan yang terpenting, dalam proses membangun peradaban Jawa yang berpijak pada ajaran dan nilai-nilai  Islam.

Pada masa itu adalah masa ketika masyarakat masih sangat kuat dipengaruhi kepercayaan-kepercayaan kepada hal-hal yang gaib, mistis. Alam masih dipengaruhi atau didominasi oleh kekuatan-kekuatan gaib, yang ada di mana-mana, dan menentukan nasib manusia. Situasinya mirip dengan keadaan sekarang, ketika masyarakat sangat kuat dipengaruhi oleh nilai-nilai individuliasme, henodisme dan pragmatisme. Mesikipun nuansanya berbeda, tetapi cengkermannya kurang lebih sama. Bahkan mungkin lebih kuat karena kondisi sosial ekonomi, politik dan budaya, yang mendukung. 
Sunan Kalijaga mengambil sikap yang  berbeda dengan para Wali lainnya, seperti Sunan Bonang atau Sunan Giri, yang cenderung tidak mau konpromi dalam situasi seperti itu. Sesungguhnya Sunan Kalijagatidak hanya berhadapan dengan situasi masyarakat, tetapi juga menghadapi persoalan-persoalan dengan sesama Wali. Dia mendapat tantangan dari dalam. Pendekatannya dipertanyakan.  Jalan yang dilaluinya cukup terjal dan berliku.
Tetapi situasi itu dihadapi dengan bijaksana penuh empati, sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan dan dakwah dalam Islam. Maka ke dalam dia membangun dialog, menjawab kritik dengan memberikan alternatif pemecahan yang logis dan realistis. Keluar, kepada masyarakat dan lingkungan luar, dia mencari inspirasi dari kepercayaan atau tradisi yang sudah, bahkan yang dianggap harus diberantas oleh kawan-kawannya. Ketika dia berhadapan dengan masyarakat yang tidak kenal dengan Islam, dia tidak langsung mengajarkan tentang rukun Islam, syahadat dan shalat, melainkan dengan terlebih dahulu menanamkan sugesti, bernuansa magis, sesuai dengan kondisi batin orang-orang Jawa pada umumnya, pada masa itu. Kemudian mengenalkan tokoh-tokoh panutan dalam Islam, dan beberapa istilah penting (istilah kunci). Baru kemudian mengenalkan rukun Iman.
Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga, melakukan pendekatan atau cara yang sangat bijaksana, masuk melalui pendidikan dan budaya, dalam arti memberikan warna dasar pada budaya. Bukan dengan cara yang frontal, membongkar atau menendang agama dan kepercayaan, ada istiadat dan kearifan lokal. Tetapi dengan cara bijak menyusup, menggeser setapak demi setapak atau membungkus selapis dengan selapis dengan Islam atau dengan nilai-nilai Islam.
Catatan akhir

Betul kata penulis bahwa tidak ada gading yang tidak retak. Tidak ada sesuatu yang sempurna, apalagai kalau itu adalah cara atau sratagi atau pendekatan. Karena ia selalu terikat pada waktu tertentu, pada tempat dan masa tertentu. Ia ada untuk menjawab kebutuhan zamannya di tempatnya dilahirkan. Pendekatan Sunan Kalijaga,  pada bagian tertentu, terlihat berhasil melahirkan peradaban yang harmonis, yang nyaris sempurna. Tetapi juga mendapat banyak kritik, karena dianggap melahirkan sinkritisme, yang mengaburkan ajaran yang murni.
Pendekatan Sunan Kalijaga cenderung sufistik, dan itu ditegaskan dengan menggunakan istilah suluk. Pendekatan ini mengajak orang untuk lebih banyak merenungkan makna kata dan realitas. Dalam situasi yang relatif tenangpun cara ini memerlukan waktu dan ketenangan. Orang tidak bisa merenungan realitas sambil bekerja atau beraktivitas. Oleh karena itu perlu menetapkan waktu-waktu tertentu untuk merenungkan makna-makna dari realitas untuk memperoleh makna baru atau pembelajaran yang mencerahkan. Disamping itu juga perlu seorang pendamping, atau seorang pembimbing. Kalau dalam istilah tarekat, perlu seorang mursyid. Tanpa pendamping, atau kawan berdiskusi, maka orang bisa memiliki tafsir sendiri tentang apa yang dibaca, dan itu bisa berarti jauh dari apa yang dimaksudkan oleh penulis atau sang Guru.
Buku ini sangat menarik, menginspirasi, tetapi ini bukan bacaan yang ringan. Untuk mencernanya, perlu melengkapi diri dengan pengetahuan sejarah, khususnya sejarah tentang masuknya Islam di Nusantara khususnya di Jawa, pengetahuan tentang sufisme, dan posisinya dalam Islam, tentang Wali Sanga sendiri. Karena buku ini tidak secara spesifik menyebut menyentuh itu secara memadai. Mungkin pembaca tertolong jika sudah terbiasa dengan bacaan tentang Wali Sembilan, atau memiliki pengetahuan memadai tentang sejarah penyebaran Islam.
Wamaa taufiqi illa billah ‘alaihi tawakkaltu wailaihi unib.
Jakarta, 2 November 2016.
Helmy Ali Yafie
Sekjen Darud Dakwah wal Irsyad (DDI)

Pengantar untuk buku: ISLAM MENCINTAI NUSANTARA: JALAN DAKWAH SUNAN KALIJAGA. Tafsir Suluk Kidung Kawedar, diterbitkan oleh Pustaka IIMaN (0851-0000-76920).
 
___________________________________________
Catatan kaki:
 Kebanyakan sarjana Orientalis berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia abad ke 13 M dari Gujarat (bukan dari Arab Langsug). Sedangkan kebanyakan sarjana Muslim berpendapat bahwa Islam sudah sampai ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke 7 samapi abad 8 Masehi), langsung dari Arab. Pendapat ini misalnya dikemukakan oleh Prof. Hamka, dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia”, 1968, di Medan. Hamka mengatakan bahwa pada masa itu Arab sudah membuka hubungan (perdagangan) dengan berbagai negeri. Ke Timur, melalui Selat Malaka  berhubungan dengan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara. Pendapat yang sama di di lontarkan oleh Alwi Shihab.  Taufiq Abdullah mencoba mengkompromikan kedua pendapat itu, mengatakan bahwa betul Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (abad 7-8 Masehi), tetapi baru dianut oleh para pendatang itu sendiri, yakni pedagang Timur Tengah, Barulah pada abad 13  Islam masuk dan menyebar setelah mempunyai kekuatan politik dengan berdirinya Kerajaan Samudara Pasai. Dan itu terkait dengan kehancuran Dinasty Abbasiyah, yang menyebabkan para pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangannya ke Asia Selatan, Asia Timut dan Asia Tenggara. Lihat Musyrifah Sunanto, Prof. Dr., Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, halaman 8-9; Lihat, Alwi Shihab, Akar Tasaawuf Indonesia, Pustaka Iman, Depok, 2009, halaman.7; Lihat juga A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung, Al Maarif, 19981, halaman 385; Taufiq Abdullah, (ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 1991, halaman 39-40
2 Azymardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999, halaman 8.
3 Musyrifah Sunanto, Prof. Dr., Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, halaman 8.
4 Uka Tjandrasasmita, (Ed), Sejarah Nasional III, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976.
5 Solihin Salam, Sekitar Wali Songo, Menara Kudus, 1960.
6Semua Wali itu disebut  atau memiliki gelar Sunan. Tetapi kata Rifcklefs, kemungkinannya istilah berasal dari kata “suhun” yang berarti menghgormati. Dalam bentuk fasifnya, berarti yang dihormati. Dengan demikian gelar itu diberikan oleh masyarakat sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh-tokoh tersebut. Lihat,  Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008, Serambi, Jakarta, 2008. Halaman 18.
7 Budiono Hadisustrisno, Sejarah Wali Songo, Graha Pustaka, Yogyakarta, 2009, halaman147.
8 Solihin Salam, opcit, halaman 23.
9IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jilid 2, Penerbit Jembatan, Jakarta, 2002, halaman 568.
10Slamet Mulyana, Prof. Dr., Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, LKis, Yogyakarta, 2005, halaman 100-101.


11 Ensiklopedi Islam Indonesia, Opcit.,
12Ibid.,
13Runtuhnya Kerjaan Hindu-Jawa, Opcit,
14Ensiklopedi Islam Indonesia, Opcit.,
15Ibid.
16Ibid.
17Ibid
18 Purwadi, Upacara Tradisional Jawa,  Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Halaman 21.
19 Saifudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Maarif, Bandung, 1979, halaman 232-233.
20 Banyak hal yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, misalnya Upacara Grebeg  yang dihentikan dihentikan tidak dibolehkan oleh Kraton Demak, setelah kejatuhan Majapahit, diusulkannya  menghidupkan itu kembali, dengan menambahkan istilah sekaten (penabuh gamelan disebutnya sekaten), Purwadi, 2005, halaman 645-65; Slametan dan Kenduri, yang bagi masyarakat merupakan syarat spirit yang wajib, dan jika dilanggar yang bersangkutan akan mendapat kecelakaan atau kesialan, tetap dihidupkan tetapi diberikan semangat sadaqah, lihat Solihin Salam; puja-puji dalam sesajen diganti dengan doa-doa dan membacara al Qur’an, lihat Budi Hadisutrisno.
21Ibid
22 Dandanggula, salah satu jenis macapat yang setiap baiatnya terdiri dari 10 baris, dengan guru lagu dan guru swara, sebagai berikut : 1. 10/i (wulu); 2. 10/a (legena); 3. 8/e (taling); 4. 7/u (suku); 5. 9/i (wulu); 6. 7/a (legena); 8. 8/a (legena); 9. 12/i (wulu); 10. 7/a (legena); Ensiklopedi Islam, loc cit., 
23 Suluk berasal dari kata yang berarti melalui, menmpuh jalan atau cara. Salaka adalah kata kerja, bentuk masdarnya adalah sulukun, yang bermakna perjalanan atau menempuh jalan. Suluk merupakan sebuah perwujudan cara manusia untuk lebih dekat kepada Tuhannya, serta memahami hakekat kehidupan dan pencarian kebenaran  sejati yang berbentuk seni suara atau kidung Jawa; Lihat Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, halaman 16; Lihat juga Ensiklopedi Islam, Opcit.,