Selasa, 24 April 2012

KEPEMIMPINAN NASIONAL YANG KITA HARAPKAN.

Watak dan perangai rakyat merupakan buah atau hasil dari watak dan perangai para pemimpinnya. Sebab keburukan yang dilakukan orang awam hanyalah meniru dan mengikuti perbuatan para pemimpinnya. Orang awam belajar dari mereka, serta meniru watak atau kebiasaan mereka.”  (Al-Ghazali)

Kepemimpinan Nasional harus mampu menggalang kepercayaan rakyat, sekaligus membangun harapan mereka atas masa depan yang gemilang, dan selanjutnya memimpin rakyatnya untuk bergerak, berbuat mewujudkan harapan tersebut menjadi kenyataan. Ini adalah pekerjaan rancang bangun dan rekayasa sosial yang besar, yang membutuhkan public relations yang terpadu serta komprehensif, termasuk di dalamnya berbagai kegiatan yang berbentuk dan bersifat Gerakan Nasional. Untuk itu Kepemimpinan Nasional harus merupakan sebuah Dream Team yang:

1.  Berintegritas, solid, kuat, berwibawa dan efektif :
1.1. satu visi
1.2. satu kata
1.3. satu perbuatan
1.4. satunya kata dengan perbuatan

2. Dapat menjadi panutan (menjadi tuntunan dan bukan tontonan) dalam perilaku dan kehidupan yang “Bersih – Sederhana – Mengabdi (BSM).” Krisis multidimensi yang besar, berat dan kompleks yang kita derita selama ini, secara keimanan bersumber dari krisis moral. Oleh sebab itu upaya penanggulangannya harus bertitik tolak dari reformasi moral kepemimpinan. Upaya ini harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan moralitas pemimpin masyarakat atau para pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya para ulama dan umara.

Marilah kita bangun kepedulian dan kebersamaan kita sebagai bangsa dengan jalan mempraktekkan pola hidup BSM. Untuk itu segala macam aktivitas yang kita lakukan harus dimulai dengan kebersihan jiwa, kebersihan hati dan niat, dikembangkan dalam pola kehidupan serta perilaku kesederhanaan, dengan sasaran pengabdian.
Pola hidup BSM harus dikembangkan menjadi moral ekonomi, politik, hukum dan terus dikembangkan ke sektor-sektor kehidupan lainnya.
Dalam rangka itu pula para elite politik bangsa, khususnya pimpinan nasional harus berani menghindari konflik kepentingan dengan tidak merangkap jabatan di partai politik dan bisnis.

3. Berani :

3.1. Mengambil risiko tidak populer demi kemaslahatan rakyat, bangsa dan negara

3.2. Membuat dan melaksanakan Paradigma Baru dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan bangsanya, sehingga bisa keluar dari keterpurukan yang semakin parah akibat paradigma lama yang kita anut selama 40 tahun terakhir ini.

3.3. Membangun jatidiri peradaban bangsanya dan bukan mengekor jatidiri peradaban bangsa-bangsa lain, lebih-lebih mengikuti tekanan kekuasaan bangsa-bangsa lain.

4. Menjadi contoh/teladan dalam bekerja keras, dan pada tahap-tahap awal atau pada saat tertentu yang urgent, sanggup bekerja dalam irama Crisis Center dengan Manajemen Krisisnya.

5. Penuh komitmen dan mengabdi dengan sepenuh jiwa raga, rasa dan karsa bagi bangsa dan rakyatnya (semangat wakaf diri dan perjuangan)

6. Memiliki kepedulian dan solidaritas sosial yang tinggi terhadap persoalan dan penderitaan rakyat, senasib sepenanggungan yang dibuktikan dengan ucapan, kebijakan serta tindakan.

7. Anggota “Dream Team” harus berpengalaman dalam bidang kemasyarakatan dan memahami serta menguasai bidang masing-masing serta merupakan tim yang kompak.

8. Didukung oleh sistem informasi dan komunikasi publik yang tepat dan berdayaguna tinggi.

LAMPU KUNING UNTUK PRESIDEN SBY & ORANG-ORANG DEKATNYA.

Sikap dan pernyataan Presiden SBY belakangan ini, lebih-lebih orang-orang dekatnya dan para elit politik, sungguh sudah sangat membahayakan,  bukan hanya bagi diri mereka sendiri, tapi juga bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai sikap dan pernyataan buruk mereka menumpuk dari satu kasus ke kasus lain, dari satu masalah ke masalah lain, menggunung dari waktu ke waktu, terdokumentasi sekaligus menyebar luas melalui berbagai media massa baik yg formal seperti suratkabar, majalah dan televisi, maupun melalui media informal jejaring sosial seperti e-mail, fesbuk, blog , twitter dan sms. Contoh terbaru adalah pembatalan mendadak kunjungan kenegaraan ke Belanda, pernyataan Ketua DPR Marzuki Ali tentang tsunami Mentawai,  plesiran studi banding DPR ke luar negeri,  sikap masa bodoh anggota DPR ketika berjumpa dengan TKI-TKI yg terlantar di Timur Tengah dan yang sedang hangat, pernyataan Presiden SBY tentang Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kekuatiran saya mengenai “Tim Impian SBY”, telah saya kemukakan jauh  sebelum ini, yakni tatkala saya diwawancarai MNC-News TV  begitu setelah perombakan Kabinet  Indonesia Bersatu I (Pertama). Cara Presiden merekrut para pembantunya yang heboh-hiruk pikuk berlarut-larut, bagi SBY + para abdi dalemnya mungkin dimaksudkan sebagai pencitraan. Tapi bagi nurani saya adalah justru menunjukkan ujub-riya yang seharusnya dijauhi, bahkan lebih dari itu menunjukkan kelemahan dalam merekrut staf dan kelemahan dalam mengenal siapa-siapa tokoh yang pantas memimpin bangsa ini.

Di negara-negara maju, partai oposisi dan seseorang yang mendeklarasikan dirinya sebagai  Calon Presiden, pada umumnya sudah memiliki “Kabinet Bayangan”, setidak-tidaknya sejumlah orang dalam  “tim impiannya”.
Sebagai mantan wartawan yang cukup lama tugas di Istana dan mengenal sangat dekat karena tugas –tugasnya:  antara lain tokoh-tokoh  Pimpinan Operasi Khusus Ali Murtopo (alm), Kepala BAKIN Yoga Sugomo (alm), pemegang rekor jabatan menteri lebih dari 30 tahun, alm Radius Prawiro dan Menko Ekuin/Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro, saya sering memperoleh bocoran catatan daftar 150-an tokoh-tokoh nasional yang  dibuat sendiri oleh mantan Presiden Soeharto, yang sewaktu-waktu dapat  direkrut untuk mengemban tugas membantu Presiden. Dari waktu ke waktu daftar itu selalu tersedia dan  senantiasa dinamis-diperbarui.

Pada awal-awal masa Pemerintahannya, terutama untuk bidang-bidang politik dan keamanan, Pak Harto mengenal sendiri tokoh-tokoh nasional secara langsung, khususnya teman-teman seperjuangannya, sehingga daftar tersebut dapat dengan mudah beliau susun sendiri. Seiiring dengan waktu dan kesibukan, beberapa orang kepercayaan mensuplai informasi. Pak Harto mencermati serta mendalami informasi tersebut dan menyaring berlapis-lapis. Jika suatu saat beliau membutuhkan, beliau menugaskan teman-teman di Opsus, setelah Opsus dibubarkan diteruskan oleh BAKIN, untuk mengecek dengan cepat dan sangat rahasia dalam hitungan hari, tanpa hiruk-pikuk,  informasi tentang seseorang tokoh yang akan direkrut, misalkan tentang siapa teman tidur-sekasurnya (isteri), siapa  sedulur-sesumur (saudara dekat), siapa teman bergaulnya, apa saja hobbynya, bagaimana riwayat perjuangannya terutama rasa setiakawan-loyaltas kepada pimpinan dan senior-kejujuran  dan kapasitas pribadinya. Kata akhir Pak Harto diputuskan sendiri, dan disampaikan sendiri oleh Pak Harto kepada yang bersangkutan.

Sejalan dengan bertambahnya usia Pak Harto, kawan seperjuangan Pak Harto makin sedikit, banyak yang mendahului kepangkuan Ilahi. Bersamaan dengan itu, pada pertengahan 80-an hubungan Pak Harto dengan pak Yoga yang sudah berlangsung akrab semenjak tahun 60-an, “membeku”. Jika biasanya hampir setiap Jumat malam mereka bertemu membahas evaluasi dan perkiraan keadaan,  semenjak itu tidak lagi berlanjut. Pak Yoga yang sangat kesal, mengajak saya menenangkan diri ke Jepang hampir selama 2 minggu. Dalam kesempatan ini pak Yoga menyampaikan keprihatinannya terhadap keadaan bangsa dan Negara, yang disebabkan oleh kepemimpinan Pak Harto yang mulai melemah,  bisnis keluarga dan putera-puteranya yang terus membesar serta sumber informasi dan rekrutmen pak Harto yang semakin menyempit. Karena itulah pak Yoga menyarankan agar pak Harto dengan jiwa besar legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya. Saran pak Yoga tersebut, kata beliau, tidak ditanggapi oleh Pak Harto dan ditolak oleh sejumlah pejabat dekat lainnya. Kisah selanjutnya kita sudah banyak yang tahu.
Demikianlah, betapa penting orang-orang disekeliling pemimpin, diakui oleh para tokoh dunia. Kanjeng Nabi Muhammad menyatakan, “Apabila Allah berkenan untuk munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memperuntukkan baginya menteri yang jujur, yang bila ia lupa, maka menteri itu akan mengingatkannya, dan bila ia ingat maka akan mem bantunya. Tetapi apabila Allah berkehendak selain itu, maka Allah akan menyediakan baginya menteri yang jahat, yang bila Sang Pemimpin lupa, maka sang menteri tidak mengingatkan, dan bila ingat tidak membantunya.”
Tentang kepemimpinan, filsuf Islam terkemuka, Al Ghazali menulis panjang lebar dalam bukunya “Nasihat Untuk Penguasa”.  Dalam hal para pembantu , Al Ghazali mendukung pendapat filsuf Yunani, Aristoteles yang menyatakan: “ Sebaik-baik penguasa adalah orang yang pandangannya tajam bak burung rajawali, sedangkan orang-orang yang berada di sampingnya  memiliki kecerdasan serupa, bagaikan banyak  burung  rajawali, bukan seumpama bangkai.”

Dalam konteks ini, Al Ghazali menggariskan 5 kewajiban seorang Pemimpin yaitu:
1.Menjauhkan orang-orang bodoh dari pemerintahannya.
2.Membangun negeri, merekrut orang-orang cerdas dan potensial.
3.Menghargai orang tua dan orang  bijak.
4.Melakukan uji coba dan meningkatkan kemajuan Negara dengan melakukan penertiban serta pembersihan terhadap segala tindak kejahatan.
5.Taat pada aturan serta Undang-Undang dan jangan sekehendak hati.

Seorang pemimpin, tulisnya lagi, harus menghindari 3 hal yang sangat berbahaya karena mudah menipunya yaitu, kekuasaan, kekuatan dan kesenangan akan pendapat serta pengetahuaannya sendiri. Akan hal ini. Si jelita yang gagah berani, Antigone puteri Oedipus dalam Mitologi Yunani juga menyatakan dalam kecamannya  terhadap Kreon, sang penguasa Tebes: “ Kelemahan seorang tiran, melakukan apa saja yang dipikirnya cocok tanpa banyak mendengar pikiran rakyatnya”.

Dalam konteks kekinian, khususnya dalam era modern, orang sering terbuai dengan survai-survai ilmiah mengenai pendapat rakyat tentang sesuatu hal, yang bukan tidak mungkin juga tentang survai pendapat rakyat Yogya terhadap pemilihan Gubernur.  Beberapa survai yang dilakukan dengan pengambilan responden  ratusan orang dan sampling error sekitar 5%, seringkali cepat dipercaya 100% sudah merupakan pikiran rakyat. Sebagai orang yang pada tahun 80-an dan 90-an telah banyak melakukan survai semacam itu, sementara belum banyak lembaga-lembaga swasta lain  yang melakukan, ada beberapa hal yang harus sangat-sangat dicermati  sebelum memanfaatkan hasil survai. Pertama, motivasi, independensi dan subyektivitas pelaksana survai. Kedua, kejujuran pengambil  dan pengambilan sample. Ketiga, tetap harus mencermati faktor X, karena betapa pun, survai itu bukan referendum yang dilakukan terhadap seluruh rakyat.

Semoga catatan dan sedikit pengalaman ini, dapat menjadi “kaca benggala”,  minimal bacaan ringan yang bermanfaat.
Beji, 02 Desember 2010

SIDANG DPR DENGAN WAPRES BUDIONO: TRAGEDI NASIONAL KETATANEGARAAN.


Saya yakin kita semua terperangah mengikuti sidang Pansus Hak Angket DPR tentang Bank Century, Selasa 12 Januari 2010, yg memeriksa Wakil Presiden/Mantan Gubernur Bank Indonesia Budiono, tatkala tidak bisa atau tidak mau menjawab pertanyaan mengenai apakah dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu uang negara atau bukan.
Kemungkinannya hanya 2, dan semuanya tidak bisa diterima akal sehat. Pertama , Wapres berbohong sehingga dengan demikian melakukan kebohongan publik sekaligus melecehkan lembaga tertinggi negara, DPR. Kedua, Wapres menjadi bodoh dan sudah pikun. Tapi mungkinkah?
Dari internet kita dengan mudah bisa menemukan UU tentang LPS, yaitu UU no 24 Tahun 2004 serta UU no 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
UU tentang LPS menegaskan bahwa LPS dibentuk dengan UU dan bertanggungjawab kepada Presiden (ps l2). Dalam melaksanakan tugasnya, LPS harus mengikuti berbagai tata cara yg harus dikonsultasikan dengan DPR dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (ps 9,10 dst), bahkan Dewan Komisionernya diangkat oleh Presiden antara lain berasal dr ex officio pejabat eselon I Departemen Keuangan dan pimpinan Bank Indonesia. Selanjutnya ps 81 menyatakan kekayaan LPS merupakan aset negara yg dipisahkan. Dalam realisasinya, Pemerintah sudah menyetor modal sebesar Rp.4triliun.
UU tsb juga mengatur, rencana kerja dan anggaran tahunan LPS disampaikan kepada Presiden dan DPR (ps.87), demikian pula laporan tahunannya wajib disampaikan kepada Presiden dan DPR. Semakin jelas lagi, laporan LPS diaudit oleh BPK.
Akan halnya BPK, UU no.15 Th 2006 menyatakan, BPK adalah lembaga negara yg bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara (ps.1), yg kemudian diuraikan secara lebih detail lagi dalam pasal 6. UU juga menegaskan (ini juga diragukan oleh Wapres Budiono dalam pemeriksaan DPR sebelumnya), hasil pemeriksaan BPK adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas dan keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yg dilakukan secara independen, obyektif dan profesional (ps1 ayat 14).
Berdasarkan pasal 1 (14) UU BPK itu pulalah maka pada tanggal 1 Desember 2009, mantan Hakim Agung Bismar Siregar dengan disertai sejumlah tokoh bangsa senior serta aktivis, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjadikan hasil pemeriksaan BPK atas Bank Century (BC) dijadikan sebagai bukti awal penyelidikan.
Nah, mungkinkan seorang Wakil Presiden/mantan Gubernur Bank Indonesia tidak mengerti aturan-aturan ketatanegaran yg wajib dilaksanakan plus harus ia tegakkan?
Lebih ironis lagi, Wapres juga mengakui kegagalan BC disebabkan oleh krisis global dan dirampok sendiri oleh pemiliknya. Dengan demikian ia akhirnya mengakui kemarahan Wapres (waktu itu) Jusuf Kalla tatkala menerima laporannya bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang BC. Padahal dalam dasar ilmu hukum yg sudah menjadi pengetahuan umum secara universal, orang yg mengetahui adanya tindak kejahatan, apalagi justru memberi peluang bahkan membantunya, dianggap sebagai pelaku pembantu.
Bukankah ini suatu tragedi nasional???? Ataukah apa yg kita simak dari laporan-laporan media massa serta siaran-siaran langsung televisi mengenai sidang-sidang Pansus Hak Angket DPR tersebut hanya mimpi belaka? Masya Allah, astaghfirullah.

STOP PANSUS DPR- BANK CENTURY, GANTI DENGAN UYA KUYA SAJA.


Ironis sekali, kasus Bank Century (BC) berkembang menjadi drama yang mempertunjukkan betapa seenaknya para petinggi negara, alias pejabat publik, melakukan kebohongan publik. Memang, sampai sekarang kita masih belum bisa memastikan siapa yg sebenarnya berbohong, karena mereka saling berbantahan. Tapi pasti salah satu diantara mereka. Mari kita simak:
1.Dari notulen rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tanggal 13 November 2008 yg diekspose berbagai media massa, terungkap bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menginformasikan masalah BC kepada Presiden SBY. Rapat juga menerima informasi dari Ketua Unit Kerja Presiden Untuk Pengelolaan Program Kebijakan dan Reformasi (UKP3R) Marsilam Simanjuntak, bahwa usulan kebijakan "blanket guarantee perbankan" telah ditolak Wapres Jusuf Kalla (JK).
2.Dari transkrip rapat KSSK 21 November 2008 yang juga telah diekspos berbagai media, menyatakan bahwa Marsilam Simanjuntak yg ikut hadir dalam rapat tersebut, diminta Presiden untuk bekerjasama dengan KSSK.
3.Fakta tersebut diatas dikuatkan oleh keterangan pers Sekretaris KSSK Raden Pardede tanggal 13 Desember 2009 di Departemen Keuangan, yang menyatakan kehadiran Marsilam karena diminta Presiden. Ini dibenarkan oleh Marsilam menjawab pertanyaan wartawan setelah konperensi pers.
4.Tiba-tiba pada tanggal 26 Desember 2009, Juru Bicara Presiden Julian A Pasha membantah informasi-informasi sebelumnya dengan menyatakan, Presiden SBY tidak menginstruksikan, menugaskan atau memberikan mandat kepada Ketua UKP3R Marsilam untuk menghadiri rapat-rapat KSSK terkait BC. Istana bahkan tidak tahu soal kehadiran marsilam tsb.
5.Tanggal 12 Januari 2010 dalam rapat Pansus Hak Angket DPR tentang BC, Wakil Presiden/Mantan Gubernur BI Budiono, yg dicecar perihal Marsilam, berkilah mengenai posisi Marsilam sebagai "narasumber".
6.Sehari berikutnya, 13 Januari 2010, dalam sidang dan konteks yang sama, Menteri Keuangan juga menyatakan Marsilam sebagai "narasumber". Nah lho.
7.Dalam sidang 13 Januari 2010, Menteri Keuangan menyatakan ia telah melaporkan bailout BC kepada Wapres JK tanggal 22 November 2008.
8.Sehari berikutnya JK membantah keterangan Menteri Keuangan tadi.
SIAPAKAH YANG BENAR DAN SIAPAKAH YANG BERBOHONG.
Benar semuanya atau berbohong semuanya tidaklah mungkin. Pasti ada diantara mereka yang benar dan ada yang berbohong. Tokoh publik, lebih-lebih pejabat tinggi negara, yang berbohong kepada publik tentang masalah publik, dianggap sebagai melakukan kebohongan publik.
Dalam khazanah hukum di Indonesia, perdebatan tentang kebohongan publik pernah muncul pada kasus persidangan Akbar Tanjung dalam tuduhan penyelewengan dana BULOG. Meskipun masalah kebohongan publik diatur dalam UU no.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (pasal XIV dan XV), namun dalam prakteknya kurang memperoleh tempat. Masalah kebohongan publik lebih mendapat tempat dalam khazanah politik, terutama menyangkut etika dan moral tokoh politik, dan telah dianggap sebagai kejahatan yang serius. Di negara-negara demokrasi khsususnya Amerika Serikat, kebohongan publik merupakan kejahatan yang paling diharamkan.
Islam yang merupakan agama mayoritas bangsa Indonesia juga menjunjung tinggi kejujuran serta menolak kebohongan. Pedoman perilaku muslim berdasarkan Quran dan hadis adalah amar ma'ruf nahi munkar (menegakkan kebenaran dan menolak kemungkaran) serta halalan-thoyiban (halal dan baik).
Nah kalau sekarang kita menghadapi pejabat-pejabat negara, tokoh-tokoh publik seperti diatas, dan masing-masing menggalang dukungan yang notebene sebagian besar muslim, bagaimana rakyat tidak puussiinggg....
Kalau saya sih, mending Stop Pansus DPR, dan ganti saja dengan membuat mega-infoteinmen yang disiarkan langsung oleh media massa, dengan menghadirkan tokoh-tokoh itu kehadapan para master hipnotis seperti Uya-Kuya, Rommy Rafael dan jika perlu sikecil centil Cinta Kuya. Pasti lebih menarik dibanding Sidang-Sidang Pansus dengan Ruhut Sitompulnya itu. Rasain deh.

TOLAK TIRANI KOALISI HITAM.


Presiden mau mengevaluasi Koalisi Partai-Partai pendukung Kabinet Indonesia Bersatu II, itu hal yang wajar dan sepenuhnya merupakan hak Presiden, kapan saja.Tapi mengaitkan evaluasi dengan sikap kritis, cara, retorika, estetika dan etika anggota-anggota Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Bank Century (Pansus BC), sungguh amat mengkuatirkan kehidupan berbangsa dan bernegara, karena mengisyaratkan tanda-tanda munculnya TIRANI KOALISI HITAM.

Gejolak perlawanan terhadapketidakadilan, beberapa bulan belakangan ini telah menggelinding bagaikan bola salju, yang berintikan masyarakat kelas menengah antara lain para face-booker. Di negara mana pun serta zaman kapan pun, meskipun jumlahnya lebih kecil dibanding masyarakat lapisan bawah, kelas menengah selalu paling ditakuti oleh penguasa. “Aku lebih takut dengan sepucuk pena wartawan dibanding seratus ribu pucuk bayonet”, kata Napoleon Bonaparte.

Gejolak perlawanan tersebut sebenarnya telah memperoleh kanalisasi dengan dibentuknya Pansus BC, yang harus juga diapresiasi, tidak lepas dari keinginan Presiden SBY sendiri untuk membuka kasus BC seterang-terangnya, agar tidak ada fitnah diantara kita.

Sidang-sidang terbuka Pansus BC mulai memvisualisasikan secara gamblang Hasil Audit BPK, yang sesungguhnya menurut UU BPK adalah final, walau publik juga kecewa melihat cara, gaya dan retorika anggota Pansus dalam mengorek keterangan para saksi, dan lebih kecewa lagi (untuk tidak mengatakan:muak), terhadap lagak para saksi (yang digaji sangat tinggi dengan pajak rakyat), yang sering menjawab lupa, tidak tahu dan seperti bodoh. Padahal mereka adalah cendekiawan, pejabat negara dan orang-orang terhormat yang sudah disumpah.

Di tengah situasi yang seperti itu, tiba-tiba muncul wacana evaluasi Koalisi Kabinet dengan mendasarkan pada sikap kritis anggota Pansus non Fraksi Demokrat (FD), yang mencecar para saksi vis-à-vis dengan anggota dari FD yang terkesan senantiasa mencoba melindungi para saksi. Padahal jika tidak ada apa-apa, mengapa harus melindungi?

Kekuatiran saya terhadap kecenderungan munculnya tirani sekaligus diktator mayoritas, terbentuk semenjak Amandemen UUD 1945 di awal Reformasi. Amandemen-amandemen tersebut sangat dipengaruhi faham individualisme dan liberalisme, yang sangat ditentang oleh para pendiri Republik Indonesia.

Amandemen UUD’45 akan membawa kita, sekarang mulai terbukti, ke pola kehidupan demokrasi prosedural yang mengandalkan pada kekuatan uang, pragmatisme kekuasaan dan semata-mata suara mayoritas. Ini akan mengancam kemajemukan kita sebagai satu bangsa, menimbulkan perasaan kesukuan yang berlebihan, pragmatisme kekuasaan yang telanjang, pemaksaan kehendak dari kekuatan mayoritas yang dapat mengalahkan kebenaran minoritas, anarki sosial serta lemahnya “check and balances” dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan negara, termasuk uang negara
dalam kasus BC.

Demokrasi prosedural juga telah menyebabkan rusaknya “social trust” dalam masyarakat, kohesi sosial rapuh serta merebaknya gejala-gejala konflik vertikal dan horizontal.

Karena itu mari kita antisipasi agar tirani dan diktator mayoritas tidak datang bagaikan roda-roda gila yang menggilas, melumat habis kita. Sekali kita membiarkan muncul, hasrat kekuasaan hitam itu akan terus berkembang. Dan ijinkan saya mengingatkan, nasihat Sang Guru kepada Antigone dalam kisah Oedipus dari mitologi Yunani yang amat termasyhur, “…..dari semua kejahatan yang bagai cacing mengerikiti jalan menuju istana raja-raja, yang terburuk adalah nafsu berkuasa. Nafsu berkuasa mengadu saudara lawan saudara, ayah lawan anak dan anak lawan tenggorokan orangtuanya.”

Sungguh mengerikan, lantaran nafsu berkuasa bisa muncul dimana dan kapan saja, termasuk di dalam pusat lingkaran kekuasaa itu sendiri.Naudzubillah. (Beji, 17 Januari 2010. BW).

RELAKAH KITA DIPIMPIN PARA PEMBOHONG?


Sidang-sidang Pansus Hak Angket DPR tentang BC (Pansus BC), terus secara telanjang mempertontonkan kebohongan-kebohongan publik dari sejumlah pejabat tinggi dan atau mantan pejabat tinggi negara, antara lain Jusuf Kalla dan Susno Duadji versus Budiono, Susno versus Sri Mulyani. Sementara publik alias rakyak nrimo, diam saja membiarkan kemungkaran itu berlangsung. Bahkan para ulamanya pun belum terdengar
pendapat apalagi fatwanya.

Ustadz Abah Thoyib dari Semengko, Mojokerta mengajarkan, “Kalau mencari staf, teman dan anak buah, pertama-tama carilah yang jujur , bukan yang pinter. Kedua, cari yang jujur sekaligus pinter, bukan semata-mata pinter. Karena kejujuran akan mendatangkan hidayah, ridho dan berkah. Sebaliknya orang pinter yang tidak jujur hanya akan mendatangkan azab. Pinter yang keblinger, hanya akan ‘minteri’ alias memperalat rakyat.”

Para pejabat Negara itu dilantik dengan mengangkat sumpah dan janji atas nama Allah Swt. Demikian pula sebelum memberikan keterangan di Pansus BC. Bahkan sewaktu di Pansus ada yang sambil terus memegang tasbih. Siapakah diantara mereka yang berbohong dan siapakah yang jujur? Pasti tidak semuanya pembohong dan tidak semuanya jujur. Tapi ada yang jujur sebaliknya ada pula yang pembohong.

Beberapa bulan yang lalu tatkala “Kasus Cicak vs Buaya” merebak, saya sudah mengulas berbagai kontroversi dan versi sumpah masing_masing tokoh publik. Di dalam sejarah dan hukum Islam, dua kelompok atau orang yang berbeda pendapat tentang sesuatu hal, dan tidak memungkinkan adanya saksi atau kalau pun ada tidak diterima pihak lain karena beda keyakinan, maka kedua pihak tersebut dapat bersama-sama melakukan mubahalah.

Dasar hukum mubahalah adalah firman Allah Swt dalam Surat Ali Imran ayat 61 yang artinya: “ Maka barangsiapa membantahmu tentang itu, sesudah datang pengetahuan kepadamu, katakanlah (kepada mereka): Marilah kita ajak anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, kaum kami dan kaum kamu, kemudian kita berdoa agar Allah menjatuhkan laknat kepada orang-orang yang berdusta.”

Dalam riwayat, Kanjeng Nabi Muhammad pernah dua kali menantang mubahalah terhadap penentangnya dengan mengikutkan orang-orang yang dicintainya yaitu Ali, Fatimah serta Hasan dan Husin dalam sumpah. Ternyata lawan-lawannya tidak ada yang berani diajak bermubahalah.

Di kalangan masyarakat Islam Kejawen, sumpah seperti itu dikenal sebagai “Sumpah Pocong” dan dilakukan secara khidmat di hadapan orang banyak sebagai saksi, sementara kedua orang atau kelompok yang bersumpah dikafani atau dipocong bagaikan jenazah.

Kini kita kembali menghadapi kebohongan publik dari pejabat atau mantan pejabat tinggi negara yang menyangkut uang yang amat sangat besar yaitu Rp.6,7 triliun. Padahal dalam kehidupan politik, terutama di negara yang menjunjung tinggi demokrasi, kebohongan publik merupakan kejahatan yang paling diharamkan.

Indonesia bukan hanya sekedar negara demokratis, tapi juga negara berketuhanan yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang sangat mengutamakan kejujuran. Tetapi mengapa kita semua diam saja? Tidak berani menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran? Ataukah kita ini memang sudah benar-benar hidup dalam “Republik Mimpi”? Kalau begitu, ya seperti saya kemukakan minggu lalu, kita bawa saja bapak dan ibu kita tersebut: Jusuf Kalla, Susno Duadji, Budiono dab Sri Mulyani ke hadapan para master hipnotis seperti Uya Kuya dan Rommy Rafael dan kawan-kawan. Biarlah para master hipnotis itu yang menyelesaikan dalam suatu mega-infotemen yang disiarkan secara langsung oleh media massa termasuk televisi, agar disaksikan oleh lebih duaratus juta rakyat “Republik Mimpi”. Masya Allah. (Jatipadang, 21 Januari 2010).

BAILOUT 1997 & 2008: BUKAN KELEDAI TAPI 2X TERPEROSOK LOBANG YANG SAMA


Pansus Hak Angket Skandal Bank Century (BC) telah berakhir ,dengan kontroversi yang bisa menjadi babak baru dalam sengketa ketatanegaraan, karena di satu pihak lembaga legislatif:DPR + auditor negara tertinggi:BPK (keduanya lembaga tinggi yang dijamin hak + kewenangannya secara konstitusional) menyatakaan ada masalah dalam bailout BC, sementara Presiden menyatakan tidak.

Terlepas dari masalah politik yang bukan tidak mungkin bakal menyulut api peperangan baru, ada satu hal yang justru sangat penting namun kurang memperoleh kajian, yaitu akar permasalahan. Sebagai orang yang pada saat terjadinya krisis ekonomi dan moneter tahun 1997 berada sangat dekat dengan api kekuasaan, penulis haqul yakin bahwa akar permasalahan bailout perbankan yang gila-gilaan tahun 1997 dan bailout BC tahun 2008, tetaplah sama, yaitu kelemahan serta tetap tidak transparan dan akuntabelnya BI, bahkan meminjam istilah mantan Deputy Senior Bank Indonesia (BI) Prof.Dr.Anwar Nasution: “BI masih sebagai sarang penyamun”.

Oleh karena itu penulis tak hendak terjebak dalam argumentasi data-data ekonomi makro yang debatebel, apalagi kesaksian para pelaku pasar yang besar kemungkinan tidak akan netral karena bayang-bayang para tokoh yang dipermasalahkan, tetap menjabat sebagai “penguasa” dan tidak non aktif lebih dulu sampai permasalahannya selesai.

Badai krisis menerjang di hari Jumat siang 11 Juli 1997, tatkala dealing room perbankan Indonesia sedang istirahat sholat Jumat dan makan siang. Badai tersebut tentu saja memporakporandakan Indonesia, karena fundamental ekonomi kita rapuh di dalam, sekaligus mengandung unsur-unsur ekonomi gelembung sabun.

Di tengah suasana yang pada saat itu sangat tidak transparan, ditambah adanya campur tangan super penguasa terhadap Dewan Moneter dan BI, penulis mencatat paling sedikit ada 3 kesalahan mendasar BI.

Pertama, BI tidak mampu mendeteksi hutang swasta jangka pendek, yang menurut catatan resmi hanya sekitar US.$.10 milyar, padahal ternyata sekitar US.$.23 milyar. Jadi 2 kali lipat. Sementara itu jumlah seluruh utang LN versi resmi adalah US.$.117 milyar, sedangkan menurut estimasi perusahaan-perusahaan sekuritas asing waktu itu adalah sekitar US.$.200 milyar. Hutang inilah pada hemat saya, khususnya hutang-hutang jangka pendek, yang merupakan sumber utama malapetaka krisis 1997, dan yang bertanggungjawab atas itu semua adalah BI. Jika BI benar-benar mengemban tugasnya mengawasi perkembangan devisa dan neraca pembayaran, maka mengutip istilah Dr.HMT Oppusunggu, swasta tidak akan menjadi sangat leluasa dan sembrono mengambil pinjaman LN.

Kedua, seperti juga dalam kasus BC di tahun 2008, pada pertengahan 1990an itu, BI juga tidak menjalankan tugasnya dengan baik dalam mengawasi kegiatan dan perkembangan perbankan nasional, sehingga banyak perbankan yang melakukan pelanggaran secara semena-mena berkelanjutan, misalkan pelanggaran legal lending limit, capital adequacy ratio, laporan keuangan fiktif, saldo debet dll.. Semenjak tahun 1996, sesungguhnya sudah mulai ada bank yang mengalami saldo debet sehingga kalah kliring, namun dibiarkan saja. Akibatnya dari tahun 1996 dari hanya satu-dua, bergerak naik menjadi 5, kemudian 6 pada Juni 1997, 20 pada Agustus 1997 dan 39 per Oktober 1997. Dalam kondisi pengawasan yang demikian buruk, selanjutnya dengan alasan sebagai lender of the last resort, dalam tempo yang pada umumnya berlangsung dalam hitungan semalam, BI membailout bank demi bank, tentu saja dengan jaminan agunan yang jauh dari sepadan bahkan juga tidak mudah dicairkan. Inilah moral hazard kerah putih yang mengerikan.

Ketiga, dampak dari hantaman badai krisis menjadi parah karena BI salah diagnose dalam berusaha menekan uang beredar dengan menaikkan suku bunga. Akibatnya uang semakin mahal dan perusahan-perusahan terpukul, inflasi meningkat, harga-harga kebutuhan pokok meroket. Semakin parah lagi tatkala tanpa persiapan yang memadai, tanpa ada program penjaminan sama sekali, mendadak menuruti tekanan IMF melikuidasi 16 bank sekaligus pada 1 November 1997.

Belajar dari pengalaman tahun 1997/1998, maka guna mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya krisis, kepada BI dianggap perlu diberikan kewenangan dan tanggungjawab yang besar serta kemandirian, demi mencegah campur tangan pihak luar, khususnya super eksekutif, maka pada tanggal 17 Mei 1999, diundangkan Undang-Undang No.23 tentang Bank Indonesia, yang kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang no.3 Tahun 2004. BI yang sekarang memiliki kemandirian plus kewenangan besar, oleh UU no.3/2004 harus mengikuti prinsip keseimbangan dengan pengawasan dan tanggungjawab atas kinerjanya, serta akuntabilitas publik yang transparan. BI juga tetap berperan sebagai lender of the last resort melalui pemberian fasilitas kredit kepada Bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun tetap harus dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang nilanya sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diperlukan. Semua itu dilakukan demi mencegah berbagai kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang atau pun kekuasaan.

Krisis 2008, menurut “Begawan Pasar Uang” George Soros tatkala baru-baru ini bertemu Wakil Presiden Budiono, tidaklah terlampau besar pengaruhnya terhadap Indonesia. Oleh karena itu jika pengawasan BI berjalan baik, mestinya bailout BC tidak perlu dilakukan.

Demikianlah pada hemat saya, bailout dalam dunia perbankan tetap diperlukan, tapi dengan ketentuan-ketentuan baku yang terukur, yang tidak boleh diutak-utik sesuka hati setiap saat, serta menutup peluang terjadinya berbagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

Nyatanya: BC dibailout. Nyatanya BPK dan DPR menyatakan bailout itu bermasalah. Hasil audit BPK itu sendiri menurut mantan Hakim Agung Bismar Siregar yang dikenal bersih, sudah bisa dijadikan bukti awal penyelidikan, dan yurisprudensi untuk itu sudah cukup banyak antara lain dalam kasus mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah serta mantan Deputy Gubernur BI Aulia Pohan.
Sementara itu akar permasalahan yang sesungguhnya masih tetap di BI. Padahal BI sudah ditahbiskan menjadi Bank Sentral yang independen dengan berbagai tugas dan kewenangannya yang besar, dengan gaji mega besar ditengah sebagian besar rakyatnya yang miskin (saya yakin ini tidak sesuai dengan akhlak serta keteladanan Rasululah dan 4 khalifah pertama). Dengan gaji, bonus, aneka tunjangan plus pesangon yang aduhai besarnya, Anggota Dewan Gubernur memperoleh gaji dll tersebut jauh, jauh lebih tinggi dari Presiden sekaligus Kepala Negara. Mungkinkah gaji gede minus tanggungjawab? Maka wajar pulalah rasa keadilan seorang rakyat yang dalam setiap membeli mie instant, air minum bahkan sebutir permen dll. wajib membayar pajak kepada negara, menuntut tanggungjawab semua pejabat BI tanpa kecuali. Kanjeng Nabi Muhammad Saw menyatakan, sehari keadilan seorang penguasa jauh lebih baik dari 70 tahun beribadah. Bahkan diperkuat lagi, kekuasaan dapat kekal bersama kekufuran, tapi tidak bisa kekal bersama kezaliman.

Adapun bu Sri Mulyani, kita berprasangka baik saja, beliau adalah orang yang baik tapi pada tempat dan waktu yang kurang tepat. Ya, itulah yang namanya tanggungjawab plus risiko dari sesuatu kekuasaan. Biarlah waktu dan keadilan yang menjawabnya. Namun memang, sebelum keadilan Tuhan yang mutlak, wajar saja keadilan dunia lebih dulu diujikan dan ditegakkan. Jika bersih, tak ada yang perlu ditakutkan. Semeleh, insya Allah semuanya mengalir baik. Subhanallah.

(B.WIWOHO, 07/03.2010).

REFORMASI BIROKRASI : JAUH PANGGANG DARI API.


Kehidupan bermasyarakat dari suatu Negara-Bangsa, akan berlangsung baik bila dilayani oleh suatu tata pemerintahan yang amanah (good governance).

Di dalam cerita pewayangan yang menjadi sumber inspirasi masyarakat, tugas Pemerintahan, dalam hal ini kerajaan, dirumuskan sebagai upaya mewujudkan kehidupan umum yang “tata-tentrem-kerta raharja-adil ambeg paramarta”. Artinya, negara dengan masyarakatnya tertata baik dan tertib, aman tenteram, adil makmur sejahtera.

Di masa pasca kemerdekaan, pengalaman menunjukkan tata pemerintahan dengan aparatnya yang lazim kita sebut sebagai birokrasi, lebih memposisikan dirinya sebagai penguasa dibanding pelayan atau abdi masyarakat. Bahkan lebih dari itu, disamping bermental penguasa juga sarat dengan KKN.

Tatkala gerakan reformasi digulirkan pada th 1998, masyarakat mengharapkan birokrasi yang buruk itu dapat diubah secara total. Namun setelah reformasi berjalan 12 th, harapan itu seperti sia-sia. Berbagai liputan, artikel dan surat pembaca di media massa, keluhan bahkan makian di jaringan twitter dan facebook, menujukkan betapa kesal dan marah masyarakat terhadap birokrasi kita, termasuk kepada aparat penegak hukum. Memang harus diakui, ada beberapa kemajuan di bidang pelayanan publik misalkan perpanjangan SIM dan pembuatan paspor. Tapi yang lainnya, masih jauh panggang dari api. Jauh dari harapan masyarakat. Bahkan hal yang kasat mata dan di depan mata saja, yaitu ketertiban umum terutama tertib lalulintas, makin lama bukan makin baik tapi justru semakin semrawut.

Dalam hal pemberantasan KKN, setahun terakhir ini masyarakat semakin muak menyaksikan drama-drama yang mengungkapkan kebobrokan sistem dan praktek-praktek busuk birokrasi kita, mulai dari kasus suap-menyuap di DPR, Ayin – Jaksa Urip, kasus Cicak versus Buaya + Godzila, Anggodo, Skandal Century, mark-up tiket Deplu, Gayus Tambunan sampai dengan tertangkapnya Hakim Ibrahim dll, dll.

Jika pada masa Orde Baru almarhum Prof. Dr. Sumitro memperkirakan besaran korupsi di kalangan birokrasi sekitar 30%, dalam kasus korupsi tiket Departemen Luar Negeri yang sekarang sedang ditangani Kejaksaan Agung, terungkap mark-up tiket sebesar 80%.

Sebagaimana juga pernah dilakukan di awal Orde Baru dengan memberikan gaji khusus sebesar 9 kali gaji pegawai negeri lainnya kepada pegawai-pegawai Departemen Keuangan, sistem remunerasi yang intinya memberikan gaji jauh lebih besar kepada karyawan instansi-instansi tertentu khususnya Departemen Keuangan dewasa ini, juga tidak membuahkan hasil yang baik. Karena penyebab utama KKN dan buruknya birokrasi bukanlah semata-mata pada masalah gaji, tapi justru pada sistem birokrasi itu sendiri.

Sistem birokrasi kita sampai sekarang masih tetap membuat area-area gelap dan abu-abu serta boros, yang secara potensial membuka peluang bagi berbagai tindak KKN yang sangat merugikan, mempersulit serta mencekik masyarakat. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya, masyarakat luas termasuk media massa harus semakin meningkatkan tekanan agar para elite nasional, Pemerintah dan khususnya Presiden segera melakukan reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh dan terukur.

Tata Pemerintahan yang amanah harus diwujudkan dengan antara lain:
1. Program pemberantasan korupsi secara sistematis dan terpola, preventif dan represif berupa penataan sistemis untuk menutup berbagai peluang yang memungkinkan terjadinya korupsi, mark-up dan suap-menyuap al:

(a). Transparansi, kepastian waktu dan biaya serta persyaratan pengurusan aneka perijinan/ surat keterangan/ surat kepemilikan dan sejenisnya, dengan konsekuensi persetujuan otomatis bersyarat untuk perijinan.

(b). Perbaikan sistem serta prosedur pengadaan barang dan jasa dengan membuat standar spesifikasi teknis yang baku beserta standar harga yang betul-betul riil, transparan dan menjadi pengetahuan umum masyarakat, sehingga tidak ada tender akal-akalan serta tidak semata-mata didasarkan pada harga penawaran terendah.

(c). Transparansi dan konsistensi rencana tata ruang dan tata guna tanah.

(d). Khusus masalah pemberantasan korupsi di bidang perpajakan dan bea cukai yang sekarang ini sedang jadi bahan pembicaraan hangat, di samping masalah integritas karyawan dan kontrol sosial masyarakat, maka secara sistem perlu dilakukan al.

(d.1). peraturan-peraturan dengan berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya harus baku, gamblang dan tidak multi tafsir serta menjadi pengetahuan umum. Dengan demikian peluang sengketa perpajakan baik yang berupa keberatan ataupun keraguan wajib pajak dapat ditiadakan atau ditekan sekecil mungkin.

(d.2). menegakkan secara taat azas sistem self assessment yaitu menghitung sendiri, melaporkan dan menyetor kewajiban pajaknya, sehingga menekan sekecil mungkin kontak langsung antara wajib pajak dengan aparat pajak.

(d.3). memisahkan secara tegas aparat pembuat peraturan – pelaksana dan peradilan pajak.

(d.4).Kasus Pajak sebagai alat bargaining politik.
Meskipun sistem perpajakan sudah bagus, sengketa masalah perpajakan di mana dan kapan saja, tetap bisa terjadi, karena kelemahan manusiawi yang berupa kerakusan.

Sengketa masalah perpajakan harus diselesaikan secara fair, transparan, akuntable dan pada saatnya, dan jangan disimpan untuk menjadi alat bargaining politik. Kesan sebagai alat bargaining politik sekarang ini terasa kuat dengan diributkannya kasus sengketa pajak perusahaan-perusahaan tambang batubara, khususnya milik seorang pengusaha sekaligus politisi terkenal.

Masalah perpajakan memang berpotensi untuk menjadi alat bargaining kekuasaan, tapi itu harus dicegah karena merusak sendi-sendi dasar pengelolaan negara dan Pemerintahan. Di masa Pak Mar’ie Muhammad menjadi Dirjen Pajak, pernah dilakukan pengamatan kepada sejumlah pengusaha dan politisi yang sangat vocal. Ternyata ada diantara mereka yang pembayaran pajaknya tidak sepadan dengan gaya hidup dan harta bendanya. Kepada mereka Pak Mar’ie diam-diam mengirim surat yang disebut “Surat Cinta”, yang mengingatkan secara halus keseimbangan antara hak dan kewajibannya sebagai warga Negara yang baik, dengan membayar pajak sebagaimana mestinya.

Respon terhadap “Surat Cinta” tersebut baik sekali. Mereka segera memperbaiki sendiri SPTnya termasuk kekurangan bayarnya, tanpa merasa dipermalukan apalagi ditakut-takuti. Bahkan ada diantara mereka yang bicara terus terang kepada publik bahwa ia telah menerima “Surat Cinta” dari Dirjen Pajak serta menghargai surat tersebut.
2. Memberantas korupsi secara konsekuen, konsisten dan tanpa pandang bulu, antara lain melalui :
(a) Membuat dan memberlakukan UU Pembuktian Terbalik Asal-Usul Harta Kekayaan yang berlaku bagi semua warga negara tanpa kecuali

(b) Pemberlakuan UU Perlindungan Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi yang memadai dan taat azas yang bisa melindungi keselamatan saksi pelapor baik secara fisik maupun dari tuduhan pencemaran nama baik.

(c) Menghukum seberat-beratnya para koruptor sehingga betul-betul memberikan efek jera serta menyederhanakan proses pemecatan dengan tidak hormat PNS/TNI-Polri yang korupsi.

3. Gerakan Pola Hidup sederhana secara taat azas, baik dalam tata pemerintahan termasuk sistem anggarannya, maupun pribadi masyarakat khususnya pejabat negara/PNS/TNI-Polri. Pada masa awal Reformasi Sistem Perpajakan Nasional (1983 - sd awal 1990-an) misalnya, Ditjen Pajak mengatur dan mengawasi hal ini secara ketat sehingga mendapat simpati dan dukungan masyarakat luas.

4. Reformasi mendasar sistem kepegawaian aparat birokrasi yang baik, berdayaguna dan tepat guna, sekaligus memantapkan serta meningkatkan etika dan tanggungjawab publik/akuntabilitas aparat Pemerintah dan Pejabat Negara secara transparan. Jangan sampai terulang kembali kasus-kasus BLBI dan Skandal Century oleh pejabat-pejabat BI, ibarat “Gaji mega besar minus tanggungjawab”.

5. Membangun kontrol sosial masyarakat dengan :
(a) menerbitkan dan mengumumkan secara terbuka, meluas dan terus-menerus sistem kepangkatan dan gaji PNS/TNI-Polri.

(b) membangun sistem komunikasi dan menggalang keberanian masyarakat luas untuk melaporkan gaya hidup keluarga PNS/TNI-Polri/Pejabat Negara yang melampaui batas kewajaran penghasilannya sebagaimana butir 5 (a) di atas.

(c). Membuat identitas tunggal kependudukan yang komprehensif dan terintegrasi.

Tanpa itu semua, reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN hanyalah omong kosong belaka. Naudzubillah. (B. Wiwoho)

BAHAN DISKUSI DI “RUMAH PERUBAHAN”, Jakarta, 4 April 2010.

ARAH EKONOMI MENGANCAM MASA DEPAN ANAK CUCU KITA.


Harian terkemuka, Kompas, tanggal 6 dan 7 Juli menurunkan laporan diskusi "yang mengagetkan" dari para pakar ekonomi dan pengusaha, baik yang sudah pada tingkat Begawan Ekonomi seperti Prof.Dr.Ali Wardhana dan tokoh-tokoh seangkatannya, maupun yang masih muda belia seperti Dr.Firmansyah dkk. Para tokoh tersebut, sebagian juga masih punya hubungan dekat -- pribadi, keilmuan + pekerjaan -- dengan arsitek-arsitek perekonomian Kabinet-Kabinet Orde Reformasi, termasuk Kabinet yang sekarang.

Para tokoh tersebut menyimpulkan, kondisi perekonomian nasional jangka panjang kian merisaukan. Program yang dijalankan dengan koordinasi yang buruk antar kementerian dan kepemimpinan yang lemah membuat roh pembangunan rakyat hilang. Jurang masyarakat kaya dan miskin pun melebar.
Pemerintah yang sejumlah menterinya adalah kader-kader arahan mereka, menurut mereka juga masih harus menuntaskan pekerjaan rumahnya dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dunia usaha masih menghadapi ekonomi biaya tingggi, infrastruktur belum memadai, keterbatasan pasokan energi, kebijakan pusat - daerah tidak sejalan. Bahkan lebih mengerikan lagi, mereka menilai, kebijakan ekonomi jangka panjang telah kehilangan panduan.
Nah lho. Kok baru sekarang bicara?
Kemana saja mereka selama ini? Ngapain saja mereka? Padahal banyak orang dan media massa telah menyuarakan hal tersebut tatkala Penguasa Orde Reformasi yang antara lain dimotori Amin Rais mulai mengobrak-abrik berbagai tatanan ekonomi melalui pembuatan berbagai Undang-Undang yang mengobral murah "tanah-air".

Karena tekanan kapitalisme global dengan strategi globalismenya, para elit membuat beberapa UU dan kebijakan yang bertentangan dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, bahkan menyerahkan begitu saja tanah air (bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) pada cengkeraman neo-liberal dan globalisme serta takluk pada instrumen mekanisme pasar bebasnya.

UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 20/2002 tentang Kelistrikan, UU 19/2003 tentang BUMN, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal serta berbagai peraturan lainnya misalkan penambangan di hutan lindung, membuat negara tidak cukup lagi memiliki kuasa atas pengelolaan (produksi dan distribusi) kekayaan kita yang melimpah.
Ini menyebabkan perusakan dan eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan kekuatan modal semata-mata, sehingga mengakibatkan gunung kita yang berfungsi sebagai paku bumi digempur, laut diaduk, pulau dikeduk, hutan dibabat, air tanah disedot tiada terkira.
Sungguh perusakan lingkungan yang luar biasa dan perekonomian yang tidak berkeadilan, tidak berkelanjutan, tidak seimbang dan tidak mandiri dan sekaligus benar-benar menjual tanah air (bahan galian dan air mineral) secara obral dan mentah-mentah tanpa diolah lebih dulu sebagai barang jadi.

Tak pelak lagi, cengkeraman kapitalisme global dan neo liberal bersama para kolaboratornya telah menempatkan Indonesia kembali dalam belenggu penjajahan gaya baru, yang jauh lebih kejam dibanding pejajahan Belanda di masa lalu. Ditambah wabah korupsi yang merajalela, telah memunculkan kecenderungan kehidupan rakyat yang sangat mencemaskan, yang jika tidak segera dihentikan, maka akan dapat menyebabkan kehidupan rakyat bagaikan "ayam mati di lumbung padi".

Mereka sedang membunuh pelan-pelan rakyat Indonesia. Mereka menikmati dan berpesta pora di atas penderitaan demi penderitaan rakyat. Dengan demokrasi globalismenya yang ahistoris bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, mereka menginfiltrasi dan menguasai perundang-undangan serta produk hukum kita, kemudian menguasai sumberdaya kita, membuat daya saing kita lemah, dan selanjutnya memperbodoh, membuat kita miskin, lemah lagi berpenyakitan. Ini adalah kemungkaran dan kezaliman yang terstruktur yang wajib diperangi.

Kini, 10 hari sudah kerisauan terlambat dari para pakar ekonomi tersebut digaungkan. Toh Pemerintah dan para elit tidak memberikan reaksi apa-apa. Mereka seperti sudah menutup mata dan telinganya terhadap kritik, membiarkan bagai "Anjing menggonggong kafilah berlalu". Tinggal anda, kawan-kawan fesbuker, apakah juga akan ikut masa bodoh. Tidak perduli terhadap masa depan anak cucu kita yang mencemaskan tersebut. Masya Allah, laa quwwata illaa billaah. (B.WIWOHO).
· · · Share · Delete

    • Hendra Indersyah Jadi, pak Budiono selaku pakar ekonomi biasa dan wapres saat ini cuma ke-GR-an dgn rasa terpanggil utk menangani pengembangan perekonomian kita. Harusnya dpt diomongkan baik2 dgn beliau: cukup, pak. Dan kita coba menerapkan teori kita sendiri (satu paket dlm ilmu/teknik pemerintahan).
    • Majalah Harmoni prakteknya bagaimana??
    • Hendra Indersyah Beneran.. perlu diomongkan baik2 dgn pak Wapres, demi anak cucu kita dan segenap pejuang bangsa. "ARAH EKONOMI MENGANCAM MASA DEPAN ANAK CUCU KITA". Saya yg ngomong .. boleh..! Tentunya utk sekaligus dan terlebih-dulu mendiskusikan pandangan2 kita. Dan itulah pemaparan secukupnya ttg PRAKTEK...
    • Rini Budi
      Dari dulu ane juga tahu DPR kita lebay.. makanya bikin UU kaga bener..

      Quote: "UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 20/2002 tentang Kelistrikan, UU 19/2003 tentang BUMN, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan UU 25/2007 tentang Penana...See More
    • Hendra Indersyah
      ‎:
      Pikir2, saat ini kerinduan banyak pihak ttg perubahan besar aspek2 tertentu dari pemerintahan kita selama ini sebenarnya - meminjam jargon dunia Revolusi Sosial abad 20 - sudah mencapai stadium 'hamil tua'. O ya.. mungkin tadi bukan KERI...See More
    • Hendra Indersyah Aku menanggapi "arah ekonomi.." ini di sini tdk mempersoalkan UU yg ada, karena sdh ada Mahkamah Konstitusi (di sanalah tempatnya...).
    • ForumStudi NusantaraRaya ‎@Tjiwie Sjamsuddin @ Andrea Syafri @ Samuel Pongoh @ Majalah Harmoni @ Ali Portgas @ Hendra Indersyah @ Budaya Politik : trims jempolnya.
      @ Hendra : setuju. n apa betul tuh info pertanyaan ttg penangkapan Budiono? Ada di media mana ya? Kalau betul, itu skandal besar.
      @ Rini Budi : kartel alias persekongkolan eksekutif - legislatif.Sangat mengerikan jika ditambah judikatif.
    • Luhut Hamonangan Marbun revolusi atau reformasi demokrasi??....reformasilah....trims.
    • Hendra Indersyah
      ‎:
      Senin. Salam jumpa lagi.
      @ ForumStudi NusantaraRaya: Bagus. n ... jadi, betul kan? Pertama kali saya tahunya di fb, konon dari RMOL. Ya betul: skandal besar. Maka baiknya kita kini atur langkah, ...? (mau.. sikon kita gini2 terus? hari g...See More
    • Rini Budi Bang Hendra bisa lebih konkrit.. reformasi mulai dari mana.. menurutku mau tidak mau kita harus ngomongin UU. karena kebijakan publik ditetapkannya disana. Presiden dan kabinet yg kmd melaksanakan.
    • Hendra Indersyah
      O ya ... trm ksh, saya ngerti.. "mau tidak mau kita harus ngomongin UU". Maksud saya, 'saya'nya saja yg membatasi diri utk tdk ngomongin dulu UU khususnya beberapa UU perekonomian itu. Karena .. itu dia.. "reformasi mulai dari mana.."? Ya, ...See More
    • Rini Budi Setuju Bang birokrasi pemerintahan harus dibenahi. Bukan cuma pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah, karena ujung tombak pelayanan publik ada disana. PR berat nih Bang.. karena saya juga orang pemerintahan..jadi tahu kondisinya.
    • Hendra Indersyah
      Bagus. Memang di Pemda sebagian besarnya (penekanan dlsb). Karena akan menyelusup hingga RT/RW, langsung menjangkau diri kita semua (segenap masyarakat). Berat .. ya - ini..- terutama capacity building institusi di Pusat. Tapi kalau pakai k...See More
    • Jodie Antakusuma Undang-Undang tinggalah Undang-Undang
      Peraturan tinggalah Peraturan
      Mereka yg bikin... mereka yang SUMPAH...
      Mereka pula yang beramai-ramai melemparnya ke tempat sampah
      Apa bedanya dengan KOMPENI
    • Rini Budi Mrk bikin UU asal Bang.. Asal abal2 bisa tetap jaya.
    • Hendra Indersyah
      ‎@ Jodie Antakusuma & Rini Budi: itu istilahnya perselisihan antara pihak struktural dan pihak kultural, dan kebetulan sampean datang bareng barusan/hari ini sepertinya mewakili 2 hal itu: menyesalkan atau tdk puas dgn sisi kultural (morali...See More
    • Rini Budi
      Bang dasarnya? Kita punya Pancasila.. Mungkin blm banyak yg tahu kita juga udah mengadop azas2 good governance dlm UU 28/1999 sbg azas umum penyelenggaraan negara (ps3). dasar negara itu perlu diberlakukan secara konkrit dlm kehdp bernegara...See More

PERANG PEMBEBASAN II


Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
(UUD 1945 Pasal 33 ayat 4 Perubahan keempat tahun 2002)

AGUSTUS 2008, bangsa Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-63. Tatkala para elite bangsa tengah menyelenggarakan rangkaian demi rangkaian perayaan ulang tahun, beberapa media massa menyentakkan kita dengan menyampaikan sejumlah fakta misalkan, Kompas, Senin 11 Agustus 2008: “Penyakit Tropis Tidak Teratasi. Jumlah Penderita Tak Kunjung Turun.” Penyakit-penyakit rakyat itu antara lain adalah kaki gajah, kusta dan malaria. Penyakit ini berkembang dan menyebar karena buruknya lingkungan dan sanitasi, serta kemiskinan.

Minggu, 17 Agustus 2008, koran Seputar Indonesia menyajikan “Indonesia Dalam Percaturan Global,” yaitu:
1. Peringkat Indeks Pembangunan Manusia berada di posisi 108, sementara negara-negara Asia lainnya seperti Jepang (7), Hongkong (22), Singapura (25), Korea Selatan (26) dan Brunei (34).
2. Peringkat Infrastruktur berada di posisi 91, sementara negara-negara Asia lainnya seperti Singapura (3), Hongkong (5), Jepang (9), Korea Selatan (16), Malaysia (23) dan Thailand (27).
3. Peringkat Daya Saing berada di posisi 54, sementara negara-negara Asia seperti Singapura (7), Jepang (8), Korea Selatan (11), Hongkong (12), Malaysia (21), Thailand (28).
4. Peringkat Tempat Berbisnis berada di posisi 123, sementara negara tetangga kita Singapura (1), Selandia Baru (2), Hongkong (4), Australia (9)
5. Peringkat Indeks Persepsi Korupsi diposisi 145, sementara Singapura (4), Hongkong (14), Jepang (17), Malaysia (43).

Korupsi bersama belasan indikator instabilitas politik, ekonomi, militer dan sosial lainnya sebagai alat ukur, juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-55 dari Indeks (60) Negara Gagal 2007. Kedudukan Indonesia menurut Foreign Policy, yang diterbitkan Amerika Serikat berada di kelompok 41-60, memprihatinkan sekali, satu kelompok dengan sejumlah negara yang namanya jarang kita dengar antara lain Guinea, Ekuatorial, Kirgistan, Turkmenistan, Eritrea dan Moldova.

Fakta-fakta tersebut tidak boleh kita tutup-tutupi, dan juga tidak perlu membuat kita terjebak dalam pesimisme, tetapi sebaiknya harus kita syukuri karena Gusti Allah telah menganugerahkan hidayah dengan membukakan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran kita, betapa buruk keadaan kita, dan oleh karena itu kita harus menjadikan kesadaran itu sebagai ideologi pembebasan, yang dengan ridho, berkah dan rahmat-Nya, dapat membebaskan rakyat Indonesia dari berbagai belenggu keterbelakangan tersebut. Kita harus mengobarkan semangat keberanian dan optimisme rakyat untuk bangkit menjadikan Indonesia Raya sebagai negara makmur sejahtera, karena sesungguhnya kita memiliki potensi baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun segala hal yang diperlukan untuk itu.

Hal utama dari ideologi pembebasan itu adalah perang melawan korupsi, yang harus dikobarkan dan didukung oleh seluruh patriot bangsa, bak perang melawan penjajah yang menindas dan memiskinkan rakyat, yang merusak serta mengeksploitasi sumber daya alam kita, yang dengan berbagai dalih telah menyalahgunakan amanah rakyat, mempermainkan segala urusan dan kepentingan rakyat. Mengapa? Karena korupsi merupakan akar atau penyebab utama kemiskinan dan keterbelakangan, bahkan kerusakan negara sebagaimana fakta-fakta yang diungkapkan oleh berbagai media massa selama ini.

Dalam sejarah peradaban manusia, ideologi pembebasan telah mampu mengobarkan “perang pembebasan” melawan rezim-rezim penindas yang mapan, zalim dan atau yang menjungkirbalikkan akhidah ketuhanan.

Kanjeng Nabi Ibrahim, sebagai Bapak dari “agama-agama langit”, telah mengobarkan perang pembebasan melawan kekuasaan Raja Namrud, dan bahkan ayah kandungnya, dengan menghancurkan berhala-berhala sesembahan mereka.

Kanjeng Nabi Musa menyulut api revolusi terhadap struktur politik dan agama sekaligus, melawan kekuasan tirani Fir’aun yang zalim dan mengaku sebagai Tuhan.

Baginda Rasul, Kanjeng Nabi Muhammad, menyulut api revolusi dan perjuangan spiritual keagamaan dalam suatu tatanan masyarakat yang secara sosial politik dan ekonomi termasuk mapan pada zamannya.

Di era modern, Nelson Mandela telah mencatat sejarah yang gemilang dalam melawan rezim Afrika Selatan yang rasialis, diskriminatif dan kejam. Di Venezuela, Hugo Chavez pada tahun 1999, dan di Bolivia, Evo Morales tahun 2006, mulai mematahkan belenggu cengkeraman neo liberal dan kapitalisme global.

Proklamator kita, Bung Karno dan Bung Hatta, bahkan bukan hanya mengobarkan perang kemerdekaan Indonesia, tetapi juga semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia – Afrika lainnya. Dengan ideologi pembebasan yang bercirikan sosialisme, keduanya bersama kekuatan rakyat berhasil mengusir penjajahan dari bumi Nusantara.

Sejarah juga mengajarkan kepada kita, perang pembebasan akan berhasil secara gemilang bila ideologi pembebasan yang ada didukung oleh dua hal penting, yaitu tokoh pengggerak dan sekelompok orang yang terpanggil.

Di masa lalu, tokoh penggerak itu biasanya adalah tokoh kharismatik yang menghayati penderitaan bangsanya, yang peduli dan rela berkorban demi kebebasan umat atau bangsanya dari penindasan rezim penguasa yang zalim, atau pun peradaban dan akhidah yang salah. Tidak jarang tokoh tadi terpaksa harus mengalami penderitaan panjang, dihukum, menjadi buronan atau diusir dari tanah kelahirannya yang justru mengobarkan simpati rakyat, dan di kemudian hari menjadikan-nya tokoh kharismatik yang dipuja dan dikagumi sebagaimana halnya para nabi dan juga Mahatma Gandhi dari India.

Mulai dari lingkungan terdekat dan kecil, sang tokoh kemudian didukung oleh kawan-kawan seperjuangan, yaitu orang-orang yang terpanggil yang pada umumnya berasal dari kalangan intelektual, ksatria dan generasi muda.

Baginda Rasul misalnya, didukung oleh para intelektual seperti Abu Bakar dan Usman bin Affan, generasi muda seperti Ali bin Abu Thalib, Hamzah sang pemburu yang handal serta Umar bin Khattab yang gagah berani.

Di era global dengan kekuatan teknologi informasi seperti sekarang, tokoh kharismatik mungkin bisa digantikan dengan tim manajemen serta sistem dan pengorganisasian yang baik. Namun ideologi pembebasan tampaknya tetap diperlukan, dan harus dicirikan oleh kepentingan bersama yang kuat, yang bisa dijadikan doktrin filosofis yang mampu menggugah kebangkitan para patriot, khususnya kaum intelektual dan generasi muda, dan akhirnya kekuatan massa sehingga bergerak menjadi kekuatan politik yang dahsyat.

Dalam tulisan sebelumnya telah saya kutipkan pernyataan amat keras Baginda (sayiddina) Ali yang akan membunuh kemiskinan seandainya ia berbentuk manusia. Kata miskin di dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 25 kali, sedangkan sebuah kata lain yang terkait erat dengan kata miskin yaitu fakir, disebut 12 kali.

Para ahli fiqih dan ahli tafsir memiliki beberapa pandangan tentang kata fakir, namun ada benang merah diantara pandangan-pandangan tersebut yaitu yang menyatakan sebagai orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan primer atau kebutuhan pokoknya (ENSIKLOPEDI HUKUM ISLAM, Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996). Terhadap pengertian yang seperti itu ada sebuah hadis yang sangat populer yang menyatakan bahwa kefakiran itu dekat dengan kekufuran atau kekafiran.

Namun ada pula makna fakir yang lain, yang biasa digunakan untuk membahasakan diri sendiri dari para penganut tarekat dan jalan sufi, yaitu orang yang senantiasa merasa membutuhkan bimbingan dan pertolongan Tuhan, sehingga oleh sebab itu tidak boleh sombong.

Demikianlah, fakir miskin dalam satu makna adalah orang yang hidup berkekurangan, yang secara Islami harus memperoleh perhatian besar, yang harus disantuni dan dibantu melalui berbagai daya upaya antara lain dengan zakat, infaq dan sedekah.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pasal 34 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang asli menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Begitu pula dalam Amandemen Keempat (tahun 2002) Undang-undang Dasar 1945, masalah kesejahteraan sosial bagi rakyat khususnya fakir miskin dan kaum lemah ditegaskan kembali dalam Pasal 34 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Bagaimana kenyataannya? Karena korupsi, penyalah-gunaan wewenang dan salah urus, maka di negara yang kaya raya, nagoro panjang apunjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi ini, kita tidak mampu memelihara fakir miskin, tidak mampu mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, tidak mampu memberdayakan masyarakat lemah, tidak mampu menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak. Dan yang jauh lebih memprihatinkan lagi, generasi muda tidak memiliki gambaran dan harapan masa depan yang baik.

UUD juga menyatakan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3), sementara itu, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Pasal 33 ayat 4).

Apa yang terjadi? Karena tekanan kapitalisme global, para elite membuat beberapa Undang-Undang (UU) dan kebijakan yang bertentangan dengan pasal-pasal di atas, bahkan menyerahkan begitu saja tanah air (bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) pada cengkeraman neo liberal dan kapitalisme global serta takluk pada mekanisme pasar bebas.

UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 20/2002 tentang Kelistrikan, UU 19/2003 tentang BUMN, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal serta berbagai peraturan lainnya misalkan penambangan di hutan lindung, telah menyebabkan perusakan dan eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan kekuatan modal semata-mata, sehingga mengakibatkan gunung kita yang berfungsi sebagai paku bumi digempur, laut diaduk, pulau dikeduk, hutan dibabat, air tanah disedot tiada terkira. Sungguh perusakan lingkungan yang luar biasa dan perekonomian yang tidak berkeadilan, tidak berkelanjutan, tidak seimbang dan tidak mandiri dan sekaligus benar-benar menjual tanah (bahan galian/tambang) air secara obral. (Pada Sidang Paripurna DPR yang kontroversial misalnya, UU Sumber Daya Air disahkan. Pimpinan sidang waktu itu, AM Fatwa, mengetuk palu tanda sah tanpa mengindahkan interupsi anggota. Sidang yang riuh diselingi listrik mati menjelang pengesahan menjadi tanda tanya hingga sekarang. Kesengajaan atau kebetulan? (Kompas, Jumat 12 September 2008).

Tak pelak lagi, cengkeraman kapitalisme global dan neo liberal bersama para kolaboratornya telah menempatkan Indonesia kembali dalam belenggu penjajahan gaya baru, yang jauh lebih kejam dan serakah dibanding penjajahan Belanda di masa lalu, ditambah wabah korupsi yang merajalela, telah memunculkan kecenderungan kehidupan rakyat yang sangat memprihatinkan, yang jika tidak segera dihentikan maka akan dapat menyebabkan kehidupan rakyat bagaikan “ayam mati di lumbung padi”.

Mereka sedang membunuh pelan-pelan rakyat Indonesia. Mereka menikmati dan berpesta pora di atas penderitaan demi penderitaan kita. Mereka menguasi sumberdaya kita, menginfiltrasi dan kemudian menguasai produk-produk hukum serta perundang-undangan kita, membuat daya saing dan peringkat tempat berbisnis di Indonesia menjadi lemah, dan selanjutnya memperbodoh, membuat kita miskin, lemah lagi berpenyakitan. Ini adalah kemungkaran dan kezaliman yang terstruktur yang wajib diperangi.
Demikianlah, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip kerjasama dan hubungan internasional yang baik dan sederajat, ideologi pembebasan yang merupakan api semangat perang pembebasan tahun 2008 ini adalah cita-cita dan semangat yang mampu mengobarkan perang untuk membebaskan rakyat dari perampokan dan penindasan oleh para koruptor, neo liberal dan kapitalisme global beserta para kompradornya. Sudah barang tentu, perang ini tidak harus berupa perang fisik bersenjata api, tetapi perang ideologi dan semangat serta tekad kuat untuk melakukan perubahan tata kehidupan, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, yang membebaskan rakyat dari belenggu keterbelakangan, dari kemiskinan dan kebodohan; tata kehidupan yang mampu mewujudkan harapan kehidupan yang baik bagi masa depan generasi muda, yang berkeadilan di segala bidang dan bebas dari dominasi serta penjajahan neo liberal dan kapitalisme global.

Tata kehidupan seperti itu adalah tata kehidupan berbang-sa dan bernegara yang pro rakyat, yang berdiri di atas prinsip-prinsip kemandirian, keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang dikelola dengan memberdayakan dan melibatkan peranserta seluruh masyarakat secara musyawarah dan mufakat.
Elit-elit bangsa yang terpanggil, sejalan dengan itu juga harus dapat mengubah sisi buruk budaya sebagian masyarakat kita yang dikenal sebagai soft culture, lembek, nrimo, tidak berani mengungkapkan kata hatinya, suka nggerundel, ngedumel di belakang, dan jika tidak tahan memilih mutung dan pada akhirnya ngamuk atau marah tak terkendali (amuk massa).

Semoga Gusti Allah menganugerahkan kepada kita Indonesia Raya, putra-putri bangsanya yang terpanggil untuk berjuang melancarkan perang kemerdekaan II, yaitu Perang Pembebasan 2008 yang memproklamasikan dan mewujudkan Indonesia Raya yang aman tenteram, adil makmur, sejahtera dan jaya. Amiin.

* (Dikutip dari buku “ Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan oleh B. Wiwoho)