Minggu, 30 Maret 2014

Harian Waspada (Waspada.Com): PEMILU 2014 BERPOTENSI TIMBULKAN KONFLIK

Written by Wantana on Friday, 28 March 2014 08:29   



JAKARTA (Waspada): Pemilu yang terpisah antara pemilu legislatif dan pemilu presiden berpotensi menimbulkan konflik horisontal maupun vertikal. Pasalnya, dasar yang dipakai oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yakni UU No 42/2008 tentang penyelenggaraan pemilu yang tidak serentak, telah dinyatakan inkonstitusional lewat Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013.

"Bagaimana mungkin hasil pemilu 2014 ini sah, jika payung hukumnya, dalam hal ini UU 42/2008 telah diputuskan MK sebagai aturannya telah dinyatakan melawan hukum alias tidak sah? Berarti aturan-aturan hukum di bawahnya, di antaranya keputusan KPU otomatis melanggar konstitusi juga," ujar Jack Yanda Zaihifni Ishak, satu dari delapan pengacara yang melayangkan surat permohonan uji materiil atas dua peraturan KPU yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu 2014, di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (27/3). Selain Jack, tujuh pengacara lainnya yang menamakan diri mereka anak bangsa, adalah Lawrence TP Siburian, Chudry Sitompul, Dodi S Abdulkadir, R Taufik Mappaere, Bambang Wiwoho, Unoto Dwi Yulianto dan Muhammad Haekal Hasan.

Ditambahkan Jack Yanda, pihaknya memohon uji materiil terhadap dua peraturan KPU. Pertama, Peraturan KPU Nomor 29/2013 tentang penetapan hasil pemilihan umum, perolehan kursi, calon terpilih dan penggantian calon terpilih dalam pemilihan umum anggota DPR RI, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kedua, Peraturan KPU Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 17/2013 tentang pedoman pelaporan dana kampanye peserta pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD. Keduanya adalah aturan turunan dari UU 42/2008.

Dalam kesempatan itu, para pemohon juga mengkritik alasan sejumlah pihak yang menyatakan pemilu 2014 masih dapat dilaksanakan berdasarkan kedua peraturan KPU tersebut. Apalagi ada anggapan penundaan pernyataan inkonstitusi pada UU Nomor 42/2008 itu didukung keputusan MK yang menyatakan keputusannya mulai berlaku pada 2019. "Kami para pemohon menyatakan alasan MK menunda pelaksanaan putusannya tentang UU Nomor 42/2008 sampai pemilu 2019 adalah cacat hukum," tegas Jack.

Dinyatakan cacat hukum, karena menurut Jack Yanda, hal itu bertentangan dengan pasal 47 UU Nomor 24/2003 tentang MK yang menyatakan, putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum. "Peraturan ini secara jelas menetapkan bahwa berlakunya keputusan itu sejak saat diucapkan di sidang pleno, bukan ditunda lain waktu," tegas Jack.
Karena itu, para pemohon uji materiil menuntut pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), supaya lebih jelas aturan main dalam pelaksanaan pemilu.
Harapannya, perpu itu nantinya dapat menjadi landasan hukum yang kuat apabila ada pihak-pihak yang. bersengketa.
"Dengan berbagai pertimbangan, khususnya demi mencegah kevakuman hukum yang dapat menimbulkan anarki hukum dan situasi chaos, pemohon meminta kepada MA yang memiliki kewenangan untuk melakukan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah UU untuk segera menerbitkan Perpu," pungkas Lawrence Siburian. (dianw)

Perlu PERPPU agar Pemilu Tidak Inkonstitusional

  • Kamis, 27 Maret 2014 14:47
  • Oleh:  Fahri Haidar
Ilustrasi Ilustrasi Foto: Istimewa
Jakarta, Sayangi.com - Sejumlah orang yang menamakan dirinya tim delapan mendatangi Mahkamah Agung (MA), Kamis (27/3). Mereka adalah Jack Yanda Zaihifni Ishak, Lawrence Siburian, Chudry Sitompul, Doddy S Abdulkadir, Taufik Mappere, Bambang Wiwoho, Unoto Dwi Yulianto dan Muhammad Haekal Hasan.

Kedatangan tim delapan ini bertujuan untuk menanyakan pernyataan Mahkamah Konstitusi (MK) menunda pelaksanaan putusannya pada Pemilu 2019.
Menurut mereka penundaan pelaksanaan putusan itu adalah cacat hukum.

“Menurut ketentuan pasal 47 UU No. 24 tahun 2003, putusan MK mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan pada sidang pleno. Pasal ini secara jelas menetapkan berlakunya keputusan itu dan bukan ditunda lain waktu,” kata Lawrence kepada wartawan di gedung Mahkamah Agung, Jakarta.

Pemilu 2014, kata Lawrence, adalah inkonstitusional dan berpotensi menimbulkan anarki dan chaos. Menurutnya, dengan begitu, pihak-pihak yang menang semuanya tidak sah karena bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

“Kami memohon dilakukan uji materiil terhadap Peraturan KPU No. 29 tahun 2013 tentang penetapan hasil pemilu, perolehan kursi dan sebagainya. Serta Peraturan KPU No. 1 tahun 2014 tentang perubahan peraturan KPU No. 17 tahun 2013 tentang pedoman pelaporan biaya kampanye peserta pemilu,” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dodi Abdulkadir menyatakan bahwa jalan keluar dari persoalan ini adalah dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU).

“Pertimbangan kami khususnya demi mencegah kevakuman hukum yang bisa menimbulkan anarki hukum dan situasi chaos. Kami meminta kepada Mayang mempunyai kewenangan untuk melakukan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,” tambah Dodi.(GWH)

Kamis, 27 Maret 2014

Pemilu 2014 Inkonstitusional

Pasca Putusan MK tentang Pemilu Serentak, 8 Advokat Gugat Peraturan KPU

Herdani Triyoga - detikNews
Gedung Mahkamah Agung (ari saputra/detikcom)
Jakarta - Sejumlah advokat yang tergabung dalam Delapan Anak Bangsa mengajukan gugatan dua peraturan KPU yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu 2014 ke Mahkamah Agung (MA). Hal ini sebagai buntut putusan MK yang menyatakan pemilu serentak hanya untuk 2019.

Dua peraturan KPU yang digugat yaitu Peraturan KPU Nomor 29/2013 tentang penetapan hasil pemilu, perolehan kursi, calon terpilih dan penggantian calon terpilih dalam pemilu legislatif. Sementara yang kedua adalah Peraturan KPU Nomor 1/2014 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilu Legislatif.

Kedua peraturan itu diminta dibatalkan karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pemilu tidak serentak bertentangan dengan konstitusi.

"Ini harus disesuaikan. Nah, kalau yang dibatalkan tadi UU di atasnya berarti dia tidak punya dasar lagi melaksanakan pemilu. Dua peraturan KPU itu enggak bisa jadi acuan," kata seorang pemohon, Jack Yanda Zaihifni Ishak di gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (27/3/2014).

Menurutnya, pemilu legislatif yang tinggal 13 hari lagi berpotensi memunculkan konflik horizontal ataupun vertikal yang bisa berdampak kondisi chaos. Sebab kalau Pemilu pada 9 April 2014 yang disusul dengan pemilihan presiden tetap dilaksanakan berdasarkan UU yang inkonstitusional, maka hasilnya juga akan inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945.

"Itu kan semua menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum yang mengikat. Peraturan KPU No.29/2013 dan Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2014 itu tidak bisa jadi acuan," sebutnya.

Siaran Pers Judicial Review PEMILU INKONSTITUSIONAL;



PEMILU 2014 INKONSTITUSIONAL DAN BERPOTENSI
MENIMBULKAN ANARKI DAN CHAOS.

Pemilu tinggal 13 hari lagi. Berapa banyak diantara 240 juta rakyat Indonesia termasuk para elite dan calon legislatifnya yang berfikir jernih tentang akibat Keputusan Mahkamah Konstitusi No.14/PUU-XI/2013 yang menyatakan UU no.42 th 2008 yang mendasari penyelenggaraan Pemilu tindak serentak bertentangan dengan konstitusi. Karena bertentangan dengan konstitusi, maka secara otomatis UU PILPRES (UU no.42/2008), UU Pileg (UU No. 42 Tahun 2012) dan UU PEMILU (UU No. 15 Tahun 2011) tersebut tidak mempunyai kekuatan lagi secara hukum, sehingga dengan demikian semua perbuatan yang dilakukan berdasarkan UU itu batal demi hukum.

Oleh sebab itu jika Pemilu pada tanggal 9 April 2014 yang disusul dengan Pemilihan Presiden tetap dilaksanakan berdasarkan UU yang inkonstitusional, maka hasilnya juga akan inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik Presiden, Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Daerah, DPR Pusat maupun Daerah, semuanya tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Hal tersebut akan sangat pontensial menimbulkan konflik-konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada keadaan “chaos”. Dalam rangka mengantisasi dan mencegah terjadinya “chaos” berupa berbagai kekacauan kehidupan sosial kemasyarakatan yang mengerikan, delapan orang anak bangsa yang selama ini banyak berkecimpung di dalam soal hukum, politik dan akademik terpanggil untuk mengajukan Permohonan Uji Materiil (Judicial Review) kepada Mahkamah Agung, atas  dua peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu 2014.

Delapan orang anak bangsa yang terpanggil sebagai pemohon uji materiil itu adalah: Jack Yanda Zaihifni Ishak Phd.Msc.SH, Lawrence T.P.Siburian SH. Mh.LLM, Chudry Sitompul SH.MH, Dr.Dodi S.Abdulkadir, Bsc.SE.SH.MH, Dr. R. Taufik Mappaere, SH. LLM. B.Wiwoho, Unoto Dwi Yulianto SH.MH dan Muhammad Haekal Hasan SH.LLM.

Adapun kedua Peraturan KPU yang dimohonkan uji materiil adalah:
1.Peraturan KPU No.29 Tahun 2013 Tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum, Perolehan Kursi, Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
2. Peraturan KPU no.1 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Peraturan KPU no.17 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) BERLAKU SEJAK DIUCAPKAN.

Mengenai alasan sejumlah pihak yang menyatakan Pemilu 2014 masih bisa dilaksanakan berdasarkan kedua Peraturan KPU tadi karena ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan mulai berlaku pada Pemilu 2019, Pemohon menyatakan alasan MK menunda pelaksakaan putusannya pada Pemilu 2019 adalah cacat hukum, berdasarkan:
  1. Ketentuan Pasal 47 UU no.24 th 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tertap sejak diucapkan sidang pleno terbuka untuk umum”. Pasal ini secara jelas menetapkan bahwa berlakunya keputusan adalah saat diucapkan di sidang pleno terbuka untuk umum, dan bukan ditunda di lain waktu.
  2. Putusan MK No.14 di atas yang mempertimbangkan tahapan penyelenggaraan Pemilu th 2014 telah dan sedang berjalan serta sudah mendekati waktu pelaksanaan Pemilu adalah telah melampaui kewenangan yang dimiliki MK sendiri dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara/permohonan yang diajukan kepadanya, yaitu terbatas pada menerima, menolak dan atau menyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
  3. UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 Tentang MK menggariskan salah satu tugas MK adalahmenyatakan suatu UU bertentangan dengan UUD. Mahkamah Konstitusi tidak diberi wewenang untuk membuat norma perundang-undangan yang baru.

JALAN KELUARNYA MEMBUAT PERPU.

Dengan berbagai pertimbangan khususnya demi mencegah kevakuman hukum yang bisa menimbulkan anarki hukum dan situasi “chaos”, Pemohon meminta kepada Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan untuk melakukan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, untuk antara lain:
  1. Menyatakan kedua peraturan KPU yang disebut di atas, yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 2014 bertentangan dengan Undang-Undang yang ada di atasnya.
  2. Memerintahkan Pemerintah/Presiden untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) untuk menjadi landasan hukum penyelenggaraan Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Pusat dan Daerah tahun 2014 serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014.
  3. Memerintahkan KPU untuk mentaati putusan MA untuk mengganti / menyesuaikan Peraturan KPU dengan PERPU.

Demikianlah, semoga Permohonan Uji Materiil ini memperoleh ridho, rahmat dan berkah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Jakarta, Kamis 27 Maret 2014.

Jack Yanda Zaihifni Ishak Phd.Msc. SH.
Lawrence T.P.Siburian SH. Mh.LLM.
Chudry Sitompul SH.MH.
Dr.Dodi S.Abdulkadir, Bsc.SE.SH.MH.
Dr. R. Taufik Mappaere, SH. LLM.
B.Wiwoho.
Unoto Dwi Yulianto SH.MH.  
Muhammad Haekal Hasan SH.LLM.

Jumat, 07 Maret 2014

Tasawuf Al Ghazali dan 3 Tingkatan Bersuci Dalam Serat Centini





Dengan mengajarkan ilmu pengamalan dan pembukaan hati (mu’amalah wa mukasyafah), Al Ghazali menceburkan diri ke dunia tasawuf. Namun ia tidak melibatkan diri ke dalam aliran hulul (peleburan antara Tuhan dan manusia, Tuhan menjelma ke dalam insan), ittihad (manunggaling kawulo Gusti, Tuhan dan hamba berpadu menjadi satu), wahdatul wujud (yang ada hanya Satu, alam merupakan penampakan lahir Tuhan) atau aliran-aliran tasawuf lain yang sedang mekar pada zamannya. Buya Hamka dalam bukunya Tasauf Moderen, menyebut Al Ghazali sebagai “orangtua dan kiblat dari segala tabib jiwa”.

Al Ghazali menurut Prof.Dr.Muslim Ibrahim MA  dari Banda Aceh (dalam kitab kajian Minhajul Abidin terbitan Yayasan Al Ghazali, Bogor), juga menentang keras orang tasawuf yang mengingkari ibadah ritual. Malahan menurutnya, ibadah ritual perlu dikembangkan dan dipelihara dengan menanamkan arti, makna dan rahasia amaliyah di baliknya. Sebagai contoh bersuci atau berwudhu, menurutnya tidak cukup sekedar menuangkan air dan membersihkan badan dari kotoran, tetapi jauh lebih sempurna dari itu, yakni harus meliputi:

1.   Membersihkan lahir (anggota-anggota badan) dari hadats dan berbagai kotoran.
2.   Membersihkan hati dari tingkah laku dan akhlak tercela.
3.   Mensucikan anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
4.   Membersihkan diri dari pengabdian selain Allah Swt.

Berdasarkan ajaran Al Ghazali yang seperti itulah, para penganut tasawuf di Jawa abad ke 18 - 19 mengajarkan 3 (tiga) tingkatan bersuci dan 4 (empat) tingkatan sembahyang, yang bukan hanya sekedar aktivitas lahiriah semata, tapi juga rasa batin, yang harus  dilanjutkan dengan menempuh perjalanan batin.

Dalam kitab Centini, tiga tingkatan bersuci itu ialah yang pertama, bersuci membersihkan badan atau raga dengan air sebagaimana kita kenal dengan berwudhu dan mandi. Kedua, bersuci membersihkan mulut, sehingga mulutnya menjadi suci baik dalam hal makan dan minum maupun dalam bertutur kata. Ketiga, bersuci membersihkan hati. Adapun empat tingkatan sembahyang yaitu pertama, sembah raga. Ini sama dengan salat sesuai syariat. Kedua, sembah cipta yang bisa disamakan dengan tarekat. Ketiga, sembah jiwa atau hakikat dan keempat, sembah rahsa adalah makrifat. Ketiga tingkatan bersuci dan keempat tingkatan sembahyang tersebut harus dilaksanakan secara utuh, lengkap dan tidak boleh hanya salah satu saja.

Perjalanan seorang salik atau murid dalam mempelajari tasawuf sampai mencapai makrifat, diuraikan secara panjang lebar dengan sangat indah oleh Al Ghazali di dalam Minhajul ‘Abidin, yang harus melalui 7 (tujuh) tanjakan. Pertama, tanjakan ilmu dan makrifat. Kedua, tanjakan taubat. Ketiga, tanjakan penghalang. Keempat, tanjakan godaan. Kelima, tanjakan pendorong. Keenam, tanjakan pencela dan ketujuh, tanjakan puji syukur.

Oleh Kyai Ali Yafie, kajian tasawuf Al Ghazali tadi disarikan secara sederhana dalam empat kelompok besar. Pertama, mawaahidul ilmi, yaitu memberikan pengertian dasar. Manusia sebelum bekerja atau beramal harus ada ilmu, harus memahami masalahnya. Kedua, sesudah memiliki ilmu baru melakukan amal, yang menjadi sasaran untuk mencapai pengabdian.  Dalam hal ini, ada amal pengabdian langsung kepada Allah dan ada yang lewat interaksi dengan sesama manusia. Yakni amal ibadah dan amal muamalah. Ketiga, al-muhlikat, yaitu mengenai hal-hal yang menggiurkan atau mengancam keselamatan dan kesehatan batin. Di sini diuraikan virus-virus yang menimbulkan penyakit di dalam batin manusia, berupa berbagai sifat dan kebiasaan. Keempat, al-munjiyat atau terapi, yaitu hal-hal yang menjadikan manusia berpeluang untuk memiliki kalbu yang sehat, kuat dan bisa menyebabkan manusia menikmati hidup ini, di dalam mengabdi kepada Allah Swt.

Di dalam karyanya yang terbesar dan termasyhur, yang menjadi bacaan wajib pesantren-pesantren di Indonesia, yaitu kitab Ihya Ulumiddin atau menghidupkan ilmu agama, Al Ghazali  menegaskan bahwa agama Islam dengan tasawufnya, pada dasarnya mendidik manusia agar memiliki akhlak yang mulia dan terpuji, sebagaimana yang dimiliki oleh Kanjeng Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Semoga.

Senin, 03 Maret 2014

INDONESIA, DARI NAMANYA TIDAK MANDIRI.




Catatan: bahan-bahan tentang nama Indonesia diambil dari berbagai tulisan di internet, antara lain dari Wikipedia dan Sejarah Nama Indonesia, madita18.worpress.com, 3.3.2014.

Saudara-saudara sebangsa dan setanahair, sukakah jika kita disebut sebagai bagian atau pun kepanjangan orang lain? Tentu tidak. Tapi itulah kenyataannya dengan arti dan makna nama Indonesia. Indonesia itu artinya adalah Kepulauan India. Jadi bagian dari India, bagian dari bangsa lain.
Memang “apalah arti sebuah nama?” Begitu pertanyaan Juliet Capulet kepada Romeo Montague dalam drama termasyhur karya  sastrawan dunia William Shakespeare (dibaptis 1564 – wafat 1616).
Adalah George Samuel Windsor Earl (1813 – 1865), yang pertama kali mencetuskan nama Indonesia, lantaran ia tidak suka nama kepulauan yang sekarang kita sebut Indonesia ini, diangap sebagai bagian dari India (Hindia). Di masa itu, ada sejumlah sebutan untuk kepulauan kita yaitu Indian Archipelago, Indische Archipel, Oost Indie, East Indies, Indes Orientales dan Nederland Indie. Semuanya menyatakan keterkaitan kita dengan India. Maka pada tahun 1850 ia menulis dalam “Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA:  Jurnal Kepulauan India dan Asia Timur),  “Sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas. Sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.”

George Samuel Windsor Earl mengajukan dua pilihan nama yaitu Indunesia dan Malayunesia. Nesia dari bahasa Yunani yang berarti pulau. Nesia juga sama artinya dengan nusa. Dari dua nama tersebut Earl lebih memilih Melayunesia dari pada Indunesia, yang juga tetap berarti Kepulauan Hindia. Lagi pula, bahasa  Melayu telah dipakai secara cukup meluas di kepulauan tersebut. Pada hematnya Melayunesia lebih tepat untuk nama ras Melayu. Sedangkan Indunesia memiliki cakupan wilayah dan ras yang berbeda yang meliputi Ceylon dan Maldives (Maladewa).
Menanggapi usulan tersebut, James Richardson Logan, perintis dari jurnal JIAEA, memilih kata Indunesia, tapi huruf u diganti dengan huruf o, supaya ucapan dan kedengarannya lebih enak. Semenjak itu sebagai penguasa jurnal ia sering menggunakan nama Indonesia.
Pada tahun 1884, Guru Besar Etnologi pada Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905) menerbitkan buku “Indonesien Order die Inseln des Malayischen Archipel” (Indonesia atau pulau-pulau di Kepulauan Melayu). Tulisan Bastian ini sangat populer  di Belanda dan juga di kalangan pemuda-pemuda kita yang sedang belajar dan atau sedang dibuang ke negeri Belanda, terutama Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantoro) . Tahun 1913 Ki Hajar mulai mempopulerkan nama Indonesia tersebut dengan mendirikan Indonesische Pers Bureau (Biro Pres Indonesia). Namun demikian pada saat itu beliau juga memperkenalkan nama Nusantara sebagai alternatif.
Sementara itu pada tahun 1939, ahli bahasa Purwodarminto menerbitkan Kamus dan mengusulkan nama Nusantara yang berasal dari Bahasa Kawi sebagai nama untuk kepulauan Indonesia. Menjelang berakhirnya Perang Pasifik, nama Nusantara sempat populer di semenanjung Melayu, sebagai  aliternatif  untuk nama rumpun bangsa Melayu yang tersebar, membentang luas dari semenanjung sampai ke pulau-pulau yang jauh.
Nusantara berasal dari kata nusa dan antara. Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno – Indonesia karya PJ Zoetmulder, ada 3 arti dari kata antara. Pertama, jarak, jarak waktu, apa yang ada diantara. Kedua, lain, yang lain, berbeda. Ketiga, seluruh daerah-wilayah-lapangan. Jadi nusantara berarti : (1) kepulauan di anatara dua benua; (2) seluruh daerah kepulauan; (3) pulau-pulau yang lain.
Kini jelas bagi kita perbedaan makna antara Indonesia dan Nusantara. Indonesia adalah berarti kepulauan Hindia. Dengan memakai nama itu, maka kita ini hanyalah sekedar kepanjangan dari anak benua Hindia. Nama itu juga bukan orisinal, asli karya anak bangsa sendiri, namun hadiah nama dari George Samuel Windsor Earl dan James Richardson Logan. Secara maknawi, kita ini tidaklah siapa-siapa, kecuali hanya bagian dari “wilayah dan bangsa lain”. Sebagai kepanjangan, maka ya wajarlah jika selama ini kita tidak mandiri, hanya sekedar jadi obyek dari bangsa lain, bahkan dari kekuatan global.  Karena memang dari namanya saja sudah tidak mandiri. Beda halnya bila kita pakai nama yang orisinal sebagaimana  nama pilihan yang sempat dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantoro dan diusulkan oleh ahli bahasa Purwodarminto, yaitu Nusantara. Apalagi jika ditambah menjadi NusantaraRaya.
Tapi memang tidak mudah mengubah kebiasaan yang sudah berlangsung puluhan tahun, bahkan sudah hampir seumur hidup. Lagi pula, ada saja yang mengutip pertanyaan Juliet di atas, apalah arti sebuah nama? Bagi saya, banyak sekali artinya. Nama itu identitas kebanggaan, yang bisa menunjukkan sifat dan juga sekaligus doa serta harapan.
Sebagai orang Islam, tentu tidak mau kita dipanggil dengan sebutan Abu Lahab atau Abu Jahal, musuh-musuh Kanjeng Nabi Muhammad. Sebagai orang Jawa, saya senang dengan pemakaian nama binatang untuk nama orang seperti Gajah, Singa, Elang, Mahesa dan Danu yang melambangkan keperkasaan. Tapi saya tidak suka dengan nama Asu, Bajul, Ulo, Kadal, Monyet yang berkonotasi dengan keburukan dan kelicikan. Demikian pula doa dan harapan yang terkandung dalam sebuah nama. Bagaimana mungkin setiap saat kita mendoakan dan mengharapkan kejayaan Indonesia atau Kepulauan India, yang berarti doa dan harapan bagi kejayaan wilayah dan ras bangsa lain?
Dengan nama NusantaraRaya, kita membayangkan dan berdoa bagi kejayaan sebuah bangsa maritim, yang memiliki pagar halaman di lautan nan luas di sepanjang Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang betul-betul menguasai dan mensyukuri berkah lautan dengan aneka produk dan industri maritimnya, menguasai industri dan armada-armada laut khususnya angkutan antar pulau, mendayagunakan garis equatorial sebagai garis penginderaan. NusantaraRaya tidak lagi mengenal istilah pulau-pulau terluar, apalagi pulau-pulau terpencil, karena sebagaimana sebuah rumah, maka pagar halaman kita adalah ZEE itu. Daratan dan pulau-pulau adalah bangunan-bangunan serta kamar-kamar di dalam pekarangan rumah kita yang luas, asri nan makmur sejahtera.
Kita dan anak cucu  akan selalu bangga menyanyikan “Nenek-moyangku Orang Pelaut”, sebagaimana keturunan orang-orang Viking membanggakan leluhurnya, sebagaimana orang-orang Cina bangga manjadi orang Cina.
Sungguh, lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut”, bukanlah  khayalan semata. Mengenai kemampuan nenek moyang kita bangsa Nusantara pada umumnya dalam menguasai teknologi perkapalan, banyak fakta sejarah yang membuktikan. Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, dengan mengutip berbagai sumber tulisan dari Barat, menguraikan betapa pada tahun 70-an Masehi, cengkih dari kepulauan Maluku sudah diperdagangkan di Roma, dan semenjak abad ke-3 Masehi, perahu-perahu dari kepulauan Nusantara telah menyinggahi anak benua India serta pantai timur Afrika, dan sebagian di antaranya bermigrasi ke Madagaskar.

Bukan hanya dari para pencatat perjalanan orang-orang Barat saja, kisah pelayaran tadi juga bisa ditemukan di relief Candi Borobudur. Beberapa tahun yang lalu, ahli-ahli perkapalan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi, juga telah membuktikan kehandalan perahu di relief candi tersebut, dengan membuat tiruannya dan melayarkannya dari Bali ke Madagaskar dengan selamat.

Pencatat sejarah Cina anak buah  Fa Hsien di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Masehi menerangkan pula bahwa pelaut-pelaut Nusantara memiliki kapal-kapal besar yang panjangnya 200 kaki ( 65  meter), tingginya 20 – 30 kaki ( 7 – 10 meter), dan mampu dimuati 600 – 700 orang ditambah muatan seberat 10.000 hou.

Sementara pada masa itu, panjang jung Cina terbesar tidak sampai 100 kaki (30 meter) dengan tinggi kurang dari 10 – 20 kaki ( 3 – 7 meter). Catatan yang ditulis dalam Tu Kiu Kie ini telah dikutip oleh banyak ahli yang mempelajari sejarah agama Buddha maupun Asia Tenggara di masa lalu.  Ahli Javanologi Belanda, Van Hien tahun 1920 dalam De Javansche Geestenwereld, yang disadur secara bebas oleh Capt.R.P.Suyono dalam Dunia Mistik Orang Jawa, penerbit LkiS Yogyakarta 2007 halamam 12, menerangkan Shi Fa Hian (Fa Hsien) dalam perjalanannya pulang ke China diserang badai dan terdampar di pantai pulau Jawa. Ia berdiam lima bulan di Jawa, menunggu selesainya pembuatan sebuah kapal besar yang sama dengan kapalnya yang rusak dihantam badai (Atlas Walisongo halaman 20).

Gambaran tentang kemampuan nenek moyang kita tadi, dicatat pula oleh pengembara Portugis tahun 1512 – 1515 Tome Pires dalam karyanya yang sangat terkenal dan sering menjadi sumber rujukan sejarah Asia Tenggara, Suma Oriental (dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit , oleh Prof.Dr. Slamet Mulyana, Inti Idayu Press, Jakarta 1983 halaman 282, 283 dan seterusnya). Menurut Tome Pires, Sultan Malaka yang bergelar Raja Muzaffar Syah (1450 – 1458) serta puteranya yaitu Raja Mansyur Syah (1458 – 1477), sebagai raja bawahan Jawa, memiliki hubungan yang baik dengan Jawa. Bahkan untuk keperluan menunaikan ibadah haji ke Mekah, Raja Mansyur Syah memesan jung besar dari Jawa.

Sejarah panjang peradaban Jawa dan juga daerah-daerah lain di Nusantara, banyak dikupas oleh para penulis sejarah asing, yang daftar rincian penulis tersebut sekarang ini bisa dilihat antara lain di buku Atlas Walisongo, yang diterbitkan oleh Pustaka IIman, Trans Pustaka dan  LTN PBNU,  2012.

Semoga Gusti Allah Yang Maha Kuasa, yang telah menciptakan manusia bersuku-suku dan  berbangsa-bangsa, supaya saling mengenal dan saling berlomba mengerjakan kebaikan, menganugerahkan kita bangsa negeri kepulauan Nusantara ini ampunan dan pertolongan, sehingga kita bisa bangkit menjadi makmur sejahtera sebagai suatu bangsa dengan rahmat dan berkahNYA. Aamiin.

Depok 3 Maret 2014.