Sabtu, 18 Agustus 2012

SELAMAT IDUL FITRI.

Aswrwb. Saudara-saudaraku, ijinkanlah kami mendoakan anda dan kita semua, semoga lulus "Diklat Ramadhan", minal 'aidin wal faizin. Semoga kita termasuk hamba-hambaNYA yang kembali kepada fitrah nan suci, serta memperoleh ampunan dan keridhaan Gusti Allah Yang Maha Kuasa, sehingga sungguh-sungguh dapat mengemban amanahNYA selaku balatentara dan Khalifatullah fil ardhNYA yang senantiasa beriman dan beramal saleh. Selamat Idul Fitri. Amin.

Jumat, 17 Agustus 2012

PERAYAAN DAN UCAPAN IDUL FITRI.


Ada kebiasaan khas Indonesia yang luar biasa dimensi dan dampak sosial-ekonominya, yaitu merayakan Hari Raya Idul Fitri secara meriah, pulang kampung beramai-ramai, memintal tali silaturahim serta memperbarui jalinan silaturahim di antara sesamanya. Kebiasaan merayakan Idul Fitri juga dilaksanakan umat muslim di berbagai belahan dunia seperti Emirat Arab, Turki, I
ran, Afrika Selatan, India, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Fiji serta negara-negara tetangga kita khususnya Malaysia.


Namun dibanding di negara-negara lain, perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah yang paling meriah bahkan gegap gempita. Diperkirakan sekitar seperempat sampai sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia baik muslim maupun non muslim melakukan pergerakan dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu pulau ke pulau lain, guna ikut merayakannya. Uang puluhan trilyun rupiah, menyebar dari kota-kota besar ke kota-kota kecil, ke kampung-kampung di segenap pelosok negeri, ke pedagang-pedagang kecil sektor informal, mengikuti teori ekonomi menetes dari atas ke bawah. Semua bergembira bersama, melepas kerinduan, mengendorkan saraf-saraf yang tegang setelah selama dua belas bulan menyabung hidup di belantara kekerasan kehidupan kota besar.

Memang ada sejumlah pengamat yang menganggap semua itu sebagai pemborosan yang mestinya tidak perlu. Tapi sejumlah sosiolog, psikolog dan budayawan yang lain menilai justru sebagai kebiasaan sosial yang baik dan bermanfaat. Tentu anda sendiri, wahai saudaraku, yang lebih bisa menilai apakah kebiasaan tersebut menghasilkan nilai positif atau tidak. Apakah pulang kampung, sungkem dan berbakti kepada ayah-bunda, saling kunjung-mengunjungi untuk bersilaturahim, yang sudah barang tentu memerlukan biaya itu bermanfaat atau tidak.

Di samping mobilitas manusia yang tinggi, perayaan Idul Fitri di Indonesia juga lazim disertai dengan pengiriman atau penyampaian ucapan Idul Fitri, yang disamping dilakukan secara tatap muka, dahulu kala juga biasa dilakukan dengan mengirim kartu lebaran. Sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi, pengiriman bergeser ke pesan telpon singkat atau sms, dan selanjutnya terus berkembang ke berbagai bentuk yang lain seperti e_mail, twitter, black berry messenger dan lain-lain.

Ada tiga jenis ucapan yang paling lazim plus kombinasi dari ketiganya. Pertama, “ Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir bathin”. Kedua, “ Selamat Hari Raya Idul Fitri. Minal ‘Aidin wal Faizin”. Ketiga, “Selamat Hari Raya Idul Fitri. Taqaballallahu minaa wa minka”.

Tidak ada ayat Qur’an ataupun hadis yang bisa dijadikan pegangan untuk menilai, ucapan mana yang paling tepat. Namun dari ketiganya, ucapan ‘Taqabbalallahu minaa wa minkum’ yang bermakna “Semoga Allah SWT menerima amal kami dan amal Anda”, dalam konteks ini menerima amal ibadah puasa Ramadhan kita, yang memiliki kaitan sejarah dengan para sahabat Rasulullah.

Menurut sejumlah riwayat, para sahabat Nabi Muhammad Saw.bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : “Taqabbalallahu minnaa wa minkum”. Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka. Beberapa shahabat menambahkan ucapan “shiyamana wa shiyamakum’, yang artinya puasaku dan puasa kalian. Jadi ucapan ini bukan dari Rasulullah, melainkan dari para sahabat.

Adapun ucapan yang lain yaitu “Minal ‘Aidin wal Faizin”, adalah ungkapan kebiasaan khas masyarakat Indonesia, yang pada umumnya dirangkaikan dengan ungkapan “mohon maaf lahir dan bathin”, sehingga kemudian ada yang mengartikan minal ‘adin wal faizin sebagai maaf lahir dan batin. Padahal makna yang sesungguhnya adalah doa agar Gusti Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang kembali dan meraih kemenangan.

Di internet, SMS dan BBM, belakangan ini banyak tulisan yang mengulas ketiga ungkapan tadi. Ada yang bisa menerimanya, tapi ada pula yang mencemooh bahkan menyalahkan. Dari berbagai pendapat tersebut, ada pula beberapa yang mengutip pandangan dari pakar tersohor kita Prof.Dr.M.Quraish Shihab, sebagaimana beliau tulis dalam buku “Lentera Hati” (Penerbit Mizan, hal 404 dst).
Menurut beliau, minal ‘aidin yang berarti (semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali, dimaksudkan sebagai kembali kepada fitrah, yakni asal kejadian atau kesucian, atau agama yang benar.

Setelah mengasah dan mengasuh jiwa – yaitu berpuasa – selama satu bulan, diharapkan setiap Muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dengan menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagaimana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena – menurut Rasulullah – al-aidin al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan, dan alam.

Sementara itu, al-faizin diambil dari kata fawz yang berarti “keberuntungan” . Apakah “keberuntungan” yang kita harapkan itu? Di sini kita dapat merujuk pada Al-Quran, karena 29 kali kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang. Menarik juga untuk diketengahkan bahwa Al-Quran hanya sekali menggunakan bentuk afuzu (saya beruntung). Itupun menggambarkan ucapan orang-orang munafik yang memahami “keberuntungan” sebagai keberuntungan yang bersifat material (baca QS 4:73.

Bila kita telusuri Al-Quran yang berhubungan dengan konteks dan makna ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, ditemukan bahwa seluruhnya (kecuali QS 4:73) mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi.” Kalau demikian halnya, wal faizin harus dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan surga-Nya.

Salah satu syarat untuk memperoleh anugerah tersebut ditegaskan oleh Al-Quran dalam surah An-Nur ayat 22, yang menurut sejarah turunnya berkaitan dengan kasus Abubakar r.a. dengan salah seorang yang ikut ambil bagian dalam menyebarkan gosip terhadap putrinya sekaligus istri Nabi, Aisyah. Begitu marahnya Abubakar sehingga ia bersumpah untuk tidak memaafkan dan tidak memberi bantuan apapun kepadanya.
Tuhan memberi petunjuk dalam ayat tersebut: Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 24:22).

Prof.Dr. M.Quraish Shihab, pakar yang memiliki reputasi internasional ini, mengakhiri ulasannya tentang ucapan-ucapan yang menyertai perayaan Idul Fitri tersebut dengan suatu kalimat penutup yang indah dan sejuk, mengajak kita “saling berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling mengucapkan minal `aidin wal faizin. Semoga kita dapat kembali mendapatkan jati diri kita, dan semoga kita bersama memperoleh ampunan, ridha, dan kenikmatan surgawi. Amin.”

Demikianlah saudaraku, ternyata menurut ahlinya, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan ungkapan-ungkapan tersebut. Yang mungkin kurang dari kita, termasuk penulis (saya) selama ini, adalah kurang memahami makna, latar belakang serta hakikat dari ungkapan itu. Kita hanya ikut-ikutan mengucapkan tanpa memahaminya, sehingga kemudian bingung tatkala ada orang yang mengkritik.

Maka sami’naa wa atho’naa, kami dengar dan kami patuh kepada Kyai Haji Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam puisinya “ KAU INI BAGAIMANA ATAU AKU HARUS BAGAIMANA?”……
“ ya sudahlah…. Aku pasrah kepada Tuhan yang kusembah”.

Beji 28 Ramadhan 1433 H ( 17 Agustus 2012).

Rabu, 01 Agustus 2012

PRESIDEN SBY SEMAKIN KEHILANGAN ORIENTASI.


Dilanda berbagai krisis:
PRESIDEN SBY SEMAKIN KEHILANGAN ORIENTASI.

Membaca pemberitaan media online ternama detikNews,  “ SBY:  Orangtua Yang Anaknya Jadi Korban Bullying Dapat Lapor ke Saya”, Selasa sore 31 Juli 2012, perasaan seperti semakin teriris dan hati menjadi miris.

Dalam keadaan semua normal dan kehidupan masyarakat berjalan baik-baik saja, pernyataan itu bagus. Tapi dalam keadaan di mana-mana merebak konflik sosial berdarah-darah, yang terakhir adalah peristiwa  bentrok aparat bersenjata dengan masyarakat karena sengketa lahan perkebunan Pabrik Gula Cinta Manis, di desa Limbang Jaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan Jumat sore 27 Juli 2012, pernyataan tersebut menjadi hambar tak bermakna.  Peristiwa yang menelan korban jiwa seorang anak berusia 12 tahun, dua perempuan satu di antaranya remaja dan  tiga orang pria luka-luka, sungguh bagaikan perjuangan gerakan intifada rakyat Palestina yang bersenjatakan batu melawan tentara Zionis Yahudi yang bersenjata api lengkap.

Seribu satu alasan bisa saja dikemukakan oleh Pemerintah untuk membela tindakan aparat. Namun janganlah menganggap rakyat itu bodoh. Perang melawan musuh-musuh negara saja, dan lebih-lebih bagi umat Islam, kita dilarang menyerang warga sipil khususnya wanita dan anak-anak. Sedangkan ini menghadapi rakyatnya sendiri,

Hampir bersamaan dengan peristiwa berdarah tadi, muncul pula berita bullying dari para senior kepada  para yunior di sebuah sekolah di Jakarta. Ironisnya, terhadap peristiwa Cinta Manis yang amat pahit bagi rakyat itu, Presiden SBY cukup dengan hanya memberikan perintah normatif  kepada Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan, yaitu  mencari solusi terbaik serta menghimbau masyarakat untuk bisa menahan diri ( tribunnews.com edisi petang, 31 Juli 2012). Sedangkan atas peristiwa bullying anak-anak sekolah, Presiden SBY tampil bagaikan seorang hero yang siap mati pasang badan menghadapi penjahat-penjahat sadis tak berperikemanusiaan, dengan meminta para orangtua korban untuk lapor kepadanya.

Bagaimana anda saudara-saudara sebangsa dan setanah air, jika harus membayangkan, membuat gambaran visual yang hidup atau film video atas sikap Presiden SBY dalam menghadapi kedua peristiwa tersebut? Bisa jadi muncul suatu adegan konyol yang menggelikan. Tapi bagi saya sungguh membuat miris, karena semua itu semakin menunjukkan bahwa Presiden kita semakin kehilangan orientasi. Semakin tidak bisa membuat skala prioritas. Presiden telah mengalami disorientasi.

Sebagaimana kita pahami bersama, cita-cita kemerdekaan yang kita Proklamasikan 67 tahun yang lalu (17 Agustus 1945), dengan tegas menyatakan tujuan bernegara kita adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,  meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam pergaulan dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Pada kenyataannya, Republik Indonesia saat ini semakin menjauh dari cita-cita yang secara cemerlang dijunjung tinggi oleh para pendiri bangsa. Alih-alih menjadi semakin baik, kondisi bangsa secara obyektif justru semakin memburuk, bahkan mengarah pada negara gagal, mengarah pada kehancuran Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana diperingatkan oleh 45 Tokoh Nasional dalam memperingati Kemerdekaan setahun yang lalu, kerusakan telah melanda semua aspek dan lini kehidupan,  Dewasa ini kita sudah dilanda 7 krisis nasional, yang dari waktu ke waktu semakin meningkat skalanya. Ketujuh krisis tersebut yaitu: 1). Krisis kewibawaan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. 2).Krisis kepercayaan terhadap partai politik dominan dan parlemen. 3). Krisis efektivitas penegakkan hukum. 4). Krisis kedaulatan sumber daya alam. 5).Krisis kedaulatan pangan, yang sungguh sangat ironis,  sebagai sebuah negara agraris namun hampir semua kebutuhan komoditi pertaniannya harus diimpor. Sangat ironis sebagai negara maritim, namun kebutuhan garam dan ikan lautnya harus diimpor dari negara-negara tetangga yang garis pantai dan luas lautannya jauh lebih kecil dibanding dengan yang kita miliki. 6). Krisis pendidikan. 7).Krisis integrasi nasional.

Semua itu terjadi karena pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak efektif, lemah dan hanya mengejar pencitraan diri  ketimbang kerja nyata. Presiden telah mengalami disorientasi. Keadaan rakyat yang berjalan sekarang ini lebih karena usaha mereka sendiri dan bukan karena peran negara. Negara seperti sering ditunjukkan dalam berbagai “social unrest” yang berujung konflik-konflik fisik, tidak hadir tatkala rakyat membutuhkan bantuan  dan perlindungannya.

Pada setahun yang lalu itu pula,  45 Tokoh Nasional tersebut sebagaimana terbukti sekarang, memperkirakan krisis-krisis tadi akan semakin meningkat, rakyat semakin pesimis dan terpuruk, dan terbukti sampai-sampai mau makan tahu-tempe saja susah. Jika situasi buruk itu terus berlangsung, maka akan terlalu berisiko bagi NKRI. Meskipun menurut Konstitusi, keharusan pergantian kepemimpinan 5 tahunan perlu dipelihara, tetapi apabila Presiden SBY tidak bisa memelihara keharusan ini dengan membiarkan demoralisasi dan anomali kehidupan berbangsa dan bernegara, maka keharusan konstitusional itu otomatis gugur. Bangsa dan negara harus diselamatkan. Untuk itu perubahan adalah “conditio sine qua non”. Semakin cepat semakin baik agar ongkos politik, biaya ekonomi dan risiko sosial budaya bisa berkurang.

Para tokoh itu juga menyerukan agar DPR mengambil langkah politik untuk segera mengakhiri kekuasaan yang hanya menyandera rakyat ini. Kepemimpnan SBY sudah terbukti tidak mampu dan secara moral sudah tidak patut untuk menyelenggarakan negara dan kekuasaan pemerintahan.

Demikianlah pernyataan 45 tokoh tadi setahun yang lalu, yang saya  kutip kembali mengingat relevansinya  yang semakin kuat dengan keadaan. Keempat puluh lima tokoh tersebut antara lain Prof.K.H.Alie Yafie (ulama), Prof Bismar Siregar  (mantan Hakim Agung),  KH.Cholil Badawi (tokoh dan Pembina Dewan Dakwah Indonesia), Ketua Umum Konferensi Waligereja Indonesia Mgr.Martinus D.Situmorang, Romo Benny Susetyo, Prof.Dr.Adnan Buyung Nasution, Prof.Dr.Anwar Nasution. Hariman Siregar, B.Wiwoho, Indro Tjahjono, Mulyana W.Kusumah, Amir Daulay, Jenderal Purn Tyasno Sudarto, Letjen Purn Marinir Suharto, Murwanto, Tjuk Sukiadi, D.H.Assegah, Dr.Jamester Simarmata, Monang Siburian, K.H.Muhammad Zain, Chris Siner K.Timu, Sugeng Sarjadi, Dr.Sukardi Rinakit, Dr. Eggi Sudjana, Burzah Sarnubi, Dr.Muslim Abdurahman, Fany Habibie dll.

Semoga di bulan Ramadhan yang sekaligus juga merupakan bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ini, Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, membangunkan kesadaran bernegara serta patriotisme kita, menolong dan menyelamatkan kita bangsa Indonesia. Amin. (B.Wiwoho).

Beji, 01 Agustus 2012.