Selasa, 29 November 2016

PELUNCURAN BUKU BERTASAWUF DI ZAMAN EDAN MENANDAI TASYAKUR 93 TH PROF.K.H.ALI YAFIE.

PELUNCURAN BUKU BERTASAWUF DI ZAMAN EDAN MENANDAI TASYAKUR 93 TH PROF.K.H.ALI YAFIE.


Alhamdulillah, dengan ridho, rahmat dan berkah Gusti Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang, buku BERTASAWUF DI ZAMAN EDAN telah diluncurkan menandai tasyakuran usia Prof.K.H.Ali Yafie  93 tahun, bertempat di Telaga Sampireun, Bintaro, Selasa 22 November 2016. Meski undangan baru diedarkan hanya sekitar 4 hari sebelum acara dan pada umumnya dalam bentuk kiriman media sosial What’s Ap, sekitar 150 tamu termasuk Menteri Agama RI Lukman Hakim Saaifuddin menghadiri tasyakuran tersebut. Berikut foto-fotonya
















Sabtu, 26 November 2016

BUKU BERTASAWUF DI ZAMAN EDAN


Penerbit BukuRepublika, 410 halaman (xxxiv+376), tlp./sms 081285304767 www.bukurepublika.com atau https://islamjawa.wordpress.com atau bwiwoho.blogspot.com atau bukusahabatwiwoho.wordpress.com

BERTASAWUF DI ZAMAN EDAN



BERTASAWUF DI ZAMAN EDAN
Bertasawuf di Kancah Globalisasi
Dengan Tata Nilai Yang Jungkir Balik

Penerbit BukuRepublika, 410 halaman (xxxiv+376), tlp./sms 081285304767 www.bukurepublika.com atau http://islamjawa.wordpress.com atau bwiwoho.blogspot.com atau bukusahabatwiwoho.wordpress.com

Zaman Edan

Amenangi zaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kangeling lan waspada.

Artinya:

Mengalami hidup di zaman edan (gila)
Sungguh repot lagi serba sulit
Mau ikut edan tidak tahan (tidak bisa)
Jika tidak (mau) ikut menjalani (edan)
Tidak akan kebagian
Akhirnya kelaparan
Namun sudah (menjadi) ketetapan Allah
Sebesar apapun keberuntungan orang yang lupa (diri karena edan)
Masih lebih beruntung (bahagia) orang yang ingat (Tuhan) dan waspada.
(Pujangga Ranggawarsita, Serat Kalatida bait ke 7).

Judul buku ini BERTASAWUF DI ZAMAN EDAN, memiliki dua pengertian yang dipadukan menjadi satu. Yang pertama, bertasawuf atau menjalankan tasawuf dalam kehidupan kita sehari-hari. Yang kedua, di zaman edan, yaitu suatu zaman dimana tatanilai dalam kehidupan jungkir balik. Oleh Pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Ranggawarsita (1802 – 1873) kehidupan bermasyarakat dan bernegara di zaman edan digambarkan rusak dan sangat buruk, tiada pemimpin yang bisa dijadikan panutan, para cendekiawannya tidak memiliki jatidiri dan hanya mengejar pesona dunia. Tata nilai kebaikan dikalahkan oleh kejahatan.

Empat abad sebelumnya, ulama legendaris Sunan Kalijaga juga sudah mewaspadai akan datangnya zaman seperti itu. Padahal di kala itu, tanah Jawa masih berupa hutan belantara dengan sungai-sungai besarnya yang bisa dilayari perahu. Menurut Sunan Kalijaga, kelak akan datang suatu masa yang amat buruk, yang ditandai dengan hilangnya lubuk-lubuk di sungai-sungai (lantaran terjadi pendangkalan akibat erosi seperti sekarang ini), gaung pasar-pasar tradisional hilang, kaum lelaki kehilangan wibawa dalam rumahtangga, perempuan tak lagi punya rasa malu, orang tamak-rakus-serakah menjadi-jadi, orang jujur justru kojur (celaka).

Perihal zaman yang digambarkan kedua ulama di Tanah Jawa tersebut, guru dan orangtua kita Prof.K.H.Ali Yafie mengingatkan sudah pula diantisipasi oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw di abad ketujuh, melalui sabdanya sebagai berikut: “Nanti pada suatu masa akan tampil pemimpin-pemimpin yang menguasai harta benda kalian, mereka akan berbicara dengan kalian dan membohongi kalian, mereka bekerja tetapi pekerjaannya tercela, serta tidak akan senang pada kalian sampai kalian menganggap baik keburukannya dan membenarkan kebohongannya. Maka berikanlah kepada mereka apa maunya, dan kalau mereka itu melampaui batas maka siapa saja yang terbunuh dalam keadaan seperti itu akan mati sahid.”

Apakah suasana kehidupan kita sekarang ini sudah bisa disamakan dengan gambaran zaman edan tadi? Tentu belum sepenuhnya, namun jika tidak segera diantisipasi bukanlah tidak mungkin, sebab gejalanya sudah mengarah ke sana.

Ciri-ciri masyarakat Indonesia yang dulu diunggulkan yaitu sopan, sabar, tertib, penuh toleransi serta menghargai hak orang lain, gotongroyong, idealis, hemat dan sejumlah budi luhur lainnya ternyata tanpa kita sadari telah berubah menjadi pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis. Perubahan itu terjadi akibat serbuan Perang Semesta Global yang dilancarkan oleh para Kapitalis Global baik Kapitalis Barat maupun Utara khususnya China. Ironisnya, ditengarai sistem nilai serta struktur sosial masyarakat Indonesia tidak terkonstruksi untuk mengakomodasi, apalagi melawan, gelombang dahsyat globalisasi yang menerjang bergulung-gulung tanpa henti. Serbuan Divisi Perang Moral dengan missile-missile tata nilai hedonis dan para sekutunya tersebut apabila tidak bisa diatasi, tentu akan membawa bangsa Indonesia masuk ke dalam pusaran krisis multidimensi yang besar, berat dan kompleks.

Buku ini menggambarkan suasana kehidupan di sekitar kita sehari-hari yang sudah diwarnai oleh pragmatisme, hedonisme, individualisme, materialisme dan narsisme yang bisa merusak mental dan moral kita baik secara individu maupun koleksi sebagai bangsa, beserta tawaran solusi mengatasinya, yaitu mengikuti jalan tasawuf yang mengajarkan hidup BERSIH – SEDERHANA – MENGABDI.

Menurut Helmy A.Yafie, Sekjen Darud Dakwah wal Irsyad (DDI) yang juga putera Prof.K.H.Ali Yafie, buku ini mengajak kita untuk berefleksi dengan keadaan sekarang, yang sesungguhnya merisaukan, atau bahkan menakutkan, dan mencoba menunjukkan bahwa sebenarnya ada cara atau jalan yang bisa digunakan untuk menghadapinya, yakni apa yang disebut tasawuf. Tidak perlu menempuh cara seekstrim yang pernah ditempuh oleh para sufi zaman dahulu. Tidak perlu menjadi sufi seperti orang-orang terdahulu. Tetapi yang perlu adalah  mengikuti jalan itu, jalan tasawuf yang lebih moderat. Itulah yang dicoba diungkapkan melalui buku ini.

Sebagian besar isi buku ini merupakan hasil nyantri Penulis dengan Prof.K.H.Ali Yafie, serta dari beberapa ceramah beliau. Penulis berinteraksi secara intensif dengan Prof.Ali Yafie sejak akhir 1980an. Isi buku ini bertumpu pada pesan “hidup bersih, sederhana dan mengabdi.”

Tasawuf pada hemat Prof Ali Yafie, bagaikan Salon Kecantikan Jiwa dan juga Rumah Sakit, yang memberikan kiat-kiat pembinaan agar manusia bisa hidup BSM yakni bersih, sederhana dan mengabdi.

Demi hidup sesuai jalan tasawuf, salah seorang mursyid penulis yang lain yakni Buya K.H.Endang Bukhari Ukhasyah, mengajak kita meneladani kehidupan sehari-hari Kanjeng Nabi Muhammad Saw, yang senantiasa berada di tengah dan bersama umatnya dalam suka dan duka. Dengan cara yang seperti itulah beliau bermakrifat, dan bukan dengan hidup menyendiri di tempat sunyi.

Tasawuf adalah jalan kehidupan yang dilandasi kebulatan hati pada Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang seluruh jiwa raga dan kehidupan kita senantiasa dalam genggaman-Nya, yang dilakukan dengan tekun ibadah dalam arti yang luas, serta tidak cenderung pada kemewahan.

Di dalam jalan tasawuf memang dikenal ada berbagai ajaran antara lain zuhud, yaitu kondisi mental yang dalam membulatkan hati serta tekun ibadah kepada Allah, tidak terpengaruh oleh harta benda dan pesona dunia.  Namun demikian Buya Hamka menegaskan, itu tidak berarti tidak mau sama sekali memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat dunia; karena yang seperti itu adalah zuhud yang melemahkan, dan itu bukanlah ajaran Islam. Semangat Islam menurut beliau ialah semangat berjuang. Semangat berkurban, bekerja dan bukan bermalas-malasan, lemah paruh dan melempem.

Atas buku ini, sahabat penulis, wartawan senior Parni Hadi menyatakan, bertasawuf di Zaman Edan (Globalisasi) ini wajib hukumnya. Laku hidup BSM (Bersih, Sederhana, Mengabdi) ala Prof.KH. Ali Yafie bisa menjadi tuntunan. Karena itu perlu dibaca siapa pun yang gandrung kedamaian bathin. Sementara itu Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Prof.Dr.Muhammadiyah Amin M.Ag menilai, buku ini mengemas, mengulas, dan menghadirkan potret sosial berupa fragmen-fragmen kehidupan masyarakat yang dijumpai sehari-hari di sekitar kita, serta mengajak pembaca agar mengambil makna, hikmah, pelajaran dan perbandingan dari pengalaman hidup sendiri dan orang lain.

Meski bicara perihal tasawuf, buku ini hanyalah torehan pengalaman kehidupan yang dijumpai penulis, baik yang dialami sendiri secara langsung maupun dialami oang lain di sekitarnya. Dengan mengingat petuah, pengalaman adalah guru yang terbaik, maka dengan bimbingan guru sekaligus orangtua kita, Puang atau mbah atau Eyang Kyai Ali Yafie, penulis memberanikan diri menuangkannya secara tertulis. Sudah barang tentu tiada gading nan tak retak, dan bila itu terjadi, adalah lantaran kesalahan penulis sendiri, bukan orang lain dan pihak lain. Sebaliknya jika ada manfaatnya bagi pembaca, itu adalah karena hikmah dan hidayah-Nya. Oleh sebab itu kami  mohon maaf.

Subhanallah walhamdulillah walailahaillallah wallahuakbar.



Link Media Online Berita Buku “Bertasawuf di Zaman Edan”
http://bukurepublika.id/products/detail/281/Bertasawuf-di-Zaman-Edan