Jumat, 02 November 2012

PRESIDEN SBY TELAH MENJADI "KSATRIA LONDO IRENG".


Pada akhir 2006 sejumlah tokoh masyarakat menemui Pimpinan DPR-RI, menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah tidak mampu memimpin, dan membiarkan negara seperti tanpa Pemimpin, dengan posisi berada di tubir jurang negara gagal. Kemarin (Kamis 1/11.12) koran Seputar Indonesia menurunkan laporan satu halaman penuh dengan judul besar "Negara Seperti Tanpa Pemimpin", ditambah sub judul "Negara Penuh Konflik". Koran tersebut membeberkan  fakta-fakta konflik di segenap lini masyarakat dan lembaga negara serta daerah.

Dalam pertemuan di DPR tahun 2006 itu kami mengemukakan, di masyarakat sudah terjadi situasi social distrust yang menyulut social unrest. Karena itu DPR diminta mulai memproses pencabutan mandat SBY, sedangkan kepada SBY dihimbau secara ksatria "lempar handuk" saja, alias menyerah mengundurkan diri baik-baik.

Menanggapi himbauan dan gerakan tadi, sejumlah elit khususnya yang berada di sekitar SBY, menuduh kami (ulama, Jenderal TNI Purn dan aktivis senior) yang sebagian besar berusia di atas 70 tahun bahkan ada yang 80, masih berambisi kekuasaan serta meledek agar kami diam di rumah momong cucu-cucu saja. Mereka yang pada umumnya berusia muda, juga menantang agar kami bertarung saja dalam Pemilu dengan membentuk Partai Politik.

Padahal semenjak awal Reformasi, kami memang tidak berminat terjun menjadi politisi partisan, lebih-lebih setelah melihat sistem ketatanegaraan yang menjadi amburadul antara lain karena: (1) Amandemen-amandemen UUD 45 yang kebablasan dan manipulatif. (2) keluarnya berbagai UU yang "menggelar karpet merah" bagi kembalinya penjajahan oleh kapitalisme global yang sangat merugikan rakyat dan tanah air Indonesia. (3). Demokrasi yang telah dibajak oleh "Dwifungsi Gaya Baru": pengusaha-penguasa, yang kemudian hanya dijadikan sebagai demokrasi prosedural. Karena itu kami memang hanya berniat menjadi gerakan moral, yang secara istiqomah, konsisten memberikan peringatan-peringatan.

Demikianlah, konflik-konflik sosial yang amat sangat sadis dan keji yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, khususnya yang berlatar belakang SARA dan kesenjangan sosial ekonomi selama seminggu terakhir ini, yang membara dari Barat (Tapanuli), Lampung, Poso sampai ke Adonara - Flores (Timur), telah membuat bulu roma kita merinding dan menusuk kedamaian nurani manusia-manusia normal yang waras. Pada saat yang bersamaan di Malaysia beredar iklan yang menjual dengan diskon pembantu (baca: budak) Indonesia. Sebuah penghinaan yang luar biasa.

Sementara ribuan rakyatnya mengungsi ketakutan dalam penderitaan yang amat sangat, dan saudara serumpun menghina negerinya, Presiden SBY yang dianggap oleh sebagian masyarakat Jawa sebagai " Satria Piningit" bertolak ke London untuk menerima bintang penghargaan dari Kerajaan Inggris "Knight Grand Cross in the Order of Bath", yang jika diterjemahkan bebas, mudah menimbulkan salah pengertian.

Mengapa SBY tega menerimanya (melakukannya). Apakah ia memang sungguh-sungguh tidak mampu memahami perasaan rakyatnya, ataukah ia memang sungguh-sungguh seperti apa kata Bung Karno, yaitu menjadi komprador, menjadi kaki tangan asing untuk memecahbelah dan menghancurkan bangsanya, sehingga berhak dan pantas menerima bintang penghargaan tersebut. Kini SBY telah bukan lagi "Satria Piningit" melainkan "Kstaria Londo Ireng". Naudzubillah. (02/11.12).