Senin, 23 Januari 2017

Tasawuf di Kancah Pragmatisme dan Hedonisme Masyarakat






   

Tasawuf di Kancah Pragmatisme dan Hedonisme Masyarakat
 
Zaman Edan.
Amenangi zaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada.

Artinya:

Mengalami hidup di zaman edan (gila)
Sungguh repot lagi serba sulit
Mau ikut edan tidak tahan (tidak bisa)
Jika tidak (mau) ikut menjalani (edan)
Tidak akan kebagian
Akhirnya kelaparan
Namun sudah (menjadi) ketetapan Allah
Sebesar apa pun keberuntungan orang yang lupa (diri karena edan)
Masih lebih beruntung (bahagia) orang yang ingat (Tuhan) dan waspada.
(Pujangga Ranggawarsita, Serat Kalatida bait ke 7).

Bismillahirrahmanirrahim,
Shalawat dan salam bagi Junjungan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat dan pengikutnya.
     Bagaimana kehidupan individu-individu dan komunitas masyarakat Indonesia sekarang, khususnya yang beragama Islam? Apakah benar kita masih patut disebut sebagai bangsa yang santun, ramah, sabar, rendah hati, hemat, menghargai idealisme, senang bergotongroyong membantu sesamanya dan menjaga tali silaturahmi? Yang islami, yang iklhas, tawadhu, tawakal dan seimbang dalam mengelola kepentingan dunia dan akhirat?
Marilah kita belajar dari kehidupan. Lihatlah gambaran keadaan di tempat-tempat umum, di mana individu-individu berinteraksi dalam suatu komunitas. Banyak gambaran kehidupan sehari-hari yang bisa dijadikan pelajaran. Ambil saja satu contoh yaitu jalanan. Perhatikan mulai dari baliho, poster dan pamflet narsis dari para elit baik tingkat kelurahan, kabupaten, propinsi sampai dengan nasional. Di pasang di mana-mana seenaknya, dipaku menyakiti serta merusak pepohonan, mengotori tembok dan jembatan, melintang sembarangan mengganggu jarak pandang pengemudi. Belum lagi isinya, pamer, membanggakan diri dan mengumbar seribu janji: ujub, riya dan mengobral amanah. Penyakit-penyakit hati yang ditakuti oleh umat Islam, yang merupakan umat mayoritas di Indonesia. Naudzubillah.
Selanjutnya amati perilaku pengemudi kendaraan bermotor dan suasana jalanannya.Trotoar untuk rakyat kecil pejalan kaki, tersita habis oleh keserakahan pemilik toko dan para pedagang, sehingga rakyat khususnya yang tak mampu harus berjalan ekstra hati-hati. Sementara banyak kendaraan yang main serobot mengambil jalan atau hak pengendara lainnya. Ada yang jalan seenaknya tak peduli menganggu pengendara di belakang dan sekitarnya, karena sambil menelpon atau memainkan telpon genggam. Ada pula yang melaju sembari membuang sampah di jalanan.
Bagaimana angkutan umum? Banyak yang berhenti mendadak seenaknya. Juga banyak yang ngetem, berhenti menunggu-menaikkan-menurunkan penumpang di tempat-tempat yang terpampang larangan berhenti. Namun demikian, hati-hati bila timbul masalah di perjalanan. Meskipun anda benar, tidak serta merta anda bisa menagih hak berlalulintas anda, salah-salah bisa berujung pada perkelahian yang berbuntut penyesalan. Naudzubillah.
Sungguh, ciri-ciri masyarakat Indonesia yang dulu diunggulkan yaitu sopan, sabar, tertib, penuh toleransi serta menghargai hak orang lain, gotongroyong, idealis, hemat dan sejumlah budi luhur lainnya, ternyata tanpa kita sadari telah berubah menjadi pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis.
Jika kita pelajari sejarah strategi pembangunan, awal pergeseran tata nilai budi luhur tersebut, dimulai pada awal Orde Baru tahun 1967, dengan digantinya secara dramatis filosofi pembangunan yang menganut faham ideologi secara ekstrim dan emosional, menjadi faham pragmatisme yang fokus pada hal-hal yang bisa membuahkan hasil nyata. Tak pelak lagi, pragmatisme telah menghasilkan perilaku “tujuan menghalalkan cara,” karena yang terpenting itu hasil dan bukan caranya. Sungguh bagai ciri-ciri “Zaman Edan”, yang tidak ikut edan tak kebagian.
Pragmatisme mengubah tata nilai idealis menjadi tata nilai yang materialis. Karena itu tidak mengherankan, bila dalam suatu pertemuan kekerabatan, tidak jarang topik pembicaraan banyak berkisar pada soal rumah, villa, kendaraan dan sejumlah masalah pesona dunia lainnya, yang di masa lalu dianggap tabu. Sungguh memprihatinkan. 

Indonesia Sebagai Pasar
Dengan Individu yang
Konsumtif.

Namun demikian kita tidak perlu cepat kecil hati. Karena masyarakat yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis tersebut ternyata bukan hanya monopoli Indonesia saja, tapi juga masyarakat dunia pada umumnya dewasa ini.
Tanpa kita sadari, kita telah menjadi bagian dari Masyarakat Tata Dunia Baru yang dibentuk oleh Kapitalisme Global, baik dari Kapitalis Barat maupun Utara khususnya China, dengan Divisi-Divisi Perang Semestanya, terutama Divisi-Divisi Perang Asymetris atau non militer.
Beberapa tahun sebelum Indonesia menggelorakan faham pragmatisme, seorang filsuf Jerman , Herbert Marcuse, telah menerbitkan buku yang amat terkenal yang berjudul One Dimensional Man, Manusia Satu Dimensi, untuk menggambarkan perkembangan dari “kapitalisme lanjut” yang akan melancarkan perang dalam bentuk non militer (sekarang terkenal dengan sebutan perang asymetris), dengan mendendangkan musik jiwa yang dahsyat, yang menggalang alam pikiran manusia agar terpadu secara total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia dengan kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir.
Alunan musik jiwa itu ternyata segera terbukti menerjang bergulung-gulung berupa Gelombang Globalisasi, bak Perang Semesta, yaitu perang yang tergolong paling dahsyat, baik dalam bentuk perang asymetris (non militer) maupun Perang Militer yang konvensional (http:// bwiwoho.blogspot.co.id/2014/02/kapitalisme-global-kekuatan-perang.html).
Gambaran tentang masyarakat yang memuja pesona dunia bagi umat Islam, sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, sebab jauh sebelumnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sudah pernah memperingatkan akan datangnya hal itu.
Syahdan seusai Perang Badar yang heroik, Rasulullah meluruskan anggapan para sahabatnya yang menyatakan Perang Badar sebagai perang besar yang menghasilkan kemenangan dari segala kemenangan. Menurut beliau, kembali dari Perang Badar itu adalah kembali dari perang yang sekecil-kecilnya.”Kita ini kembali dari peperangan yang pal-ing kecil, menuju peperangan yang lebih besar, yaitu peperangan melawan hawa nafsu.” Seorang sahabat bertanya, perang apa yang paling utama. Baginda Rasul menjawab, “Engkau perangi hawa nafsumu.” Abu Daud meriwayatkan sabda beliau, “Bukanlah orang yang gagah berani itu lantaran dia cepat melompati musuhnya di dalam pertempuran, tetapi orang yang berani ialah yang bisa menahan dirinya dari kemarahan.”
Demikianlah, Perang Semesta yang menyertai Gelombang Globalisasi-II di akhir paruh abad 20, merupakan perang moderen terdahsyat, yang bukan lagi ditentukan oleh benteng-benteng batu nan kokoh dan meriam, melainkan perang dalam segala bentuk, khususnya perang budaya dan gaya hidup yang mampu menembus masuk ke ruang-ruang pribadi di dalam rumahtangga setiap penduduk dunia.
Demi memenangkan peperangannya, para Kapitalis Global, baik Barat maupun Utara yang pada umumnya non-muslim,  terus berusaha menggelorakan pesona gaya hidup beserta produk-produk konsumtifnya, dengan akibat di samping kerusakan tata nilai budi luhur dan  keagamaan, juga terkurasnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup. Masyarakat luas hanya dijadikan sebagai pasar dengan individu-individunya yang konsumtif.
Sebagai masyarakat yang sedang mabok dalam alunan musik jiwa yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis, kini kita mulai berubah menjadi masyarakat yang sangat egois, yang memuja diri sendiri, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya agar bisa “berkuasa dan kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.” Hidup kita menjadi boros, keras lagi mementingkan diri sendiri. Menjadikan kesalehan hanya sekedar sebagai formalitas. Pedoman hidup halal dan thoyib menjadi kabur.
Pola hidup masyarakat sedang berkembang pesat ke pola hidup yang sangat konsumtif berlebihan, serba mewah dan gemerlap, sehingga menjadikan negeri kita senantiasa defisit dalam neraca pembiayan dan perdagangan luar negerinya. Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor. Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik semen, rokok dan toko-toko kelontong serta bahan pokok di pedesaan, juga dikuasai oleh modal asing atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di sekitarnya tetap miskin.
Karena kita tidak mungkin menghindar dari percaturan global, maka dengan memahami Perang Semesta Global, kita bisa menarik kesimpulan,  gempuran perang asymetris dengan alunan musik jiwanya masih akan terus berlangsung; sehingga agar kita bisa tetap eksis bertahan sebagai umat Islam sekaligus sebagai negara bangsa , kita harus membuat antisipasi yang memadai. Jika tidak, maka kita hanya akan menjadi kuli bagi bangsa-bangsa lain (dijajah dalam berbagai bentuk) atau kuli di negara lain (buruh di negara lain – Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri).

Tasawuf & Revolusi Mental 

Tata nilai kehidupan yang dibentuk oleh Kapitalisme Global tersebut, jika tidak segera dihentikan dan direvolusi, sudah pasti akan segera menghancurkan diri kita sendiri, bahkan meluluhlantakkan Indonesia sebagai negara bangsa. Hal itu sangat dimungkinkan sejalan dengan kekuatiran Prof.Dr.M.Sahari Besari, yang menyatakan sistem nilai serta struktur sosial masyarakat Indonesia ternyata tidak terkonstruksi untuk mengakomodasi, apalagi melawan, gelombang dahsyat globalisasi yang datang tanpa henti. (Teknologi di Nusantara, 40 Abad Hambatan Inovasi, M.Sahari Besari, Penerbit Salemba Teknika 2008, halaman 1).
Perubahan total atas tata nilai hedonis dan lain-lainnya tadi, apakah disebut sebagai Revolusi Mental, Revolusi Moral atau yang lain, sungguh sudah merupakan keharusan yang mendesak. Karena tata nilai hedonis dan sekutunya tersebut, pada hakikatnya adalah krisis moral yang akan  membawa bangsa Indonesia dan umat Islam masuk ke dalam pusaran krisis multidimensi yang besar, berat dan kompleks.
Demi menjadi bangsa dan umat yang besar, kuat, jaya dan makmur sejahtera di kancah globalisasi, baik secara individu maupun secara kolektif, kita harus mampu merevolusi mental dan moral yang merusak tadi, serta membangun kembali jatidirinya yang mulia, selaku insan kamil yang senantiasa jujur dan apa adanya, tahu diri, tahu menempatkan diri dan tahu membawa diri, yang hidup dengan prinsip-prinsip kehidupan yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu BSM : “Bersih – Sederhana – Mengabdi”. Tasawuf tidak berarti harus hidup menyepi, tinggal di gunung, gua dan tempat-tempat sunyi dengan mengenakan pakaian amat sederhana dan makan seadanya. Tasawuf adalah jalan kehidupan yang dilandasi pada kebulatan hati pada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dilakukan dengan tekun ibadah dalam arti yang luas dan tidak cenderung pada kemewahan. Itulah BSM yang akan banyak dikupas dalam buku ini.
Dengan BSM maka segala macam aktivitas yang kita lakukan harus dimulai dengan kebersihan jiwa, kebersihan hati dan niat, dikembangkan dalam pola kehidupan serta perilaku kesederhanaan, dengan sasaran pengabdian kepada masyarakat banyak, kepada kemaslahatan umum dan bukan untuk kesenangan diri sendiri. Pola hidup BSM yang sudah pernah dicanangkan oleh Yayasan Amanah Umat, Jakarta dan dibacakan oleh Ketua Dewan Pembinanya Prof.K.H.Ali Yafie 12 Oktober 2005, harus dikembangkan menjadi moral ekonomi, politik, hukum dan terus dikembangkan ke sektor-sektor kehidupan lainnya terutama dalam kebudayaan.
Dalam budaya ekonomi, kita harus bisa mengobarkan perang terhadap sikap hidup yang konsumtif dan boros, dengan membudayakan sikap hidup hemat, sederhana dan menabung. Kita harus teguh memperjuangkan terwujudnya rahmatan lil alamin dengan menggalang etos dan budaya industri secara hakikat dalam makna yang luas yakni pola pikir, sikap hidup dan perilaku untuk mendayagunakan sumber daya alam, ketrampilan, peralatan dan ketekunan kerja dalam suatu mata rantai produksi yang luas, berkesinambungan serta mengutamakan nilai tambah, dan bukan dalam arti sempit sebagaimana kita kenal selama ini, yang dibatasi hanya semata-mata sebagai suatu proses pabrikasi.
Etos dan budaya industri serta semangat mengabdi pada rakyat dan komunitas, yang produktif berkesinambungan, mendayagunakan keunggulan lokal, yang melestarikan eko sistem dan melakukan konservasi itu harus dikembangkan dalam sistem kebersamaan dan kekeluargaan yang kita kenal sebagai gotongroyong, sehingga mampu menggetarkan setiap pori-pori kehidupan anak bangsa dan umat.
Dalam rangka Revolusi Mental dan Moral dengan prinsip-prinsip kehidupan yang sesuai dengan ajaran tasawuf, maka para pemimpin umat, pemimpin negara, pemimpin pemerintahan dengan segenap aparat birokrasi, penegak hukum, TNI – Polri serta para elite nasional tingkat pusat dan daerah harus terlebih dahulu merevolusi mental dan moralnya sendiri, serta menjadikan dirinya sebagai suri tauladan. Revolusi Mental dan Moral harus menggelinding bagaikan bola salju yang makin lama makin besar, dengan para pemimpin sebagai intinya. Revolusi Mental dan Moral harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan cara berfikir serta moralitas pemimpin masyarakat atau pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya para ulama dan umara.
Para tokoh masyarakat harus bangkit menghidupkan kembali budaya serta kearifan-kearifan lokal suku-suku bangsa di Nusantara yang hidup rukun, damai, penuh toleransi, gotongroyong dan unggul dalam seni dan ketrampilan. Para ulama khususnya ulama muslim harus bisa membumikan ajaran dan kesalehan formal umatnya dalam berbagai kegiatan dan perilaku amal saleh.
Apabila para pemimpin dan rakyat bisa sama-sama hidup BSM: bersih – sederhana dan mengabdi, niscaya solidaritas sosial dan saling kepercayaan yang kini kian menipis, bisa digalang kembali. Sejarah di berbagai belahan bumi telah mengajarkan, para pemimpin yang hebat adalah mereka yang senasib sepenanggungan dengan rakyat serta bisa menghayati penderitaan rakyatnya. Jangan sampai misalkan kepada umat, anak buah dan masyarakat diminta hidup hemat dan pesta sederhana, sementara pemimpinnya berpesta pora hidup bergelimang kemewahan. Jangan sampai bersemboyan sebagai abdi masyarakat, namun dalam praktek kesaharian kita minta dilayani dan memeras masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum, di bidang usaha saja, boro-boro dilayani dengan baik, belum apa-apa, baru mengurus ijin usaha saja sudah dikenai berbagai pungutan. Padahal usahanya belum berjalan dan belum tentu memperoleh keuntungan, bahkan mungkin bisa bangkrut.
Para ulama dan pemimpin yang menghayati penderitaan rakyat dan visioner, akan dengan mudah membangkitkan harapan rakyat atas masa depan yang gemilang di kancah perang dan kompetisi global yang tak mungkin dihindari. Ulama dan pemimpin-pemimpin yang seperti itu, yang pola hidupnya bersih-sederhana-mengabdi, akan dengan mudah menggalang dukungan serta mengajak umat dan rakyatnya bersama-sama mengatasi “Zaman Edan”, mewujudkan masa depan nan gemilang.
Tetapi jangan lupa, Pemimpin itu sesungguhnya bukan hanya Presiden, Gubernur dan Bupati, melainkan kita semua, sebagaimana Sabda Kanjeng Nabi Muhammad Saw., “Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang karyawan (juga pelayan) bertanggungjawab atas harta perusahaan (majikan). Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (Hadis Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, marilah kita bangun kepedulian dan kebersamaan kita sebagai bangsa dengan jalan mempraktekkan pola hidup BSM. Pola hidup BSM akan membuat perekonomian Indonesia bergeser dari perekonomian yang konsumtif menjadi perekonomian yang produktif. Korupsi yang lebih berbahaya dan lebih jahat dibanding terorisme akan dapat diberantas. Ekonomi berbiaya tinggi akan dapat ditekan, sehingga daya saing In-donesia menjadi bagus. Devisa kita akan bisa banyak dihemat dan dihimpun. Lapangan kerja akan banyak tersedia karena sektor produksi tumbuh bagaikan pohon industri yang menjulang tinggi, berdahan dan berbuah lebat serta kokoh subur tertanam dalam alam Nusantara yang sesuai.
Pengangguran ditekan sekecil mungkin, sumber daya alam terkelola dengan baik dan tidak dieksploitasi secara sembarangan. Lingkungan hidup terjaga dan terpelihara, pertumbuhan sosial ekonomi akan merata ke segenap pelosok tanah air, kesenjangan sosial terjembatani, keadilan sosial dapat ditegakkan, keamanan dan ketertiban umum terpelihara baik lagi terkendali. Ekonomi rakyat, ekonomi umat dengan demikian pasti akan tumbuh dalam kehidupan masyarakat Nusantara Raya, negeri maritim di zamrud khatulistiwa, yang aman tenteram, adil makmur, sejahtera jaya sentosa. Allahumma aamiin. (Dari buku Bertasawuf di Zaman Edan, penerbit BukuRepublika, telp 081285304767)

Jumat, 13 Januari 2017

Pembauran, Bahaya Dominasi Minoritas dan Kesenjangan Sosial Ekonomi : Catatan Kritis 25 th Bergulat dalam Pembauran.






      

LAMBAT ATAU CEPAT DOMINASI AKAN MEMBANGKITKAN PERLAWANAN.
 
Masalah kesenjangan sosial ekonomi di Indonesia, nampaknya dalam waktu dekat belum akan reda, apalagi teratasi. Jika pada tahun 1990-an indeks kesenjangan yang dikenal sebagai gini ratio itu ada di sekitar angka 0,3 sampai 0,33 kini semakin memburuk menjadi di atas 0,43. Pada akhir dasa warsa 1980-an sampai awal 1990-an, sentimen rasial akibat kesenjangan tersebut sangat terasa, sehingga berbagai upaya untuk mengatasinya gencar dilakukan oleh Pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat ada periode itu misalkan, Presiden Soeharto menggariskan kebijakan delapan jalur pemerataan, serta beberapa kali mengadakan pertemuan dengan para konglomerat keturunan Cina, yang kemudian dikenal sebagai pertemuan Tapos. Juga dilancarkan kebijakan untuk menggunakan sekitar 5% keuntungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) buat membantu pengembangan usaha kecil dan koperasi, kebijakan bapak angkat dengan anak angkat di bidang usaha serta tambahan pungutan terhadap wajib pajak menengah atas untuk masyarakat tidak mampu.

Di kalangan masyarakat, Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dimotori oleh Wakil Ketua Umum, Lukman Harun, merangkul sejumlah tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa dan tokoh pembauran antara lain Junus Jahja, menyelenggarakan berbagai dialog dan kerjasama dengan pengusaha-pengusaha ke- turunan Cina, untuk bersama-sama mencari jalan keluar demi mewujudkan persatuan dan kehidupan berbangsa serta bernegara yang aman, tenteram, damai sejahtera. 

Rangkaian pertemuan tersebut mengilhami sejumlah tokoh dari NU, Muhammadiyah, Al – Wasliyah, HMI, KAHMI, Al. Irsyad dan LSM untuk kemudian pada tanggal 9 April 1991 mendirikan Yayasan Haji Karim Oei Tjeng Hien, yang selanjutnya disingkat Yayasan Karim Oei atau YHKO, sebuah nama yang kental dengan nuansa Islam, Indonesia dan Cina sekaligus. Ini sejalan dengan alasan utama pendirian, yakni mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa melalui pembauran bisnis dan agama, terutama agama mayoritas masyarakat yaitu Islam. Para pendiri meyakini, memperkuat kehidupan sosial ekonomi masyarakat pribumi juga harus dilaksanakan secara sistemis dan keberpihakan yang nyata, kuat tapi sehat, karena pribumi yang kuat akan menjadi kunci utama bagi pembauran. Three in One (3 in 1), tiga dalam satu wadah, satu gerakan, satu perjuangan. Begitu kami sering menyebutnya.

Tak terasa, kini sudah 25 (dua puluh lima) tahun usia YHKO. Banyak dari 20 pendiri dan perintisnya yang kini sudah almarhum, uzur atau sepuh, dan hanya sekitar 3 sampai 7 orang saja yang masih aktif. Demikian pula para sahabat pendukung termasuk para pejabat tinggi negara. 

Alhamdulillah selama 25 tahun, telah banyak kegiatan yang dilaksanakan dan lebih dari seribu lima ratus orang yang sudah kita bantu memeluk agama Islam. Pelbagai kegiatan yang terkait dengan 3 in 1 tadi, baik yang berskala lokal atau internal, nasional maupun internasional telah kami selenggarakan, secara sendiri atau pun bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain. YHKO telah dan akan selalu memperjuangkan agar bisa menjadi rumah yang indah lagi nyaman bagi segenap anak bangsa, terutama bagi WNI keturunan Cina, dan lebih khusus agar menjadi muslimin dan muslimat yang taat, nasionalis sejati yang sukses dalam kehidupan sosial ekonominya.

ASING – ASENG MEREBAK KEMBALI. 

Bersamaan dengan kelahiran YHKO, tata kehidupan dunia juga mengalami perubahan yang semakin mencolok. Semenjak akhir abad ke 20, sebagai dampak berpadunya kekuatan modal dengan kemajuan ilmu-teknologi yang super canggih, terjadi Gelombang Globalisasi yang mengumandangkan musik jiwa yang menggalang alam pikiran manusia, untuk terpadu secara total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia melalui kebutuhan- kebutuhan palsu yang menyihir.

Dimensi rasionalitas yang ditata dalam tiga sistem utama yakni sistem pasar bebas, sistem sosial politik demokratis yang individualis dan sistem sosial budaya yang lepas bebas, sudah mulai kita rasakan dampaknya dengan berkembangnya sikap dan gaya hidup masyarakat yang hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan narsis.

Musik jiwa dimensi rasionalitas dengan 3 (tiga) paket sistem utama tersebut, menyerbu secara dahsyat negara-negara bangsa, diantaranya menggempur secara langsung peradaban sesuatu bangsa termasuk Indonesia, terutama pada aspek nasionalisme, sosial budaya, kearifan lokal, adat dan tradisi, agama serta spiritualisme. Dalam hal nasionalisme, Gelombang Globalisasi berusaha melunturkan serta mendangkalkan nilai dan semangat nasionalisme sesuatu bangsa atau negara, mengobarkan separatisme dan disintegrasi, memecah-belah, menghancurkan militansi rakyat, menciptakan kesenjangan sosial ekonomi serta menyuburkan konflik horizontal dan vertikal. 

Dalam aspek sosial budaya, Gelombang Globalisasi menggelora- kan sex bebas dan sex sejenis dengan apa yang sekarang kita kenal sebagai LGBT (Lesbian, Gay, Bisex dan Transexual), mengobarkan budaya hidup yang hedonistis-individualistis, pragamatis-mate- rialitis dan narsis, merusak dan menghancurkan bangunan tata nilai keluarga – kebersamaan – gotong-royong, merusak serta meng- hancurkan moral masyarakat, kebudayaan, adat, tradisi dan ke- arifan lokal, 

Dalam aspek agama dan spiritualisme, Gelombang Globalisasi mendangkalkan dan menghancurkan nilai-nilai moral spiritual dan kesalehan yang hakiki, melibas tradisi dan kearifan lokal yang memperkuat spiritualisme dan agama, menciptakan dan mengembangkan aliran-aliran sesat, mengembangkan sekularisme dan secara khusus melakukan deislamisasi terhadap pemeluk agama terbesar dan militan ini.

Gempuran dahsyat tersebut kini sudah bisa kita lihat pada pola pikir, perilaku, gaya hidup dan bahkan peradaban masyarakat. Nampak jelas, masyarakat Indonesia kini sedang mabok dalam alunan musik jiwa yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis. Kita mulai berubah menjadi masyarakat yang sangat egois, yang memuja diri sendiri, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya agar bisa “berkuasa dan kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.” Hidup kita menjadi boros, keras lagi mementingkan diri sendiri. Menjadikan kesalehan hanya sekedar sebagai formalitas.

Pola hidup masyarakat sedang berkembang pesat ke pola hidup yang sangat konsumtif berlebihan, serba mewah dan gemerlap, sehingga menjadikan negeri kita senantiasa defisit dalam neraca pembiayan dan perdagangan luar negerinya. Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor. Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik semen, rokok dan toko-toko kelontong dan bahan pokok, juga dikuasai oleh modal asing atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di sekitarnya tetap miskin.

Tak pelak lagi, kesenjangan sosial ekonomi kembali merebak bahkan semakin melebar, sebagaimana ditunjukkan oleh indeks kesenjangan di atas tadi, yang mendekati tanda bahaya. Suhariyanto, Deputi Bidang Neraca dan Analisa Statistik BPS, dalam diskusi dengan para pemimpin redaksi media massa April 2014 menjelas- kan, angka ketimpangan sosial ekonomi Indonesia saat ini ter- cermin secara nyata dalam gini ratio Indonesia yang tidak membaik sejak 2011 silam, yang berada di level 0,41.

Rasio gini berada di angka 0 hingga 1, yang dalam pengertian awam mencerminkan seberapa besar porsi orang kaya menikmati kue ekonomi nasional. Semakin besar gini rasio, semakin besar tingkat ketimpangan.

Gini rasio hingga 0,3 dianggap masih aman, tetapi 0,4 hingga 0,6 sudah dianggap lampu kuning, sedangkan lebih dari 0,6 adalah rasio yang berbahaya, yang menunjukkan ketimpangan sosial ekonomi tak lagi bisa ditoleransi. Kondisi gini rasio yang masih relatif “hijau” terjadi hingga tahun 2010, di mana posisinya masih di angka 0,38. Di era Orde Baru, gini rasio berkisar 0,31-0,38.
Data BPS juga mengindikasikan kondisi ketimpangan sosial ekonomi yang makin melebar, jika dikonfrontasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5%-6% dalam beberapa tahun terakhir. Kelompok kaya lebih mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Pada 2008, 40% penduduk di kelompok pendapatan terendah masih menikmati PDB antara 21%- 23%. Namun porsi itu anjlok menjadi hanya 16% pada 2012. 

Sebaliknya, 20% penduduk terkaya, yang pada 2008 sudah menikmati 40% produk domestik bruto atau kue ekonomi nasional, melonjak menjadi penikmat 49% kue ekonomi nasional pada 2012.
Ini terjadi, karena dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi 6%, penduduk miskin hanya menikmati kenaikan pendapatan maksimal 2% per tahun. Sebaliknya penduduk terkaya menikmati kenaikan pendapatan hingga 8%. Artinya kenaikan pendapatan penduduk yang kaya melonjak signifikan, sedangkan penduduk miskin meski pendapatannya naik tetapi tidak besar. (http://finansial.bisnis.com/ read/20140419/9/220506/kesenjangan-kaya-miskin-vs-indeks-kebahagiaan-biar- timpang-asal-bahagia).  Kesenjangan tersebut semakin mengkuatirkan jika kita menyimak laporan World Bank (Harian Kompas 8 Desember 2015) yang menyatakan 1% keluarga terkaya di Indonesia menguasai 50,3% kekayaan nasional. Ini berarti  sebagian besar yaitu 99% keluarga Indonesia berebut kue nasional yang 49.7% . (catatan tambahan per Januari 2017).

Ironisnya, di negeri kita tercinta Indonesia ini, yang justru memprihatinkan, kelompok-kelompok yang paling menikmati sumber daya alam dan kue pembangunan, adalah kelompok yang oleh berbagai media massa terutama media sosial yang sangat luas jaringan dan jangkauannya, dicirikan dan disebut Asing–Aseng, yang tiada lain adalah orang-orang asing dan WNI keturunan Cina, yang secara kebetulan dalam keyakinan beragama juga banyak berbeda dengan mayoritas penduduk.
Jadi berbeda dengan kaum minoritas di banyak negara lain yang hanya mengandung satu unsur minoritas misalnya suku/ras saja atau hanya agama saja, di Indonesia tidak demikian halnya. Mereka mengumpulkan dua unsur minoritas sekaligus yaitu suku/ras dan agama, sehingga dengan demikian potensi kerawanan sosialnya jauh lebih besar.

Posisi strategis Asing - Aseng khususnya WNI keturunan Cina yang non muslim pada kegiatan ekonomi, dalam praktek kehidupan adalah merupakan kekuasaan potensial dan aktual, yang selanjutnya mudah merambah ke penguasaan sumber daya alam, penguasaan media massa kemudian ke politik dan pemerintahan dan lain sebagainya, yang apabila tidak diatasi secara sistemis strategis, maka akan menjadi gurita kekuasaan yang mendominasi. Padahal dominasi hanya akan melahirkan pertentangan. Cepat atau lambat, dominasi akan membangkitkan perlawanan. 

Demi ikut mewujudkan persatuan dan keharmonisan nasional antara lain dengan mengantisipasi dan mengatasi kesenjangan sosial ekonomi yang menajam, serta dominasi kekuasaan yang berbasis ekonomi yang diwarnai dengan perbedaan SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) tersebutlah maka Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) pada tahun 1991 didirikan.

Dalam berbagai kesempatan, para pendiri YHKO disamping berusaha keras mewujudkan pembauran, juga berkeyakinan dan oleh sebab itu selalu menyatakan bahwa Indonesia harus memiliki pribumi yang kuat, karena pribumi yang kuat merupakan kunci pembauran. Untuk itu pula Pemerintah harus memiliki serta melaksanakan kebijakan strategis yang menyeluruh dan terpadu, bukan hanya bersifat tambal sulam, emosional, dan manipulatif, serta tidak pernah menyentuh persoalan utama yakni penguasaan modal yang menyebabkan peta kompetisi menjadi sangat tidak seimbang. Yang juga tidak kalah penting, adalah secara sungguh- sungguh tidak pandang bulu, memberantas KKN (Korupsi – Kolusi - Nepotisme).

KEJAYAAN & KEHANCURAN PERADABAN.

Para pendiri Yayasan Karim Oei memahami sejarah panjang dunia termasuk Indonesia, yang mengajarkan adanya siklus kejajayaan dan kehancuran nan silih berganti tanpa henti akibat bencana alam, perang dengan negara lain, perang saudara ataupun karena pergolakan-pergolakan di dalam negara bahkan juga akibat kemerosotan peradabannya. Demikian pula sejarah Nusantara.
Sejumlah peninggalan sejarah di Indonesia membuktikan pernah berlangsungnya peradaban tinggi misalkan sejumlah candi di pegunungan tinggi Dieng, candi Borobudur, puluhan candi di Prambanan dan puing-puing rerentuhan Keraton Boko, semuanya di Jawa Tengah. Sementara itu sejumlah candi serta bukti peninggalan peradaban yang sudah maju lainnya, juga terdapat di berbagai pelosok Nusantara. 

Di bidang pelayaran dan perdagangan, beberapa sumber tulisan dari Barat sebagaimana dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, Pustaka IIMaN, Trans Pustaka dan LTN PBNU, 2012, menyatakan pada tahun 70-an Masehi, cengkih dari kepulauan Maluku sudah diperdagangkan di Roma, dan semenjak abad ketiga Masehi, perahu-perahu dari kepulauan Nusantara telah menyinggahi anak benua India serta pantai timur Afrika, dan sebagian di antaranya bermigrasi ke Madagaskar.

Bukan hanya dari para pencatat perjalanan orang-orang Barat saja, kisah pelayaran tadi juga bisa ditemukan di relief Candi Borobudur. Pada tahun 2003, pengrajin kapal dari Madura telah membuktikan kehandalan perahu di relief candi tersebut, dengan membuat tiruannya, sekaligus napaktilas pelayarannya. Kapal yang dinamai “Samudraraksa” ini berlayar ke Afrika dengan selamat dan kini disimpan di Musium Kapal Samudraraksa di Borobudur. (http:// www.tempo.co/read/news/2003/07/03/05521575/Ekspedisi-Kapal-Borobudur- Dapat -Memberdayakan - Budaya dan http://setuparch.blogspot.com/2013/09/ kapal - kapal-sriwijaya.html ). Replika berikutnya diberi nama “Spirit of Majapahit”, diluncurkan menuju Jepang dari dermaga Marina, Jakarta pada 4 Juli 2010. (http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=67324).

Pencatat sejarah China anak buah Fa Hsien di akhir abad III dan awal abad IV Masehi menerangkan pula bahwa pelaut-pelaut Nusantara memiliki kapal-kapal besar yang panjangnya sekitar 200 kaki (65 meter), tinggi 20 – 30 kaki (7 – 10 meter) dan mampu dimuati 600 – 700 orang ditambah muatan seberat 10.000 hou. Sementara pada masa itu panjang jung China tidak sampai 100 kaki (30 meter) dengan tinggi kurang dari 10 – 20 kaki (3 – 7 meter). Catatan yang ditulis dalam Tu Kiu Kie ini telah dikutip oleh banyak ahli yang mempelajari sejarah agama Buddha maupun Asia Tenggara di masa lalu.

Ahli Javanologi Belanda, Van Hien tahun 1920 dalam De Javansche Geestenwereld, yang disadur secara bebas oleh Capt. R.P. Suyono dalam Dunia Mistik Orang Jawa, penerbit LkiS Yogyakarta 2007 halaman 12, menerangkan Shi Fa Hian (Fa Hsien) dalam perjalanannya pulang ke China diserang badai dan terdampar di pantai Jawa. Ia berdiam lima bulan di Jawa, menunggu selesainya pembuatan sebuah kapal besar yang sama dengan kapalnya yang rusak dihantam badai (juga Atlas Walisongo halaman 20). 

Berbagai catatan sejarah menyatakan, pada sekitar abad VII – XII Masehi, di pulau Sumatera juga berlangsung pemerintahan Kerajaan Sriwijaya yang kekuasaannya meliputi Asia Tenggara termasuk pulau Jawa. Puncak kejayaan Sriwijaya terjadi pada abad VIII. Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yangdapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. 

Surat itu dikutip dalam Al-‘Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir” Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku.” (Surat Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. http://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya, 1 Mei 2015 pukul 18.45 ).

Bukti tentang peradaban yang cukup maju lainnya ditemukan pula melalui berbagai prasasti dan kondisi lapangan, yang men- jelaskan mengenai setidaknya ada lima sistem irigasi yang tertata baik, yang dibangun pada rentang periode abad 9 sampai 14 di lembah Sungai Brantas, Jawa Timur (1000 Tahun Nusantara, Kompas 2000, hal 128). 

Pun demikian kondisi pada sekitar abad XV – XVI, tatkala para ulama gencar berdakwah ke Nusantara. Pamor Kerajaan Nusantara Majapahit yang beribukota di Trowulan, Jawa Timur, memang sedang memudar, bahkan kekuasaannya mulai runtuh. Meskipun demikian gambaran kebesaran peradabannya dicatat oleh pengembara Portugis tahun 1512 – 1515 Tome Pires dalam karyanya yang sangat terkenal dan sering menjadi sumber rujukan sejarah Asia Tenggara, Suma Oriental (dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit oleh Prof. Dr. Slamet Mulyana, Inti Idayu Press, Jakarta 1983 halaman 282, 283 dan seterusnya). Menurut Tome Pires, Sultan Malaka yang bergelar Raja Muzaffar Syah (1450 – 1458) serta puteranya yaitu Raja Mansyur Syah (1458 – 1477), sebagai raja bawahan Jawa, memiliki hubungan yang baik dengan Jawa. Bahkan untuk keperluan menunaikan ibadah haji ke Mekah, Raja Mansyur Syah memesan jung besar dari Jawa. 

Demikianlah, dari sekilas gambaran tadi kita bisa mempelajari siklus kejajayaan dan kehancuran negeri kita di masa lampau sampai menjadi negara modern Indonesia sekarang ini, yang sudah barang tentu memakan korban yang tidak sedikit. Kita tidak ingin kesenjangan sosial ekonomi yang disertai unsur-unsur SARA menerpa Indonesia yang sekarang, yang sedang mengalami ledakan penduduk menjadi sekitar 250 juta jiwa ini. Harus kita syukuri, telah banyak kemajuan dan hal-hal postif yang kita capai. Namun begitu masih banyak lagi tantangan dan ancaman di depan mata yang kita hadapi, yang semoga dengan ridho dan berkah Tuhan Yang Maha Kuasa, akan kita atasi dengan kerja keras, cepat dan tepat. 

Kenyataan yang menuntut antisipasi penanganan yang cepat dan tepat tersebut, mendorong Rapat Badan Pembina dan Pengurus Karim Oei akhir 2015 yang lalu, untuk meningkatkan sumbangsihnya dengan antara lain menerbitkan buku, yang kemudian kami beri judul : “Yayasan H Karim Oei & Masjid Lautze : RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA dan KETURUNAN TIONGHOA.”, sekaligus mensyukuri ulang tahun YHKO yang ke 25 (duapuluh lima), pada tanggal 9 April 2016.  (Pengantar buku:  Yayasan H.Karim Oei & Masjid Lautze : RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA & KETURUNAN TIONGHOA, penerbit Teplok Prees, telp 081382896969. Yayasan Karim Oei : 0216257413 dan 085717649127)