Senin, 24 November 2014

SANG GURU SEJATI, HARTATI dan ARTA DAYA : Tafsir Kidung Rumekso Ing Wengi Sunan Kalijaga (7).



Sang Guru Sejati,
Hartati dan Arta Daya

Bait 19 :

Ana kayu apurwa sawiji,
wit buwana epang keblat papat,
agodong mega rumembe,
apradapa kukuwung,
kembang lintang salaga langit,
semi andaru kilat,
woh surya lantengsu,
asirat bun lan udan,
apepucuk akasa bungkah pratiwi,
oyode bayu braja.

Artinya  :

Ada batang kayu bermula dari satu,
pohon dunia bercabang empat penjuru,
berdaun mega yang tergerai subur,
berpucuk pelangi,
berbunga bintang bertaburan di langit,
bersemi kayu kilat (petir),
berbuah matahari dan bulan,
percikan embun dan hujan,
berpucuk langit beralaskan bumi,
akarnya angin dan halilintar.

Bait 20 :

Wiwitane duk anemu candi,
gegedhongan miwah wawarangan (versi lain:wawarangkan),
sihing Hyang kabesmi kabeh,
tan ana janma kang wruh,
yen weruha purwane dadi,
candi segara wetan,
ingobar karuhun,
kayangane sang Hyang Tunggal,
sapareke kang jumeneng mung Hartati,
katon tengahing tawang.

Artinya :

Bermula tatkala menemukan candi (bangunan suci),
gedung-gedung dan pestanya (versi lain : kandang), 
kasih sayang Tuhan dibakar semua,
tiada makhluk yang tahu,
bila tahu akan lebih dulu jadi,
candi lautan timur,
berkobar lebih dulu,
kayangan (istana langit) Sang Maha Esa,
ternyata yang ada hanya karsa utama,
nampak di tengah angkasa.

Bait 21 :

Gunung Agung segara Serandil,
langit ingkang amengku buwana,
kawruhana ing artine,
gunung segara umung,
guntur sirna amangku bumi,
duk kang langit buwana,
dadya weruh iku,
mudya madyaning ngawiyat,
mangrasama ing gunung Agung sabumi, 
candi-candi segara.

Artinya :

Gunung Agung laut Serandil,
langit yang menyelimuti bumi,
pahamilah artinya,
gunung lautan gaduh,
guntur lenyap  memenuhi bumi,
tatkala langit dan bumi,
jadi ketahuilah itu,
memuja tengahnya (pusat) langit,
membangun pondok  satu negeri di gunung Agung,
candi-candi lautan.

Bait 22 :

Gunung luhure kagiri-giri,
sagara agung datanpa sama,
pan sampun kawruhan reke,
arta daya puniku,
datan kena cinakreng budi,
nanging kang sampun prapta ,
ing kuwasanipun ,
angadeg tengahing jagad,
wetan kulon lor kidul ngandhap myang nginggil,
kapurba kawisesa.

Artinya :

Gunung tinggi nan luar biasa,
laut pasang yang tiada tara,
semua sudah diketahui,
arta daya itu,
tak terbayangkan oleh akal,
namun yang sudah sampai,
pada kuasanya,
berdiri di tengah jagad,
timur barat utara selatan atas bawah, 
semua atas kuasaNya.

Bait 19 sampai 22 ini menunjukkan betapa Sunan Kalijaga sebagai penggubah kidung, memiliki pengetahuan yang luas dan perasaan yang peka terhadap alam semesta.  Karena itu ia bisa menuangkan nuansanya secara indah ke dalam kiasan-kiasan yang memiliki daya sugesti spiritual yang tinggi. Ia juga bisa bertutur tentang Gunung Agung di Bali dan segara Serandil yang ada di daerah Cilacap. Keduanya pada saat itu cukup jauh jaraknya dari daerah Pantai Utara Jawa, dan bagi penganut kepercayaan dan kebatinan, dipercaya memiliki kekuatan magis alam semesta yang dahsyat.

Ia memulai bait 19 dengan gambaran sebuah pohon keyakinan yang bersumber dari sawiji yang bisa berarti satu, tapi bisa juga berarti dari sebuah biji. Maknanya sama saja yakni berasal dari Yang Satu. Pohon keyakinan itu tumbuh subur dan menyebar ke segenap penjuru mata angin. Pohon keyakinan yang berpijak berakar kokoh di bumi, menjulang tinggi ke angkasa menembus langit.

Bait 20 sampai 22 menceritakan pencarian seorang hamba pada keyakinan terhadap yang Maha Kuasa dari waktu ke waktu. Untuk itu ia bisa meninggalkan kehidupan yang penuh pesona dunia. Tak ada yang tahu di mana istana Tuhan. Namun akhirnya ia menemukan Hartati atau karsa yang utama, yaitu daya kekuatan jiwa yang luar biasa, yang mendorong makhluk hidup  untuk berkehendak.

Hartati yang berasal sekaligus merupakan manifestasi dari Tuhan pada setiap diri manusia itu, tidak mudah diketemukan, apabila sang manusia tidak bisa menaklukan hawa nafsunya yang setinggi gunung, bergelora bak laut pasang dan menggelegar bagaikan guntur,  meskipun ia berada di dalam rumah peribadatan yang disucikan.

Manusia yang bisa memahami, menaklukkan serta mengendalikan hawa nafsunya juga akan memiliki arta daya, yaitu kebijaksanaan dan kekuatan batin yang luar biasa. Orang yang seperti itu akan berdiri kokoh di dunia, serta dihormati manusia sejagad lantaran sudah memperoleh berkah kekuasaan Yang Maha Kuasa. Arta daya akan menuntunnya di dalam kehidupan di dunia. Manusia yang seperti itu oleh para penganut tasawuf disebut sudah menguasai ilmu hikmah, dan bagi para penghayat Kejawen akan selalu dibimbing oleh Sang Guru Sejati.

Perihal Sang Guru Sejati, ada dua pendapat. Satu pendapat meyakini Sang Guru Sejati itu tiada lain adalah Gusti Allah yang bersemayam di dalam rahsa manusia. Sedangkan bagi yang lain, Sang Guru Sejati itu hanyalah utusan atau pembawa pesan Gusti Allah kepada rahsa manusia. Si pembawa pesan itu adalah malaikat atau ruh suci yang ditugasi Gusti Allah untuk menyampaikan pesan, dan bukan Gusti Allah itu sendiri. Sungguh hal-hal gaib seperti itu, sebaiknyalah kita kembalikan pada firman-Nya dalam Surat Al Israa ayat 85, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘ruh itu urusan Rab-ku, dan tidaklah kamu diberi ilmu melainkan hanya sedikit’.

Subhanallaah, maasyaa Allaah.



Sabtu, 22 November 2014

ABAD III - IV MASEHI PERAHU NUSANTARA 2 KALI LEBIH BESAR PERAHU CHINA



Catatan: Tulisan ini adalah bagian dari naskah buku penulis yang berjudul "Orang Jawa Belajar Mengenal Gusti Allah", yang sebagian sudah dimuat di blog http://islamjawa.wordpress.com dan blog http://bwiwoho.blogspot.com. Semoga bermanfaat menambah keyakinan dan semangat akan perlunya membangun kembali NusantaraRaya sebagai Negara Maritim, bukan Negara Kepulauan. Aamiin).

 

1.   Kyai Jawa Berdakwah

 

Rahman iku mencaraken eling

eling iku mencaraken makripat

makripat sihing Gusti

Gusti Kang Maha Agung

lire Agung datanpa sami

mokal yen ana madha

Gusti Maha Luhur

kang darbeni sipat jamal

sipat kahar ingkang kapama sekali

pakartine buwana.

 

Terjemahan bebasnya:

 

Rahman itu menyebarkan ingat (dalam konsteks ini ingat akan Allah)

ingat itu menyebarkan makrifat

makrifat kasih sayang Gustinya (maksudnya Gusti Allah)

Gusti yang Maha Agung

yakni Agung tanpa ada yang menyamai

mustahil bila ada yang menyamai

Gusti yang Maha Luhur

yang memiliki sifat keindahan

sifat kahar yang sangat mulia

pencipta dunia ini.

 

(Bait ke 28 dari Serat Nitiprana, tembang Dhandanggula, karangan pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Yasadipura, 1729 – 1803M, kakek dari pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita).

 

Meskipun sering risih mendengar orang-orang tua Jawa mengklaim memiliki budaya adiluhung, hati kecil saya terkadang membenarkan juga. Cobalah perhatikan bekas peninggalan Keraton Boko di Prambanan, Jawa Tengah serta ratusan candi lainnya, terutama Candi Prambanan dan Borobudur, yang merupakan bukti kejayaan sebuah peradaban pada sekitar abad ke-8 yang telah diakui dunia. Candi-candi tersebut bukan sekedar bongkahan batu. Tapi batu yang tersentuh peradaban dan teknologi yang amat sempurna. Diangkat dan disusun di daerah perbukitan. Dipahat dan diberi relief nan indah. Melebar, menjulang tinggi tak terperikan mengagumkannya. Ketinggian Candi Prambanan, mencapai 47 meter.

Bukti tentang peradaban yang cukup maju lainnya juga ditemukan melalui berbagai prasasti dan kondisi lapangan, yang menjelaskan mengenai setidaknya  lima sistem irigasi yang tertata baik, yang dibangun pada rentang periode abad 9 sampai dengan 14 di lembah Sungai Brantas, Jawa Timur.

Jejak-jejak peradaban  menunjukkan pula, pada masa Kerajaan Islam Pertama, yaitu Demak Bintoro sekitar abad 15 sampai awal abad 16, Kesultanan Demak tersebut pernah membangun armada angkatan laut dengan mega proyek galangan kapalnya di Semarang, untuk melawan Portugis yang sudah menguasai Malaka. Tidak tanggung-tanggung, mega proyek tersebut merencanakan dalam tempo lima tahun akan membangun 1000 (seribu) kapal perang masing-masing berkapasitas 400 tentara. Itu berarti sama dengan 400.000 balatentara. Kapal perang yang dibangun mengkombinasikan model jung Jawa dan Cina dengan jung Aceh, guna menghasilkan bentuk kapal yang kokoh seperti jung Jawa dan Cina tapi memiliki laju kecepatan tinggi seperti jung Aceh. Sayang sekali, baru berhasil membuat 100 kapal untuk menyerbu Portugis di Malaka, mega proyek itu dibumihanguskan oleh perang saudara.

Sungguh, lagu anak-anak “Nenek Moyangku Orang Pelaut”, bukanlah  khayalan semata. Mengenai kemampuan nenek moyang kita bangsa Nusantara pada umumnya dan orang Jawa pada khususnya dalam menguasai teknologi perkapalan, banyak fakta sejarah yang membuktikan. Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, dengan mengutip berbagai sumber tulisan dari Barat, menguraikan betapa pada tahun 70-an Masehi, cengkih dari kepulauan Maluku sudah diperdagangkan di Roma, dan semenjak abad ke-3 Masehi, perahu-perahu dari kepulauan Nusantara telah menyinggahi anak benua India serta pantai timur Afrika, dan sebagian di antaranya bermigrasi ke Madagaskar.

Bukan hanya dari para pencatat perjalanan orang-orang Barat saja, kisah pelayaran tadi juga bisa ditemukan di relief Candi Borobudur. Beberapa tahun yang lalu, ahli-ahli perkapalan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi, juga telah membuktikan kehandalan perahu di relief candi tersebut, dengan membuat tiruannya dan melayarkannya dari Bali ke Madagaskar dengan selamat.

Pencatat sejarah Cina anak buah  Fa Hsien di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 Masehi menerangkan pula bahwa pelaut-pelaut Nusantara memiliki kapal-kapal besar yang panjangnya 200 kaki ( 65  meter), tingginya 20 – 30 kaki ( 7 – 10 meter), dan mampu dimuati 600 – 700 orang ditambah muatan seberat 10.000 hou.

Sementara pada masa itu, panjang jung Cina terbesar tidak sampai 100 kaki (30 meter) dengan tinggi kurang dari 10 – 20 kaki ( 3 – 7 meter). Catatan yang ditulis dalam Tu Kiu Kie ini telah dikutip oleh banyak ahli yang mempelajari sejarah agama Buddha maupun Asia Tenggara di masa lalu.  Ahli Javanologi Belanda, Van Hien tahun 1920 dalam De Javansche Geestenwereld, yang disadur secara bebas oleh Capt.R.P.Suyono dalam Dunia Mistik Orang Jawa, penerbit LkiS Yogyakarta 2007 halamam 12, menerangkan Shi Fa Hian (Fa Hsien) dalam perjalanannya pulang ke China diserang badai dan terdampar di pantai pulau Jawa. Ia berdiam lima bulan di Jawa, menunggu selesainya pembuatan sebuah kapal besar yang sama dengan kapalnya yang rusak dihantam badai ( juga Atlas Walisongo halaman 20).

Gambaran tentang kemampuan nenek moyang kita tadi, dicatat pula oleh pengembara Portugis tahun 1512 – 1515 Tome Pires dalam karyanya yang sangat terkenal dan sering menjadi sumber rujukan sejarah Asia Tenggara, Suma Oriental (dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit , oleh Prof.Dr. Slamet Mulyana, Inti Idayu Press, Jakarta 1983 halaman 282, 283 dan seterusnya). Menurut Tome Pires, Sultan Malaka yang bergelar Raja Muzaffar Syah (1450 – 1458) serta puteranya yaitu Raja Mansyur Syah (1458 – 1477), sebagai raja bawahan Jawa, memiliki hubungan yang baik dengan Jawa. Bahkan untuk keperluan menunaikan ibadah haji ke Mekah, Raja Mansyur Syah memesan jung besar dari Jawa.

Sejarah panjang peradaban Jawa dan juga daerah-daerah lain di Nusantara, banyak dikupas oleh para penulis sejarah asing, yang daftar rincian penulis tersebut sekarang ini bisa dilihat antara lain di buku Atlas Walisongo, yang diterbitkan oleh Pustaka IIman, Trans Pustaka dan  LTN PBNU,  2012.

Dalam halaman 374 buku tadi bahkan digambarkan secara ekstrem kesombongan orang Jawa Majapahit. Diogo Do Couto yang datang ke Jawa tahun 1526, yaitu setahun sebelum balatentara Demak menyerbu  Girindrawardhana di Majapahit, mencatat antara lain sebagai berikut:
“Pulau Jawa melimpah atas segala sesuatu yang terkait dengan kebutuhan hidup manusia. Begitu berlimpahnya sehingga Malaka, Aceh dan semua negeri tetangga memperoleh pasokan kebutuhan dari situ. Penduduk pribuminya disebut orang Jawa (Jaos); mereka orang-orang yang sombong, selalu memandang orang bukan Jawa lebih rendah.”

Kesultanan Demak terpaksa kembali menyerbu Majapahit yang statusnya sudah diturunkan menjadi sebuah kerajaan kecil berkedudukan di Kediri itu, karena secara diam-diam menjalin hubungan dengan orang-orang Portugis yang sudah membuat persetujuan dengan Raja Pasundan, bahkan sudah diijinkan membangun benteng di Sunda Kelapa. Mengutip Tome Pires, Prof.Dr.Slamet Mulyana dalam Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit halaman 342 dan 346 menyatakan, Kerajaan Kediri yang oleh sejumlah ahli sejarah merupakan kelanjutan dari Majapahit, bahkan beberapa kali menyerang Jepara, Demak dan Kudus. Hubungan Kediri dengan Portugis juga dikisahkan oleh Tome Pires pada halaman 282.

Kondisi masyarakat yang bangga dengan peradabannya yang maju seperti itulah, yang dihadapi para kyai atau ustadz khususnya yang dikenal sebagai “Wali Songo” (Wali Sembilan), dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Para feodal dan pemuka masyarakat Jawa berpendapat, tidak ada kelebihan orang Arab atas orang Jawa. Sejalan dengan bunyi sebuah hadis, para ulama menyetujui pandangan tersebut dan melengkapi, demikian pula orang Jawa atas orang Arab. Serta tidak ada kelebihan orang kulit hitam atas orang kulit putih dan sebaliknya, kecuali taqwa. Kita semua berasal dari Adam, dan Adam dari debu.

Rabu, 19 November 2014

MENGGALANG KEARIFAN LOKAL & MASYARAKAT ADAT MENGHADAPI GLOBALISASI



MENGGALANG KEARIFAN LOKAL & MASYARAKAT ADAT MENGHADAPI GLOBALISASI.

Gelombang Globalisasi yang berlangsung semenjak akhir abad ke 20, sebagai dampak berpadunya kekuatan modal dengan kemajuan ilmu-teknologi yang super canggih, adalah sebuah keniscayaan yang bisa berdampak positif maupun negatif. Namun demikian kecederungan besar yang terjadi adalah Gelombang Globalisasi tersebut telah mengumandangkan musik jiwa yang menggalang alam pikiran manusia, untuk terpadu secara total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia melalui kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir.

Dimensi rasionalitas yang ditata dalam tiga sistem utama yakni sistem pasar bebas, sistem sosial politik demokratis yang individualis dan sistem sosial budaya yang lepas bebas, sudah mulai kita rasakan dampaknya dengan berkembangnya sikap dan gaya hidup masyarakat yang hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan narsis.
Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, penulis telah paparkan musik jiwa dimensi rasionalitas dengan tiga paket sistem utama tersebut, menyerbu secara dahsyat negara-negara bangsa, dengan mengerahkan 17 (tujuhbelas) Divisi Perang yang menggempur setiap aspek kehidupan rakyat negara bangsa.

Tiga Divisi Perang di antaranya menggempur secara langsung aspek nasionalisme, sosial budaya, agama dan tradisi. Dalam hal nasionalisme, Globalisme berusaha melunturkan serta mendangkalkan nilai dan semangat nasionalisme sesuatu bangsa atau negara, mengobarkan separatisme dan disintegrasi, memecah-belah, menghancurkan militansi rakyat, menciptakan kesenjangan sosial ekonomi serta menyuburkan konflik horizontal dan vertikal.

Dalam aspek sosial budaya, Globalisme menggelorakan sex bebas dan sex sejenis, mengobarkan budaya hidup yang hedonistis-individualistis, pragamatis-materalitis dan narsistis, merusak dan menghancurkan bangunan tata nilai keluarga – kebersamaan – gotongroyong, merusak serta menghancurkan moral masyarakat.

Dalam aspek  agama dan tradisi, Globalisme menghancurkan agama, tradisi, adat dan kebudayaan yang ada. Globalisasi melibas kearifan-kearifan lokal masyarakat, menciptakan dan mengembangkan aliran-aliran sesat, mengembangkan sekularisme, mendangkalkan nilai-nilai moral spiritual dan secara khusus melakukan deislamisasi terhadap pemeluk agama terbesar dan militan ini.

Kenyataan tersebut apabila tidak dipahami serta diantisipasi secara cepat dan tepat, pasti akan mengancam eksistensi masyarakat dan negara bangsa di kawasan negeri maritim Nusantara Raya ini, yang terdiri lebih dari 300 etnis dengan ragam adat budaya masing-masing, yang tersebar di lebih 17.500 pulau. Salah satu potensi besar masyarakat yang bisa digalang untuk secepatnya melakukan pertahanan semesta menghadapi serbuan Divisi-Divisi Perang Globalisasi adalah masyarakat-masyarakat adat dan budaya dari lebih 300 etnis itu.

Seluruh masyarakat adat dan budaya selaku pengemban amanah kearifan-kearifan lokal, harus segera bangun dari tidur lelapnya selama ini, bangkit kembali menggalang kekuatan bersama mewujudkan Nusantara Raya sebagai negeri maritim yang aman tenteram, adil makmur, sejahtera dan jaya sentosa, yang dicirikan antara lain:

1.    Rakyatnya yang multi etnis dan golongan hidup secara harmonis dalam suasana kebhinekatunggalikaan, yang juga berdiri sederajat secara harmonis dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam suatu tatanan dunia yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dan nilai-nilai kemanusiaan.
2.    Rakyatnya cerdas, berjatidiri, berbudaya dan berakhlak mulia.
3.    Tatanan masyarakatnya berkeadilan sosial dan berkeadilan hukum secara taat azas.
4.    Tatanan poilitiknya menjunjung tinggi sistem perwakilan dan permusyawaratan yang antara lain ditandai dengan terwakilinya suku/etnis, adat-budaya dan golongan yang ada di Nusantara Raya dalam lembaga legislatif dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5.    Pemerintahannya dikelola oleh birokrasi yang bersih, memiliki semangat pengabdian dan berdisiplin tinggi serta amanah.

Demi mewujudkan negeri maritim Nusantara Raya yang seperti itu, masyarakat-masyarakat adat-budaya Nusantara Raya, harus berani melakukan hal-hal sebagai berikut:

1.    Mendorong dan mengawal pembangunan negeri maritim yang menjunjung tinggi kebhinekatunggalikaan, kearifan serta keunggulan lokal Nusantara Raya.
2.    Mendorong dan mengawal pembangunan baik secara nasional maupun di daerah-daerah dan pulau-pulau, yang berbasis pada komunitas, kearifan dan keunggulan lokal, kelestarian eko sistem serta konservasi alam dan budaya.
3.    Mendorong dan mengawal pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan rakyat yang berbudi pekerti luhur berdasarkan jatidiri dan budaya bangsa.
4.    Mendorong dan mengawal peningkatan kemampuan rakyat untuk memanfaatkan sumber daya alam demi kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.
5.    Mendorong dan mengawal pembangunan untuk meningkatkan perlindungan dan keamanan wilayah negeri maritim Nusantara Raya sesuai dengan Zone Ekonomi Eksklusif dan secara lebih khusus daerah-daerah perbatasan, melindungi kekayaan dan sumber daya alam Nusantara Raya baik di darat maupun  di laut, serta meningkatkan kemampuan nasional dalam memanfaatkannya demi kesejahteraan rakyat.
6.    Mendorong dan mengawal pembangunan yang bertujuan meningkatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di Nusantara Raya.
7.    Mendorong dan mengawal penegakkan hukum yang berkeadilan secara taat azas.
8.    Mendorong dan mengawal penataan kembali sistem politik dan ketatanegaraan yang sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
9.    Mendorong dan mengawal pembangunan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang bersih, berkualitas, bersemangat mengabdi dan melayani masyarakat, berdisiplin tinggi, sederhana dan amanah.
1 0. Mendorong dan mengawal pengembangan hubungan kerjasama internasional yang harmonis dan sederajat.

Namun bagaimana masyarakat adat-budaya pengemban amanah kearifan-kearifan lokal ini dapat secara efektif mewujudkan cita-cita mulia tadi,  bila mereka tidak memiliki peluang dan kesempatan dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegera dewasa ini tengah dikuasai oleh para elite-elite partai yang sesungguhnya sudah tidak memiliki ideologi lagi.

Ideologi partai-partai oleh kedhasyatan musik jiwa globalisasi, telah didangkalkan sehingga menjadi semu dan sama, yaitu kebebasan serta kepuasan diri-individual dalam bentuknya yang paling vulgar, yakni materi dan kekuasaan, yang selanjutnya dikemas dalam sistem politik dan demokrasi prosedural yang transaksional.

Kenyataan pahit yang sedang berlangsung di Indonesia sekarang ini, harus dibongkar dan dikembalikan pada sistem politik yang menjiwai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, yaitu perwakilan dan permusyawaratan yang betul-betul mencerminkan segenap potensi masyarakat Nusantara Raya, khususnya masyarakat adat-budaya. Oleh karena itu kita harus bertekad dan berusaha memperjuangkan agar para tokoh masyarakat adat-budaya, etnis/suku dan golongan memiliki wakil yang betul-betul representatif dan berkualitas dalam lembaga legislatif dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 
Semoga. (18/11.2014).