Senin, 27 November 2017

Bagaimana Mengamalkan Suluk Kidung Kawedar Sunan Kalijaga.




Kajian & Latihan Seni Mocopat Seri 4, Sabtu Wage, 7 Mulud 1951 (25 November 2017).









Kajian Mocopat Paguyuban Suluk Nusantara Sabtu tg 28 Oktober 2017 tentang Serat Centhini Bab Obat-Obatan, ditutup dengan uraian bahwa ramuan obat hanyalah salah satu sarana.Masih ada sarana lain seperti disinggung dalam Bab 253 Centhini yaitu waktu pengobatan yang tepat. Di samping itu masih diperlukan jalan yang berupa penyatuan secara harmonis antara cipta-rahsa-karsa. Itu pun masih belum cukup. Demi memperoleh kesembuhan dan kesehatan yang barokah, harus punya landasan hakikat penyembuhan, yakni kersaning Allah, ridho Gusti Allah. Bagaimana meraihnya? Insya Allah dalam Kajian Bagaimana Mengamalkan Ajaran Suluk Kidung Kawedar Sunan Kalijaga hal tersebut akan kita bahas secara bertahap, setapak demi setapak. Untuk itu marilah kita simak dan tembangkan:

Bait 6 :

Wiji sawiji mulane dadi,
apan pencar saisining jagad,
kasamadan dening Date,
kang maca kang angrungu,
kang anurat miwah nyimpeni,
dadi ayuning badan,
kinaryo sesembur,
yen winacakna ing toya,
kinarya dus rara tuwa aglis rabi,
wong edan nuli waras.

Artinya :

Semula hanyalah sebuah benih,
kemudian tersebar memenuhi alam raya,
karena berkah dari Dzat (Yang Maha Kuasa),
siapa yang membaca dan mendengar
(tentang hal itu),
siapa yang menuliskan maupun yang menyimpan,
akan memperoleh keselamatan,
bisa dijadikan doa,
yang bila dibacakan di air,
dipakai mandi perawan tua akan cepat menikah, 
orang gila pun menjadi sembuh.

Bait 7 :

Lamun ana wong kadhendha kaki,
wong kabanda  lan kabotan utang,
yogya wacanen den age,
ing wanci tengah dalu,
ping salawe wacanen ririh,
luwar ingkang kabanda,
kang kadhendha wurung,
aglis nuli sinauran,
mring Hyang Suksma kang utang puniku singgih,
kang agring dadi waras.

Artinya :

Bila ada orang yang didenda
(maksudnya di sini dihukum),
orang yang diikat tangannya
(maksudnya ditangkap) dan terbelit hutang,
baik bila segera membaca (kidung ini),
di kala tengah malam, 
sebanyak 25 kali secara lirih,
yang ditangkap akan dilepaskan,
yang dihukum akan bebas,
(yang berhutang) akan segara dibayarkan,
oleh Sang Hyang Suksma (Tuhan Yang Maha Gaib)
sehingga yang berhutang menjadi baik namanya,
yang sakit menjadi sembuh.

Bait 8 :

Sapareke bisa anglakoni,
amutiha lawan anawaa,
patang puluh dina wae,
lan tangi wektu subuh,
miwah sabar sukur ing Widhi,
Insya Allah tinekanan,
sakarsa nireku,
tumrap sanak rayatira,
awit saking sawab pangiketing ngelmi,
duk aneng Kalijaga.

Artinya :

Barang siapa dapat melakukan,
berpuasa dengan hanya makan nasi dan air putih saja
(tawar serta tanpa garam dan gula),
selama 40 hari,
dan bangun di kala subuh,
serta sabar dan bersyukur kepada Yang Maha Esa,
Insya Allah terkabul,
segala kehendaknya,
bagi sanak saudara dan kerabat,
berkat karomah ilmu,
yang diperoleh tatkala menjadi Penjaga Sungai (beruzlah di pinggir sungai).

Bait 9 :

Lamun arsa tulus nandur pari,
puwasaa sawengi sadina,
iderana galengane,
wacanen kidung iku,
kabeh ama pan samya wedi,
yen sira lunga aprang,
wateken ing sekul,
antuka tigang pulukan,
mungsuhira sirep datan nedya wani,
rahayu ing payudan.

Artinya :

Bila menghendaki sukses dalam bertanam padi,
berpuasalah semalam sehari,
kelilingi pematang sawahnya,
seraya membaca Kidung ini,
maka semua hama akan takut,
bila kau hendak berangkat perang,
bacakan kidung ini pada nasi,
makanlah sebanyak tiga suapan tangan,
maka keberanian musuhmu akan lenyap,
sehingga selamat di medan perang.

Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi ini disyiarkan ke masyarakat pada saat budaya tulis belum berkembang, maka sungguh tepat dibuat dalam bentuk tembang mocopat sehingga segera disenangi masyarakat. Bahkan sampai sekarang, bisa dipastikan semua grup kesenian Jawa khususnya karawitan atau gamelan Jawa, para dalang pewayangan dan pesinden (penyanyi tembang-tembang Jawa), tak peduli Islam atau bukan, bisa menyanyikan Kidung Kawedar.

Namun demikian lantaran panjang, yaitu terdiri dari 46 pupuh atau bait, jarang yang hafal semuanya di luar kepala. Begitu pun dalam hal isi baris, kadang-kadang ada perbedaan meski pun hanya kecil dan tidak terlalu mendasar. Sebagai contoh pada bait 2, kata terakhir dari baris kedua ada yang menyebut mirunda dan ada yang miruna, baris ketiga pangulune dan ada yang pandulune, baris ketujuh ada yang menyebut tutut ada pula yang lulut. Kemudian baris kesembilan bait 6, ada yang menyebut rabi  dan ada pula yang laki. Baris kelima bait 8, ada yang menyebut miwah tapi ada juga yang lan den. Yang agak berbeda makna adalah bait 5 baris kedua, karena ada yang berbunyi kang minangka rahayuning ngangga, sedangkan versi lain Siti Aminah rahyuning angga.

Dalam hal versi tulis, kita bersyukur seni sastra di Keraton Kasunan Surakarta berkembang pesat pada abad XVII – XIX, sehingga Kidung Kawedar ini bisa dihimpun dalam huruf Jawa. Selanjutnya oleh pujangga Kyai Ronggo Sutrasno, himpunan tersebut disalin ke dalam huruf Latin, dan oleh R.Wiryapanitra Kusumodiningrat, dibuatkan terjemahannya. Terjemahan serta tafsir pertama Kidung Kawedar itu pada tahun 1912 dicetak oleh Penerbit Tan Koen Swi, Kediri.

Dari versi penerbit Tan Koen Swi inilah kita sekarang bisa menemukan Kidung Kawedar secara lengkap 46 bait, baik dalam bentuk berbagai cetakan maupun versi media sosial online, antara lain di blog http://alangalangkumitir.wordpress.com/2010/10/27/serat-kidungan-kawedar/ sebagaimana penulis baca pada 20 September 2014. Dalam bentuk buku saku, versi R.Wiryapanitra tersebut dengan beberapa perbedaan kecil, juga diterbitkan oleh Dahara Prize, Semarang 1995. Meski berasal dari sumber yang sama terdapat sejumlah perbedaan antara versi Dahara dan versi online Alangalang Kumitir.

Dalam tafsir ini, penulis menggunakan semua sumber tersebut, terutama bait-bait versi cetak Dahara Prize, dengan beberapa perubahan sesuai pengalaman serta rasa batin penulis, sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di daerah Pantura Jawa, yang semenjak kecil sudah agak akrab dengan tembang-tembang ciptaan Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga.

Dalam bait ketiga sampai dengan kelima, Sunan Kalijaga memperkenalkan istilah dan nama-nama tokoh yang bagi orang Jawa betul-betul baru sama sekali. Ada malaikat, rasul, Adam, Musa, Isa, Yakob, Yusuf, Dawud, Sulaeman, Ibrahim, Idris, Ayub, Nuh, Yunus, Muhammad, Abubakar, Umar, Usman, Ali dan  Fatimah.

Memang Kidung Kawedar tidak menjelaskan secara terinci sejarah dari para nabi, sahabat dan keluarga Kanjeng Nabi Muhammad tersebut. Tetapi marilah kita coba menerapkan pada diri kita sendiri, baik dalam posisi sebagai penutur atau pun sebagai pendengar. Selaku pendengar, kita pasti ingin tahu lebih jauh tentang tokoh yang disebut penutur memiliki kemampuan dan karomah luar biasa, sehingga patut menyatu dalam diri kita, yang selanjutnya akan kita jadikan sebagai senjata andalan dalam kehidupan.

Sebaliknya sebagai penutur, kita pun akan berusaha menjelaskan lebih terperinci siapa tokoh-tokoh atau orang-orang yang kita jagokan, dan mengapa patut kita jadikan panutan serta andalan. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila bagi masyarakat Jawa kebanyakan meskipun Islam Abangan bahkan Islam KTP, yaitu mengaku beragama Islam sekedar demi mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk, sedikit banyak akan mengenal misalkan Nabi Nuh dengan kisah perahunya dan Nabi Yusuf yang selalu dijadikan idola dalam berdoa selamatan atau tasyakuran tujuh bulan kehamilan.

Dalam doa memohon keselamatan bagi ibu dan bayi yang sedang dikandungnya, sekaligus juga dipanjatkan harapan agar sang bayi memiliki aura ketampanan Nabi Yusuf, yang dikisahkan di dalam suatu perjamuan ibu-ibu, para hadirin diminta masing-masing mengupas buah-buahan dengan sebilah pisau nan tajam. Guna menguji reaksi ibu-ibu itu, maka pada saat seperti itu Nabi Yusuf diminta melintas. Apa yang terjadi? Hadirin terpana dengan ketampanan Nabi Yusuf, sampai-sampai tanpa sadar mereka salah kupas buah, bukan buah-buahan melainkan menggores tangannya sendiri sehingga terluka.

Siapakah yang tidak ingin anak keturunannya tampan atau cantik? Begitu luar biasa ketampanan Nabi Yusuf, sampai menjadi idaman agar Gusti Allah berkenan mengaruniakan kepada sang jabang bayi, agar jika lahir pria akan tampan dan bila perempuan akan cantik jelita.

Pengetahuan terhadap agama baru dengan para tokoh panutannya tersebut, menjadi benih keyakinan. Meskipun baru atau hanya sebutir, benih itu akan tumbuh subur beranak pinak menyebar ke segenap penjuru dunia, ke jagad raya, karena memperoleh berkah dari Dzat Yang Maha Kuasa. Keyakinan itu akan membuahkan keselamatan kepada siapa saja yang membaca, yang menyimak mendengarkan, yang menuliskan dan yang menyimpannya. Bahkan bisa menjadi sumber segala doa, yang bila dibacakan di air dan airnya dipakai mandi oleh seorang perawan tua, maka sang perawan akan segera menemukan jodohnya dan segera menikah. Jika diberikan kepada orang gila maka insya Allah akan sembuh (bait 6).

Dalam bait 6 terdapat kata sesembur, yaitu salah satu cara pengobatan atau pemberian doa restu, yang biasa dilakukan oleh orang yang dituakan atau yang dianggap memiliki kemampuan batin yang tinggi. Setelah berdoa, si orang tua kemudian dengan mulutnya, meniup sampai mengeluarkan bunyi desis ke ubun-ubun atau dahi atau bagian-bagian tertentu si sakit atau orang yang didoakan.
Dengan berkah Dzat Yang Maha Kuasa itu pula, keyakinan yang ditanamkan oleh Kidung Kawedar, mampu menolong orang-orang yang sedang berperkara, yang dihukum, ditahan dan yang terbebani hutang (bait 7). Persis seperti Gusti Allah menolong para nabi dan rasul yang menghadapi kesulitan betapa pun beratnya. Api yang dinyalakan oleh punggawa Raja Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim, dengan pertolongan Dzat Yang Maha Esa, Yang Maha Gaib, berubah menjadi sedingin air; bahtera Nabi Nuh mampu menampung dan menyelamatkan makhluk-makhlukNya demi meneruskan kehidupan; Nabi Yunus yang ditelan ikan bisa keluar dengan selamat; demikian pula pertolongan Allah Swt kepada para Nabi yang lain termasuk Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya.

Dalam upaya menghayati dan memperoleh hakikat dari Kidung ini, Sunan Kalijaga tidak langsung mengajarkan tatacara peribadatan yang baru, melainkan mengikuti adat kebiasaan masyarakat, yaitu dengan menjalankan puasa mutih selama 40 hari penuh siang malam (bait 8). Puasa mutih yaitu pantang tidak memakan makanan dan meminum minuman yang diberi rasa nikmat seperti asin dan manis. Orang yang sedang mutih, hanya boleh makan nasi putih, meminum air putih dan buah-buahan segar yang tidak diolah. Mengenai puasa mutih ini, lebih lanjut bisa dilihat di buku kami Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 33, 35 dan 105, yang juga bisa diunduh melalui e-bookdi blog http://islamjawa.wordpress.com.

Puasa putih bermanfaat buat mengendalikan hasrat binatang yang kasar atau nafsu hewani, nafsu dan syahwat akan pesona dunia atau materi, sekaligus membangkitkan kekuatan nabati nan lembut yang bersemayam dalam hati nurani manusia beserta pikirannya. Orang yang berhasil mengendalikan karsa dengan nafsu hewaninya yang egois dan kasar, menjadi karsa dengan nafsu nabatinya yang bersifat rohani dan spiritual nan lembut penuh kasih sayang, dipercaya memiliki energi dan kemampuan spiritual yang luar biasa hebat. Tentu saja untuk itu tidak hanya sekedar menjalani puasa mutih.

Selama 40 hari si pelaku harus bangun di waktu subuh, serta senantiasa bersikap sabar dan bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Jika ia bisa melakukan itu semua, insya Allah, ia akan senantiasa dibimbing dan tercerahkan, sehingga bila memiliki keinginan akan dikabulkan serta akan memberikan manfaat kepada sanak keluarga dan kaum kerabat bahkan rakyat. Semua itu diajarkan berdasarkan karomah yang dianugerahkan kepada sang pengarang kidung tatkala sedang menjalani uzlah dan bermunajat di pinggir sungai, bagaikan seorang penjaga sungai atau kali. Dialah Sang Kalijaga yang beruzlah di tengah hutan di pinggir kali di daerah Cirebon selama beberapa tahun.

Perihal makanan dan minuman ini, Kanjeng Nabi Muhammad saw juga sudah berpesan, “ Ketika sesuap haram jatuh pada perut anak cucu Adam , semua malaikat di bumi dan langit memberi laknat padanya selama suapan itu berada dalam dirinya, dan kalau ia mati dalam keadaan begitu maka tempatnya adalah jahanam (Hadis riwayat At-Tabrani, Ibnu Umar dan Ahmad). Lantas berapa lama suapan, dalam hal ini makanan dan atau minuman itu berada di dalam tubuh manusia? Makanan dan minuman yang masuk ke tubuh diolah menjadi sel jaringan tubuh dan sel darah merah. Sel jaringan akan mengalami peremajaan setiap 40 hari, sedangkan sel darah merah setiap 100 hari. Itu berarti sesuap haram yang masuk ke tubuh kita baru akan betul-betul hilang setelah 100 hari (Bertasawuf Di Zaman Edan, halaman 243).

Selanjutnya Kanjeng Nabi juga bersabda, “Demi jiwaku yang berada di tanganNya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil yang haram, maka neraka lebih layak baginya” ( HR.At –Tabrani). Bahkan lebih tegas lagi beliau menyatakan, “Siapa saja yang membeli pakaian dengan sepuluh dirham, sedang di dalamnya terdapat dirham dari barang haram, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selagi pakaian itu ada pada dirinya.” (HR Ibnu Umar dan Ahmad).

Apa hakikat dari uraian di atas? Agar keinginan dan doa kita dikabulkan oleh Gusti Allah, agar kita bisa menjadi hamba-hambaNya yang apabila mempunyai keinginan dan berdoa dikabulkan Gusti Allah, maka lahir batin kita harus suci, termasuk suci dari segala barang haram, yang masuk maupun yang melekat pada tubuh kita. Padahal menyucikan diri tidak mudah. Untuk itu diperlukan latihan, diperlukan polesan-polesan batin antara lain dengan berzikir atau senantiasa mengingatNya, baik dengan melantunkan ayat-ayat suci ataupun kalimat-kalimat dzikir termasuk yang dikemas dalam bentuk Kidung Kawedar ini. Namun itu pun masih belum cukup, tapi harus disertai dengan jiwa raga yang bersih, yang suci dari segala zat dan barang yang haram, yang jika ada yang sudah terlanjur masuk  ke dalam tubuh maka harus dibersihkan, selama 40 hari terhadap sel jaringan tubuh, bahkan agar lebih sempurna lagi dilanjutkan menjadi selama 100 untuk membuang sel-sel darah merah yang tercemar tadi, dan menggantinya dengan sel-sel yang suci sama sekali. Tentu yang paling utama adalah sesudah itu untuk selamanya kita harus menghindari semua zat dan barang yang haram.

Kembali dalam bait 8 ini, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah baru yakni subuh dan insya Allah. Pembahasan secara lebih rinci tentang insya Allah, juga bisa dilihat di buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 142 – 143. Bagi kita sekarang, 5 – 6 abad kemudian, dua istilah itu bukanlah sesuatu yang baru lagi asing, lantaran sudah menyatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Tetapi bagi  masyarakat abad ke XV – XVI, tentu menimbulkan pertanyaan dan memancing rasa ingin tahu. Subhanallaah, maasyaa-Allaah.

(B.Wiwoho, Paguyuban Suluk Nusantara : dikutip dengan sedikit koreksi dari buku penulis : ISLAM MENCINTAI NUSANTARA, Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, penerbit Pustaka IIMaN).