Senin, 28 Juli 2014

Perayaan dan Ucapan Idul Fitri



Ada kebiasaan khas Indonesia yang luar biasa dimensi dan dampak sosial-ekonominya, yaitu merayakan Hari Raya Idul Fitri secara meriah, pulang kampung beramai-ramai, memintal dan memperbarui jalinan tali silaturahim di antara sesamanya. Kebiasaan merayakan Idul Fitri juga dilaksanakan umat muslim di berbagai belahan dunia seperti Emirat Arab, Turki, Iran, Afrika Selatan, India, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Fiji serta negara-negara tetangga kita khususnya Malaysia.

Namun dibanding di negara-negara lain, perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah yang paling meriah bahkan gegap gempita. Diperkirakan sekitar seperempat sampai sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia baik muslim maupun non muslim melakukan pergerakan dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu pulau ke pulau lain, guna ikut merayakannya. Uang puluhan trilyun rupiah, menyebar dari kota-kota besar ke kota-kota kecil, ke kampung-kampung di segenap pelosok negeri, ke pedagang-pedagang kecil sektor informal, mengikuti teori ekonomi menetes dari atas ke bawah. Semua bergembira bersama, melepas kerinduan, mengendorkan saraf-saraf yang tegang setelah selama dua belas bulan menyabung hidup di belantara kekerasan kehidupan kota besar.

Memang ada sejumlah pengamat yang menganggap semua itu sebagai pemborosan yang mestinya tidak perlu. Tapi sejumlah sosiolog, psikolog dan budayawan yang lain menilai justru sebagai kebiasaan sosial yang baik dan bermanfaat. Tentu anda sendiri, wahai Sahabatku, yang lebih bisa menilai apakah kebiasaan tersebut menghasilkan nilai positif atau tidak. Apakah pulang kampung, sungkem dan berbakti kepada ayah-bunda, saling kunjung-mengunjungi untuk bersilaturahim, yang sudah barang tentu memerlukan biaya itu bermanfaat atau tidak.

Di samping mobilitas manusia yang tinggi, perayaan Idul Fitri di Indonesia juga lazim disertai dengan pengiriman atau penyampaian ucapan Idul Fitri, yang disamping dilakukan secara tatap muka, dahulu kala juga biasa dilakukan dengan mengirim kartu lebaran. Sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi, pengiriman bergeser ke pesan telpon singkat, dan selanjutnya terus berkembang ke berbagai bentuk media jejaring sosial lainnya.

Ada tiga jenis ucapan yang paling lazim plus kombinasi dari ketiganya.
Pertama,  Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir bathin”.
Kedua, “ Selamat Hari Raya Idul Fitri. Minal ‘Aidin wal Faizin”.
Ketiga, “Selamat Hari Raya Idul Fitri. Taqaballallahu minaa wa minka”.

Tidak ada ayat Qur’an ataupun hadis yang bisa dijadikan pegangan untuk menilai, ucapan mana yang paling tepat. Namun dari ketiganya, ucapan ‘Taqabbalallahu minaa wa minkum’ yang bermakna “Semoga Allah Swt. menerima amal kami dan amal Anda”, dalam konteks ini menerima amal ibadah puasa Ramadhan kita, yang memiliki kaitan sejarah dengan para sahabat Rasulullah.

Menurut sejumlah riwayat, para sahabat Nabi Muhammad Saw.bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : “Taqabbalallahu minnaa wa minkum”. Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka. Beberapa shahabat menambahkan ucapan “shiyamana wa shiyamakum’, yang artinya puasaku dan puasa kalian. Jadi ucapan ini bukan dari Rasulullah, melainkan dari para sahabat.

Adapun ucapan yang lain yaitu “Minal ‘Aidin wal Faizin”, adalah ungkapan kebiasaan khas masyarakat Indonesia, yang pada umumnya dirangkaikan dengan ungkapan “mohon maaf lahir dan bathin”, sehingga kemudian ada yang mengartikan minal ‘adin wal faizin sebagai maaf lahir dan batin. Padahal makna yang sesungguhnya adalah doa agar Gusti Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang kembali dan meraih kemenangan.

Di berbagai media jejaring sosial, belakangan ini banyak tulisan yang mengulas ketiga ungkapan tadi. Ada yang bisa menerimanya, tapi ada pula yang mencemooh bahkan menyalahkan. Dari berbagai pendapat tersebut, ada pula beberapa yang mengutip pandangan dari pakar tersohor kita Prof.Dr.M.Quraish Shihab, sebagaimana beliau tulis dalam buku Lentera Hati, Penerbit Mizan, hal 404 dan seterusnya.

Menurut beliau, minal ‘aidin yang berarti (semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali, dimaksudkan sebagai kembali kepada fitrah, yakni asal kejadian atau kesucian, atau agama yang benar.

Setelah mengasah dan mengasuh jiwa – yaitu berpuasa – selama satu bulan, diharapkan setiap Muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dengan menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagaimana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena – menurut Rasulullah – al-aidin al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan, dan alam.

Sementara itu, al-faizin diambil dari kata fawz yang berarti keberuntungan. Apakah keberuntungan yang kita harapkan itu? Di sini kita dapat merujuk pada Al-Quran, karena 29 kali kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang. Menarik juga untuk diketengahkan bahwa Al-Quran hanya sekali menggunakan bentuk afuzu (saya beruntung). Itupun menggambarkan ucapan orang-orang munafik yang memahami “keberuntungan” sebagai keberuntungan yang bersifat material (Surat An Nisaa : 73).

Bila kita telusuri Al-Quran yang berhubungan dengan konteks dan makna ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, ditemukan bahwa seluruhnya (kecuali Surat An Nisaa : 73) mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi.” Kalau demikian halnya, wal faizin harus dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah Swt. sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan surga-Nya.

Salah satu syarat untuk memperoleh anugerah tersebut ditegaskan oleh Al-Quran dalam Surat An-Nur ayat 22, yang menurut sejarah turunnya berkaitan dengan kasus Abubakar r.a. dengan salah seorang yang ikut ambil bagian dalam menyebarkan gosip terhadap putrinya sekaligus isteri Nabi, Aisyah. Begitu marahnya Abubakar sehingga ia bersumpah untuk tidak memaafkan dan tidak memberi bantuan apapun kepadanya.

Tuhan memberi petunjuk dalam ayat tersebut: Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Surat An Nuur : 22).

Prof.Dr. M.Quraish Shihab, pakar yang memiliki reputasi internasional ini, mengakhiri ulasannya tentang ucapan-ucapan yang menyertai perayaan Idul Fitri tersebut dengan suatu kalimat penutup yang indah dan sejuk, mengajak kita “saling berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling mengucapkan minal `aidin wal faizin. Semoga kita dapat kembali mendapatkan jati diri kita, dan semoga kita bersama memperoleh ampunan, ridha, dan kenikmatan surgawi. Amin.”

Demikianlah Sahabatku, ternyata menurut ahlinya, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan ungkapan-ungkapan tersebut. Yang mungkin kurang dari kita, termasuk penulis selama ini, adalah kurang memahami makna, latar belakang serta hakikat dari ungkapan itu. Kita hanya ikut-ikutan mengucapkan tanpa memahaminya, sehingga kemudian bingung tatkala ada orang yang mengkritik.

Maka sami’naa wa atho’naa, kami dengar dan kami patuh kepada Kyai Haji Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam puisinya “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana?”
“ Ya sudahlah…. Aku pasrah kepada Tuhan yang kusembah”.

Beji 28 Ramadhan 1433 H ( 17 Agustus 2012).


Minggu, 20 Juli 2014

Hakikat Puasa dan Lebaran Bagi Orang Jawa

Hakikat Puasa dan Lebaran Bagi Orang Jawa

Masyarakat Jawa mengenal beberapa tembang atau kidung tentang upaya melatih diri mengasah kalbu, dengan jalan berpuasa serta aneka cara mengurangi makan dan tidur. Salah satu tembang itu, ada dalam Serat Wulangreh yang sudah penulis kutip untuk sub judul Orang Jawa Berlatih Mengasah Kalbu, dan satunya lagi berasal dari Serat Wedhatama juga sudah penulis kutip untuk sub judul Nafsu, Pangkal Kemaksiatan dan Kelalaian dalam buku Orang Jawa Belajar Mengenal Gusti Allah. Marilah coba kita renungkan kembali tembang yang berasal dari Serat Wulangreh tersebut:

Padha gulangen ing kalbu
ing sasmita amrih lantip
aja pijer mangan nendra
ing kaprawiran den kesti
pesunen sariranira
sudanen dhahar lan guling

terjemahan bebasnya adalah :

Berlatihlah mengasah kalbu
agar kita menjadi waskita (atau arief)
jangan banyak makan dan tidur
keperwiraan harus menjadi cita-cita
latihlah dengan tekun dirimu
dengan mengurangi makan dan tidur

Kewajiban melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan bagi orang Jawa tempo dulu tidak bisa dipisahkan dari hakikat tembang di atas, yaitu dalam rangka melatih diri mengasah kalbu, memohon ridho Gusti Allah, agar kita diberi kewaskitaan atau kemampuan menembus hijab sebagai bekal mewujudkan cita-cita keperwiraan, hamemayu hayuning bawono, mensyukuri, melestarikan dan menjaga harmoni alam semesta dengan segenap isinya.

Hakikat tembang itu sendiri, jauh sebelumnya sudah diajarkan oleh Walisongo, kepada masyarakat Jawa yang sebelumnya sudah gemar bertapa dan berlatih menempa diri dengan banyak mengurangi makan dan tidur. Latihan seperti itu disebut “tirakat atau prihatin”, dari asal kata perih (pedih)nya batin. Sedangkan orang yang senang melaksanakan tirakat disebut sebagai orang yang “gentur tapane”.

Gusti Allah itu, dalam faham Jawa, Maha Adil. Rahmat Allah meliputi segala hal namun tidak pernah menjadikan hamba-Nya betul-betul sempurna. Masing-masing diberi kelebihan dan kekurangan. Hanya sayang, kita sering tidak bisa melihat kelebihan maupun kekurangan tersebut. Padahal kehidupan telah mengajarkan bahwa segala sesuatu selalu diwarnai dua hal yang nampak saling bertentangan. Sedih dan bahagia, suka dan duka, kenyang dan lapar, gelap dan terang.

Hidup tidak selamanya suka, senang dan bahagia. Oleh sebab itu agar kita tahan serta terlatih menghadapi dua hal yang bertentangan dalam kehidupan yang bisa datang setiap saat, maka kita harus menggembleng diri kita dengan sering melakukan tirakat, salah satunya adalah puasa. Dari pada kita memperoleh cobaan susah dan prihatin dari Gusti Allah, maka lebih baik kita sendiri yang memilih jenis prihatin, yaitu dengan jalan tirakat, mengurangi makan tidur, menarik diri dari keramaian dan sejumlah cara pengendalian hawa nafsu, kadang sampai 40 bahkan 100 hari.

Dengan berbagai jenis tirakat, anak-anak Jawa dilatih ikut merasakan penderitaan rakyat kecil, penderitaan fakir miskin. Tirakat disamping membuat hati lembut penuh kasih sayang, pandai mensyukuri nikmat, juga sekaligus dilatih tegar dan kokoh bagai gunung karang di samudra nan ganas, dilatih tabah menghadapi berbagai tantangan guna mewujudkan keperwiraan. Tirakat melatih hidup di tengah gemerlap pesona dunia, namun dapat membuat jarak dengannya, tidak mengikuti kebiasaan-kebiasaan buruknya, dan selanjutnya terbebas dari jeratan-jeratan hasrat rendahnya.
Orang Jawa yang memeluk Islam menambahkan tujuan puasa sebagai latihan menundukkan dan mengendalikan hawa nafsu, serta mengalahkan setan khususnya setan yang berada di dalam diri kita sendiri.

Karena itu puasa bukanlah tujuan melainkan sarana atau latihan. Bulan Ramadhan bagi ksatria Jawa adalah ibarat kawah Candradimuka, yaitu kawah pendadaran dalam cerita wayang, atau semacam Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat). Maka bulan Ramadhan atau bulan Puasa adalah sama dengan bulan pendadaran, agar sebelas bulan berikutnya kita menjadi hamba Allah yang tangguh, ulet, sabar, senantiasa taat dan tawakal. Menjadi manusia yang memiliki kesadaran diri serta mengenal dirinya sendiri dengan baik. Oleh sebab itu paling sedikit sebulan dalam setahun, kita harus masuk Pusdiklat seperti itu, yaitu Pusdiklat Ramadhan, disamping membersihkan kotoran jiwa dan raga, juga untuk meningkatkan maqam kita selaku hamba Allah. Di dalam Pusdiklat, fisik kita dilatih menahan penderitaan, dilatih menghadapi lapar dan haus. Sedangkan batin kita diasah agar menjadi tajam, tajam kalbunya, tajam mata hatinya, setajam kalbu dan mata hati orang-orang yang arif.
Selama Ramadhan kita harus berusaha memahami dengan sungguh-sungguh peringatan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa pun dari puasanya kecuali lapar dan haus. Banyak orang yang bangun malam, tetapi tidak mendapatkan apa pun dari bangunnya kecuali terjaga.”

Kalam hikmah yang merupakan hadis Rasulullah tersebut diungkapkan kembali dalam bahasa yang sederhana, dan karena itu kadang-kadang disalahartikan, apakah artinya puasa sehari penuh jika cuma memperoleh lapar dan haus? Apalah artinya salat jengkang jengking jika cuma memperoleh capek? Apalah artinya mengurangi tidur, mata melotot tapi pikiran mengembara tak menentu? Sebab itu yang terpenting bukanlah semata-mata berpuasa secara fisik dan harfiah, tetapi yang jauh lebih utama adalah maknawiyah, hakikatnya. Supaya dapat memetik buah hakikat dan hikmah puasa, di samping mengerjakan apa-apa yang selama ini sudah diajarkan seperti memperbanyak salat sunah terutama tarawih, membaca Al-Qur’an, sedekah dan lain-lain, juga memperbanyak tafakur, mawas diri dan bersyukur.

Melalui tafakur, mawas diri dan banyak bersyukur, kalbu diasah ketajamannya. Digembleng agar kokoh kuat, senantiasa bangun, berjaga dan waspada. Meskipun badan jasmani tergolek di pembaringan, kalbu tidak boleh ikut tidur, apalagi membiarkan badan jasmani dengan pikiran berikut perbuatannya melakukan hal-hal buruk dan kemungkaran.
Dengan demikian, insya Allah kita bisa menjadi hamba Allah, pengemban amanah sekaligus balantentara-Nya, yang di samping bisa melaksanakan amar ma’ruf, yang anak kecil pun bisa melakukan, terlebih lagi, ini yang tidak sembarang orang bisa melakukannya, yaitu juga berani nahi munkar.

Tirakat yang disertai dengan banyak tafakur, mawas diri dan bersyukur, harus terus dilakukan meskipun tidak dalam bulan puasa, sehingga secara bertahap kita menuju dan mencapai tingkatan kehidupan yang tidak lagi terpengaruh oleh pasang surut gelombang kehidupan dan keadaan, serta mampu merasakan kaya tanpa harta – menyerbu tanpa pasukan dan menang tanpa harus mengalahkan. Allaahumma aamiin.

Pusdiklat Ramadhan diakhiri dengan apa yang disebut Lebaran, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Lebaran, artinya kita sudah selesai mengikuti penggemblengan dan selanjutnya memasuki syawal, siap mengawali perjuangan panjang sebelas bulan ke depan selaku khalifah fil ard-Nya, yang harus senantiasa beriman dan beramal saleh dalam “hamemayu hayuning bawono”, mewujudkan rahmat bagi seisi alam semesta.

Karena beratnya medan perjuangan, masih dalam bulan syawal, dianjurkan lagi untuk menjalani puasa penyempurnaan selama 6 hari. Puasa Syawal ditutup dengan sebuah syukuran yang disebut Lebaran Ketupat atau Hari Raya Ketupat. Ketupat adalah bekal perjalanan yang awet dan bulat, makna hakikatnya yaitu bulatkan tekad bukan hanya sekedar atau semata-mata sebagai hamba Allah, tapi juga sekaligus sebagai Balatentara Allah.

Adakah semua itu masih kita temukan sekarang ini? Mari kita masing-masing menjawabnya sendiri.
Subhaanallaah.

Minggu, 13 Juli 2014

Santri & Pesantren, Cikal-Bakal Pendidikan Nasional



Santri & Pesantren, Cikal-Bakal Pendidikan Nasional.
Kata santri sekarang sedang ngetop gara-gara Pilpres. Saya sendiri, tidak terlalu peduli dengan masing-masing Capres – Cawapres. Tetapi saya ingin mengajak para sahabat memanfaatkan peristiwa yang bergulir heboh dari kampanye Pilpres, yang membuat kata santri itu jadi ngetop. Saatnya kita bicara benar tentang sejarah pendidikan nasional di Indonesia.

Santri dengan pesantrennya adalah cikal bakal lembaga pendidikan bumiputera, pendidikan nasional yang merupakan bukti adanya kearifan lokal Nusantara.
Memang belum banyak ahli dan tokoh nasional yang meneliti dan peduli dengan masalah santri, kecuali para elite partai politik menjelang Pemilu/Pilpres. Itu pun hanya karena ingin memperebutkan dukungan suara para santri itu saja. Tidak lebih. Bahasa terangnya, mencoba memanfaatkan para santri. Sesudah itu semua terlupakan sampai nanti menjelang Pemilu/Pilpres berikutnya.

Bagi orang Jawa tempo dulu, baik yang muslim maupun bukan, kata santri sudah merupakan hal yang akrab, karena berasal dari kata dasar  sastri (dari bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno) yaitu orang yang menguasai sastra dan bisa baca tulis. Anak-anak muda yang ingin pandai serta menguasai berbagai ilmu kehidupan, harus sastri. Untuk itu mereka berguru ke para cendekiawan, yang pada zaman dulu adalah para pendeta. Para pendeta ini pada umumnya tinggal di daerah yang sepi yang diberi nama dengan kata depan Padepokan. Pendeta A misalkan, memberi nama wilayah tempat tinggalnya dengan nama Padepokan A atau nama apa saja yang dia senangi, sebut saja Tumaritis. Maka tumbuhlah Padepokan Tumaritis.

Para murid yang ingin belajar ke Pendeta A biasanya tinggal di Padepokan Tumaritis. Mereka tidak membayar, tetapi ngenger, yaitu mengikuti semua kegiatan yang ada di Padepokan dan yang diperintahkan oleh gurunya, yaitu Sang Pendeta A. Murid-murid yang belajar menimba ilmu itu kemudian disebut sastri yang kemudian mengalami perubahan pengucapan menjadi cantrik. Mereka belajar sambil bekerja dan tunduk patuh sepenuhnya kepada sang guru.

Pada awal abad ke 15, datanglah seorang mubaligh muda kelahiran Campa tahun 1401 M yang bernama Bong Swi Hoo ke JawaTimur menyusul kedua orang tuanya, yaitu suami isteri Maulana Malik Ibrahim. Di Tuban, Malik Ibrahim dikenal sebagai pendeta sakti aliran Muhammad yang bergelar Syekh Maulana Malik Ibrahim Asmarakandi, yaitu syekh yang berasal dari Samarkand. Isteri Malik Ibrahim adalah saudara kandung dari salah seorang istri Raja Majapahit, Brawijaya, yang terkenal dengan sebutan Putri Cempo.

Bong Swi Hoo disayang oleh Raja Brawijaya dan dianugerahi gelar bangsawan dengan nama Raden Rahmat, serta mendapat ijin untuk berdakwah dan bertempat tinggal di daerah Ampel Denta. Oleh masyarakat beliau dikenal sebagai Pandhita Ampel, dan kemudian berubah menjadi Sunan Ampel. Di Ampel, Surabaya, yang sekarang sangat tersohor inilah, Sunan Ampel mengajarkan agama Islam mengikuti pola padepokan dengan para murid sebagai cantriknya, sedangkan kegiatan belajarnya disebut nyantrik.

Dalam berdakwah di pulau Jawa, baik Sunan Ampel maupun ayahandanya Maulana Malik Ibrahim, menggunakan metode membaur dan menyusup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, sehingga kehadirannya disambut secara baik. Kedua ulama tersebut, yang kemudian diikuti oleh para murid dan terutama putera Sunan Ampel, yaitu Maulana Makdum Ibrahim, sangat menghargai kearifan dan budaya lokal, termasuk sistem pendidikan nyantrik.

Di antara para cantrik tersebut, tiga orang di antaranya menjadi sangat terkenal. Mereka adalah Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Sunan Giri dan Raden Fatah yang kelak kemudian menjadi Sultan Kerajaan Islam Pertama di Jawa berkedudukan di Demak.
Kata nyantrik, lama kelamaan berubah menjadi nyantri, sedangkan kata cantrik menjadi santri.  Perubahan itu diterima atau mungkin lebih tepat dilakukan oleh para mubaligh karena sesuai dengan asal kata bahasa Arab “santaro”  yang berarti menutup dan terdiri dari empat huruf yakni (1) sin dari satrul al aurah, yaitu orang yang menutup aurat; (2) nun dari na’ibul ulama, yang berarti wakil ulama; (3) ta’  dari ‘tarku al ma’shi atau meninggalkan kemaksiatan; (4) ra’  dari raisul ummah atau pemimpin umat. Demikianlah gotak-gatik-gatuk khas Jawa, yang berlangsung sejak dahulu kala sampai sekarang.

Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit (1478M) dan berdirinya Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Fatah (lidah Jawa mengucapkan Patah) serta didampingi oleh Wali Songo (Sembilan Wali), penyebaran agama Islam tumbuh secara pesat. Jika semula jumlah para santri yang ikut tinggal bersama para mubaligh khususnya Wali Songo bisa dihitung dengan jari, makin lama makin banyak sehingga tidak bisa ditampung lagi dalam satu rumah induk sang mubaligh.

Oleh karena itu mereka kemudian mendirikan rumah-rumah kecil yang terbuat dari bambu yang disebut pondok. Kata pondok ini juga sesuai dengan kata funduq dari bahasa Arab yang berarti hotel atau asrama. Hatta, istilah padepokan para cantrik, kemudian berubah menjadi pondok pesantren  sebagaimana lazim kita kenal sekarang ini.
Di luar Jawa khususnya Aceh, dakwah para mubaligh kepada masyarakat umum sebenarnya telah lebih dahulu dimulai. Bahkan tatkala petualang Eropa yang legendaris, Marco Polo, berkunjung ke Aceh tahun 1293 M, di sana telah berdiri Kesultanan Islam Samudra Pasai.

Demikian pula ketika petualang Maroko, Ibnu Batuta berkunjung tahun 1345 dan akhir 1346, ia diterima secara bersahabat oleh raja kedua yaitu Sultan Malik az-Zahir, putera dari Sultan Maliku’l Saleh. Saat itu, Samudera Pasai telah menjadi kota kosmopolitan yang ramah bagi suku dan bangsa dari mana pun berasal. Di sana banyak mukim ulama-ulama yang mengajarkan agama Islam. Bahkan Sunan Bonang dan Sunan Giri semasa muda juga pernah menimba ilmu ke Aceh. Di Aceh, tempat para ulama mengajar tadi disebut dayah atau menuasa.

Hampir bersamaan dengan itu, yakni pada sekitar periode abad ke 14 – 16, pusat-pusat pendidikan Islam di berbagai daerah di Nusantara juga mulai tumbuh. Para peneliti keislaman Nusantara berpendapat Pondok Pesantren telah mulai berkembang menjelang akhir abad ke 16, sejalan dengan berdirinya Kesultanan Demak yang menjalin komunikasi luas dengan kerajaan-kerajaan lain mulai dari Malaka, Aceh sampai ke Maluku dan Nusatenggara.

Para santri dari berbagai daerah di Nusantara datang menimba ilmu ke pondok-pondok pesantren di Jawa, dan tatkala kembali ke kampung halamannya, banyak diantara mereka yang juga kemudian mendirikan pondok pesantren. Inilah sesungguhnya cikal bakal dunia pedidikan nasional Nusantara, dan bukan sekolah-sekolah Belanda yang baru mulai didirikan pada tahun 1900, sesuai dengan kebijakan Politik Etis Hindia Belanda.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan yang luar biasa kepada tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara dengan lembaga pendidikan Taman Siswanya, pada hemat saya Pondok Pesantrenlah yang lebih tepat dijadikan tonggak sejarah Hari Pendidikan Nasional. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan pahlawan bangsanya. Kepada Ki Hajar Dewantara, kita harus menghargai. Demikian pula terhadap sejarah perjuangan Pondok Pesantren dalam mencerdaskan anak bangsa, membuat para santri melek huruf, baik Arab, Jawa maupun Latin.

Dari Pondok Pesantren itu pula lahir sejumlah tokoh pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional yang menjadi bapak bangsa, yang bersama putera-putera bangsa yang lain berjuang memproklamasikan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Karena itu, kita harus sambut gembira bahkan harus kita manfaatkan dengan baik, wacana Hari Santri yang digulirkan dalam Kampanye Pemilihan Presiden Joko Widodo, terlepas dia terpilih atau tidak. Lagi pula saya yakin, wacana tersebut “dibisikkan” atau paling tidak diilhami oleh tokoh-tokoh santri yang banyak mendampingi pak Jokowi. Dirgahayu Santri Nusantara.

Selasa, 08 Juli 2014

Doa Pilpres (Pemilihan Presiden).



SAHABATKU, MARILAH KITA PANJATKAN DOA DENGAN SETIDAK-TIDAKNYA MENGAMINI SBB: Duh Gusti Yang Maha Luar Biasa, di malam Ramadhan yang ke 11 ini, ampunilah kami Bangsa Indonesia pada umumnya dan diri hamba pada khususnya, yang  belakangan ini banyak saling bergibah, fitnah, menghina bahkan mencoba melakukan pembunuhan karakter pada lawan-lawan politik kami, meski sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara sebangsa bahkan seiman kami.

Duh Gusti Yang Maha Pengampun, ampunilah kami yang selama ini merasa menjadi penguasa pintu surga yang dengan mudah mengkafirkan, atau setidak-tidaknya merendahkan kadar keimanan saudara-saudara kami sesama muslim.

Duh Gusti Yang Maha Kuasa, celakalah kami apabila Paduka tidak mengampuni perbuatan-perbuatan kami yang selama ini telah merusak tali silaturahim bahkan ukhuwah Islamiyah, yang telah mengganggu, membuat tidak tenteram serta menyakitkan hati saudara-saudara kami sesama. muslim. Oleh karena itu wahai Yang Kasihsayang dan AmpunanNya Tidak Terhingga, ampunilah kami.

Wahai yang seluruh nasib dan jiwaraga kami senantiasa dalam genggaman Paduka, jadikanlah Pemilihan Presiden kami ini, penuh hikmah dan berkah bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya dan lebih khusus lagi pada diri hamba serta keluarga hamba. Aamiin.