Sabtu, 07 September 2019

POHON INDUSTRI YANG DILUPAKAN



 

INDUSTRI 4.0 TANPA POHON INDUSTRI, MUNGKINKAH?

Pada akhir 1970an saya sering ngobrol serius berdua denganMenteri Perindustrian AR.Suhud tentang bagaimana membangun  industri nasional yang kokoh dan subur makmur,  yang didukung oleh banyak usaha kecil dan menengah yang menyebar luas di berbagai daerah, dari Sabang sampai Merauke. Akhirnya kami sampai pada  dua  kesimpulan.

Pertama,  industri nasional tersebut  harus bertumpu pada  Sumber Daya Alam (SDA)  dan Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam negeri.. Industri tersebut harus mengikuti skema "Pohon Industri" yang akarnya menghunjam kuat di dalam negeri,  bahan baku utamanya (pertanian/laut/tambang/kerajinan/teknologi berbasis ketrampilan) berasal dan bersumber di dalam negeri, baik itu berupa SDA maupun SDM. Seperti  pohon ia punya batang yang memiliki dahan-dahan utama, kemudian bercabang-cabang dan beranting-ranting, berdaun, berbunga dan berbuah.

Kedua, pohon itu harus tumbuh mengikuti skema usaha sebagai berikut: batang pokok harus dikuasai negara, dahan boleh swasta besar baik Penanaman Modal Asing (PMA) yang sebagian sahamnya dimiliki pengusaha dalam negeri,  maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), cabang untuk usaha menengah dan ranting-ranting untuk usaha kecil.

Sayang hal itu, kecuali skema usaha yang dicadangkan untuk industri menengah dan kecil,  belum sempat ia  wujudkan. Sementara dunia industri sekarang sudah mulai berubah dari Revolusi Industri yang mulai digerakkan dengan listrik yang dikenal sebagai industri 2.0 dan industri 3.0 yang ditandai dengan otomatisasi, menjadi Revolusi Industri Keempat atau industri 4.0 yang diperkuat dengan teknologi digital.

Namun mencermati produk-produk barang impor khususnya yang membanjiri pasar-pasar di Indonesia bahkan sampai di pedesaan, kita bisa mengetahui bahwa baik produk pertanian maupun produk jadi seperti halnya barang-barang rumah tangga dan pakaian yang berasal dari Cina, sesungguhnya masih merupakan produk industri 2.0 dan 3.0. Dengan demikian sesungguhnya kita masih memiliki kesempatan besar untuk merebut kembali pasar dalam negeri kita sendiri.  Semoga. Amin.

Tatkala tulisan pendek ini saya posting ke Face Book, segera memperoleh tanggapan dari beberapa sahabat, salah satu di antaranya adalah senior saya di SMA Negeri I Pati, mas Rahadi Poetranto yang menulis:

"Dik Wiek, industri pariwisata cocok. Bahan bakunya laut/pantai, gunung, pertanian : sayur n buah, budaya kita kaya sekali. Batangnya tetap dikuasai pemerintah, bahkan dahannya : transportasi udara/darat/laut bisa oleh negara ato swasta. SDM dari DN melimpah. Masyarakat luas bisa ikut terlibat, kerajinan bisa laku : batik misalnya. Tari2an mau dari Aceh, Sumut, Sumbar, Jabar, Jateng, Jatim.termasuk Madura, Bali banyak banget,  sekalian melestarikan budaya. Seperti wayang kulit/golek dll. Kalo pariwisata berkembang, baik wisman/wisnus butuh makan/minum masyarakat bisa buka warung. Tapi harus aman dari penjahat/pencuri/penipu/preman2 harus mau alih profesi jadi orang baik/pelindung/penolong jadi wisman/wisnus nyaman."

Mas Rahadi secara sederhana menterjemahkan ide skema pohon industri pariwisata dengan enak. Terima kasih Mas. **
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2673058232725037&id=100000626583927

MOBIL NASIONAL


CATATAN TENTANG MOBIL NASIONAL.

Kemarin, Jumat 6 September 2019, bertepatan dengan Peresmian/Peluncuran Mobil Nasional/Indonesia ESEMKA BIMA oleh Presiden Joko Widodo di Boyolali, Jawa Tengah,  saya membongkar tumpukan tas-tas kerja puluhan tahun yang lalu. Subhanallah walhamdulillah saya menemukan foto di atas, yang menggambarkan salah satu adegan diskusi TVRI pada periode tahun 1977 -1978 yang saya ikuti tentang bagaimana upaya kita untuk bisa memiliki mobil nasional, buatan putra-putra Indonesia sendiri. Sementara pada saat itu kita dibanjiri dengan berbagai mobil impor dengan berbagai merek dari berbagai negara negara.

Dari berbagai seminar, lokakarya, diskusi dan kunjungan ke berbagai industri otomotif dan logam, berbagai pihak yang peduli kemudian membentuk Panitia/Tim Nasional "Membangun Industri Otomotif Nasional".  Kita  sungguh ingin memilik mobil nasional (mobnas), tidak sekedar nama tapi ada sejumlah prasyarat dan ukuran-ukuran termasuk kandungan komponen lokal khususnya mesin, transmisi serta casis, dan juga bukan semata-mata karoseri. 

Pada masa itu Malaysia belajar dari Indonesia bagaimana  mewujudkan industri nasional, dengan mengirim beberapa kali utusan sehingga kemudian menghasilkan mobil Proton yang merupakan kerjasama dengan Mitsubishi.

Foto dari kiri ke kanan B.Wiwoho (Wakil Ketua Panitia/Tim Membangun Industri Otomotif Nasional dari unsur pengamat), Supeno Sumarjo (Pimred Surat Kabar Merdeka), Dirjen Industri Logam & Mesin Suhartoyo, Sudiyanto (TVRI), Hadi S.Topobroto (Sekjen Gabungan Agentunggal dan Industri Otomotif Indonesia), Amran Zamzami (Ketua Panitia/Tim Membangun Industri Otomotif Nasional dari unsur produsen) dan Sumarkoco Sudiro (Redaktur Harian Kompas). 

Panitia/Tim yang bekerja sekitar setahun menghasilkan sejumlah rekomendasi antara lain: (1) stop mobil build-up dan harus dirakit di dalam negeri; (2)penciutan sekaligus pengelompokan dan penggabungan merek mobil yang boleh beredar di Indonesia untuk secara bertahap mencapai skala ekonomi minimal dalam menuju butir (3) yaitu membangun industri mesin di dalam negeri; (4) interchangeability part/komponen  sehingga dicapai kapasitas produksi yang ekonomis; (5) mengusulkan dibentuknya Tim Otomotif Nasional sekaligus calon-calon anggotanya, yang saya ingat antara lain Ir.Rahardi Ramlan, Ir.Giri Suseno  Ir.Tabiat dan Ir.Suhari Sargo.

Inilah kegiatan yg kemudian menghasilkan istilah Mobil Nasional. Semoga bisa jadi pembelajaran. Amin.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2671037812927079&id=100000626583927




Senin, 02 September 2019

APBD DKI, Pilkada Langsung, dan Amendemen UUD 1945



APBD DKI, Pilkada Langsung, dan Amendemen UUD 1945


APBD DKI, Pilkada Langsung, dan Amendemen UUD 1945
Aster KSAD 2006-2007, Wakil Gubernur DKI 2007-2012 Prijanto. Foto/Dok/KORAN SINDO
TOPIK ILC TVOne, 29 November 2017 “RAPBD DKI: Serangan Pertama untuk Anies-Sandi” cukup seksi. Patut diprediksi, akan ada serangan berikutnya. Padahal, dari dulu APBD selalu menjadi sorotan, namun tidak setajam di tahun 2018. Prijanto ketika Wagub DKI, pernah menyoroti­n­ya dalam tiga buku
Komentar Andrinof A Chaniago, dalam buku Meng­intip APBD dan Pembangunan Jakarta (Oktober 2009): “.... per­kem­bang­an terkini pem­bangunan Jakarta dalam buku ini selayak­nya disambut oleh para pemang­ku amanah, ter­utama legislatif dan aparat eksekutif.” Wali Kota Jakarta Pusat Sylviana Murni: “Hanya datang dari seseorang yang memiliki tekad mewujud­kan clean and good governance yang mau menganalisis sekali­gus mengkritik proses per­jalan­an pembangunan Jakarta me­lalui APBD, dst.”

Buku Andaikan Aku atau Anda Gubernur Kepala Daerah (Oktober 2011) dikomentari Laode Ida (Wakil Ketua DPD): “Bagi kalangan praktisi dan pengambil kebijakan pem­bangunan dan anggaran, buku ini seharusnya menjadi refe­rensi. Pengelolaan anggaran se­bagaimana penulis idealisasi­kan menjadi hal penting dst.”
Mengawal Uang Rakyat me­rupakan buku yang ditulis di akhir jabatan Prijanto. Buku di­bedah oleh Effendi Gazali, Wanda Hamidah (DPRD) dan Ridwan Saidi (tokoh Betawi) pada 12 Desember 2012 di Hotel Boro­budur. Buku ini berisi langkah-langkah yang sebaiknya diambil agar publik terlibat sehingga APBD transparan dan akun­tabel. Buku tersebut diterima Ahok yang hadir pada acara ter­sebut.

Cerita di atas dimaksudkan sebagai bukti kisruh APBD DKI sudah sejak dulu. Salah satu buku dikomentari J Kristiadi, peneliti senior CSIS secara tajam: “....buku ini dapat dikata­kan ‘me­lawan arus banalisasi kemung­kar­an’... dst.” Walau begitu, polemik di era Gubernur Foke tidak ada aroma politik atau ke­tidakpuasan pilkada. Mengapa, kala itu patut diduga tidak ada kekuatan yang me­nunggangi PKS yang kalah da­lam Pilkada 2007. Berbeda de­ngan itu, di era Gubernur Jokowi dan Anies ada aroma politik. “Melihat anggar­an Pemda DKI, saya kangen Ahok” salah satu contoh kritik saat ini. Media juga ada yang ber­main, memuji Ahok, menye­rang Anies-Sandi. Ada indi­kasi APBD dimanfaatkan se­bagai alat mem­bunuh karakter lawan politik, sehingga indikasi perpecahan saat pilkada terus bergulir.

Persoalan RAPBD dan APBD DKI Jakarta
Kisruh RAPBD itu di seputar alokasi dana dan macam pro­gram di SKPD karena ada ke­pen­tingan komisi-komisi di DPRD. Rancangan dari ekse­kutif perlu dikoreksi karena berbagai kepentingan campur aduk. Mekanisme koreksi lewat pembahasan di DPRD. Tidak bisa hanya membaca website DKI tentang anggaran lalu mengkritik lewat media, tanpa mendengar penjelasan.

Sebagai ilustrasi, dalam website anggaran terlihat ada kenaikan belanja modal. Tidak benar jika terus berprasangka negatif, tanpa mendengar pen­jelasan. Mengapa besar, pasti ada penjelasan eksekutif. Ketika membaca PAUD dapat ang­gar­an APBD, padahal PAUD dapat anggaran APBN, buruk sangka muncul, duplikasi. Setelah di­jelas­kan, ternyata dari APBN untuk ope­rasional, sedangkan dari APBD untuk honor guru.

Sesungguhnya, sudah ada sistem yang melibatkan publik, agar anggaran transparan, tepat guna, berdaya guna, dan akuntabel. Publik mengontrol melalui website, menanyakan dan saran lewat pembahasan di DPRD DKI. Jurus politik yang umum adalah (1) memuji tokoh sendiri (2) kill the meseger/mem­bunuh karakter lawan politik (3) mengacak sistem dan me­rusak situasi. Hendaknya jurus-jurus ini tidak menggunakan APBD sebagai wahana ketidak­puasan hasil pilkada langsung.

Pilkada Langsung dan Amandemen UUD 1945
UUD 1945, terdiri atas Pem­bukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan, me­miliki 16 bab. Setelah di­amendemen, UUD 1945 hanya terdiri atas Pem­bukaan dan pasal-pasal. Walau tertulis sama 16 bab, tetapi ada keanehan, Bab IV hasil amen­demen kosong melompong. Dari berbagai diskusi dan kaji­an, undang-undang dasar (UUD) hasil amendemen diketemukan banyak hal yang patut dinilai menyimpang dari cita-cita para founding fathers.
Bambang Wiwoho, jurnalis senior, dalam artikelnya “Per­baiki Sistem Ketatanegaraan yang Amburadul” mem­visual­isasi­kan UUD 1945 bagaikan pohon kehidupan, di mana se­luruh denyut kehidupan bangsa dan negara tergantung kepada­nya. UUD 1945 hasil amen­demen 2002 saat ini menjadi sumber segala produk hukum dan aturan berbangsa dan ber­negara bak pohon beracun, be­nih, sampai buahnya be­racun. Mengamandemen UUD 1945 telah merusak sistem, melahir­kan ber­ba­gai aturan yang me­mun­cul­kan ancaman krisis moral. Demikian B Wiwoho.

Secara faktual, per­satu­an dan kerukunan masya­ra­kat ham­pir di semua la­pisan ke­hidup­an terganggu akibat pil­pres dan pilkada langsung. Stigmatisasi anti-Pancasila, antikebinekaan, tuduhan intoleran, ujaran kebencian dan tindakan permusuhan, men­jamur de­ngan alamat yang tidak jelas. Walau pilpres dan pilkada sudah usai, suasana ber­saing dan beda pendapat ber­langsung sampai ke­temu pilpres dan pilkada berikutnya.

Pilpres diatur dalam Bab VIIB UUD hasil amende­men dan pilkada langsung jabaran dari Pasal 22E (6) Bab VIIB. Per­tanya­an kritisnya, apakah sis­tem pemilu tersebut disengaja pihak asing karena melihat ke­majemukan bangsa Indonesia bisa dieksploitasi men­jadi konflik? Mengapa asing kita curigai? Karena pro­ses amen­demen UUD 1945 pa­tut diduga kuat didanai lembaga keuangan internasional dan LSM asing ikut campur (John Mempi, Di Balik Amandemen UUD 1945 ).

Kembali ke UUD 1945 Bukan Untuk Kembalikan Dwifungsi ABRI

Kembali ke UUD 1945, Dwifungsi ABRI dan Pilpres Menurut Prijanto

INDOPOS.CO.ID – Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto mengatakan, kembali ke UUD 1945 dan Dwifungsi ABRI itu, tidak ada kaitannya. “Keliru besar jika ada pendapat yang mengkaitkan atau mencurigai tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 sebagai upaya ingin menghidupkan Dwifungsi ABRI,” kata salah satu pemrakarsa Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) itu ketika diwawancarai di rumahnya, di Jakarta, Minggu (17/3/2019).

Berbicara Dwifungsi ABRI, kata Prijanto yang pernah menjabat sebagai Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat (Aster KSAD) ini, harus faham awal mulanya. Konsep “Jalan Tengah” buah pikiran Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat waktu itu, sebagai embrio Dwifungsi ABRI. Mengingat Tentara Indonesia lahir dari revolusi kemerdekaan, bukan hasil bentukan negara, sehingga ada yang berpendapat tentara sejak awal memang sudah berpolitik, yaitu politik untuk negara. Terjadilah diskusi berkepanjangan, apa sejatinya yang dimaksud dengan Dwifungsi ABRI.

Apapun definisinya, konsepsi tersebut, jika dikaitkan dengan pasal-pasal UUD 1945 dapat dipastikan tidak ada yang mengkait. Dengan demikian, jelas tidak mungkin tuntutan kembali ke UUD 1945 ada kaitannya dengan ingin menghidupkan Dwifungsi ABRI. “Pikiran konyol dan tidak mendasar semacam itu tidak perlu diumbar. Patut saya menduga, hal itu sebagai upaya untuk menghambat kita kembali ke UUD 1945,” imbuh Prijanto.

Lebih jauh Prijanto menyampaikan bahwa tuntutan atau ajakan untuk kembali ke UUD 1945 itu ada 2 (dua) aspek yang nendasari : (1) mencermati dengan pendekatan teoritis akademis, isi konstitusi hasil amandemen UUD 1945 (2) mencermati dampak nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atas pelaksanaan konstitusi hasil amandemen tersebut.

Kaitan isi konstitusi, Prijanto mengutip tulisan Prof. Dr. Dahlan Thaib, M.Si, Guru Besar Hukum Tata Negara FU-UII Yogyakarta, berjudul “Nasib Hasil Kerja Komisi Konstitusi tentang Amandemen UUD 1945”. Seperti kita ketahui, tahun 2002 MPR RI membentuk Komisi Konstitusi untuk mengkaji secara komprehensif terhadap hasil 4 kali amandemen UUD 1945.

Secara garis besar, kurang lebih sebagai berikut: Pertama, pengaturan sistem Presidential, pasal-pasalnya tidak diterapkan secara konsisten. Kedua, prinsip kedaulatan rakyat, konsep negara hukum dan check and balance, pasal-pasalnya tidak diterapkan secara konsisten. Ketiga, amandemen UUD 1945 terkesan menciptakan sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan yang tidak jelas, rumusan pasal-pasal yang multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan instabilitas politik.

Komisi Konstitusi yang beranggotakan pakar hukum telah menemukan 31 kelemahan hasil amandemen. Rekomendasi yang disampaikan kepada MPR RI, tidak ketahuan rimbanya. Padahal menurut banyak pakar, kekacauan yang ada saat ini diakibatkan konstitusi hasil amandemen yang tidak baik.

Untuk jelasnya, Prijanto menyilakan buka artikel-artikel seputar Komisi Konstitusi di google dan baca buku “Bangkit, Bergerak, Berubah atau Punah” dan buku “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945” yang merupakan kumpulan artikel para tokoh yang disusun oleh Gerakan Kebangkitan Indonesia.

Bukti lapangan, UUD 1945 hasil amandemen juga berdampak buruk terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Persatuan Indonesia nyaris terkoyak-koyak. Kehidupan sosial budaya sangat buruk, saling mencaci, meghujat, memfitnah, membenci dan menghinakan satu sama lain serta kebohongan yang merajalela. Penegakan hukum juga jauh dari harapan rakyat. Kedaulatan nyaris hilang, dan demokrasi telah menyimpang dari spirit dan nafas nilai-nilai Pancasila. Demokrasi kita telah berubah menjadi demokrasi yang individualistis, siapa yang kuat dialah yang menang.

Dari dua aspek tinjauan di atas itulah yang mendasari Gerakan Kebangkitan Indonesia mengajak untuk mari kita “Kembali ke UUD 1945”, tutur Prijanto. Lebih lanjut Prijanto menjelaskan apa tujuan kita harus kembali ke UUD 1945, antara lain: Pertama, agar Persatuan Indonesia tidak terkoyak-koyak. Kedua, agar bangsa dan negara Indonesia tidak punah.

Ketiga, agar kita bisa menyempurnakan UUD 1945 untuk menapak masa kini dan menyongsong masa depan, tanpa harus meninggalkan nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Negara Indonesia Merdeka oleh ‘the founding fathers and mothers’ dengan cara memberikan adendum pada UUD 1945. Keempat, agar kita bisa membumikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai Dwi Azimat Bangsa Indonesia. Kelima, agar kita bisa mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, aman, tenteram, adil dan makmur.

Mencermati alasan dan tujuan di atas, kiranya menjadi jelas, kembali ke UUD 1945 bukan untuk menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI, ataupun pemerintahan yang otoriter dan militeristik. Apa yang dilakukan Gerakan Kebangkitan Indonesia saat ini pun tidak ada kaitannya dengan politik praktis Pilpres dan Pileg 2019. Karena, nafas perjuangan GKI hakikatnya lanjutan perjuangan para senior sejak tahun 2002. Embrio Gerakan Kebangkitan Indonesia adalah Gerakan Selamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (GSNKRI) yang berawal dari “Curah Pendapat” di kantor PPAD DKI, 30/9/2015. Dalam curah pendapat tersebut didiskusikan jargon apa yang tepat, agar mudah dan bisa diterima masyarakat.

Ada jargon “Kaji Ulang UUD 1945” ada juga yang lebih progresif “Kembali ke UUD 1945”. Pada waktu itu disepakati, agar tidak hanya berhenti di kajian saja, dan agar tidak dicurigai kembali seperti masa lalu, maka jargon yang dipakai adalah “Kembali ke UUD 1945 Asli, Untuk Disempurnakan”. Jargon ini mewadahi aspirasi yang ingin kembali ke UUD 1945 asli dan yang ingin menyempurnakan, dengan tetap menjaga nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Indonesia Merdeka tetap lestari.

Perjuangan GSNKRI tahun 2015 hakikatnya kelanjutan perjuangan para senior sejak tahun 2002, seperti Jenderal Try Soetrisno, Jenderal Widjojo Soejono, Letjen Sayidiman, Letjen Syaiful Sulun, Prof. KH. Alie Yafie, Prof. Dr. Mubyarto, Bambang Wiwoho, Hariman Siregar, dll. Begitu pula perjuangan Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) yang dimulai tahun 2018, juga lanjutan dari perjuangan para senior, untuk kembali ke UUD 1945.

M. Hatta Taliwang, dari GSNKRI telah menuangkan pikirannya dalam buku “Selamatkan NKRI : Kembali ke UUD 1945 Asli, Untuk Disempurnakan”. Buku ini diserahkan GSNKRI yang dipimpin Jenderal Djoko Santoso kepada Ketua MPR RI, 15/12/2015. Dalam perjalanan perjuangan, sabagian sosok yang ada di GSNKRI memprakarsai lahirnya Gerakan Kebangkitan Indonesia, yang dideklarasikan 7/1/2018.

Jargon “Kembali ke UUD 1945 Asli, Untuk Disempurnakan” dijadikan sebagai salah satu misi GKI, yaitu “Mengedukasi dan mengajak “Kembali ke UUD 1945 Asli, Untuk Disempurnakan”.
Ketika ditanya tentang apa yang dimaksud dengan Dwi Azimat Bangsa Indonesia, apakah sama dengan Panca Azimat Revolusi ajaran Bung Karno? Prijanto tersenyum dan menjawab, jauh berbeda dan walau ada kata azimat, hal ini ini bukan urusan musrik, tetapi istilah politik saja.

Di lain waktu, Prijanto bersedia untuk menjelaskannya. Di akhir wawancara, Prijanto mengajak semua pihak, yang sudah memahami alasan dan tujuan mengapa kita harus kembali ke UUD 1945, kiranya sesuai kewenangan, kapasitas, dan kesempatan yang dimiliki, untuk bersedia sebagai fasilitator untuk mensosialisasikan, menggelorakan dan membumikan ajakan tersebut.
“Jika tidak ingin ‘Persatuan Indonesia’ koyak dan Negara Indonesia punah, kembali ke UUD 1945 merupakan kebutuhan yang tidak bisa dinafikan. Semoga, Insya Allah,” pungkasnya. (mdo