Jumat, 30 Maret 2018

PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN, dari Madura untuk Nelson Mandela (9) Sultan Melayu Matebe Shah



Sultan Melayu Matebe Shah





Wikipedia : Islam in South Africa menandai tahun 1667 sebagai awal kedatangan para tahanan dan politisi buangan dari Nusantara, yakni tokoh-tokoh masyarakat dan para bangsawan yang menolak kedatangan pengusaha-pengusaha Belanda yang mencoba menancapkan cengkeraman kekuasaan dan hegemoni perekonomian. Karena pada umumnya mereka adalah para bangsawan bahkan raja di daerah setempat, mereka kemudian disebut Orang Cayen, orang yang berkuasa dan berpengaruh. Kemungkinan besar itu berasal dari kata kajen, yang dalam bahasa Jawa berarti orang yang dihormati dan dimuliakan.

Politisi pertama yang dibuang ke Cape dikenal sebagai Raja dari  Sumatera, yang kemudian disebut  Syeh Abdurahman Matebe Shah disertai Sayed Mahmud dan seorang tahanan lainnya. Tawanan yang terakhir ini selanjutnya dibuang ke pulau Robben.

Matebe Shah adalah Sultan terakhir dari Kerajaan Malaka, keturunan  Pangeran Megat Iskandar Shah yang berasal dari Sumatera, yang mendirikan kerajaan tersebut pada abad ke 15. Kekuasaan  dan pengaruh Kesultanan Malaka  meliputi wilayah Melayu, membentang dari sebagian Sumatera sampai ke semenanjung Malaya. Sultan Matebe Shah dan Sayed Mahmud sangat menentang kedatangan Portugis dan Belanda, namun kemudian tertangkap dan dibawa ke Batavia. Ada dua informasi yang berbeda mengenai kapan kedatangan Sultan Matebe di Afrika Selatan. 
 
Guide to the Kramats of the Western Cape halaman 23  menyebutkan mereka diangkut dengan kapal Polsbroek, yang berlayar meninggalkan Batavia pada 24 Januari 1667 dan tiba di Cape 13 Mei 1668. Sementara itu dalam https://showme.co.za/lifestyle/circle-of-saints/ ditulis kapal Zuid-Polsbroek yang membawa Sultan Mateba tiba di Cape pada Januari 1667.

Perihal pendudukan Hindia Belanda di Malaka, tahun 1641 Gubernur Antonio van Diemen berhasil mempengaruhi dan membuat perjanjian antara VOC dengan Sultan Johor, untuk membantu mengusir Portugis dari Malaka. Malaka sudah diduduki oleh Portugis semenjak tahun 1511, dan sejak September 1640 Malaka dikepung oleh armada Belanda dibawah pimpinan Minne Willemszoon Keerdekoe. Dengan bantuan kapal baru yang dikirim dari Batavia, akhirnya pada tanggal 14 Januari 1641 Malaka jatuh ke tangan Belanda, dan van Diemen mengangkat Pieter van den Broeck sebagai pemimpin VOC di sana. Sebagai imbalan atas kesuksesan ini, Sultan Johor membuka lebar-lebar semua pelabuhan di pantai Riau kepada VOC.

Pada abad 17 itu para Sultan dan bangsawan di Semenanjung Malaya, pada umumnya berasal dari Sumatera, dan wilayah pengaruhnya membentang sampai ke sebagian Sumatera. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila Sultan Matebe disebut Sultan terakhir dari Malaka yang berasal dari Sumatera.
Bersama Sayed Mahmud dan seseorang yang tidak diketahui namanya, Sultan Matebe dirantai bertiga secara bergandengan. Sultan dan Sayed Mahmud  diasingkan di daerah Constatia. Di sana mereka mengajarkan Islam kepada para budak. Sedangkan yang seorang lagi dikirim ke pulau Robben.

Menurut Ebrahim Mahomed Mahida dalam “History of Muslim in  South Africa: 1652 -1699 (South African History Online)” , mengutip sejarawan GM Theal dalam bukunya “History of South Africa 1795, on the Dutch East India Company”, sesungguhnya sebelum kedatangan Sultan Matebe, pada tahun 1654 Pengadilan Belanda di Batavia telah menghukum 4 orang yang berkhotbah menyerukan perlawanan  terhadap pendudukan Belanda di Batavia. Tiga dari mereka dibuang ke Mauritius dan seorang ke Tanjung Harapan. Orang ini menurut GM Theal merupakan orang muslim pertama yang tercatat menjejakkan kakinya di bumi Afrika Selatan, dua tahun setelah bangsa kulit putih menghuni negeri ini.

Namun dalam “The Malay of Cape Town”, JS Mayson menulis tahun 1652 sebagai kedatangan sejumlah orang Islam Melayu yang dibawa Belanda dari Batavia ke Cape bersama dengan Jan van Riebeeck. Merekalah yang diduga merupakan orang Islam generasi pertama yang menjejakkan kakinya di Cape. Foto/Ilustrasi, bangunan makam, makam dan peta ke makam Sultan Mateba. Diaimbil dari buku Kramats of the Western Cape.
(Bersambung).

Kamis, 29 Maret 2018

PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN, dari Madura untuk Nelson Mandela (8) Gelombang Kedatangan Pahlawan-Pahlawan Nusantara.


Gelombang Kedatangan Pencerah-Pencerah Nusantara. 



  
Sejarah perkembangan Islam di Afrika Selatan adalah seumur dengan berdirinya kota Cape. Islam tiba di Cape segera atau bahkan hampir bersamaan dengan dimulainya kolonisasi Belanda di daerah kepulauan yang sekarang disebut Indonesia. Sebagian dari mereka tiba sebagai tahanan yang dibuang karena melawan Belanda, dan sebagian lagi karena dijadikan sebagai budak untuk melayani kebutuhan Belanda di Tanjung Harapan. Namun sementara itu ada pula Satuan-Satuan Keamanan yang terdiri dari pemuda-pemuda muslim Ambon, dan ada pula Pasukan Artileri dari Jawa (The Mosques of Bo-Kaap : 90)

Orang-orang yang tergabung dalam satuan keamanan dan pasukan Artileri tersebut dinamakan Mardycker atau Maredhika,  yang berasal dari kata mardiko atau merdeka (Kamus Oxford dan Wikipedia : Islam in South Africa).
Satuan keamanan dari Ambon dibentuk untuk menjaga keamanan perusahaan-perusahaan dan pengusaha Belanda dari gangguan penduduk asli, sedangkan Pasukan Artileri Jawa untuk berperang bersama Belanda melawan Inggris terutama pada awal abad 19. 

Guna menghadapi Inggris dalam perang babak kedua di awal abad 19 tersebut,  Belanda membentuk dua formasi pasukan artileri yang anggota-anggotanya berasal dari orang-orang Jawa Muslim. Dan demi memperoleh kesetiaan mereka, Belanda menukarnya dengan memberikan keleluasan untuk mengelola masjid, berarti menyimpang dari ketentuan yang dibuat Gubernur Jenderal John Maetsuycker, mereka diijinkan mengamalkan dan mengajarkan agama islam di tempat umum. 

Pasukan Artileri Jawa ini berperang secara gagah berani dalam perang Blaauwberg tahun 1806. Banyak diantara mereka yang tewas dan terluka. Keberanian mereka dalam pertempuran bahkan sampai dipuji oleh lawan mereka, Penguasa Inggris, Lord Baird, yang berhasil mengambilalih Cape. Dua pasukan Artileri Jawa maju ke medan tempur layaknya pasukan infanteri, setelah pasukan resimen 22 Belanda kabur tanpa menembakkan satu pelurupun, menghadapi pendaratan dan serbuan 6.000 (enam ribu) pasukan  Inggris. Dalam buku Bo-Kaap & Islam (hal 76), keberanian serta pengorbanan pasukan artileri Jawa dan para mahardhiker di Cape, yaitu pasukan de Javaansche Artilerie serta de Ligte Javaansche Artilerie te Voet, disebut memegang prinsip a quid pro quo. Dalam hal ini menukar jiwa raganya dengan hak untuk mengamalkan keislamannya secara terbuka.

Mardycker pertama dari Ambon  tiba pada 1658. Di samping sebagai satuan keamanan, sebagian dari mereka juga dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, mula-mula di keluarga-keluarga Portugis, kemudian Jan Van Riebeeck meminta tenaga kerja dari Ambon untuk perkebunan dan kegiatan Belanda. Para Mardycker ini memperoleh kebebasan menjalankan syariat agamanya sepanjang tidak dilakukan di tempat umum dan melakukan propaganda atau dakwah. Pelanggaran atas hal tersebut  bisa dikenai hukuman mati (plakat peraturan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Antonio van Dieman (1636 – 1645) th 1642, yang diumumkan kembali pada 23 Agustus 1657 oleh Gubernur Jenderal John Maetsuycker (1653 -1678). Ketentuan tersebut dibuat untuk mengantisipasi pengiriman para Mahardhike ke Cape, dan oleh sebab itu terus diberlakukan ketika mereka berada di Cape (The Mosques of Bo-Kaap dan History of Muslim in South Africa: 1652 – 1699 by Ebrahim Mahomed Mahida, South African History Online) . Foto lukisan Pertempuran Blaauwberg antara Belanda - Inggris di Cape Town tahun 1806. Pasukan tempur Belanda terdiri dari orang-orang Jawa. Direpro dari buku Bo-Kaap & Islam. (Bersambung).

Rabu, 28 Maret 2018

PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN, dari Madura untuk Nelson Mandela (7): Masyarakat & Tokoh Keturunan Nusantara.



Masyarakat & Tokoh Keturunan Nusantara.





Dengan muslim yang merupakan 5 % dari 40-an juta penduduk Afrika Selatan (The Influence of Islam in Southern Africa and its Impact on Society, 2017,  hal 22), orang Islam memperoleh ratio tinggi dalam jumlah perwakilan di National Assembly setelah terbentuknya Pemerintahan baru yang menghapuskan politik perbedaan ras.  Nelson Mandela yang menjabat sebagai Presiden, mengangkat sahabat suka dukanya di penjara, Ahmed Kathrada sebagai penasehat,  tiga orang duduk dalam Kabinet yaitu Dullah Oar, Kader Asmal dan  Mohammed Vallie Moosa. Belum lagi sejumlah orang yang duduk di berbagai jabatan penting lainnya.

Pada tanggal 1 Desember 2011, berkunjung ke Indonesia dan diterima antara lain oleh Menteri Perdagangan Indonesia Gita Wiryawan, Menteri Pertanian, Perikanan dan Kehutanan  Afrika Selatan (Su)Tina(h) atau Tina Monica Joematt yang menyatakan sebagai keturunan Jawa dari Kendal.

Demikian pula pada Oktober 2014 tiba di Bali untuk mengikuti Forum Demokrasi Bali, Menteri Pengembangan Ekonomi Afrika Selatan Ibrahim Patel, yang merupakan keturunan Tuan Guru Imam Abdullah bin Kadi Abdus Salam. Sebelum ke Bali, Ibrahim Patel  menyempatkan melakukan kunjungan lebih dulu ke tanah lelulur di Pulau Tidore. Ia didampingi oleh kerabatnya  seorang Gurubesar Universitas Cape Town Profesor Farid Esack, yang juga keturunan Tidore. Dalam kunjungannya di Kedaton Kesultanan Tidore, Ibrahim Patel mengatakan kisah heroik perjuangan dan perlawanan Tuan Kadi Imam Abdullah dalam melawan kolonialisme Belanda selalu diceritakan oleh kedua orangtuanya semenjak ia masih kecil. (KABARTIMURONLINE, Jumat,10 Oktober 2014, 05.00 WIB).

Seperti penulis singgung di bagian lain, perihal angka-angka kita harus teliti mencermatinya. Jika buku The Influence of Islam in Southern Africa and its Impact on Society, menyebut jumlah penduduk muslim sekitar 5% dari jumlah seluruh penduduk Afsel, dalam Islam in South Africa dari Wikipedia, perkiraan penduduk muslim pada tahun 2015 adalah 1,9%.

Penduduk Afrika Selatan menurut Wikpedia yang diunduh pd 31 Januari 2018, berdasarkan sensus 2011 adalah 51.770.560 dan pada th 2015 diperkirakan menjadi 54.956.900. Sementara itu penduduk wilayah semenanjung Cape per sensus 2011 adalah 3.740.025 dan perkiraan tahun 2014 menjadi 3.750.000, sedangkan di kota Cape sendiri berdasarkan sensus 2011 adalah 433.688 jiwa. Dari penduduk sebanyak itu, penduduk Malay diperkirakan sekitar 200.000 jiwa yang tersebar antara lain di Cape Town 166.000 dan di Johannesburg 10.000 jiwa.

Menurut Wikipedia, perkembangan Islam di Afrika Selatan berlangsung dalam tiga gelombang. Pertama, pada periode 1652 sampai pertengahan abad 19, berupa kedatangan para budak, tahanan politik dan para politisi yang dibuang yang berasal dari kepulauan Indonesia. Kedua, para buruh pabrik gula di daerah Natal, yang didatangkan Inggris dari India pada periode 1860 – 1868 dan periode 1874 – 1911. Semuanya mencapai sekitar 176.000 orang. Dari pengapalan di periode pertama itu saja, buruh muslim diperkirakan mencapai 7 – 10%. Ketiga, berlangsung setelah penghapusan politik apartheid, terutama berasal dari para pendatang dari seberang perbatasan Afrika Selatan , yang masuk sebagai imigran. Jumlah mereka diperkirakan berkisar dari 75.000 – 100.000.

Perjuangan para budak sampai menghirup kebebasan dan menjadi warga negara terhormat dewasa ini, terutama pada periode 1653 sampai 1834, merupakan periode yang sangat berat, yang banyak ditulis sebagai bagian dari sejarah Afrika Selatan, antara dalam buku “ From Slavery to Citizenship. A walk through the history of Strand Community” oleh Ibraham Rhoda. Dalam buku tersebut diungkapkan antara lain pembangunan masjid kedua yaitu Masjid Nurul Anwar yang dilakukan pada tahun 1885 oleh Gatiep Railoun dari Jawa.

Dari buku tersebut, demikian pula dalam pergaulan sehari-hari dewasa ini, kita juga bisa menjumpai sejumlah menu makanan, istilah, sebutan dan nama-nama yang berbau Jawa dan Indonesia, misalkan piring, bubur, blacang, buka puasa, Tanah  Baru, tramakassie, tamaaf (minta maaf), batcha, sumpah, maniengal (meninggal), buka, grana (gerhana), maskawi (mas kawin), agama, gielap (kilat), kamar mandie, jamban, tjoekoer, boeta, santri, langgar, sembahyang  dan Tuan Guru. (The Strand Muslim Community dan Regarding Muslim from Slavery to Post Apartheid ). Juga nama-nama seperti Bagus, Waris, V (w)arsity, Sutinah, Mymoena dan lain-lain. Sayangnya di beberapa buku dan oleh sebagian besar masyarakat Cape Town, apa yang disebut sebagai Malay adalah Malaysia, bukan Indonesia .

Kata Malay itu sendiri  berasal dari bahasa pengantar pergaulan yakni Bahasa Melayu. Oleh sebab itu pula komunitas yang sekarang tumbuh dan berkembang pesat yang berakar dari para budak, tahanan dan buangan politik, satuan keamanan dan pasukan artileri kemudian juga disebut Cape Malay, Malay Muslim. Sedangkan makanannya disebut Malay food. Bahkan lebih dari itu, lantaran mereka pada umumnya adalah muslim, maka penyebutan Malay juga identik dengan Muslim. Lebih jauh lagi penduduk asli berkulit hitam dan penduduk keturunan Eropa yang berkulit putih, yang pindah agama dari Kristen ke Islam, selanjutnya juga disebut Malay (Regarding Muslim  from slavery to post-apartheid halaman 17).

Penggunaan Bahasa Melayu terjadi karena mereka yang berasal dari berbagai suku, pulau dan daerah di Nusantara seperti Sunda, Jawa, Madura, Sumatera, Bolaangmangondou, Ternate, Tidore, Bugis, Sumbawa, Ambon, Timor dan lain-lain, tidak mungkin saling berkomunikasi dengan bahasa daerah masing-masing. Mereka kemudian  berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa pengantar Melayu yang bisa dimengerti, karena pada saat itu sudah menjadi bahasa perdagangan antar pulau di Nusantara.

Hal itu sesuai dengan gambaran pergaulan suku-suku bangsa di Nusantara pada abad-abad sekitar itu, yang diuraikan oleh mantan Gubernur Jawa (tahun 1811 – 1815/16) dan Sumatera (1818 – 1823/24) dari Inggris Thomas Stamford Raffles dalam bukunya yang termasyhur  The History of Java  antara lain sebagai berikut :
“Apapun pendapat mengenai asal-usul penduduk Jawa dan pulau-pulau sekitarnya, ada kemiripan kuat dalam bentuk fisik, bahasa dan kebiasaan yang ada di seluruh kepulauan ini sehingga bisa dipastikan mereka berasal dari tempat yang sama. Beberapa perbedaan budaya itu hanya sebagai akibat dari pemisahan yang lama, kondisi lokal dan juga interaksinya dengan pedagang asing, pendatang atau penduduk lain.

Sama dengan bangsa Filipina, di negeri ini juga ada tiga jenis etnis terbesar, yaitu Jawa, Sumatera ( Melayu atau Malaya : penulis) dan Sulawesi. Bangsa pertama mempunyai  kebiasaan, budaya dan perkembangan peradaban yang lebih baik dibandingkan kedua etnis lain. Baik bangsa Malaya atau Bugis merupakan bangsa pelaut dan pedagang yang sangat  dipengaruhi semangat perjuangan dan penjelajahan  ke tempat-tempat  baru.”

Tentang pengaruh budaya Melayu, Raffles menyebut Malaya, ia menulis lebih lanjut, “Sangat disayangkan tidak ada cukup keterangan mengenai kondisi dan perkembangan kedua pulau ini ( Sumatera dan Sulawesi: penulis), karena bangsa Eropa berkesempatan berinteraksi saat kejayaan bangsa ini menurun. Kerajaan Malaya yang dulu meliputi seluruh Sumatera dengan ibukota di Minangkabau, tampaknya telah lama dilupakan, tetapi wilayah koloninya masih bisa dilihat di sepanjang pantai semenanjung ini, ke arah timur sampai sejauh Maluku.” Penyebaran Islam oleh Raffles dianggap sebagai penyebab keruntuhan  kebudayaan nenek moyang orang-orang Malaya.

Mengenai suku Bugis, Raffles menulis, tampaknya belum terpengaruh oleh kedatangan pedagang asing  atau para penyebar agama dari Arab sehingga mereka mampu mempertahankan kebudayaan nenek moyangnya lebih lama dibanding kerajaan lain. Seperti halnya bangsa Melayu, bangsa Bugis juga memperluas wilayah koloninya sampai jauh ke barat, ke Sumatera bahkan ke Keddah di Semenanjung Malaya, dan hampir di setiap daerah di kepulauan ini (Nusantara : penulis) bisa ditemukan pemukiman Bugis dan Melayu.

Demikian pula di Cape, budaya Malay yang kemudian bercampur dengan budaya India cukup kuat pengaruhnya pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahasa Melayu dan Belanda semula cukup meluas dipergunakan tatkala Cape masih dikuasai Belanda. Namun ketika sudah diambilalih Inggris, kedua bahasa tersebut semakin sedikit dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, kecuali beberapa kata dan istilah masih mudah dijumpai. Namun demikian dalam hal makanan, terus hadir dan berkembang sampai sekarang. Bahkan pakar kuliner Faldela Williams yang menulis tiga buku masakan, satu diantaranya adalah masakan-masakan tradisional Malay.

Komunitas Malay juga mengembangkan genre seni musik rakyat yang khas yang semula dimaksudkan untuk merayakan pembebasan budak tahun 1883, dan selanjutnya merefleksikan sejarah kedatangan leluhur mereka berikut penindasan serta perjuangannya di masa lalu. Beberapa lagu yang diciptakan sungguh sangat menyayat hati dan mengaduk emosi. Gaya musik mereka dikenal sangat unik bahkan mungkin terunik di dunia. Genre musik Malay menarik perhatian para akademisi, musisi, penulis dan sejarawan bahkan  para politisi.  Musik tersebut selalu ditampilkan dalam karnaval tahunan yang dikenal sebagai Cape Town Minstrel, sebagai bagian dari Carnaval-Festival Jalanan. Musik ini menggunakan antara lain alat musik ghoema, yaitu sejenis genderang

Meskipun penghayatan atas sejarah perjuangannya di Cape cukup mendalam, sayang sekali pemahaman mereka  tentang Indonesia sangat kurang, bahkan semula menganggap pulau-pulau di Indonesia adalah bagian dari Malaysia, sehingga dewasa ini mereka lebih kuat menjalin kerjasama dengan Malaysia antara lain Kementerian Pariwisata dan Federasi serta Asosiasi Penulis Malaysia.

Hery Prasetyo dalam Tribunews.com pada Minggu, 8 Desember 2013 06:32 WIB menulis, “Sebuah grup opera yang disutradarai Luqmaan Adam saat tampil di Bloemfontein membawakan lagu Indonesia yang dipopulerkan Krisdayanti, berjudul ‘Menghitung Hari’. Namun, sang penyanyi memperkenalkannya sebagai ‘Malaysian song’. Sebuah kesalahan yang mungkin tak mereka sadari, sekaligus menyedihkan karena produk Indonesia dikira Malaysia.

Selanjutnya ia menulis, Indonesia dan Afrika Selatan sebenarnya sudah melakukan hubungan erat sejat 1994. Tapi nampaknya silaturahmi budaya kurang banyak terjadi. Dengan demikian banyak warga Cape Malay awam yang kurang tahu banyak tentang Indonesia. Bahkan, ada yang mengira Indonesia bagian dari Malaysia. Pasalnya, mereka hanya tahu bahwa negara AsiaTenggara adalah Malay.

Yang menyedihkan pula, orang Afrika Selatan tak tahu bahwa batik yang sering dikenakan tokoh mereka, Nelson Mandela, berasal dari Indonesia. Ketika ditanya pakaian Mandela itu, mereka tak menyebut batik, tapi ‘Madiba’s Shirt’. Madiba adalah sebutan sayang untuk Mandela.”

Wartawan Pikiran Rakyat, juga memperoleh pengalaman yang sama dengan Hery Prasetyo. Dalam www.pikiran-rakyat.com 20 Juni 2010, wartawannya melaporkan, “sebagian besar orang asli Afrika Selatan tidak mengenal Indonesia. Ketika ditanya , apakah Anda tahu Indonesia? Jawabannya beragam, ‘Malaysia?’ atau ‘Cina’, bahkan ada yang mengatakan “Bali’.

Demikianlah, sungguh sangat berat perjuangan pahlawan-pahlawan Nusantara di masa itu, yang sebagian besar datang menjejakkan kaki di bumi Afrika Selatan dalam keadaan dirantai, ditindas, bekerja keras sebagai budak dan beberapa dipaksa menjadi pelacur dan berbagai bentuk penindasan serta diskriminasi rasial serta agama. Sepatutnyalah kita menundukkan kepala, mengheningkan cipta serta mendoakan mereka yang terbuang dan tertindas itu, sebagai korban penjajahan yang datang ke Nusantara dengan kedok bisnis. Seharusnya pula kita belajar dari sejarah kedatangan para kapitalis di abad-abad tersebut, yang bukan tidak mungkin berulang kembali menjadi suatu penetrasi atau invasi senyap di saat sekarang dan masa depan. Foto: Berfoto di depan sebuah toko di kawasan Kampung Malay, yang juga dikenal sebagai Bo-Kaap. Rumah dan bangunan di kawasan ini dicat warna-warni. (Bersambung).

Selasa, 27 Maret 2018

PARA PAHLAWAN NUSANTARA DI AFRIKA SELATAN, dari Madura untuk Nelson Mandela (6): Pejuang – Pejuang Nusantara Melawan Perbudakan.


Pejuang – Pejuang Nusantara Melawan Perbudakan.






Makam para wali Allah yang pada umumnya penganut tasawuf itu sekarang bagaikan sebuah lingkaran yang diyakini luar biasa kuat, yang memberikan inspirasi bagi perjuangan melawan perbudakan serta membebaskan diri dari penindasan kolonialisme. Tidak mengherankan karena dalam menyebarkan agama Islam, para tawanan politik dan budak yang memiliki kharisma besar itu memang mengajarkan persamaan kedudukan di mata Sang Maha Pencipta, sehingga tidak layak manusia membedakan-bedakan kedudukannya berdasarkan bentuk dan rupa lahiriah serta harta benda yang dimiliki.  Yang membedakan manusia satu dengan yang hanyalah ketaatan, niat dan amal perbuatannya saja. Oleh sebab itu wajar apabila peranan umat Islam menjadi salah satu akar sejarah perkembangan Afrika Selatan.

Pengiriman dan kedatangan para tawanan politik dan para budak dari Nusantara, tak lepas dari peranan Administrator Belanda Jan van Riebeeck.Pegawai VOC semenjak tahun 1639 dengan karir awal antara lain sebagai pembantu ahli bedah di Batavia sampai kemudian menjadi Ketua Pos Perdagangan VOC di Tonkin, Vietnam. Pada tahun 1651, Jan van Riebeeck diminta mengambil alih rintisan permukiman Belanda di Tanjung Harapan.
Dengan armada berkekuatan tiga kapal yaitu Drommedaris, Reijger dan Goede Hoop, ia tiba di Cape 6 April 1652. Para sejarawan Afrika Selatan menduga, bersama mereka ikut beberapa pelayan penduduk Nusantara yang beragama Islam, yang kemudian menjadi orang-orang muslim pertama yang menjejakkan kakinya di Tanjung Harapan.

Tugas utama Jan van Riebeeck adalah menyediakan prasarana dan sarana persinggahan bagi armada-armada Belanda yang berlayar menyerbu Asia atau sebaliknya sewaktu kembali ke Eropa, menyediakan logistik dengan menanam pohon buah-buahan dan sayuran serta mendapatkan hewan ternak dari penduduk asli suku Khoi.

Selanjutnya ia membangun pemukiman Belanda dengan perencanaan yang matang, lengkap dengan benteng pertahanan, perkebunan dan peternakan. Tetapi ia  menghadapi banyak kesulitan, karena tidak bisa menggunakan tenaga-tenaga kerja lokal yang dinilainya sangat malas dan ketrampilannya tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Karena itu ia minta dikirim budak-budak dari Asia termasuk Indonesia.

Budak-budak dan para tawanan dari Nusantara itu tiba dengan belenggu besi di leher, kaki dan pergelangan tangan. Namun yang tidak disangka, pikiran-hati dan jiwa mereka tak dapat dibelenggu tetapi tetap bebas lepas melawan  penindasan para penjajah yang membelenggu fisiknya. Para budak itu adalah rakyat jelata yang tidak berpengalaman dalam peperangan, namun mereka membawa serta pondasi ideologi kebebasan dan kemerdekaan yang terkandung dalam semangat keislaman. Pondasi ini tumbuh  kuat begitu memperoleh sentuhan dari para ulama dan bangsawan yang juga dibuang sebagai tawanan politik, dan entah bagaimana ternyata ada pula beberapa ulama kharismatik yang tersamar yang berada diantara ribuan budak.

Islam tumbuh dengan pesat dari peternakan dan perkebunan-perkebunan menyebar ke Wilayah Barat Tanjung Harapan dan ke sekitar wilayah teluk yang dinamakan Teluk Meja, sama dengan nama gunung yang menjadi dinding kota Tanjung Harapan, yaitu Gunung Meja  Meskipun tuan-tuan dari para budak menjanjikan kebebasan bila para budak memeluk Kristen, serta mengancam akan memberikan hukuman berat bagi yang mengamalkan ajaran Islam di ranah umum,  iming-iming dan ancaman tersebut tidak menuai hasil.
Jika di wilayah Teluk Meja, jejak Islam ditapakkan pertama kali pada tahun 1652, di daerah Natal terjadi pada tahun 1865 tatkala Penguasa Inggris yang mengambil alih Afrika Selatan membawa buruh-buruh muslim dari India pada tahun 1865.

Pada akhir abad 18, Islam di Cape Town telah tumbuh dan berkembang. Th 1793 untuk pertama kali berdiri masjid di Dorp Street yg dinamakan Masjid Ul-Awwal beserta madarasah dengan siswa yang terdiri dari para bekas budak dan orang-orang buangan atau pengikut tahanan politik yang sudah bebas, yang terus berkembang sehingga pada tahun 1825 mencapai  491 siswa. Pada tahun 1775, penduduk Cape tercatat baru sekitar 12.000 jiwa, separuh diantaranya adalah para budak.

Tahun 1804 Pemerintah Inggris dengan semangat kebebasan mengijinkan masyarakat untuk bebas memeluk agama di daerah jajahan, dan untuk pertama kali Islam memperoleh pengakuan resmi di Afsel. (The Influence of Islam in South Africa and its Impact on Society , 2017 halaman 15).
Tatkala abolisi terhadap perbudakan dilaksanakan tahun 1838, penduduk muslim sudah lebih sepertiga dari penduduk , dan begitu bebas dari perbudakan, kehidupan sosial ekonomi mereka meningkat pesat. Banyak yang ahli memasak, tukang bangunan dan tukang kayu yang pada saat itu sangat dibutuhkan. Mereka juga menolak ajakan untuk memerangi penduduk suku asli Xhosa. Umat Islam bersimpati kepada masyarakat yang tertindas dan miskin, sebagaimana diajarkan, dan terus mendukung perjuangan melawan politik perbedaan warna kulit (apartheid), meski mereka menikmati sebagai warga negara klas dua, di atas dan lebih baik dibanding masyarakat kulit hitam.

Dalam perjuangan menentang politik rasialis semenjak pertengahan abad 20 sampai dengan terwujudnya kebebasan dan persamaan ras di tahun 1990-an, peranan tokoh-tokoh muslim cukup menonjol. Mereka antara lain Imam Gassan Solomon, Moulana Faried Esack, Ebrahim Rasool, Ahmad Cassiem. Sementara itu korban jiwa juga berjatuhan. Pada July 1985, dua pemuda yang ditembak polisi, dimakamkan dalam suatu upacara pemakaman yang dihadiri tidak kurang dari 30.000, suatu upacara pemakaman terbesar pada saat itu. Teks foto: Di depan pintu gerbang benteng Tanjung Harapan dan di depan benteng. (Bersambung).