Selasa, 31 Maret 2015

PEMAHAMAN TENTANG KAROMAH dan MALAIKAT : Kandungan Makna Suluk Kidung Kawedar (5).



Sang Hyang Guru dan Sang Hyang Hayu.

Bait 27 – 28 masih menggambarkan hikmah, keutamaan dan perbawa dari Kidung Kawedar, dengan disisipi ajaran-ajaran Islami yang menggunakan tamzil-tamzil lama yang apabila tidak dijelaskan dengan baik, bisa membuka peluang multi tafsir yang keliru. Oleh karena itu, jika ingin mengkaji sendiri Kidung ini, pembaca perlu memahami serta menggunakan bahan acuan Al Qur’an dan hadis, sehingga bisa menghayati tujuan utama ajaran Kidung yang juga sering disebut Kidung Rumekso Ing Wengi atau Kidung Sariro Ayu.

Bait 27 misalkan, mengajak membaca kidung di malam hari seraya memejamkan mata, menanamkan sugesti akan sosok Sang Hyang Guru, langkah Sang Hyang Hayu dan diri kita yang bercahaya lagi penuh pancaran kasih sayang.

Nama Sang Hyang Guru yang berarti Dzat Yang Maha Pandai lagi Maha Pemberi Petunjuk, tidak langsung menggunakan sebutan asma Rasyid  (Yang Maha Pandai) dan Hadi (Yang Maha Pemberi Petunjuk), melainkan dicari padanan makna yang akrab di telinga masyarakat, yang ketika itu masih menganut agama Syiwa – Buddha. Penganut agama ini mempercayai serta menyembah Dewa-Dewa, dan Dewa yang paling utama adalah Dewa Syiwa atau Betara Guru. Dalam pementasan wayang versi Jawa, Dewa-Dewa yang berusia lebih tua, memanggilnya Sang Hyang Adi Guru. Panggilan kehormatan Sang Hyang juga lazim diberikan kepada Dewi pengatur rejeki khususnya melalui pertanian, yaitu Sang Hyang Sri.

Adi atau hadi atau edhi dalam bahasa Jawa Kuno memiliki banyak arti. Bisa berarti indah, bagus, hebat sekali dan juga bisa berarti kepala dan permulaan. Khusus untuk kata adi bisa berarti pula adik atau adinda. Sedangkan guru berarti orang yang dimuliakan, pembimbing spiritual dan pengajar. Karena ini adalah kitab dakwah agama Islam, maka pada hemat penafsir penyebutan asma Gusti Allah yang Maha Pandai dan Maha Pemberi Petunjuk dengan Sang Hyang Guru, bukanlah dimaksudkan sebagai Batara Guru atau Dewa Syiwa, melainkan hanya sebagai metode komunikasi agar terdengar akrab dan mudah diterima masyarakat. Alhamdulillah, menurut istilah dalam bahasa Jawa, digothak gathik gathuk, diotak-atik ternyata maknanya cocok juga.

Begitu pula sebutan Sang Hyang Hayu (Ayu). Hayu atau ayu dalam bahasa Jawa Kuno memiliki banyak arti, antara lain cantik, molek, baik, saleh, sejahtera, kesehatan, kebahagiaan, benar. Kata ayu juga sangat akrab bagi masyarakat sejak tempo dulu sampai sekarang. Walaupun demikian, nama sesembahan Sang Hyang Hayu tidak ada. Tetapi bila kata Hayu itu merujuk pada bahasa Arab, maka penyebutan hayu yang penulisannya menggunakan yy, yaitu Hayyu, adalah merupakan salah satu asma Gusti Allah yang berarti Yang Maha Hidup Abadi.

Baris keenam bait 27 yaitu, ngadeg pangawak teja atau tegak berperawakan cahaya, penggambaran sosok tokoh atau pun tamzil seperti itu, tidak lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi ada penggambaran yang biasa digunakan terhadap orang yang memiliki aura hebat yakni  pasuryane sumunar  atau pasuryane mencorong, yang berarti wajahnya bersinar.

Sementara itu di dalam ajaran Islam, istilah cahaya itu sangat lazim dan dikaitkan dengan Dzat Allah, sebagaimana ayat 35 Surat An-Nur (Cahaya) sebagai berikut: “Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu laksana bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebelah timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing cahaya-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud dengan cahaya dalam surat tersebut ada bermacam-macam, mulai dari cahaya matahari, bulan serta bintang-bintang yang menerangi langit dan manusia di bumi, sampai dengan yang bermakna penerangan terhadap jalan kehidupan manusia yang berupa syariat dan hukum-hukum yang mengatur tata kehidupan dan pergaulan. Dari Surat An-Nur ini, berkembang berbagai tamzil tentang cahaya. Demikianlah perumpamaan yang terkait dengan cahaya, menjadi baris keenam dalam bait 27 Kidung Kawedar.

Baris terakhir bait 28, kembali menyebut kata malaikat, yang menjaga manusia sehingga memperoleh berkah dan perlindungan dari Tuhan sebagaimana diuraikan dalam Kidung ini semenjak bait pertama. Berbagai berkah, karomah, hikmah serta keutamaan yang banyak disinggung, seperti mengatasi binatang buas, gangguan nyata dari jin serta aneka jenis sihir dan magis, mungkin agak janggal bagi masyarakat zaman sekarang. Tetapi tidak demikian halnya pada zaman dahulu. Keseharian mereka memang tidak lepas dari hal-hal tersebut, termasuk berbagai penyakit gawat yang pada masa itu belum diketahui penyebab dan obatnya. Mereka sangat percaya dengan kesaktian mantera-mantera untuk mengatasinya. Oleh karena itu sangat wajar apabila Sunan Kalijaga menanamkan sugesti mantera dalam Kidung Kawedar sebagai daya tarik dalam berdakwah.

Semua jenis karomah, hikmah dan keutamaan itu dalam dunia tasawuf sangat wajar, namun diibaratkan permen yang amat menarik bagi kanak-kanak tapi tidak bagi orang dewasa. Maksudnya sebagai hadiah daya tarik bagi salik pemula, yaitu orang yang baru belajar ilmu tasawuf. Sedangkan bagi yang sudah mencapai tingkat hakikat apalagi makrifat, segala hadiah daya tarik itu tidak ada artinya. Hubungannya dengan Gusti Allah bukan lagi berdasarkan hadiah, melainkan kerinduan kepada Sang Kekasih yang tak ternilai. Alhamdulillaah.

Empat Malaikat Pendamping Manusia.

Malaikat yang dituturkan dalam bait 29, bagi masyarakat Jawa pada masa itu tentu merupakan sesuatu hal yang baru dan asing sama sekali. Makhluk gaib yang mereka kenal sebelumnya adalah roh-roh leluhur, roh-roh gaib penunggu gunung-batu-pepohonan-sungai-tempat serta benda-benda keramat. Sedangkan sesembahan yang sangat dimuliakan adalah para dewa atau batara terutama Batara Syiwa, Batara Wisnu, Batara Brama dan sepasang dewa yang bertugas membagai rejeki kepada umat manusia. Nama dewa pembagi rejeki tersebut sangat akrab bagi masyarakat, lantaran dianggap bersentuhan langsung dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka adalah Dewi Sri dan Dewa Sadana, yang kemudian disebut sebagai satu nama saja yaitu Dewa Sri Sadana.

Kepada masyarakat, Kidung Kawedar memperkenalkan sesembahan baru yang memiliki pasukan gaib terdiri dari para roh suci yang disebut malaikat. Malaikat menurut hadis Kanjeng Nabi Muhammad saw. yang bersumber dari Aisyah, diciptakan dari nur atau cahaya. Di dalam Kitab Suci Al Qur’an, masalah malaikat dibahas tidak kurang dalam 136 ayat, yang secara garis besar menyatakan bahwa malaikat adalah hamba yang dimuliakan Allah, tidak sombong, patuh melaksanakan perintah Gusti Allah, melarang perbuatan maksiat dan membacakan wahyu Allah.

Malaikat juga bertugas menjadi utusan Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya, namun demikian mereka bukanlah nabi atau pun rasul. Malaikat bertugas sebagai kawan, penjaga dan pembantu manusia yang ikut mendoakan dan memohonkan ampunan-Nya. Malaikat senantiasa bertasbih kepada Allah serta bershalawat untuk Kanjeng Nabi Muhammad.

Di samping mengilhami manusia untuk berbuat baik sekaligus sebagai saksi dan mencatat amal perbuatan manusia, malaikat juga menyiksa serta melaksanakan hukuman Allah kepada manusia. Malaikat mencabut nyawa manusia, menjaga neraka dan menyiksa penghuninya. Sementara itu ada pula yang bertugas menjaga surga.

Jumlah malaikat tak terbilang banyaknya. Mengingat peranannya sebagai rukun iman yang kedua, banyak para ulama termasuk sahabat-sahabat Rasulullah yang mendalami perihal malaikat ini. Namun dari berbagai riwayat, tidak dijumpai nama-nama khusus kecuali yang tersebut di dalam Al Qur’an dan hadis. Kepada malaikat yang tidak memiliki nama khusus itu diberi sebutan sesuai dengan tugasnya. Adapun nama malaikat Izrail yang disebut dalam Kidung bait 29 tadi, yang juga dikenal sebagai malaikat maut atau pencabut nyawa, tidak diketemukan sumbernya baik dalam Al Qur’an maupun hadis. Oleh sejumlah ulama, nama itu diduga berasal dari riwayat-riwayat yang termasuk kategori Israiliyat yang menyesatkan. Di dalam Al Qur’an, malaikat pencabut nyawa hanya disebutkan uraian tugasnya saja (Al An’am 06: 61, 93, Al A’raaf 07:37 dan An Naazi’aat 79:01-02).

Adapun empat malaikat yang disebut dalam bait 29 Kidung ini, yang tidak tepat betul dengan sumber rujukan Qur’an dan hadis, pada hemat penafsir  tidak perlu dimasalahkan, tetapi cukup dipahami saja. Pada abad 15 – 16 itu, budaya tulis dan cetak di Nusantara masih jauh terkebelakang. Sejumlah naskah tua ditemukan ditulis di atas media rontal (daun tal atau daun siwalan), bambu, rotan, daun nipah, labu hutan, tanduk, kulit kayu, tulang, kulit binatang dan belakangan di atas dluwang (kertas), kertas eropa, kain dan lain-lain, yang hanya bisa dilakukan serta dimiliki oleh orang-orang tertentu, dan tidak oleh orang kebanyakan. Sejumlah ajaran baik Qur’an, hadis maupun kitab-kitab ulama-ulama awal, kebanyakan dihafal di luar kepala. Sudah barang tentu tiada gading yang tak retak, dan itu menurut penafsir sama sekali tidak mengurangi keistimewaan Kidung Kawedar ini.


Subhanallaah.

Rabu, 25 Maret 2015

ANDA BISA KALAU MAU: Kunci Rahasia Kehidupan.



Orang Besar Adalah Orang Yang Punya Banyak Cita-Cita Besar.

Sahabat-sahabatku, master piece, umat pilihan cipta­an Allah,
Pernahkah Anda membayangkan kehidupan di sebuah penjara? Kekumuhan, penghuni yang berdesak-desakan, sampah dan bau busuk di mana-mana, air bersih yang selalu kurang, menu makanan yang jauh dari standar, kekerasan, perang antar geng, pelecehan seksual, praktek suap dan pemerasan oleh oknum petugas, gangguan narapidana yang menjadi preman, perdagangn obat bius dan sejumlah masalah menyeramkan lainnya.
Keadaan seperti itulah yang dihadapi In­spektur Jenderal Polisi Dr. Kiran Bedi, seorang wanita berusia 44 tahun dengan tinggi 161 cm serta berat badan hanya 55 kg, tatkala diangkat sebagai Kepala Penjara Tihar di New Delhi, India pada tanggal 1 Mei 1993.
Penjara Tihar dengan luas sekitar 81 hektar adalah sebuah penjara terbesar di Asia Pasifik, bahkan yang terbesar di sebuah negara de­mokrasi liberal manapun di dunia ini. Penjara ini dihuni oleh 9.700 narapidana  pria, wanita dan anak-anak.
Dalam tempo dua tahun tugasnya di penjara itu, Kiran Bedi yang sosok tubuhnya nampak rapuh, telah membuktikan bahwa ia adalah seorang wanita perkasa, ibu nan adil bijaksana penuh kasih sayang dari lebih 9.700 narapidana. Ia telah berhasil mengubah citra buruk sebuah penjara yang menyeramkan menjadi Tihar Ashram, tempat meditasi Tihar yang damai dan menenteramkan jiwa. (http://www.kiran bedi.com dan Kiran Bedi, It’s Always Possible, Yayasan Obor Indonesia, 2004)
Apa yang menjadi rahasia sukses Kiran Bedi yang sekarang tersohor itu? Adalah semangat dan tekadnya untuk menjadi sinar matahari kehidup­an bagi orang lain, dengan berbagi kebahagiaan melalui kerja.
Andapun kalau mau dan sungguh-sungguh, mampu melakukan hal besar seperti Dr. Kiran Bedi. Nasihat tua Cina mengatakan, “Orang besar adalah orang yang mempunyai banyak cita-cita besar. Bercita-cita mempengaruhi dunia adalah prasyarat untuk menciptakan pengaruh besar pada dunia. Akan tetapi, sekali seseorang telah menorehkan cita-citanya dan membuat ketetapan, ia harus tegar seperti gunung. Cita-cita dan kemauannya harus diproses menjadi tindakan sesuai rencana dalam benaknya. Jika ini bisa kita lakukan, maka kita bagaikan membangkitkan raksasa dalam diri kita.” (Adam Sia & Ah Lion, The Chinese & A.R.T. of Goal Setting, Elexmedia Komputindo, 1997)
Raksasa itulah yang di bagian depan buku ini saya sebut sebagai kemampuan dan kekuatan yang luar biasa dari Pikiran Bawah Sadar.

Mengobati Dengan Senyum dan Kata-Kata.

Wahai sahabatku yang murah senyum,
Di negeri Barat, kini juga berkembang terapi pengobatan dengan sugesti kata-kata. Orang yang sakit diajak duduk bersila, santai seperti bermeditasi atau berzikir, mengembangkan sikap batin untuk berserah diri kepada Yang Maha Kuasa selama kurang lebih seratus hitungan, kemudian diulang sampai puas. Bersamaan dengan itu digumamkan doa atau sebutan ter­hadap Yang Maha Kuasa, juga secara berulang-ulang dengan ritme yang teratur. Selanjutnya si sakit dianjurkan untuk mengajak bicara bagian tubuhnya yang sakit, dengan menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang menguatirkan dengan bagian tubuhnya itu. Semuanya sehat, dan karena itu berfungsilah secara normal sebagai­mana bagian tubuh yang sehat. (Larry Dossey, MD, Healing Words, edisi Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, 1996)
Dalam terapi penyembuhan Tao yang telah berusia ribuan tahun di Cina, juga dikenal metode penyembuhan mirip seperti di atas, yang dikenal sebagai energi Senyum Pencerahan.
Orang yang sehari-hari suka uring-uringan, marah, sedih, tertekan, takut, khawatir dan aneka perasaan buruk lainnya, di dalam terapi penyembuhan Tao disebut memiliki energi negatif. Jenis-jenis energi negatif ini secara bersama-sama menyebabkan penyakit kronis. Energi negatif dengan penyakit yang ditim­bulkannya dapat dilawan dan disembuhkan dengan membangkitkan energi Senyum Pencerahan.
Bayangkanlah diri anda, berada di suatu tempat yang asing sedang kelelahan dan ke­bingungan mencari alamat. Tiba-tiba melintas seseorang yang tersenyum manis kepada anda. Dunia kembali seakan membentangkan lengan­nya secara hangat menyambut anda.
Demikianlah, tersenyum kepada organ tubuh yang sakit, ibarat bercanda mesra dengan sang kekasih. Dalam pengobatan Tao, Senyum Pencerahan memiliki hubungan erat dengan kelenjar timus dan dapat meningkatkan aktivitas kelenjar timus ini. Padahal kelenjar timus merupakan muara kasih sayang dan daya hidup. Teori kanker yang dikembangkan oleh Sir Mac Farlane Burner, peraih Nobel dari Australia, menyimpulkan, peningkatan aktivitas kelenjar timus akan memperbesar kemampuan me­me­rangi penyakit kanker. (Mantak Chia, Rahasia Tao-Mengubah Stress Menjadi Energi Vitalitas, Ketindo Soho, Surabaya 1997)

Manfaat Sedekah Senyum, Zikir dan Baik Sangka

Sahabatku yang selalu bersangka baik,
Rahasia sukses Kiran Bedi, nasihat tua Cina, terapi penyembuhan dengan kata-kata maupun Senyum Pencerahan Tao, adalah apa yang di dalam ajaran Islam disebut husnudzon, zikir dan sedekah senyum. Husnudzon atau berbaik sangka dalam ilmu psikologi disebut berpikir positif. Jika ketiga hal itu sering kita lakukan sebagai kebiasaan baik, maka akan merupakan masukan yang positif kepada Pikiran Bawah Sadar, dan selanjutnya dapat disinergikan dengan tubuh dan Pikiran Sadarnya, menjadi energi kehidupan yang besar dan efektif luar biasa.
Dengan metode itu, Pikiran Bawah Sadar akan membuat seseorang seperti apa yang dipikirkan, diharapkan dan diyakininya. Surat Al-Baqarah ayat 186 me­nyatakan, “Apabila hamba-hambaku bertanya tentang diri-Ku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”  Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad, Allah berfirman pula, “Aku menuruti keyakinan hamba-Ku terhadap diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya  jika ia mengingat-Ku.”
Keyakinan akan pertolongan Gusti Allah itulah yang menyelamatkan Kanjeng Nabi Ibrahim tatkala dibakar oleh Raja Namrud, menyelamatkan Kanjeng Nabi Musa dari kejaran tentara Firaun dengan menyeberangi laut, dan juga menguatkan Baginda Rasul dalam Perang Badar. Kanjeng Nabi Ibrahim dan junjungan Nabi Muhammad itu sama-sama berserah diri memohon pertolongan dengan memanjatkan, hasbunallaah wa ni’mal wakiil, cukuplah Gusti Allah yang menjadi penolong kami.
Jiwa yang memiliki energi kehidupan yang luar biasa yang dilandasi oleh kekuatan iman inilah, yang harus kita bangun dan kembangkan di dalam apa yang saya sebut Lingkaran Spiral Kehidupan Yang Pertama.
Di dalam Lingkaran Pertama ini tahap demi tahap kita harus mengembangkan cita-cita dan harapan kegiatan kehidupan, serta memvisual­kan, kemudian berusaha, dan berusaha me­wujudkannya.

Melawan Setan Harus Dengan Mandat Allah.

Sahabatku, pengemban amanah Allah.
Dengan jiwa yang kokoh perkasa lagi budiman, serta memiliki cita-cita dan tujuan kehidupan, manusia memasuki Lingkaran Spiral Kehidupan Yang Kedua. Dalam babak kehidupan ini kita berkiprah secara nyata, berhubungan dengan makhluk dan hamba-hamba Allah yang lain. Untuk itu kita harus senantiasa menjaga integritas dan diri kita sehingga apa yang sudah kita capai dalam Lingkaran Pertama tidak terkontaminasi dan tidak mengalami degradasi. Kita juga wajib terus-menerus mengingat dan memahami janji-janji peniupan ruh kita, termasuk teguh mengemban amanah selaku khalifatullah fil ard.
Dalam Lingkaran Kedua kita pun harus menyadari bahwa di samping memberi tugas dan amanah kepada kita, Gusti Allah juga telah memberikan mandat dan kuasa kepada setan yang membawa senjata hawa nafsu dan pesona dunia untuk menggoda kita. Tidak akan terasa manisnya kehidupan, jika tak ada pahitnya penderitaan. Tak kan terasa nikmatnya minum jika tak ada rasa haus. Demikian pula tak kan ada indahnya keberhasilan jika tiada rintangan dan godaan.
Namun, siapa mampu melawan makhluk yang menerima dan membawa mandat serta kuasa Tuhan? Ustadz Mufasir dari Barubug – Serang mengajarkan, mandat harus dilawan dengan mandat. Oleh karena itu setiap hari, bahkan setiap saat kita harus naik banding memohon mandat dan kuasa dari Pangeran Yang Maha Kuasa untuk melawan dan mengalahkan godaan setan tersebut.
Kita harus tanpa jemu secara sadar me­libatkan Gusti Allah, memohon perlin­dungan, pertolongan, pembelaan, kemudahan dan ke­menangan dari-Nya yang terus menerus bagi kehidupan kita beragama, kehi­dupan di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Untuk itu K.H. Moehammad Zain dari Bekasi juga memberikan nasihat agar kita sering berdoa dengan doa yang diajarkan langsung oleh Tuhan dalam surat Al Israa’ ayat 80, “Ya Tuhanku, masukkanlah aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkanlah aku dari jalan keluar yang benar, dan datangkanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuatan yang menolong.”
Adapun cara yang paling sederhana adalah membaca ta’awudz, yaitu a’uudzu billaahi minassyaithaanir rajiim. Aku berlindung dari segala godaan setan yang terkutuk.

Melawan Berhala-Berhala Modern.

Sahabat-sahabatku, para pejuang pembasmi kemungkaran.
Sesudah diri kita baik dan kokoh, tiba saatnya melangkah lebih lanjut memasuki Lingkaran Spiral Kehidupan Yang Ketiga. Sebagaimana bunyi surat Ar-Ruum ayat 21, Allah meme­rintahkan kita mencari pasangan hidup sesuai kodrat kita.
Kita praktekkan dan amalkan sekarang, kehidupan kita dalam berinteraksi dengan pasangan kita, membangun keluarga dan rumahtangga yang sakinah, mawadah, warah­mah dan amanah. Marilah kita buktikan bahwa kita mampu mengemban amanah dan tang­gungjawab secara baik dalam mewujudkan ketenteraman, mengembangkan cinta dan membangun kasih sayang dalam kehidupan berkeluarga.
Marilah kita kayuh, kita layarkan bahtera rumahtangga kita mengarungi lautan kehidupan yang berombak dan bergelombang, penuh tipu daya, halangan dan rintangan, godaan serta cobaan menuju benua keberkahan Ilahi.
Dengan beban dan tanggungjawab yang semakin besar, namun penuh aura ketenteraman, serta limpahan cinta dan kasih sayang, kita melangkah kian jauh memasuki Lingkaran Spiral Kehidupan Yang Keempat, lingkaran yang lebih besar dan lebih penuh masalah. Di sini kita bersinggungan dengan banyak orang, dengan tetangga, dengan masyarakat, dengan teman sekerja dan seorganisasi, dengan pesaing-pesaing dan macam-macam lagi.
Banyak konflik kepentingan dalam lingkar­an kehidupan ini. Gangguan dan godaannya pun semakin berat. Keamanahan kita diuji dalam pergaulan dan pekerjaan. Kita diuji untuk bekerja keras dalam usaha dan tawakal dalam menerima hasil. Diuji sejauh mana telah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, diuji bagaimana bertauhid dalam ibadah kehidupan sehari-hari. Mampukah kita menegakkan yang haq dan memberantas yang batil serta menghindari syirik chafi, yakni ketakutan kita pada kesusahan kehidupan dunia termasuk kehilangan kawan, mengalahkan keta­kutan kita kepada Gusti Allah, mengor­bankan ketaatan kita pada Allah Swt dan Baginda Rasul.
Dalam lingkaran ini kita harus berani menghindari sekaligus membangun tekad perlawanan untuk menghancurkan berhala-berhala modern, berupa kekuasaan, kedudukan, pangkat, gelar, harta benda dan berbagai  pesona kenikmatan dunia lainnya yang mengganggu ketaatan kita kepada Allah dan Rasulullah.
Janganlah kita termasuk golongan orang-orang yang cepat merasa puas dengan hanya melaksanakan ibadah lahir dan kesalehan formal seperti, salat, puasa dan tarawih bersama di bulan Ramadhan, membayar zakat, berhaji dan umrah setiap tahun, serta berbaju taqwa dan berkopiah putih. Tetapi sementara itu kita tidak berani menghindari larangan Tuhan, khususnya yang bersifat pesona dunia seperti haus harta dan kekuasaan, sehingga menghalalkan segala cara, bergunjing atau ghibah serta menganggap enak perbuatan riswah atau suap menyuap dan komisi. Tidak berani menarik garis tegas antara yang haq dan yang batil, antara halal dan haram. Naudzubillah.
Meskipun kita harus teguh mempertahan­kan prinsip-prinsip tadi, namun membawakan­nya di dalam kehidupan menurut nasihat Abah K.H. Endang Buchorie Ukasyah dari Cipicung, Sumedang, harus juga bijaksana sebagaimana firman Allah swt dalam surat An-Nahl (16:125), “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik pula.”
Mungkin beragam kesan dan reaksi muncul setelah membaca uraian ini. Tapi Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Adil dalam memberikan pahala dan hukuman terhadap apa yang kita pikirkan dan perbuat.
Walau demikian wahai saudaraku, Tuhan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Marilah kita kembali dalam pelukan kasih sayang dan am­punan-Nya, sebelum azab dan hukuman-Nya ditimpakan kepada kita. Bismillahi, astagh­firullah. 

Saling Mengingatkan Amalan Calon Penghuni Surga

Para sahabat pemegang kunci keberhasilan.
Bagaimana kita dapat selalu bertauhid, menjadikan kegiatan bekerja dan bermasyarakat sebagai ibadah? Untuk itu kita wajib memiliki empat hal yaitu: [1] ilmu yang bermanfaat, [2] yang dapat diamalkan, [3] secara ikhlas dan [4] disertai dengan perasaan takut sehingga penuh harap yang terus-menerus kepada Tuhan Yang Memiliki Kerajaan Langit dan Bumi, Maha Raja di Raja.
Sehubungan dengan itu jangan pernah merasa, apalagi menepuk dada bahwa kita sudah menjadi orang saleh. Karena sudah pandai berdoa merasa menjadi kyai yang sudah pasti disayang Allah. Jangan mentang-mentang hafal Qur’an merasa sudah mengantongi tiket ke surga, merasa sudah bisa menyatu dengan ke­hendak-Nya dan pasti husnul khatimah.
Kalau ada mantan penjudi, mantan pemabuk, mantan “play boy” dan aneka mantan pendosa insyaf berubah menjadi saleh, sungguh membahagiakan dan patut disyukuri. Sebaliknya, jangan sampai terjadi ada mantan kyai atau penghafal Qur’an dan aneka gelar alim ulama, karena pada langkah terakhir di Stasiun Pengembaraan Ketiga, tergelincir remuk redam di lembah para pendosa. Naudzubillahmindzalik.
Maka marilah kita saling mengingatkan adanya bahaya berupa godaan iblis yang senantiasa mengancam setiap saat. Godaan yang bisa mengubah amalan penghuni surga menjadi amalan penghuni neraka, di kala perjalanan tinggal sehasta sebagaimana dikuatirkan Ra­sulullah Saw. Oleh sebab itu pula kita harus selalu memi­liki perasaan takut disertai upaya dan penuh harap akan ampunan serta kasih sayang Allah Swt yang terus menerus. Mengharap ihdinash­shiraathal mustaqiim, senantiasa memperoleh hidayah untuk mengikuti jalan yang lurus.
Itulah saudaraku, kunci keberkahan Lingkaran Kehidupan IV.

Rahmat Bagi Manusia, Gunung, Binatang Sampai Sandal Jepit

Sahabat-sahabatku pengemban ilmu hikmah.
Dari lingkaran keempat, selanjutnya kita memasuki Lingkaran Spiral Kehidupan Yang Kelima, interaksi kehidupan di alam semesta. Di sini kita bertugas bukan hanya sekadar mewujudkan masyarakat adil makmur, tetapi lebih jauh lagi mewujudkan rahmat bagi alam semesta dan seluruh isinya, dalam suatu tatanan yang baldatun, thoyibatun wa robbun ghofur, yang senantiasa dalam ampunan dan naungan Ilahi. Mewujudkan rahmat bagi sesama umat manusia. Bagi sesama ciptaan Tuhan. Bagi gunung, sungai, lembah, ngarai, hutan, lautan, bebatuan, air, binatang, tumbuh-tumbuhan, jazad renik, meja, kursi, pakaian kerja bahkan sandal jepit kita dan lain sebaginya. Bukan hanya demi memuaskan hawa nafsu semata-mata. Bukan hanya demi suku, agama, ras dan golongan kita sendiri.
Alam itu berubah, dan semua yang berubah menurut kaidah ilmu fikih adalah makhluk. Maka kalau kita mengaku sebagai orang ber­agama terutama Islam, janganlah melihat alam sebagai obyek ilmiah semata-mata, juga hati-hati menuduh orang yang mencari hikmah dari kemurkaan alam sebagai mistis. Belajar dari hikmah sejarah para nabi dan kaumnya di dalam Al Qur’an, kita akan menjumpai bahwa alam itu adalah balatentara Allah, dan melalui bala­tentara-Nya, Allah memperingatkan bahkan menjatuhkan hukuman dunia kepada umat-Nya yang tidak bermoral, yang durhaka dan fasiq. Naudzubillah.
Dalam kaitan ini guru kita Prof. K.H. Ali Yafie mengingatkan dengan mengutip surat Al-Hadid ayat 20, “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” Agar kita tidak terkecoh dengan kehidupan duniawi yang seperti itu maka kita harus memahami hakikat kehidupan itu sendiri, kemudian memanfaatkan segala fasilitas yang tersedia untuk mendapat­kan makna yang positif berupa monumen tugu amal saleh.
Jika kita dapat mewujudkan kehidupan yang seperti itu maka hidup menjadi bermakna. Akan tetapi itu semua harus diperjuangkan. Kita harus secara sadar dan taat asas memaknai kehidupan kita.
Kecenderungan hidup manusia akan kese­nangan, menurut Pak Kyai, pada dasarnya tidak dilarang, namun manusia dianjurkan untuk memikirkan orientasi kehidupan duniawinya, serta dilarang memperturutkan hawa nafsu, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (keba­hagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) seba­gaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Memandang Setiap Makhluk Bagai Memandang Sang Pencipta.

Sahabat-sahabatku yang sedang membangkitkan kekuatan bawah sadar,
Pengejawantahan dari semua nasihat dan uraian Seri Memaknai Kehidupan ini ialah dengan menumpahkan rasa kepedulian dan kasih sayang, menghargai serta menjaga semua-sesama ciptaan Tuhan. Marilah kita tinggalkan kesibukan kita yang berupa kebiasaan heboh mengurusi kelemahan dan keburukan orang lain, termasuk dalam hal beribadah, dibanding memperbaiki diri sendiri. Juga kebiasaan berfikir negatif dan berprasangka buruk bahkan kepada diri sendiri dalam artian merasa khawatir dan was-was. Kebiasaan jelek seperti itu harus kita balik mengarah pada hal-hal yang positif, pada hal-hal baik.
Marilah kita melakukan Revolusi Mental pada diri kita dengan membangkitkan Kekuatan Bawah Sadar kita untuk membangun monumen Tugu Amal Saleh, termasuk membangkitkan keyakinan sedang datang kekuatan yang haq guna  membasmi kebatilan serta kemungkaran di negeri dan bangsa kita, sehingga terwujudlah bangsa dan negeri maritim NusantaraRaya nan sejahtera. Tentu kita wajib menasihati saudara-saudara kita yang salah, namun seyogyanya dengan bijaksana, sabar dan dengan cara yang lebih baik. 
Terhadap sesama ciptaan Allah, pandanglah bagaikan memandang Sang Penciptanya sendiri, Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Tahu. Merendahkan, menghina, merusak dan semena-mena terhadap ciptaan Allah apapun itu bentuk dan jenisnya, lebih-lebih sesama manusia, adalah sama dengan melecehkan siapa yang men­ciptakan, yang menghendaki keberadaannya di muka bumi, di jagat raya, yakni Allah Yang Maha Agung.
Selain dari itu, marilah kita sering me­lakukan Siyahah Ruhiyyah atau perjalanan spiritual, seperti yang saya uraikan dalam buku Zikir dan Doa Persembahan Anak Saleh, yang meliputi lima hal. Pertama, menyegarkan jiwa, mensyukuri nikmat Tuhan. Kedua, mawas diri, merenungkan kesalahan dan dosa-dosa masa lalu. Ketiga, muhasabah, kalkulasi diri tentang apa yang telah kita perbuat dan apa yang masih terhutang. Keempat, meluruskan kompas kehidupan, merebut peluang yang tersisa, mengorganisasikan diri melakukan kebajikan dihari tua. Kelima, mengejar ketinggalan, membayar utang, menebus yang tergadai, me­mohon ampunan Gusti Allah.
Demikianlah duhai anak-anak dan sau­daraku, semoga dengan memahami tulisan sederhana dan ala kadarnya dari seorang yang berlatarbelakang priyayi Jawa Abangan ini, Gusti Allah-Pangeran Yang Maha Agung, menga­nu­gerahkan hidayah, rida dan berkah-Nya kepada anda, kepada kita sekalian, sehingga kita digerakkan-Nya untuk membaca, memahami, menghayati serta mengamalkannya dalam “kehidupan dunia yang menipu ini”. Semoga Allah berkenan membangkitkan kekuatan mulia dan energi besar dalam spiral kehidupan anda demi memaknai kehidupan kalian.
Allahumma aamiin.

Fana

Duh Gusti,
fanakanlah dzat hamba,
sirnakanlah sifat hamba,
dan leburkanlah kefanaan hamba
dalam keabadian Paduka,
sehingga dengan rida Paduka hamba mendengar,
duhai Yang Maha Mendengar,
dengan rida Paduka hamba melihat,
duhai Yang Maha Melihat.
Wahai Pangeran Yang Maha Welas Asih,
jadikanlah hamba ini kekasih Paduka,
yang jika berkata-kata,
akan berkata-kata dengan zikir-zikir Paduka,
jika memandang akan memandang dengan cahaya-cahaya Paduka,
jika berfikir akan berfikir dengan hidayah keagungan ilmu Paduka,
jika bekerja akan bekerja dengan berkah kekuasaan Paduka,
jika bergerak akan bergerak dengan hikmah keperkasaan Paduka,
dan jadikanlah itu semua sebagai bekal ibadah hamba,
selaku khalifatullah fil ard,
yang senantiasa beriman dan beramal saleh.
Duh Gusti,
Sang Maha Sutradara,
ampunilah dan ridailah hamba,
dalam peran kehidupan yang Paduka amanahkan,
sepenuh kasih sayang.
(dari buku Memaknai Kehidupan dan buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan, keduanya ditulis oleh B.Wiwoho, penerbit Bina Rena Pariwara, Jakarta dengan sedikit suntingan).




Jumat, 20 Maret 2015

FILOSOFI TOPO NGRAME & MATI SAKJRONING URIP : Kandungan Makna Suluk Kidung Kawedar (4).





Dewa Ruci, Jagad Besar Jagad Kecil.


Bait 23 – 26 Kidung Kawedar atau Kidung Sariro Ayu, menguraikan apa yang disebut dalam filosofi Jawa, “jagad gede – jagad cilik atau jagad besar – jagad kecil”, yang tiada lain merupakan ajaran tasawuf tentang bagaimana mengendalikan hawa nafsu manusia agar bisa mencapai tahap manunggaling kawula – Gusti.

Bumi, gunung, lautan, sungai dan alam raya dengan segenap isinya, dalam pandangan orang awam adalah jagad atau dunia atau alam raya. Alam raya ini dalam tasawuf bisa tunduk kepada seseorang, apabila orang tersebut mampu mendayagunakan arta dayanya. Orang yang seperti ini akan diangkat derajatnya menjadi kekasih Gusti Allah yang dianugerahi segala macam kelebihan, walaupun yang bersangkutan tidak meminta bahkan sudah tidak memiliki keinginan apa-apa kecuali menempatkan diri sepenuhnya sebagai hamba sekaligus kekasih Allah, yang senantiasa taat, tunduk dan patuh kepada-Nya.

Dalam ajaran tasawuf, diri manusia pada umumnya diibaratkan sebagai jagad kecil yang merupakan copy  dan miniatur dari alam raya, sedangkan alam raya disebut jagad besar. Manusia akan tetap menjadi jagad kecil apabila kerohaniannya tidak dapat mengalahkan kemanusiaannya yang dipenuhi hawa nafsu. Sebaliknya jika rohaninya bisa menundukkan unsur kemanusiaan atau unsur lahiriahnya, sehingga hakikat dirinya lebih menonjol dibandingkan jangkauan pancainderanya, maka masuklah ia ke dalam “alam malakut yang jabarut”, yaitu alam yang dihuni para malaikat dan ruh suci.  Dalam keadaan yang seperti itu manusia menjadi jagad besar, sedangkan alam raya yang kita lihat justru berbalik menjadi jagad kecil. Begitu besar rohani kita sehingga tidak dapat ditampung oleh bumi dan langit. Sementara itu bumi, langit dan seisinya menjadi kecil bagi manusia. Mereka semua tunduk dan takluk kepada manusia yang seperti itu.

Dalam filosofi Jawa, hubungan jagad besar – jagad kecil diajarkan secara indah melalui cerita wayang dengan kisah Dewa Ruci, yaitu kisah khas Jawa yang disisipkan dalam babon kisah induk Mahabarata. Oleh Sunan Kalijaga yang merupakan murid Sunan Bonang, kisah Dewa Ruci bersama kisah Jimat Kalimasada (Ajimat Sakti Dua Kalimat Syahadat) dan kisah-kisah carangan (ranting) khas Jawa lainnya seperti Petruk Jadi Ratu, dipopulerkan ke masyarakat dalam bentuk pertunjukkan wayang kulit, sebagai sarana dakwah agama Islam yang sarat hikmah, dan bukan sekedar cerita lucu-lucuan. Kisah-kisah wayang dakwah tersebut masih sangat populer di kalangan penggemar wayang sampai sekarang.

Serupa dengan kisah Dewa Ruci, cucu pujangga Ranggawarsita yang juga cicit Yasadipura, yaitu Iman Anom, pada tahun 1884 M, menggubah Suluk Ling Lung Sunan Kalijaga (Syeh Malaya). Suluk Ling Lung secara jelas merupakan ajaran tasawuf yang dituangkan dalam kisah pencarian jati diri Sunan Kalijaga, semenjak dari pemuda berandalan, kemudian disadarkan dan berguru ke Sunan Bonang, sampai akhirnya berjumpa dengan Nabi Khidir. Perjumpaan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir dilukiskan hampir sama dengan perjumpaan Bima dengan Dewa Ruci, namun dalam bentuk ajaran tasawuf yang cukup kental.

Dalam tasawuf, manusia digambarkan terdiri dari dua unsur yaitu ruh atau roh dan tubuh. Dari kinerja keduanya menghasilkan  apa yang kita sebut dengan jiwa. Jiwa manusia ini apabila suci dari segala kekeruhan yang datang dari alam lahiriah, maka naiklah kedudukan dan status jiwa tersebut ke alam malakut-jabarut. Dalam keadaan seperti itu manusia bisa bertawajuh, membulatkan hati dan menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah (bait 25), sehingga tiada lagi dinding penghalang antara sang jiwa dengan Sang Pencipta. Di mata orang ini, alam raya dengan segala pesona dunianya menjadi nampak begitu kecil bagaikan sebutir biji sawi. Alam atau jagad raya yang tertangkap oleh mata batinnya menjadi jagad kecil, karena dirinya telah berubah menjadi jagad besar

Manusia yang seperti itu memperoleh sebutan rohaniyin malakutiyin, manusia-manusia rohani yang berada dalam alam malaikat, yang tak dapat dijangkau oleh pancaindera manusia. Meskipun tubuhnya bergaul berada di tengah sesama manusia lainnya, tetapi jiwanya sedang melakukan perjalanan yang tak terbatas lagi tiada ujung, senantiasa berada di sisi Gusti Allah Yang Maha Agung. Ia telah mencapai tingkat yang oleh orang Jawa disebut tapa ngrame, mati sak jeroning urip dan urip sak jeroning mati. Hidup bagaikan bertapa di tengah keramaian, dan menjalani kematian di dalam kehidupan serta hidup di dalam kematian.

Al Ghazali dalam Raudhatut Thalibien wa ‘Umdatus Saalikien (Raudah, Taman Jiwa Kaum Sufi) menyatakan, orang tersebut sudah mencapai tingkatan mati dari nafsunya dalam keadaan fisiknya masih hidup di dunia, dan menghidupkan hatinya yang mati, sampai kedudukannya kokoh dalam penyaksiaannya terhadap yang Qadim (yang ada terus menerus tanpa awal dan tanpa akhir), serta menempatkan selain Dia pada tempat ketiadaan.

Secara sederhana bisa dikatakan ia telah mematikan, sebetulnya lebih tepat mampu mengendalikan sepenuhnya nafsu pesona dunianya, dan sebaliknya menghidupkan atau mengutamakan kemuliaan rohaninya.
                             
Tidak sembarang orang bisa menghadap Presiden lebih-lebih selalu berada di sisinya. Apalagi berhadapan dengan Gusti Allah tanpa penghalang sama sekali. Hanya orang-orang yang disayang lagi dikasihi Gusti Allahlah yang bisa. Sebagai kekasih Allah, kalau mau ia bisa dianugerahi banyak hal dan segala keinginannya akan dipenuhi. Ia memperoleh mangunah linuhung  sebagaimana diuraikan dalam bait 25, juga bait-bait awal serta bait-bait selanjutnya. Betapa tidak. Kalaulah kita menjadi kesayangan seorang Raja, Presiden atau konglomerat, banyak kesenangan atau pesona dunia yang bisa kita dapat. Apalagi menjadi kekasih Gusti Allah, menjadi wali Allah. Hanya sayang, orang yang menjadi kekasih Gusti Allah adalah justru orang-orang yang sudah mati sak jeroning urip, sehingga bisa disebut sudah tidak punya keinginan apa-apa lagi bagi dirinya sendiri, kecuali semata-mata mengabdi kepada Gusti Allah.

Orang yang senantiasa taat dan ikhlas kepada Allah, yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya, akan sampai ke maqam makrifat, bisa berhadapan dengan Gusti Allah tanpa penghalang, menurut Al Gazhali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, bisa memperoleh anugerah 40 kemuliaan, dua puluh ketika masih di dunia dan dua puluh lagi di akhirat. Mulai dari yang berbentuk pujian, kekayaan hati, keberkahan, sampai pun tatkala sudah wafat masih diijinkan memberikan syafaat kepada orang lain di padang mahsyar dan lain-lain.

Lantas apa yang harus dilakukan lagi di dunia ini oleh orang-orang yang sudah mencapai maqam makrifat? Seperti Bima dalam cerita Dewa Ruci, harus kembali ke kerajaan Amarta, kembali ke masyarakat mewujudkan rahmatan lil alamin, hamemayu hayuning bawono, mewujudkan rahmat bagi alam semesta dengan segenap isinya, bukan hanya bagi keluarga Pandawa, apalagi bagi diri Bima pribadi. Bima harus kembali ke tengah rakyatnya untuk tegar memberantas kebatilan dan menegakkan kebenaran, serta melindungi dan menyejahterakan mereka.

Ketegaran memberantas kemungkaran dan kebatilan tanpa kompromi sedikit jua itulah, yang menimbulkan ungkapan bagi orang-orang yang tegar, kokoh dan lurus dalam membasmi kemungkaran dan kebatilan, bagaikan Bima yang tidak peduli tembok kokoh pun akan ditabrak demi kebaikan dan kebenaran.

Manusia sebagai abdullah atau hamba Allah, mengemban tugas khalifah fil ard, atau wakil dan utusan Gusti Allah untuk mengelola alam raya demi terwujudnya rahmatan lil alamin.  Bukan  dengan lantas berzuhud pergi uzlah, menyepi lari dari hiruk pikuk masyarakat. Dia harus tapa ngrame, berzuhud dan wara di tengah keramaian dunia, menjalankan tugasnya sebagai khalifah fil ard, yang semuanya semata-mata demi Allah, seperti dilakukan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan para wali lainnya.  Selaku duta Allah yang menjalankan tugas-tugas kemanusiaan semata-mata demi Allah, maka segala tindak-tanduk dan caranya pun harus betul-betul  taat dan sesuai dengan aturan Allah, antara lain berani membasmi kemungkaran dan menegakkan kebenaran, ikhlas, tulus, jujur dan tawadhu. Hidupnya harus bersih, sederhana  serta  mengabdi pada kemaslahatan umat dan alam raya.
Marilah kita berdoa, semoga kita khususnya penulis dan para pembaca,  dianugerahi masuk ke dalam golongan hamba-hambaNya yang seperti itu, yang senantiasa beriman dan beramal saleh. 
Aamiin.