Selasa, 13 Agustus 2013

Amir Husein Daulay : Sutradara Demo Yang Kritis, Berani & Kreatif.




  Masih ingatkah anda dengan demonstrasi-demonstrasi pemuda dan mahasiswa semenjak zaman Orde Baru sampai Orde Reformasi yang sangat kritis, kreatif dan berani bahkan nekad?
  Tanggal 28 Januari 2010, para demontsrans di Jakarta menyentak perhatian publik karena sang koordinator lapangan, yaitu Yoseph, menuntun seekor kerbau besar dengan tulisan putih di badannya: Si Bu Ya, serta poster bergambar Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhuyono) dengan tulisan “Turun!!!” yang menempel di pantat kerbau tersebut.
   
  Tak ayal, adegan demo itu membuat berang Presiden SBY. Kuranglebih setahun kemudian, kembali muncul demonstrasi yang menggelindingkan koin raksasa dengan tema “ Koin Untuk SBY”, menanggapi keluhan Presiden SBY yang sudah beberapa tahun gajinya tidak naik.
   
  Keberanian seperti itu tidak hanya terjadi di era Reformasi yang bebas ini, namun juga sudah berlangsung di era Orde Baru yang rerepresif. Masih ingatkah anda dengan aktivis jaringan Pro Demokrasi almarhum Nuku Sulaiman? Pada tahun 1993, dalam demonstrasi di gedung DPR/MPR, Nuku membagikan stiker bertuliskan SDSB: “Soeharto Dalang Semua Bencana”. Aslinya, SDSB adalah akronim dari Sumbangan Dana Sosial Berhadiah yang dikelola oleh Departemen Sosial, yang dikecam masyarakat luas karena dianggap sebagai biang perjudian. Pada tahun 1993 itu pula banyak terjadi bencana, baik bencana alam maupun bencana akibat kecelakaan. Buntut dari demontrasi itu, pada tanggal 25 November 1993 Nuku ditangkap dan pada 24 Februari 1994 divonis penjara oleh Pengadilan Negari Jakarta. Nuku kemudian dibebaskan oleh Presiden BJ.Habibie pada bulan Mei 1998.
   
  Sekitar empat – lima tahun sebelum Nuku membagikan stiker SDSB, berlangsung demonstrasi gencar terhadap pembangunan waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah. Waduk ini dibangun selama periode 1985 – 1989. Sesungguhnya tidak ada yang tidak menginginkan pembangunan sesuatu waduk, yang pasti bermanfaat. Namun yang disayangkan atau ditentang adalah proses pembangunannya. Jangan sampai pembangunan yang dimaksudkan untuk kemaslahatan umum itu, justru mengabaikan kemaslahatan umum yang lain apalagi merugikan, dalam hal ini penduduk yang dipaksa harus pindah karena lahan pertanian dan tempat tinggalnya akan menjadi area waduk yang digenangi air puluhan meter. Tak pelak lagi, waduk ini akan menenggelamkan  37 desa dan 7 kecamatan dari 3 kabupaten yaitu Sragen, Boyolali dan Grobogan, yang meliputi 5.268 keluarga.
   
  Adapun pangkal persoalannya adalah terjadinya perbedaan yang jauh antara pernyataan Gubernur Jawa Tengah Suparjo Rustam yang mengatakan besaran ganti rugi lahan Rp.3.000,- per meter persegi dengan kenyataan di lapangan yang hanya Rp.250,- per meter persegi. Akibatnya terjadi penolakan dan gesekan-gesekan di lapangan yang mengundang simpati para mahasiswa, lebih-lebih tatkala waduk mulai diairi per 14 Januari 1989, 600 kepala keluarga tetap menolak pindah dengan bertahan di rumah mereka yang sudah dikepung air.
   
  Sungguh ini menjadi sebuah ironi yang membuat sejumlah ulama, rohaniawan dan mahasiswa terpanggil, khususnya para mahasiswa di Salatiga, Solo dan Yogyakarta. Utusan mereka datang ke Jakarta menemui seorang aktivis pergerakan dan pers mahasiswa Universitas Nasional, yaitu saudara Amir Husein Daulay yang akrab disebut Ahade.
   
  Pertemuan itu menghasilkan terbentuknya Komite Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo (KSKPKO), yang kemudian juga melibatkan mahasiswa-mahasiswa Jakarta dan Bandung. Dengan Komite ini mobilitas Ahade menjadi meningkat tinggi, lebih-lebih tatkala pada 1988 sejumlah rekan aktivisnya di Yogyakarta di tangkap dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme. Ia sibuk memberikan pendampingan dan menggalang advokasi.
   
  Pada periode itu pula Ahade mulai merambah dunia jurnalistik umum dan memperluas pergaulannya dengan para wartawan media massa. Tetapi yang menarik dan relevan dengan tulisan di bagian depan adalah demonstrasi-demonstrasi solidaritas Kedung Ombo yang mengusung spanduk dan poster-poster RCTI, akronim dari “Raja Cendana Turunan Iblis”. Pada saat itu masyarakat Jakarta sedang ramai dengan isyu akan lahirnya sebuah stasiun televisi baru di luar TVRI, yang dimiliki oleh putra-putra Presiden Soeharto. Stasiun televisi itu bernama RCTI, singkatan dari “Rajawali Citra Televisi Indonesia”.  RCTI mulai mengudara pertama kali tanggal 13 November 1988 dan diresmikan pada 24 Agustus 1989.
  
  Ketika desa-desa di kawasan Kedung Ombo terus ditenggelamkan dan waduk diresmikan pada 18 Mei 1991, spanduk dan poster bertulisan RCTI bermunculan kembali, namun kepanjangannya  berubah menjadi “Raja Cendana Ternyata Iblis”.  Sebuah keberanian bahkan kenekadan yang luar biasa pada masa itu.
  Karena mengenal kedua pihak yang berhadap-hadapan, dan juga mengenal wilayah Kedung Ombo, saya pernah mencoba menawarkan menjadi penengah, menjembatani komunikasi. Kepala Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN) Jenderal Yoga Sugomo, demikian pula penggantinya Jenderal Sudibyo,  segera memberikan lampu hijau dan berkenan mendukung, namun menyarankan agar berkonsultasi dengan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, yang ternyata menolak tawaran saya.

  
Demikianlah, dari serangkaian demonstrasi yang menghentak itu, baik “RCTI”, “SDSB”, “Kerbau Si Bu Ya” sampai dengan “Koin Raksasa Untuk SBY”, tak luput dari keikutsertaan Ahade, bahkan bisa disebut Ahade-lah sutradaranya.
  
  Mengapa Ahade senekad itu? Tidakkah ia takut jika dianggap tidak bermoral, sebagaimana pernah dilontarkan tokoh Amin Rais menanggapi demo “Kerbau Si Bu Ya”? Dengan ketegaran dan ketenangan yang luar biasa, ia yakin pada dua alasan. Pertama, manakah yang sesungguhnya tidak bermoral, pemimpin yang tidak amanah serta zolim terhadap rakyat dan tanah airnya, ataukah rakyat yang menuntut haknya dan memperingatkan, bahkan jika perlu meruntuhkan kezoliman pemimpin tersebut? Kedua, para pemimpin yang zolim harus dipancing agar keluar dari zona nyamannya. Dan pada hematnya, pilihan-pilihan serangan demonstrasi seperti itulah yang bisa membuat sang pemimpin yang zolim, keluar dari zona nyamannya.
  Baik Presiden Soeharto maupun Presiden SBY pada hemat Ahade, adalah tipe pemimpin feodal yang menyenangi kemapanan serta kenyamanan dan tidak mudah diusik kecuali disinggung masalah pribadinya. Panggilan perjuangan membuatnya memilih risiko mengganggu zone nyaman kedua Presiden tersebut. Hal itu tidak dilakukannya sewaktu ia tidak puas dengan kepemimpinan Presiden Megawati, yang dinilainya tidak bisa memberantas Kolusi – Korupsi – Nepotisme (KKN), bahkan justru makin marak, sementara itu proses demokrasi dan kedaulatan bangsa menjadi amburadul dengan amandemen-amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang membuat demokrasi hanya sebatas prosedural.
   
  Buat mengakhiri kepemimpinan Megawati dan membangun demokrasi yang sungguh-sungguh mengutamakan kepentingan rakyat, Ahade bersama dedengkot aktivis Hariman Siregar dan Komisaris Jenderal Polisi (Purn) Noegroho Djajoesman, mendirikan Aliansi Penyelamat Indonesia (API) dan Gerakan Rakyat untuk Demokrasi (GRD).  Hampir bersamaan dengan itu saya bersama sejumlah tokoh senior antara lain mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Kyai Ali Yafie dan Jenderal (Purn) Surjadi Soedirdja juga mendirikan Barisan Kebangkitan Indonesia Raya (BKIR).  Ahade menyambut hangat gerakan kita yang bersamaan waktu dan cita-cita tadi, serta mengajak untuk bersinergi. Tatakala ajakan tersebut kami sampaikan ke para senior, beliau-beliau menyetujui dan bahkan mengajak serta Forum Komunikasi Purnawirawan TNI – Polri (FOKO) dan Front Pembela Proklamasi ’45 (FPP 45) yang dipimpin Letnan Jenderal (Purn) Saiful Sulun. Sinergi ini menghasilkan terbentuknya Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR), yang  selama lebih 3 (tiga) tahun kemudian (2004 – 2007) merupakan organisasi non partisan yang cukup diperhitungkan, yang pada awalnya mendukung secara kritis SBY menjadi Presiden.
   
  GKIR bersama Ahade di dalamnya, aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan baik tertutup maupun terbuka bagi liputan media massa, serta menyampaikan pendapat, saran dan telaah kritisnya secara umum kepada bangsa dan Negara, dan secara khusus kepada Pemerintah, dan lebih khusus lagi kepada Presiden SBY.  Adalah BKIR dan GKIR pula yang pertama kali memperingatkan Indonesia berada di tubir “negara gagal”. GKIR juga menilai amandemen-amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 45 telah kebablasan, sedangkan nama UUD hasil amandemen yang tetap memakai UUD 45 adalah manipulatif. UUD yang seperti itu beserta berbagai Undang-Undang turunannya, terbukti menghasilkan demokrasi prosedural yang kemudian dibajak oleh dwifungsi gaya baru, yaitu pengusaha – penguasa, yang sangat merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Berbagai Undang-Undang telah dibuat untuk memberikan karpet merah bagi kepentingan pemodal, termasuk, dan ini ironisnya, para kapitalis asing.
   
  Sikap kritis GKIR sama sekali tidak direspons SBY, bahkan para orang dekatnya sering memberikan komentar sinis kepada para tokoh senior atau sesepuh dengan menyatakan antara lain, “sudahlah, urus saja cucu-cucu” atau “sudahlah, bikin saja partai dan kita bertarung di Pemilu yang akan datang”. Padahal kami yang di GKIR sama sekali tidak berpikir untuk masuk atau ingin duduk kembali di kekuasaan. Sampai kemudian pada hari Bela Negara 19 Desember 2006, GKIR menemui Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, yang diketuai oleh Agung Laksono guna menyampaikan keprihatinan kami. Dalam pembicaraan ini, berkembang dialog mengenai kemungkinan gerakan politik mencabut mandat yang diberikan oleh rakyat kepada Presiden SBY.
   
  Gagasan gerakan cabut mandat tadi, selanjutnya dijadikan tema pawai “Cabut Mandat” oleh Hariman Siregar, Ahade, WS.Rendra dan kawan-kawan dalam rangka memperingati ulang tahun Indemo (Indonesia Democracy Monitor), 15 Januari 2007. Pawai Cabut Mandat adalah salah satu bentuk koreksi demokratis atas mandat rakyat kepada Presiden, yang telah bagaikan “blangko atau cek kosong” yang bisa diisi serta diperlakukan sesuka hati dan semau Presiden dengan kroni-kroni politik dan bisnisnya. (Lihat buku: “POLEMIK CABUT MANDAT SBY, Suatu Transformasi dari Masyarakat Nrimo ke Masyarakat Peduli Nasib Bangsa”, penerbit Bina Rena Pariwara 2007).
  
  Pawai yang direspons negatif, dituding inskonstitusional bahkan makar itulah, nampaknya menjadi batas akhir kesabaran Ahade, sehingga ia mulai berpikir untuk mencari cara yang lebih keras.
  Cucu Tokoh Proklamasi Kemerdekaan.
  
  Sebelum mulai menuliskan kenangan saya tentang Ahade ini, saya mencoba membaca berbagai file dan buku tentang seorang tokoh pers nasional sekaligus tokoh pergerakan nasional Parada Harahap.
  Saya pertama kali mendengar nama ini dari almarhum Sayuti Melik pada awal 1970an, menjawab pertanyaan saya tentang latar belakang lahirnya pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Pak Yuti, pasal ini dibuat menanggapi usulan seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Parada Harahap, yang di satu pihak meminta agar BPUPKI mencatat peranan Pemerintah Pendudukan Jepang yang telah mendorong terbentuknya BPUPKI, namun di lain pihak juga mengkhawatirkan jika nanti ada orang Jepang yang ingin menjadi Presiden Indonesia. Kekuatiran itulah yang kemudian mendorong lahirnya pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli”.
  Setelah saya cari di berbagai buku, dokumen dan juga internet, uraian tentang pasal 6 ayat (1) seperti itu tidak saya temukan, kecuali mengenai hubungan Pemerintah Jepang dengan BPUPKI.  Meskipun demikian saya menemukan hal lain yang juga tidak kalah menarik, yaitu catatan rapat Panitia Hukum Dasar UUD Dasar dari BPUPKI tanggal 13 Juni 1945, yang menyatakan Parada Harahap  mengusulkan di samping menentukan bendera, hendaknya juga lambang Negara. Selanjutnya ia mengusulkan agar nama Badan Permusyawaratan Rakyat diubah menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat.
   
  Kenapa saya membaca file-file dan tulisan mengenai Parada Harahap? Karena tiada lain, ia adalah kakek kandung Ahade. Ibu Ahade, yaitu Aida Dalkit Harahap adalah puteri dari satu-satunya putera Batak yang menjadi anggota BPUPKI tersebut.
   
  Nampaknya Ahade mewarisi sejumlah hal dari kakeknya. Tidak puas lulus dari Akademi Ilmu Statistik yang bergelut dengan angka-angka, tahun 1984 Ahade kuliah lagi di Universitas Nasional, Jakarta. Di kampus inilah ia aktif dalam kegiatan pers mahasiswa dan aktivis mahasiswa. Mengikuti jejak kakeknya, ia menjadi wartawan sekaligus aktivis yang sangat peduli, kritis dan berani dalam membela hak-hak orang kecil. Sang kakek yang lahir di Padang Sidempuan, Sumatera Utara 15 Desember 1899, pada tahun 1919 mendirikan suratkabar Sinar Merdeka, yang menulis kekejaman tuan-tuan perkebunan terhadap para buruh, mengkritisi kebijakan Pemerintah Penjajahan serta kesewenang-wenangannya. Akibatnya dalam tempo 2 (dua) tahun saja, Parada Harahap sudah 12 kali terkena delik pers sehingga berulangkali pula masuk-keluar penjara.
   
  Seperti halnya sang kakek, jiwa Ahade hanya dipenuhi dengan kepedulian sosial, menegakkan keadilan, kemerdekaan dan demokrasi, yang diperjuangan dengan berbagai daya dan cara, dengan sentuhan kemasan-kemasan seni budaya yang menarik dan kreatif. Fisiknya yang sudah tambun “dari sononya”, tidak menghalangi semangat, dinamika dan mobilitasnya. Kalau saya mencoba mengingatkan agar ia menjaga badan serta kesehatan, jawabnya selalu “saya tidak punya banyak waktu mas”.
   
  Kami berempat yaitu wartawan senior Banjar Chaeruddin, Marah Sakti Siregar, Ahade dan saya sendiri, pernah bersama-sama mengumpulkan bahan serta menulis sebuah buku “William Suryadjaya, Kejayaan dan Kejatuhannya. Sebuah studi kasus eksistensi konglomerasi bisnis di Indonesia”, segera sesudah terjadi krisis Bank Summa, milik keluarga William, tahun 1993. Di antara kami berempat, Ahade adalah yang paling muda dan paling kurang kesibukannya. Oleh sebab itu dialah yang banyak kami tugasi untuk mengumpulkan bahan khususnya yang  bersifat investigasi sekaligus merangkum diskusi-diskusi kami,  yang dia lakukan dengan cepat dan baik. Bahan-bahan dokumen penting terutama yang terkait dengan hukum atau sengketa bisnis, tidak diperoleh dari keluarga William, karena mereka meskipun mau berkomunikasi dengan kami, namun tidak bersedia diwawancarai apalagi memberikan dokumen-dokumen terkait yang kami perlukan.
   
  Bahan-bahan yang terkumpul kemudian diolah dan ditulis oleh mas Banjar, bung Marah dan Ahade. Sedangkan tugas saya hanya membaca dan melakukan editing-editing kecil, agar tulisan ketiga kawan dengan gaya tulisan masing-masing tersebut serasi dan mengalir lancar. Alhamdulillah, pada akhir 1993 buku tersebut sudah bisa diterbitkan dan diluncurkan pada Desember 1993 di Hotel Sari Pacific, Jakarta. Dari sekian banyak buku mengenai konglomerasi bisnis di Indonesia,  saya yakin buku yang ditulis oleh Ahade dan kawan-kawan ini tetap patut dibanggakan. Jikalau saja, kita mau belajar dari buku ini, mungkin kasus-kasus seperti Bantuan Likuditas Bank Indonesia tidak separah sekarang ini.
   
  Saya tidak bergaul secara intens dengan Ahade. Ia memperlakukan saya bagaikan saudara tua dengan cukup hormat, sehingga meski akrab tetapi seperti ada jarak. Namun saya berterima kasih karena ia hampir selalu meminta pendapat saya dengan mendatangi atau mengundang saya ke markas barunya, apabila ia merencanakan sesuatu terutama penerbitan dan pentas-pentas seni, walaupun banyak saran saya yang tidak dia ikuti. Termasuk yang terakhir adalah usaha dia bersama Bengkel Teater, untuk mementaskan kembali drama unggulan almarhum WS.Rendra “Mastodon dan Burung Kondor”.
  
  Saya memang tidak terlalu akrab dengan Mas Willy (panggilan WS Rendra) dengan Bengkel Teaternya, tetapi saya kenal cukup baik karena pernah tinggal bertetangga di Perumnas Depok I. Demikian pula tatkala mas Willy mulai memperoleh dukungan dari Setiawan Djody, karena pada periode itu saya sering berkomunikasi dengan mas Djody antara lain dalam membantu Festival Istiqlal. Saya kagum dengan model kehidupan para seniman termasuk Bengkel Teater, yang lantaran idealismenya rela hidup komunal, senasib sepenanggungan. Namun saya sadar diri, orang seperti saya sekarang dan juga Ahade, tidak dalam kapasitas untuk bisa banyak membantu mereka.
   
  Ahade memang orang yang luar biasa. Ia menyadari keterbatasan dirinya, bahkan kerapuhan fisiknya, namun ia tidak mau terkendala apalagi terkekang karenanya. Jiwa, pikiran dan cita-citanya yang kuat melesat jauh melampaui semua keterbatasannya. Begitulah berbulan-bulan sebelum Mastodon dipentaskan di Taman Ismail Marzuki 11 Agsutus 2011, Ahade modar-mandir Jakarta – Cipayung Depok dengan mengemudikan sendiri mobilnya. Tak jarang ia baru pulang lewat tengah malam. Beberapa kali ia mengajak saya menengok latihan-latihannya, sampai suatu hari dalam perjalanan ke Bengkel Teater di Cipayung, ia singgah ke rumah saya dalam keadaan nampak letih. Dan kembali pula saya mengingatkan agar dia memperhatikan kesehatannya dan jangan memaksakan diri.
   
  Maka tidak mengejutkan jika tak lama sesudah pementasan Mastodon, Ahade jatuh sakit dan harus dirawat di RS.Tebet. Sewaktu saya menengoknya  di ICU, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah, “Mas, saya kena sirosis”, yang dia sambung dengan permintaan untuk memanggil beberapa orang sahabat yang menunggu di luar untuk menyampaikan pesan-pesan. Ketika saya minta ia sabar dan istirahat dulu, ia kembali berkata “Saya tidak punya banyak waktu lagi. Waktu saya tak lama Mas”. Dan meski sesudah itu ia keluar masuk rumah sakit, ia memang tetap terus bergerak, terutama pikiran dan karya-karyanya. Ia aktif memompa semangat juang para aktivis khususnya mahasiswa dan menerbitkan buku. Juga ia masih mengajak saya agar mau jadi produser pementasan drama perjuangan Pangeran Samber Nyawa, tetapi saya menolaknya.
   
  Sampai kemudian sekitar akhir Juni 2013, ia menelpon saya untuk bersama isterinya dan sejumlah kawan, meminta ijin menginap di Bumi Mandiri Center (BMC), yaitu area Pusat Pendidikan dan Latihan yang saya kelola di Sukabumi. Tentu seperti selama ini, dengan senang hati saya mempersilahkan, namun seraya bertanya apakah kesehatannya memungkinkan? Karena jalan Ciawi – Sukabumi yang hanya berjarak sekitar 50 km itu sedang diperbaiki sehingga macet parah. Perlu beberapa jam untuk menempuhnya. Jawabnya, “ Saya harus berziarah ke makam Yoseph Mas, saya tidak punya waktu lagi. Kalau tidak sekarang kapan lagi?” Sebagai orang yang dibesarkan dengan filosofi kehidupan Jawa, hati saya tercekat mendengarnya, dan ketika hal itu saya sampaikan ke Bung Hariman, sebagai seorang dokter yang faham dengan kondisi fisik seorang pasien, diapun tercekat sedih dan mengatakan, “Selesai mas Wiek”.
   
  Yoseph adalah demonstran kelahiran Sukabumi, yang membawa “Kerbau Si  Bu Ya”, salah seorang kader andalan Ahade, yang wafat lebih dulu pada 20 Oktober 2012 dan dimakamkan di Sukabumi.
  Akhirnya Jumat 28 Juni 2013,  Ahade meluncur ke Sukabumi. Selama di BMC, beberapa kali kami saling berhubungan telpon dan mengirim pesan Black Berry termasuk foto-foto mereka di BMC. Dia mengemukakan sangat menikmati udara segar serta suasana pegunungan nan nyaman, sehingga serasa sehat kembali. Sabtu 29 Juni, ia menziarahi makam almarhum Yoseph dan kembali ke Jakarta. 
   
  Memang  benar Ahade sudah tidak punya banyak waktu lagi. Seminggu kemudian, Sabtu 6 Juli 2013 ia meninggalkan kita semua kembali ke dalam dekapan hangat Sang Maha Pencipta, tepat sama tanggalnya dengan wafat sahabat aktivis dan cendekiawan Dr.Muslim Abdurachman.
   
  Semoga mereka memperoleh derajat yang mulia di sisiNya, dan kita semua diberikan hidayah, pertolongan, kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan cita-cita mulia mereka. Cita-cita mewujudkan NusantaraRaya yang jaya sejahtera. Aamiin.
  (Mengenang almarhum Amir Husein Daulay, wartawan dan aktivis).

Jumat, 09 Agustus 2013

Selamat Idul Fitri

Kepada saudara-saudaraku peserta "Pusat Pendidikan dan Latihan Ramadhan 1434H" , selamat lulus menjadi insan kamil yang paripurna, sehingga sukses, jaya dan sejahtera di 11 bulan mendatang, dalam mengemban tugas selaku khalifatullah fil ardNYA yang senantiasa beriman dan beramal saleh.
Selamat Idul Fitri, minal 'aidin wal faizin. Selamat kembali mendapatkan jati diri kita, dan semoga memperoleh ampunan, ridha serta kenikmatan surgawi. Aamiin. Wswrwb