Senin, 22 Desember 2014

KEUTAMAAN AYAT KURSI : Tafsir Suluk Kidung Rumekso Ing Wengi (12)



Keutamaan Ayat Kursi

Bait 31 :

Dudur molo teng ayatul kursi,
lungguh neng atining surah ngam-ngam,
pangleburan lara kabeh,
usuk-usuk ing luhur,
ingkang aran wesi ngalarik,
nenggih nabi Muhammad,
kang wekasan iku,
atunggu ratri lan siang,
kinedhepan ing tumuwuh padha asih,
tundhuk mendhak maring wang.

Artinya :

Penyangga bubungan (rumah) adalah ayat Kursi,
di dalam inti surat Al Anaam,
pelebur segala penyakit,
usuk (kasau) yang di atas,
yang disebut deretan jalur besi,
yaitu Kanjeng Nabi Muhammad,
nabi yang terakhir,
menjaga siang malam,
menghadap umat yang tumbuh rasa sayang,
tunduk merunduk padaku (Nabi Muhammad saw).

Seperti halnya bait sebelumnya, bait 31 ini juga sarat makna dan keutamaan. Namun demikian ada dua versi untuk kalimat pada baris pertama. Satu versi menyebut dudur molo sedangkan versi lain dudut molo. Kata dudur tidak ditemukan pada kamus bahasa Jawa Kuno maupun bahasa Jawa pergaulan sehari-hari pada umumnya, namun Raden Wiryapanitra dalam Serat Kidungan Kawedar terbitan Dahara Prize menyebut dudur molo sebagai kayu penyangga bubungan rumah. Sedangkan versi dudut molo, bisa berarti mencabut atau membersihkan (dudut) molo yang bisa berarti noda, penyakit atau dosa. Jika melihat baris keempat yang berbunyi usuk-usuk ing luhur, yaitu kayu kasau penyangga genting yang di atas, nampaknya yang benar adalah dudur molo. Disambung baris kelima yaitu ingkang aran wesi ngalarik, semakin memperkuat tafsir pemakaian tamzil bangunan rumah untuk menyebutkan kedudukan ayat Kursi dan Surat Al Anaam.

Meskipun terdapat dua versi, pemakaian ayat Kursi bisa diterima pada keduanya. Ia bisa saja diibaratkan balok penyangga bubungan rumah, tapi bisa juga sebagai pembersih penyakit dan noda kehidupan. Mari kita coba pahami ayat ke 255 Surat Al Baqarah ini:

“Allaahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuumu, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum, lahuu maa fis samaawaati wa maa fil ardhi, man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa bi idznihii, ya’lamu maa baina aidiihim wa maa khalfahum, wa laa yuhiithuuna bi syai-im min ‘ilmihii illaa bi maa syaa-a, wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardha, wa laa ya-uuduhuu hifzhuhumaa wa huwal ‘aliyyul ‘azhiim.”

Mengenai ayat ini, Prof.Dr.Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menulis sebagai berikut: “Allah (1); Tidak ada Tuhan (penguasa Mutlak dan yang berhak disembah) kecuali Dia (2); Yang Maha Hidup (3); Maha Kekal (4); yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya (5); Dia (6); tidak dikalahkan oleh kantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya (7); apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, tiada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya (8); tanpa izin-Nya (9); Dia (Allah) (10); mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu dari ilmu-Nya (11); melainkan apa yang dikehendaki-Nya (12); Kursi (ilmu/kekuasaan)-Nya (13); meliputi langit dan bumi. Dia (14); tidak lelah memelihara keduanya dan Dia (15); Maha Tinggi (16); lagi Maha Besar (17).”

Ayat Kursi menurut Prof.Dr.Quraish Shihab adalah ayat yang paling agung di antara seluruh ayat-ayat Al Qur’an. Karena dalam ayat ini disebutkan tidak kurang enam belas kali, bahkan tujuh belas kali, kata yang menunjuk kepada Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa.

Angka-angka di dalam tanda kurung yang tercantum pada terjemahan di atas, adalah kata-kata yang menunjuk kepada Allah swt. Jumlahnya, jika redaksi ayatnya dibaca, hanya enam belas. Tetapi sebenarnya berjumlah tujuh belas, sebab yang satu tersirat, yaitu pada kalimat : laa ya-uuduhuu hifzhuhumaa atau angka (15).

Pada bait 30 kita telah dikenalkan dengan bacaan zikir Ya Hu Allah dan Surat Al Ikhlas. Melalui ayat Kursi, bait ini memperkenalkan lebih jauh tentang siapa Allah yang dikidungkan sebelumnya itu. Dalam satu ayat yang terdiri dari lima puluh kata ini, terdapat tujuh belas kata yang menunjuk kepada Allah.

Dari ayat Kursi pula keluar ungkapan yang sangat terkenal di dalam bahasa Jawa yaitu Gusti Allah ora sare, Gusti Allah tidak tidur. Artinya Gusti Allah mengetahui apa saja,  meskipun manusia mencoba menyembunyikan sesuatu terhadap manusia yang lain. Ungkapan ini lazim dikeluarkan oleh seseorang yang tidak berdaya terhadap perbuatan zalim orang lain kepada dirinya. Maknanya sangat luas, terutama untuk menenangkan dirinya sendiri dengan meyakinkan hatinya, bahwa Gusti Allah pasti akan menolongnya dengan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Menurut para ahli tafsir Al Qur’an, yang dimaksudkan dengan “kursi Allah” dalam ayat ini ialah gambaran tentang kekuasaan-Nya Yang Maha Besar dan kerajaan-Nya Yang Maha Luas. Jadi bukanlah kursi seperti yang kita kenal sehari-hari.

Kitab Al Qur’an dan Tafsirnya yang disusun dan diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia 1989/1990 menyatakan, dalam ayat Kursi ini Allah swt menjelaskan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan tiada Tuhan selain Dia, hanya Dia sajalah yang berhak disembah. Adapun tuhan-tuhan yang lain yang disembah oleh sebagian umat manusia dengan alasan yang tidak benar, memang banyak jumlahnya. Akan tetapi Tuhan yang sebenarnya hanyalah Allah semata-mata. Hanya Dialah yang hidup abadi, yang ada dengan sendiri-Nya, dan Dia pulalah yang selalu mengatur makhluk-Nya tanpa ada kelalaian sedikit pun.

Kemudian ditegaskan lagi, bahwa Allah swt. tidak pernah mengantuk. Orang yang berada dalam keadaan mengantuk tentu hilang kesadarannya, sehingga tidak akan dapat melakukan perkerjaannya dengan baik, padahal Allah swt. senantiasa mengurus dan memelihara makhluk-Nya dengan baik, tidak pernah kehilangan kesadaran atau pun lalai. Karena Allah tidak pernah mengantuk, sudah tentu Ia tak pernah tidur, karena mengantuk adalah permulaan dari proses tidur. Dan orang yang tidur akan lebih banyak kehilangan kesadaran dibanding orang yang mengantuk.

Sifat Allah yang lain yang disebutkan dalam ayat ini ialah Dia yang mempunyai kekuasaan dan yang memiliki apa yang ada di langit dan di bumi. Dialah yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang tak terbatas, sehingga Dia dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya. Semuanya ada ada dalam kekuasaan-Nya, sehingga tidak ada sesuatu pun dari makhluknya meski pun nabi-nabi dan para malaikat dapat memberikan pertolongan kecuali dengan izin-Nya, apalagi patung-patung yang oleh orang-orang kafir dianggap sebagai penolong mereka.

Tentang ayat Kursi, Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar menulis, maka kalau banyak kita dengar keterangan para ahli agama yang selalu menganjurkan membaca ayat ini, maksudnya adalah untuk meningkatkan ibadah kita, dengan langsung menghadapkan jiwa raga kepada-Nya, tanpa perlu memakai syafaat dan perantaraan. Memang berpahala siapa yang membaca dan memahami maksudnya, sebab di dalamnya tersimpul tauhid yang sedalam-dalamnya. Adapun kalau hanya dibaca-baca saja, untuk obat sakit kepala, untuk menjadi jimat penangkal bahaya, maka samalah artinya dengan kata pepatah: “Asing biduk kalang diletak”. Artinya menjawab sesuatu hal yang tidak ditanyakan.

Sementara itu Prof.Dr.Quraish Shihab berpendapat, pengulangan tujuh belas kata yang menunjuk nama Allah, bila dicamkan dan dihayati akan memberi kekuatan batin tersendiri bagi pembacanya. Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i menurutnya, memberi penafsiran “supra rasional” menyangkut ayat Kursi. Pada hemat ulama ini dalam tafsirnya, Nazhm ad-Durar, “Lima puluh kata adalah lambang dari lima puluh kali shalat yang pernah diwajibkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. ketika beliau berada di tempat yang maha tinggi dan saat dimi’rajkan. Lima puluh kali itu diringankan menjadi lima kali dengan tujuh belas rekaat sehari semalam. Di sisi lain, perjalanan menuju Allah ditempuh oleh malaikat dalam lima puluh ribu tahun menurut perhitungan manusia ( Surat Al Ma’arij 70:4)” Dari sinilah pakar tafsir itu mengaitkan bilangan ayat Kursi dengan perlindungan Allah. “Kalau di hadirat Allah gangguan tidak mungkin akan menyentuh seseorang, dan setan tidak akan mampu mendekat, bahkan akan menjauh, maka menghadirkan Allah dalam benak dan jiwa melalui bacaan ayat Kursi, yang sifatnya seperti diuraikan di atas, dapat menghindarkan manusia dari gangguan setan, serta memberinya perlindungan dari segala macam yang ditakutinya.

Demikian penjelasan ulama ahli tafsir al-Biqa’i, yang sekaligus penulis jadikan penegas atas hikmah dan keutamaan sebagaimana yang diajarkan Sunan Kalijaga melalui Kidung Kawedar.

Setelah mengajarkan ayat Kursi, baris kedua sampai dengan keempat bait 31 Kidung Kawedar mengajarkan Surah Ngam-ngam yang tiada lain adalah Surat Al An’aam. Surat keenam dalam Al Qur’an yang arti katanya adalah binatang ternak ini, dinamakan seperti itu karena di dalamnya disebut kata “an ‘aam” yang berhubungan dengan adat istiadat kaum musyrikin, yang mempercayai bahwa binatang ternak dapat dipergunakan buat mendekatkan diri kepada tuhan mereka.

Kitab Al Qur’an dan Terjemahannya, yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia 1990/1991 menyatakan, kandungan Surat Al An’aam terdiri dari empat pokok masalah yaitu:

Pertama: keimanan, memuat bukti-bukti keesaan Allah serta kesempurnaan sifat-sifat-Nya; kebenaran kenabian Nabi Muhammad saw; penyaksian Allah atas kenabian Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Nuh, Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, Harun, Zakaria, Yahya, Isa, Ilyas, Alyasa’, Yunus dan Luth. Juga penegasan tentang risalah, wahyu serta hari pembalasan dan kebangkitan, kepalsuan kepercayaan orang-orang musyrik dan keingkaran mereka terhadap hari kiamat.

Kedua: hukum-hukum, berisi larangan mengikuti adat-istiadat yang dibuat-buat oleh kaum Jahiliyah; makanan yang halal dan yang haram; wasiat-wasiat Al Qur’an, tentang tauhid, keadilan dan hukum-hukum yang lain. Juga menegaskan larangan mencaci-maki berhala orang musyrik demi mencegah agar mereka tidak membalas dengan mencaci-maki Allah.

Ketiga: kisah-kisah, menceritakan kisah umat-umat yang menentang para rasul; kisah pengalaman Nabi Muhammad saw. dan para nabi pada umumnya; serta cerita Nabi Ibrahim as. membimbing kaumnya tentang tauhid.

Keempat: lain-lain, memuat sikap kepala batu kaum musyrikin, cara seorang nabi memimpin umatnya; bidang-bidang kerasulan dan tugas para rasul; tantangan kaum musyrikin untuk melemahkan rasul; kepercayaan orang-orang musyrik terhadap jin, setan dan malaikat; beberapa prinsip keagamaan dan kemasyarakatan serta nilai hidup dunia.

Begitu tinggi kandungan ajaran Surah Ngam-ngam (Al An’aam) dan relevansinya dengan keadaan masyarakat Jawa pada saat itu, sehingga Sunan Kalijaga mengajarkannya sesudah Surat Al Ikhlas dan ayat Kursi. Apa yang diungkapkan semenjak bait pertama, menjadi gamblang setelah mempelajari dan memahami zikir Ya Hu Allah, Surat Al Ikhlas, ayat Kursi dan Surat Al An’aam.

Dari ajaran berzikir Ya Hu Allah itu pula, bersemai ajaran shalat daim pada masyarakat Islam di Jawa, yaitu zikir yang tidak pernah berhenti, bahkan terus menerus menyertai tarikan nafas, yang iramanya dilatih sesuai kata hati (Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 118). Shalat daim dimaksudkan buat melatih agar kalbu kita senantiasa dipenuhi dengan ingatan terhadap Gusti Allah, sehingga selanjutnya pikiran dan perbuatan kita selalu mengikuti jalan yang diridhoi-Nya, selalu dalam ketaatan dan bimbingan-Nya. Aamiin.

Baris keenam sampai dengan kesepuluh bait 31, adalah penegasan atas kenabian Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, yang sudah diungkapkan dalam Surat Al An’aam, beserta segala keagungan dan keutamaannya.

Shollu ‘ala Nabi,
Ya Nabi salam alayka,
Ya Rasul salam alayka,
Ya Habib salam alayka.




Selasa, 16 Desember 2014

ZIKIR YA HU ALLAH dan KEUTAMAAN SURAT AL IKHLAS: Tafsir Suluk Kidung Kawedar Sunan Kalijaga (11)



Zikir Ya Hu Allah dan
Keutamaan Surat Al Ikhlas

Bait 30 : 

Ya Hu Dat myang pamujining wengi,
bale aras sasakane mulya,
Kirun saka tengen nggone,
Wana Kirun kang tunggu,
saka kiwa gadane wesi,
nulak panggawe ala, 
satru lawan mungsuh,
pengeret tenajul rijal,
ander-ander kolhu balik kang linuwih,
ambalik lara roga.

Artinya :

Ya Hu Dzat (Ya Hu Allah) sebagai puji-pujian di kala malam,
balai nan terpadu indah dengan lantai kemuliaan,
Kirun (Qarin?) berada di sebelah kanan,
Wana Kirun yang menjaga,
di sebelah kiri (,) dengan gada besi,
menolak perbuatan buruk,
para seteru dan musuh,
menguatkan manusia yang mengenal Allah melalui hati yang terbuka,
dengan uraian Surat Qulhu (Al Ikhlas) (,) membalikkan dengan hebat,
memulihkan segala penyakit dan penderitaan.

Bait 30 ini adalah bait yang luar biasa. Sarat kandungan makna dan keutamaan. Diawali dengan ajaran zikir, keberadaan malaikat yang menjaga kita dan menolak segala perbuatan buruk, kemudian bagaimana mengenal Gusti Allah dan keutamaan surat Qulhu atau Al Ikhlas. Bait ini juga menjadi landasan ulah batin bagi para penganut kejawen, baik yang muslim maupun yang bukan.

Baris pertama adalah mengajarkan berzikir di kala malam. Zikir artinya mengingat atau menyebut. Ingat dalam bahasa Jawa adalah eling. Dalam buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 113 sampai dengan 122, penafsir telah mengulas masalah ini dengan judul “Eling Dalam Tasawuf Jawa.”  Orang Jawa sering menasihati sanak saudara yang sedang stres akibat sesuatu musibah agar eling dan nyebut. Eling atau ingat apa? Nyebut apa? Ingat kepada Gusti Allah. Menyebut asma Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk kejadian yang sedang kita hadapi. Ingat bahwa segala sesuatu yang kita alami itu sudah merupakan skenario Allah, Sutradara Yang Maha Agung. Oleh karena itu kita harus ikhlas, harus berbesar jiwa untuk menerimanya.

Jadi eling atau ingat itu sama maknanya dengan zikir, dan zikir yang terbaik adalah zikrullah atau mengingat Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Ahzab (33: 41-42) : “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu sekalian kepada Allah dengan zikir yang banyak dan bertasbihlah kamu sekalian pada-Nya di waktu pagi dan petang.”

Dalam rangka mengajarkan zikir itulah, maka Sunan Kalijaga memulai bait ini dengan kalimat Ya Hu Dat myang pamujining wengi, yang bermakna berzikirlah di kala malam kepada Dzat Allah. Kalimat ini di dalam masyarakat Jawa berlanjut dengan ajaran zikir Ya Hu Allah. Kalimat zikir Ya Hu Allah, Hu Allah dan Allahu sampai sekarang banyak dijumpai di kalangan para penganut dan praktisi spiritual muslim Asia Tenggara khususnya Nusantara.

Allah adalah salah satu bahkan merupakan asma yang utama yang menggenapkan sembilan puluh sembilan (99) asma-asma Allah yang mulia (asma’ul husna) menjadi seratus. Penggunaan asma Allah sering dijumpai secara berdiri sendiri, dan sering pula bersama kata lain seperti Akbar dan Nur, sehingga menjadi Allahu Akbar (Allah Maha Besar) dan Allahu Nur (Allah adalah Cahaya dari segala Cahaya). Tak jarang dalam berzikir, kata Allah diberi tambahan Hu, sehingga menjadi Hu Allah yang berarti Dialah Allah.

Ada sementara aliran yang memiliki pandangan berbeda mengenai ketiga kalimat zikir tadi, terutama antara Hu Allah dan Allahu. Namun lebih banyak lagi yang tidak mempersoalkan perbedaannya. Imbuhan kata ya, banyak dipakai oleh masyarakat muslim Jawa sesuai dengan ajaran Sunan Kalijaga sebagaimana bait ini.

Aliran yang berpendapat ada perbedaan menyatakan, zikir Hu Allah akan melahirkan kekuaan supranatural yang kasar dengan energi yang mudah dideteksi. Di samping itu zikir ini seringkali memunculkan khodim (tunggal) dan khodam (jamak), yaitu pembantu yang berupa roh gaib, yang bisa jadi bermaksud baik tapi bisa juga buruk. Sedangkan zikir Allahu  menurut mereka menghasilkan kekuatan supranatural yang halus dengan energi yang sulit dideteksi bahkan oleh sang pengamal. Kekuatan ini lambat datangnya tetapi dahsyat.

Bagi penganut tasawuf yang sudah mencapai tahap hakikat dan lebih-lebih makrifat, tidak merpersoalkan perbedaan tersebut. Perihal khodim misalkan, pada hemat mereka wajar muncul setiap saat pada manusia, terutama yang sedang mengikuti jalan tasawuf atau para salik. Sebagaimana kisah terkenal yang dialami Penghulu Tasawuf Syeh Abdul Qadir Jailani, khodim itu bukan mau membantu para salik, melainkan menggoda dan mengganggu. Oleh karena itu kita tidak perlu menanggapi serta meladeni kehadirannya, termasuk apabila mereka menawarkan berbagai hadiah dan bantuan.

Ada dua versi cerita mengenai kisah godaan iblis terhadap Syeh Abdul Qadir Jailani, yang sering dikemukakan oleh mursyid  atau guru tasawuf kepada para saliknya.  Versi pertama mengisahkan, pada suatu hari tiba-tiba muncul suatu makhluk yang memperkenalkan diri sebagai malaikat Jibril, dan berkata: “Aku membawa buraq dari Allah. Engkau diundang  Allah untuk menghadap-Nya di langit tertinggi.”  Sang Syeh menjawab, baik Jibril maupun buraq takkan pernah lagi datang ke dunia selain hanya untuk Nabi Suci Muhammad Saw.

Meskipun demikian makhluk yang tiada lain adalah iblis itu masih tetap menggoda dengan cara lain. Ia berkata, “Baiklah Abdul Qadir, engkau telah menyelamatkan diri dengan keluasan ilmumu.”

“Enyahlah!”, bentak Syeh, “Percuma kau menggodaku. Aku selamat bukan karena ilmuku, tapi rahmat Allahlah yang telah menyelamatkanku dari perangkapmu.”

Versi kedua mengisahkan, tatkala sang wali sedang berada di hutan tanpa makanan dan minuman untuk jangka waktu yang lama, tiba-tiba pada suatu waktu awan menggelayut di angkasa dan turunlah hujan. Beliau meredakan dahaganya dengan tetesan air hujan. Mendadak muncul sosok cahaya terang di cakrawala seraya berseru, “Akulah Tuhanmu. Hari ini kuhalalkan bagimu segala yang telah kuharamkan.”  Spontan sang wali berucap, “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Maka sosok itupun segera berubah menjadi awan, dan berkata, “Dengan ilmumu dan rahmat Allah engkau selamat dari tipuanku. Bagaimana kamu mengenaliku, padahal sudah ribuan orang aku jebak dan sesatkan dengan cara seperti ini?” Lalu Syeh menjawab, Allah tidak pernah mengubah hukumnya. Apa yang telah diharamkan tidak akan mungkin dihalalkan. (Kisah Nyata & Ajaran Para Sufi halaman 37-38, Mb.Rahimsyah AR, Penerbit Indah Surabaya, 1998)

Akan halnya kekuatan supranatural, para salik yang berkhidmat menekuni suluk-suluk tasawuf pun berpendapat, tidak peduli dengan hal itu, lantaran bukan itu tujuannya dalam berzikir mengingat Allah. Yang mereka harapkan adalah dapat bertawajuh, melepaskan kerinduan dengan memperoleh belaian kasih sayang Allah. Baik Hu Allah atau pun Allahu pada hematnya akan menghasilkan bunyi serta pemaknaan yang sama saja, jika kita zikirkan secara ritmis berulang-ulang.

Berzikir kepada Allah sesuai dengan firman Allah dalam Surat A Ra’du ayat 28, adalah untuk membersihkan hati. Allah juga telah berfirman dalam hadis qudsi,Tidak dapat memuat dzat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali hati hamba-Ku yang mukmin, lunak dan tenang "(HR Abu Dawud ). Sungguh tepat ungkapan, hati yang bersih yang dimiliki orang-orang mukmin adalah istana Allah.

Baris ketiga dan keempat bait 30, menyebutkan tentang adanya dua malaikat yaitu Kirun di sebelah kanan kita dan Wana Kirun di sebelah kiri, membawa gada besi dan bertugas menolak semua perbuatan buruk pada diri kita. Nama malaikat Kirun tidak dijumpai di dalam Qur’an maupun hadis. Melihat tugasnya terhadap manusia, kemungkinan besar mereka adalan Qorin dari golongan setan yang senantiasa menggoda dan mengajak manusia untuk berbuat buruk, serta Qorin dari golongan malaikat yang mengajak pada kebajikan. Pada hemat penafsir, Sunan Kalijaga dalam kidung menyebut Qorin, tapi pada pendengaran masyarakat adalah Kirun.

Hal itu dikuatkan dengan baris kedelapan yang menguraikan tugas Qirun membuka hati manusia agar bisa mengenal Allah. Tenajul berasal dari kata tanazul yang berarti mengenal Allah melalui hati yang terbuka bersih. Sedangkan rijal memiliki beberapa makna yaitu lelaki, orang yang berani, tulus, taat azas, berani berkorban untuk berdakwah. Dalam kaitan bait ini tenajul rijal bisa dimaknai menjadi orang yang bisa mengenal Allah melalui hati yang bersih yang sudah terbuka untuk itu.

Semua hal baik yang diuraikan dalam bait-bait Kidung Kawedar, adalah berkat keutamaan kolhu. Kolhu adalah pengucapan orang Jawa terhadap Surat Qulhu atau Surat Al Ikhlas, sebagaimana juga menyebut Patekah untuk Al Fatihah.

Kandungan makna dan keutamaan Surat Al Ikhlas dari berbagai hadis dan riwayat, bisa disebut istimewa. Mari coba kita segarkan kembali pemahaman atas surat ini:

“Bismillaahir rahmaanir rahiim.
Qul huwallaahu ahad.
Allaahush shamad.
Lam yalid wa lam yuulad.
Wa lam yakul lahuu kufuwan ahad.

Artinya:

Dengan asma Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa.
Allah tempat bergantung segala sesuatu
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan.
Dan tiada seorang pun yang setara dengan Dia.”

Surat Al Ikhlas menegaskan ketulusan pengakuan umat atas kemurnian keesaan dan kekuasaan Gusti Allah Swt, menolak segala macam kemusyrikan dan menerangkan tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya. Semua pengakuan dan keyakinan atas keesaan beserta kekuasaan Tuhan itulah yang dinamai tauhid, yang merupakan induk atau inti sari dari ajaran Islam.

Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar yang termasyhur menyatakan, Surat ini turun karena pernah ada orang musyrikin yang meminta kepada Nabi untuk menjelaskan “ macam apa Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga atau loyangkah?” (Juz XXIX – XXX halaman 303). Menurut hadis riwayat Tarmidzi, memang ada orang yang meminta kepada Nabi agar menguraikan nasab, yaitu keturunan atau sejarah Tuhannya. Maka datanglah surat yang tegas ini tentang Tuhan.

Ayat 1 dan ayat 2 menjelaskan keesaan, kesempurnaan serta kekuasaan Tuhan, sekaligus menegaskan bahwa yang tidak mempunyai kedua sifat tersebut bukan Tuhan, tidak pantas dan tidak bisa disebut Tuhan. Sedangkan ayat ketiga dan keempat menegaskan perbedaan Tuhan dengan manusia dan makhluknya. Dia sudah ada sebelum yang lain ada, bukan anak siapa-siapa dan tidak memiliki seorang anak pun. Begitu sempurnanya sifat dan kekuasaan Allah, sehingga tiada siapa pun dan tiada sesuatu pun menyamainya.

Qul Huwallaahu Ahad, katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa”, adalah puncak ilmu tentang akidah. Oleh sebab itu pula ada sejumlah hadis yang menyatakan sabda Rasulullah bahwa nilai Surat Al Ikhlas sama dengan sepertiga Al Qur’an. Sejumlah hadis yang cukup sahih sebagaimana diuraikan antara lain dalam Tasir Al Azhar, mengungkapkan berbagai keutamaan surat ini, misalkan siapa yang membacanya akan disenangi Allah (Hadis Riwayat Bukhari), dan “wajib orang itu masuk surga” (Hadis Riwayat Tarmidzi).

Dengan keutamaan-keutamaan Surat Ikhlas tadi, maka tidak berlebihan apabila Sunan Kalijaga memberikan kabar gembira kepada siapa yang mempercayainya, ambalik lara roga. Kembali atau tertolak semua penyakit dan penderitaannya.

Allahumma aamiin.