Kamis, 13 Juni 2013

UANG KORUPSI MENGALIR SAMPAI JAUH




Luar biasa! Uang Negara yang dikumpulkan dari keringat dan air mata rakyat dalam bentuk pajak, disalahgunakan. Kekayaan Negara berupa sumber daya alam anugerah Gusti Allah Yang Maha Kuasa dibuat “bancakan awut-awutan”. Uang korupsi itu bagaikan lagu Bengawan Solo yang legendaris, mengalir sampai jauh. Ke Amerika Latin, ke berbagai Negara, ke partai politik, ke para elite dan keluarganya, ke “lebih 40 perempuan dan pustun”, ke mana-mana. Meskipun yang dikorupsi ada juga pengadaan prasarana ibadah,  semoga saja hasil korupsinya tidak sampai menyentuh sarana dan prasarana ibadah seperti masjid dan pesantren.

Korupsi di negeri berketuhanan khususnya Islam ini, sudah bak iklan sebuah minuman penyegar. Kapan saja, di mana saja, apa bahkan siapa saja. Tidak peduli ustadz dan Al Qur’an, apalagi sapi dan bangunan. Dari prajurit sampai jenderal, dari pegawai rendah sampai menteri, dari jalanan yang panas terik berdebu sampai ke ruangan sejuk berpendingin nan nyaman.

Korupsi bukan saja sudah membudaya, tapi mulai mendarah-daging nyaris menjadi DNA (deoxyribonucleic acid), terkandung secara genetika. Naudzubillah. DNA adalah  biomolekul sel-sel tubuh manusia. Tentu ini hanyalah sebuah pengibaratan saja, guna menggambarkan betapa sudah amat bersimaharajalelanya hama korupsi di Indonesia.

Karena telah menyusup masuk DNA maka kita tidak risih lagi, bahkan enjoy saja melakukan dan menikmati aneka perbuatan dari pohon korupsi, mulai dari akar, batang, dahan, ranting, daun dan buah korupsi. Sikap rakus dan tamak, tidak jujur, menghalalkan segala cara, memberi dan menerima hadiah karena pekerjaan kita, suap-menyuap, rekayasa memenangkan tender dan memperoleh order kerja melalui korupsi dan kolusi, mark-up, manipulasi spesifikasi teknis dan sejenisnya, adalah komponen-komponen dari pohon korupsi tadi. Karena mulai menjadi DNA, kita tidak takut lagi pada hukum-hukum buatan manusia maupun hukum-hukum Tuhan. Ibadah okey, maksiat pun jalan terus. Dalihnya sederhana, cari yang haram saja sudah, apalagi yang halal.

Mengapa semua itu bisa terjadi wahai saudaraku? Wahai Ustadz, Pak Kyai, Buya, Habib, Syekh? Apakah Islam tidak melarang korupsi?

Sesungguhnyalah, banyak ayat dan hadis yang secara tegas melarang korupsi, suap-menyuap, perbuatan mengambil hak orang lain secara batil dan mengkhianati amanah. Salah satu hadis riwayat Muslim yang sangat  populer,  mengisahkan kekesalan Kanjeng Nabi Muhammad Saw tatkala Ibnu Lutbiyah datang melapor kepadanya seraya berkata: “Ini untuk anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku”. Mendengar itu Rasulullah lalu berdiri di atas mimbar kemudian bersabda, “Apa sih maunya seseorang yang kutugasi untuk menangani sesuatu pekerjaan, sampai berani mengatakan ‘ini untuk anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku?’ Kalaulah dia tidak aku tugasi dan hanya duduk-duduk saja di rumah ayah atau di rumah ibunya, apakah mungkin hadiah itu datang sendiri kepadanya? ……. dan seterusnya” sampai beliau mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan berkata: “Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan. Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan”.

Abu Hurairah juga mengisahkan sabda Rasulullah tentang nasib buruk  orang-orang yang menipu dan korupsi. Sementara Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis yang menegaskan “Allah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap”.

Belakangan ini berita-berita media massa yang menggambarkan aliran uang korupsi di Indonesia, luar biasa gegap-gempitanya. Bentuknya bisa macam-macam. Bisa berupa hadiah dan sumbangan. Bisa berupa uang ataupun barang, rumah, mobil, jas, jam tangan mewah dan lain sebagainya. Namun pada umumnya reaksi yang timbul di masyarakat hanyalah berdecak, menggelengkan kepala atau mentertawakan aliran yang ke para perempuan, baik yang ternyata isteri muda atau pun sekedar “perempuan untuk selingkuh tidak untuk nikah”. Naudzubillah.

Dalam sebuah debat televisi bahkan ada yang berkilah, bagaimana kita tahu uang dan hadiah yang kita terima itu hasil korupsi? Di sinilah kepekaan, daya kritis dan ketaatan kita diuji agar kita peduli terhadap asal-usul harta benda yang kita peroleh, sesuai hadis: “Siapa yang tidak peduli dari mana ia memperoleh harta, maka Allah Swt tidak akan peduli pula dari mana Dia akan memasukkan ke dalam neraka” (Sahih Muslim).

Hadis ini mengajarkan kita semua tanpa kecuali khususnya para tokoh masyarakat, ibu rumahtangga serta anak-anak yang sudah beranjak dewasa agar bersikap kritis terhadap sumber rejeki pemberi hadiah dan sumbangan, bahkan nafkah dari suami atau orangtuanya. Wajarkah kekayaan dan uang gaji atau penghasilannya? Jika tidak, menjadi kewajiban kita untuk mengingatkan. Jika tidak mau diingatkan secara baik-baik, kita bisa tingkatkan untuk menolak atau menyalurkan pemberiannya kepada fakir miskin atau untuk membangun prasarana umum seperti jalan, jembatan dan sarana irigasi.

Prihatin atas semakin maraknya korupsi, sesungguhnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional VI tanggal 25 – 29 Juli 2000, telah membahas dan mengeluarkan fatwa yang secara tegas  menyatakan korupsi itu haram.

Kini, 13 tahun sudah fatwa itu yang merupakan penegasan kembali sekaligus penjabaran atas ketentuan-ketentuan sebagaimana digariskan oleh Al Qur’an dan hadis itu dikeluarkan, tetapi nyatanya korupsi bukan mereda justru semakin merajalela. Bahkan pengadaan Al Qur’an di Departemen Agama pun dikorupsi.

Nampaknya perlu sebuah gerakan kebangkitan kesadaran dan pertobatan yang digarap secara serius, bukan hanya bersifat represif tapi juga harus preventif secara sistemis, yang dimulai dari diri kita masing-masing atau individu, yang harus terus digalang dan digelindingkan bagaikan bola salju, kian lama kian besar. Bukan hanya tidak melakukan korupsi, tapi juga menggalang gerakan sosial membendung aliran hasil korupsi. Dalam adat ketimuran, memang tidak mudah melakukannya, namun dengan niat yang kuat, dengan saling ingat-mengingatkan dan dukung-mendukung, Allahuma amin, akan menjadi perkuatan gerakan yang berhasil.
Depok, 13 Juni 2013

Jumat, 07 Juni 2013

GAYA HIDUP & KEKAYAAN PARA TOKOH.



Belakangan ini kita banyak melihat dan membaca pemberitaan tentang gaya hidup serta kekayaan para tokoh, pejabat tinggi dan politisi, khususnya yang terlibat kasus-kasus korupsi. Bagi masyarakat kebanyakan, semuanya wah dan luar biasa. Rumahnya lebih dari satu, masing-masing berharga milyaran bahkan belasan milyar rupiah. Mobilnya yang juga lebih dari satu, pun berharga ratusan juta sampai satu milyar rupiah lebih.
 

Jangan ditanya bagaimana semua itu bisa mereka beli dari gajinya yang tidak sebanding. Karena pasti ada seribu satu kilah jawaban. Tentu saja gaya hidup dan kemewahan itu menimbulkan berbagai komentar negatif masyarakat yang “dipaksa” membayar pajak guna membiayai pemerintahan dan gaji mereka.
Menanggapi hal itu, seorang politisi, kebetulan muslim, dengan enteng menjawab bahwa soal mewah itu relatif.
 

Relatif? Sulit banget mengukurnya. Meskipun demikian, kita bisa menelaah nasihat Al Ghazali, dan secara lebih khusus lagi meneladani gaya hidup serta kekayaan junjungan Nabi Besar Muhammad Saw dan para sahabatnya. Karena siapa lagi yang harus kita ikuti jika bukan Al Qur’an serta sunah dan hadis beliau?
Sebagaimana sudah kita ketahui bersama, sorang muslim wajib taat kepada Gusti Allah SWT dan Rasulullah. Sedangkan ketaatan itu menurut Al Ghazali, tersimpan dalam gudang-gudang Allah yang lubang kuncinya adalah doa dan anak kuncinya adalah barang yang halal.
 

Tulisan ini tak hendak membahas halal dan haram. Katakan saja, gaya hidup serta kekayaan kita semuanya halal, baik dari segi zat maupun cara memperolehnya. Namun pada hemat Al Ghazali, itu saja tidak cukup untuk membentuk anak kunci ketaatan. Sebab barang halal yang berlebihan, akan berubah menjadi “haram” dan dilarang. Contoh sederhana adalah makanan dan minuman. Sate kambing dan kue tart misalkan, adalah makanan yang enak sekali. Tapi bisakah dibayangkan apa akibatnya apabila hampir setiap hari kita menyantapnya puluhan tusuk dan satu loyang? Berbagai penyakit berbahaya niscaya akan segera menyerang.
Al Ghazali mengingatkan kita semua, gaya hidup dan kekayaan yang berlebihan, akan membuat hati menjadi keras serta memadamkan cahayanya. Bahkan yang sangat mengkhawatirkan, akan menuntun kepada perbuatan iseng yang pada akhirnya menjerumuskan ke kesusahan. Akan hal ini telah banyak contohnya. Sepasang suami-isteri yang semula hidup harmonis dalam kesederhanaan, rumahtangganya menjadi berantakan justru tatkala kaya raya.
 

Tentang gaya hidup dan kemewahan, bagi para profesional cerdik cendekiawan, maka ukurannya bukan sekedar relatif, tetapi fungsional. Sesuai fungsinya. Mobil untuk bekerja sehari-hari misalnya, jika sudah memadai dengan harga dua ratus sampai empat ratus juta rupiah, apalagi kalau ada yang lebih murah dengan kualifikasi yang sama memadainya, mengapa harus yang mewah seharga milyaran rupiah? Contoh lain adalah jam tangan sebagai penunjuk waktu. Jika dengan harga ratusan ribu saja sudah bisa dipercaya dan berfungsi dengan baik, mengapa harus yang seharga ratusan juta rupiah?
 

Bagaimana dengan gaya hidup dan kekayaan Kanjeng Nabi Muhammad yang diikuti para sahabatnya, sebagai teladan bagi muslim. Banyak kisah tentang itu, namun saya hendak mengambil beberapa contoh yang sudah lazim diketahui, untuk sekedar mengingatkan.
Alas tidur Rasulullah hanyalah selembar tikar anyaman dari pelepah kurma yang kasar dan keras, padahal kalau mau beliau bisa saja memiliki yang empuk lagi lembut. Pakaian layak pakainya hanya dua dan makan sehari-harinya adalah roti yang keras yang terbut dari tepung kasar, yang diolesi minyak.
 

Kaget memergoki Khalifah Umar makan roti keras lagi kasar yang susah ditelah sebagaimana kebiasaan Baginda Rasul, Utbah sahabatnya bertanya, “Mengapa engkau tidak memakan roti yang halus wahai Amirulmukminin?” Jawab Umar, “Apakah rakyatku sudah memakan roti yang halus? Nanti sajalah jika seluruh rakyatku sudah memakan roti seperti itu”.
Seperti Rasulullah pula, pakaian Umar hanya dua, bahkan salah satunya dengan duabelas tambalan. Hinakah mereka?
 

Khalifah Umar dan demikian juga Khalifah Abubakar pendahulunya, pernah marah besar serta mengancam akan memberikan hukuman keras kepada sahabatnya jika ada yang mengusulkan kenaikan gajinya selaku khalifah, yang nyaris tidak mencukupi untuk makan keluarganya.
 

Saudaraku, saya tak hendak menyeru kita semua persis secara spartan, apa adanya, mengikuti cara hidup Kanjeng Nabi dan para sahabatnya. Karena jujur saja, saya pun belum sanggup. Namun ijinkanlah saya tepat di hari Isra Mi’raj ini, mengajak untuk saling mengingatkan agar berusaha keras, setahap demi setahap, menangkap api semangat serta meneladani kesederhanaan Kanjeng Nabi yang hidup senasib sepenanggungan dengan rakyatnya. Kalaulah keteladanan tersebut kita ibaratkan sebuah tujuan, maka api semangat yang harus terus kita jaga dan kobarkan adalah upaya keras kita untuk sampai ke tujuan tadi, meski hanya bagaikan melangkah setapak demi setapak, bahkan walau hanya dengan beringsut sehasta demi sehasta. Yang penting janganlah diam tanpa berusaha bergerak. Teruslah senantiasa ingat pada tujuan, dan teruslah berusaha menggapainya.
 

Saudaraku, janganlah sampai kita “dilalaikan dari mengingat Allah lantaran bermegah-megahan, hingga kita masuk ke dalam kubur” (At Takaatsur). Naudzubillah.
Depok, 27 Rajab 1434H (6 Juni 2013)
B.WIWOHO (Tasawuf Jawa: islamjawa.wordpress.com)

Selasa, 04 Juni 2013

AMANDEMEN CEK KOSONG


Konstitusi
Amandemen Cek Kosong

Pidato Kenegaraan Presiden Yudhoyono di DPR (Antara/Maha Eka Swasta)Empat kali amandemen itu kebablasan. Begitulah salah satu penilaian atas hasil empat kali amandemen UUD 1945, yang telah dilakukan melalui Sidang Umum Tahunan MPR pada 1999 hingga 2002. Pihak yang lain menganggap empat kali perubahan itu baru menghasilkan konstitusi "tambal sulam", belum cukup untuk memberi landasan yang kokoh bagi praktek demokrasi.

Begitulah potret yang muncul dari Focus Group Discussion yang digelar Reform Institute, Kamis dua pekan lalu di Hotel Bumikarsa, Pancoran, Jakarta. Yang hadir dalam forum terbatas ini, antara lain, Syamsuddin Haris dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), A.M. Fatwa yang mewakili MPR, Rosita S. Noer (Lemhannas), Benny K. Harman (Komisi III DPR), Firman Jaya Daely dari DPP PDI Perjuangan, serta Yudi Latif dan Ifdal Kasim dari Reform Institute.

Perubahan besar memang telah terjadi pada UUD 1945. Bila pada naskah aslinya hanya berisi 70 butir ketentuan, empat amandemen itu telah "memekarkannya" menjadi 199 butir. Toh, masih timbul ketidakpuasan terhadap kualitas "konstitusi baru" tersebut.

Apa pun, menurut Syamsuddin Haris, perubahan UUD 1945 itu adalah sebuah keniscayaan. Konstitusi itu "disusun tergesa-gesa", yang dalam prakteknya telah memberikan kekuasaan kelewat besar pada eksekutif (executive heavy) tanpa pelembagaan checks and balances. Rumusannya pun bersifat sangat sederhana, umum, ambigu, bahkan tidak jelas hingga membuka peluang penafsiran sepihak yang menguntungkan presiden sebagai "mandataris MPR". Amandemen pun dilakukan.

Namun, tutur Syamsuddin Haris, empat kali amandemen itu baru menghasilkan konstitusi baru yang masih tambal sulam. Akibatnya, katanya, tidak menghasilkan pemerintahan presidensial yang kuat, stabil, dan efektif. Untuk membentuk pemerintahan yang efektif, kata peneliti senior LIPI itu, "Diperlukan struktur perwakilan rakyat dalam bentuk bikameral yang kuat."

Sayang, katanya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang mestinya merupakan salah satu "kamar" dalam sistem perwakilan dua-kamar, tak jelas juntrungannya. Kewenangan dan hak-haknya sangat terbatas.

Prinsip saling mengawasi secara seimbang itu, kata Syamsuddin, terabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen, khususnya dalam kaitan DPR sebagai representasi rakyat dan DPD sebagai perwakilan wilayah (teritori). DPR memiliki kekuasaan dan fungsi legislasi yang makin luas, sedangkan DPD sama sekali tak punya kewenangan legislasi. "Padahal, legitimasi anggota DPD sangat kuat karena dipilih langsung oleh rakyat," ujar Benny K. Harman. Mekanisme checks and balances antara DPR dan DPD tidak bisa berjalan.

Kewenangan DPR juga dikatakan melebihi hak-hak yang lazim dimiliki DPR dalam konteks presidensial. Contohnya, penerimaan duta negara lain oleh presiden harus melalui pertimbangan DPR. Konstitusi hasil amandemen juga dianggap belum melembagakan mekanisme checks and balances. Suatu RUU yang sudah disahkan DPR otomatis berlaku bila dalam 30 hari presiden tak mengesahkannya.

"Presiden yang memperoleh mandat langsung dari rakyat itu mestinya memiliki hak veto," kata Ifdal Kasim. Itu, katanya, demi prinsip checks and balances. Tanpa veto, ia bisa di-fait accompli oleh DPR. Menurut peneliti Reform Institute itu, gara-gara khawatir di-fait accompli, pemerintah pun menunda-nunda pembahasan dua RUU hasil inisiatif DPR, yakni RUU Peradilan Militer dan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi. "Kalau tidak setuju, presiden semestinya bisa memveto, agar proses demokrasi itu lebih jelas arahnya," ia menambahkan.

Ifdal Kasim juga menyorot kedudukan MPR yang tampak membingungkan. Kini terkesan ada tiga lembaga perwakilan rakyat: DPR, DPD, dan MPR. Dalam sistem presidensial, katanya, mestinya cukup DPR yang mewakili rakyat dan DPD yang mewakili teritori. "MPR tak perlu jadi lembaga permanen. Cukup ad hoc saja," katanya.

Tetapi A.M. Fatwa, Wakil Ketua MPR, berpendapat lain. Menurut dia, MPR tak bisa diformat ad hoc. "Kalau ada persoalan-persoalan bangsa yang urgen segera direspons, bisa segera diajukan ke MPR," katanya. Kalau bersifat ad hoc, kata Fatwa, harus menunggu DPR dan DPD mengadakan sidang. "Itu jelas terlalu lama," Fatwa memberi alasan.

Ifdal juga menyoroti prosesnya yang dianggap tidak memadai. Pertama, amandemen terjebak pada kepentingan jangka pendek elite partai-partai di parlemen. Realitas ini diakui Firman Jaya Daely, Ketua Bidang Hukum DPP PDI Perjuangan. Menurut Firman, yang terlibat dalam proses amandemen pertama (1999), tekanan untuk tidak mengubah UUD 1945 juga besar saat itu, terutama dari Fraksi TNI/Polri yang waktu itu masih eksis. Inilah yang mendorong kekuatan-kekuatan politik reformasi di parlemen ketika itu mengambil pilihan-pilihan pragmatis.

Kedua, format legal drafting perubahan tidak sistematik, tak terpola, dan membingungkan sehingga menyulitkan pemahaman atasnya sebagai hukum dasar. Syamsuddin Haris menyebutnya rancu dan cenderung menghindar dari model yang relatif baku, yaitu model Amerika Serikat dan negara Eropa Kontinental. Dalam tradisi Amerika Serikat, naskah konstitusi hasil amandemen didesain terpisah dari naskah aslinya. Sedangkan dalam tradisi Eropa, perubahan dilakukan langsung dalam setiap teks konstitusi yang lama.

Format legal drafting keempat amandemen itu akhirnya melahirkan problematik yang tak kalah parah. Di satu pihak, substansinya mengikuti model Eropa, tapi penyebutan pasal-pasalnya tidak berubah. Sehingga seolah tetap 37 pasal, padahal penambahan pasal baru cukup banyak. "Kelak proses amandemen memerlukan komisi konstitusi yang independen," kata Ifdal.

Dengan segala kekurangannya, apa kita perlu kembali ke UUD 1945 sesuai aslinya? "Mustahil," A.M. Fatwa memberi jawaban. Alasannya, langkah itu seperti membuka peluang kembalinya rezim otoriter. "Kami juga tak ingin kembali ke teks lama. Kami hanya meminta agar hasil amandemen ini dikaji ulang," ujar Bambang Wiwoho, mewakili Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKRI), kelompok yang berpatron kepada Jenderal (purnawirawan) Try Sutrisno, yang selama ini menyatakan tidak puas atas hasil amandemen.

Wiwoho, mantan wartawan yang kini aktif di GKRI, organ taktis yang melibatkan sejumlah besar purnawirawan, mengatakan bahwa pihaknya tak puas dengan hasil amandemen. "Tidak memberikan landasan hukum yang jelas tentang bagaimana kita menjalankan ekonomi," katanya kepada Gatra di tempat terpisah.

Akibatnya, menurut Wiwoho, kebijakan ekonomi tidak punya arah yang jelas: neoliberalisme bisa, sosial demokrat juga bisa. Peraturan perundang-undangan yang ada pun jadi tak jelas orientasinya. "Akibatnya, sumber daya alam kita begitu mudah jatuh ke tangan asing," ujarnya.

Bukan itu saja. Wiwoho juga mempertanyakan hilangnya roh musyawarah dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada. "Proses politik jadi kaku. Segala hal diputuskan lewat voting. The winners takes all," katanya. Meski itu lazim dilakukan di negara Barat, menurut dia, sistem representasi di Indonesia boleh saja berbeda. "Partisipasi publik jangan jadi terbengkalai, termonopoli oleh lembaga politik formal," ia menambahkan.

Dengan begitu, seperti halnya Ifdal dan Syasuddin Haris, Wiwoho juga menganggap perlu ada amandemen lanjutan untuk penyempurnaan konstitusi. Ifdal, dengan mengacu pada hasil diskusinya, menyebut ada beberapa pedoman untuk amandemen kelima.

Yang pertama, semangat UUD 1945 menyepakati pemerintahan presidensial. Kedua, amandemen menjamin tatanan politik yang lebih stabil. Ketiga, bangsa Indonesia berpandangan negatif terhadap sistem parlementer liberal yang menyebabkan pemerintahan jatuh-bangun. Keempat, Indonesia yang luas dan beragam memerlukan desentralisasi dan otonomi luas bagi daerah.

Masalahnya adalah timing-nya. Para peserta diskusi Reform Institute sepakat, saat ini bukan waktu yang tepat. Mengingat berbagai risiko politik yang bisa timbul, mereka menganggap perlu agenda jangka menengah dan panjang. "Yang terpenting adalah komitmen para politisi bahwa konstitusi kita perlu terus diperbaiki," katanya.

Yang perlu diprioritaskan, menurut forum diskusi itu, ialah sistem representasi rakyat yang lebih menjamin checks and balances. DPD perlu diperlakukan sebagai "Majelis Tinggi" atau "Senat", yang juga memiliki kewenangan legislasi seperti DPR. Dengan begitu, keduanya bisa membangun sistem bikameral yang kuat. Prioritas lainnya adalah adanya "hak veto" pada diri presiden, seperti lazimnya dalam tatanan presidensial.

Toh, Wiwoho punya prioritas lain. Yang penting, menurut dia, amandemen itu bisa memastikan musyawarah dan partisipasi rakyat mendapat tempat dalam penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. "Jangan dianggap, lewat pemilu itu rakyat telah memberi cek kosong," katanya.

Putut Trihusodo
[Hukum, Gatra Nomor 14 Beredar Kamis, 15 Februari 2007]

printer Versi Cetak email Kirim Berita ke Teman komentar Komentar Anda