Selasa, 20 September 2016

BUKU OPERASI WOYLA EDISI REVISI



Top of Form



Bottom of Form


Operasi Woyla - Pembebasan Pembajakan Pesawat Garuda Indonesia






Well done, Crisis Centre kita ternyata masih kompak dan ampuh. Selamat! (1 April 1981). Laksamana Sudomo
 
Please accept this small token of my appreciation for what you have done for us in Bangkok/Don Muang on the last day of March. (14 April 1981). Letnan Jenderal L. B. Moerdani
 
Atas nama saya pribadi dan keluarga besar departemen penerangan RI di seluruh pelosok tanah air dan yang sedang betugas di mana pun juga, dengan tulus ikhlas dan dengan rasa bangga mengucapkan selamat atas berhasilnya prajurit-prajurit TNI/Pasukan Khusus Antiteror melaksanakan operasi pembebasan sandera di Bangkok dengan sangat gemilang. (31 Maret 1981). Ali Moertopo, Menteri  Penerangan RI
 
Availability:
In stock
List price:
Rp. 72000
Your price:
Rp. 72000
You save:
Rp. 0 (0%)
DETAIL BUKU
Author:
B.Wiwoho
Publication date:
9/19/2016 12:00:00 AM
ISBN:
978-602-412-122-8
Edition:
1
Bagikan
Operasi Woyla, sebuah peristiwa yang dikemas secara populer dan disajikan semenjak dini ketika peristiwanya masih hangat dan pelaku-pelakunya masih lengkap. Disajikan kembali dengan hasil data dan wawancara para pelaku 35 tahun kemudian dengan lebih mendalam.

Keberhasilan pasukan komando Indonesia dalam operasi pembebasan sandera pesawat DC-9 Garuda Woyla merupakan puncak dari rentetan kerja sama antar-lembaga pemerintah dalam menghadapi pembajakan. Mulai dari lembaga intelijen, lembaga pemulihan keamanan dan ketertiban, lembaga pertahanan dan keamanan, maskapai penerbangan, maupun pasukan komando dengan jiwa patriot yang tinggi berupaya membebaskan sandera pesawat yang telah dibawa ke bandara Don Muang, Thailand.

Komunikasi dengan intensitas tinggi antara utusan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Thailand dan dengan pembajak disajikan kembali berdasarkan catatan-catatan pelaku dan hasil wawancara tambahan. Detik-detik pembebasan sandera yang hanya tiga menit digambarkan dengan detail, dengan infografis yang membantu imajinasi pembaca. Buku ini merupakan sebuah best practice pemerintah Indonesia dalam penanggulangan tindakan teror yang secara serentak melibatkan lembaga-lembaga pemerintah yang ada.

Sebenarnya, saya pikir, tidak begitu banyak wartawan kita yang menguasai dengan baik teknik penulisan news feature dan mampu menuturkan serangkaian peristiwa nyata dengan imajinatif dan memikat. Saudara saya, Wiwoho, ternyata termasuk jenis itu. Syu’bah Asa, Redaktur  Pelaksana Majalah Tempo

Operasi Woyla oleh Satuan Komando Sandhi Yudha Indonesia merupakan satu dari tiga peristiwa penyerbuan pembebasan sandera ke negara lain di dunia yang terbilang sukses dan fenomenal. Peristiwa tersebut diulas dengan sangat lengkap dan akurat dalam buku ini sebagai rujukan untuk penanganan pembajakan dan sekaligus kisah inspiratif heroik yang dapat membangkitkan kebanggaan atas kemampuan pasukan khusus antiteror maupun perilaku patriotisme para pelaku yang patut diteladani. (31 Agustus 2016). Capt. Novianto Herupratomo, Direktur Operasi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk

Bambang Wiwoho, wartawan Suara Karya yang ditugaskan di Istana pada 1972-1979 me rangkap ”general assignment reporter” serta Redaktur Ekonomi dan Redaktur Ilmu Pengetahuan dan Kesehatan. Pemimpin Umum majalah Panjimas 1996-2001. Sudah menulis lebih dari 30 buku, baik sendiri maupun bersama-sama. Tulisannya saat ini dapat dilihat di islamjawa.wordpress.com dan bwiwoho.blogspot.com. Dapat dihubungi melalui @b_wiwoho.
KOMENTAR
Belum ada komentar

Leave message

Name:
Your e-mail:
Message:
 
Enter security code:
  
 

ANDA MUNGKIN SUKA...
Tidak ada produk sejenis
HUBUNGI KAMI
  • Jalan Palmerah Selatan 26-28,
  • Jakarta 10270 - Indonesia
  • buku@kompas.com
  • (021)53670882

BENNY, TRAGISNYA LOYALIS SOEHARTO

Benny, Tragisnya Loyalis Soeharto
Jenderal Benny Moerdani hendak menyampaikan laporan kepada Presiden Soeharto di Bina Graha.
Foto-foto: repro buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto
Kamis, 15 September 2016
Benny Moerdani boleh jadi tipikal intel sejati. Ia selalu menampilkan ekspresi wajah yang dingin, tanpa senyum. Irit bicara, tanpa basa-basi. “Pokoknya angkerlah, ha-ha-ha…,” kata Bambang Wiwoho, wartawan Suara Karya pada 1970-an, saat berbincang dengan detikX, Rabu, 14 September 2016.
Keangkeran Benny bertambah beberapa waktu setelah operasi pembebasan para sandera di Bangkok pada akhir Maret 1981. Dalam operasi yang populer disebut Operasi Woyla itu, duet Yoga Soegama-Benny Moerdani sukses membebaskan sandera dalam tempo empat hari. Selepas itu, Wiwoho mengaku menyarankan kepada Jenderal Yoga selaku Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), untuk mengubah prioritas operasi intelijen. Sementara sebelumnya lebih banyak menggunakan taktik berbau SARA, selanjutnya pendekatan ekonomi harus lebih diprioritaskan.
Yoga menerima baik saran tersebut, tapi Benny sebagai Wakil Kepala Bakin sepertinya kurang setuju. Beberapa kali Wiwoho bertemu di ruangan Yoga, ekspresi wajah Benny terhadapnya menjadi super-angker. “Dia seperti mau menelan saya saja, ha-ha-ha…,” ujar Wiwoho.
Kalau saya tidak percaya pada you, tidak akan you sampai di tempat ini."
Bagi wartawan senior Salim Haji Said, yang kini lebih dikenal sebagai pengamat militer, keangkeran Benny tak pudar meski bertahun-tahun tak lagi menjadi penguasa dunia intelijen. Ketika dia menyapa di sela-sela acara timbang terima Kepala Staf TNI Angkatan Darat, dari Jenderal R. Hartono kepada Jenderal Wiranto, Benny malah menukas dengan ketus, “Whom you are working for?” (Kau kerja untuk siapa?) Tapi, dua hari kemudian, Salim diberi waktu untuk mewawancarainya di kantor CSIS di Tanah Abang, Jakarta.
“Pagi itu, segala doa untuk jumpa pembesar yang pernah diajarkan Ayah (almarhum) saya baca dengan khusyuk. Harus saya akui, hari itu saya masuk ke gedung CSIS dengan rasa takut,” tulis Salim dalam buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Ketika pintu diketuk, Benny sendiri yang membukakan pintu. Wajahnya datar, tanpa emosi, dan pastinya tanpa senyum. “Pak Benny, saya itu takut kepada Anda.” Spontan Benny menukas, “Kalau saya tidak percaya pada you, tidak akan you sampai di tempat ini.”
* * *
Description: http://x.detik.com/detail/intermeso/20160915/Benny-Tragisnya-Loyalis-Soeharto-/images/img_20160915_085527_1473904563787-yho3hv.png
Presiden Soeharto melantik Jenderal Benny Moerdani sebagai Panglima ABRI, 29 Maret 1983.
Description: http://x.detik.com/detail/intermeso/20160915/Benny-Tragisnya-Loyalis-Soeharto-/images/img_20160915_085913_1473904763465-xkadao.png
Benny dan Soeharto bercengkerama di Istana Negara, Jakarta.
Leonardus Benyamin Moerdani mengawali karier sebagai prajurit komando. Dia pernah ditugasi Jenderal Achmad Yani memimpin Operasi Naga, menyusup ke Papua (Irian Barat). Juga diminta merancang aksi untuk menangkal penyusupan pasukan Inggris di Kalimantan. Atas prestasi Benny di Papua itu, Presiden Sukarno menyematkan Bintang Sakti, lalu menawarinya masuk resimen Tjakrabirawa, pengawal presiden. Benny juga sempat dijodohkan dengan putrinya, Megawati. Dia menolak kedua tawaran tersebut.
Beberapa tahun kemudian, karena satu hal, justru Yani yang menyingkirkan Benny dari Korps Baret Merah. Dia diminta bergabung dengan Baret Hijau di Kostrad di bawah komando Soeharto. Saat memimpin Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat, Soeharto sudah mengenal Benny sebagai komandan tim Operasi Naga. Di Kostrad pula Benny kembali berhubungan dengan Ali Moertopo, perwira intelijen yang dikenalnya saat di Irian Barat. Pada awal Orde Baru, Ali menjadi salah satu tangan kanan Soeharto dalam membereskan berbagai kemelut politik di Tanah Air.
Man, koki lu yang dulu sering lu tabokin sekarang kerja sama gua."
Di Kostrad-lah kemampuan intelijen Benny mulai diasah dan diarahkan. "Medan perang"-nya mula-mula adalah Malaysia, lalu Seoul, Korea Selatan. Pasca-Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974, Benny kembali ke Jakarta dari Seoul untuk menangani masalah-masalah intelijen hankam. Dia juga terlibat dalam operasi militer ke Timor Timur. Beberapa bulan kemudian, Presiden Soeharto mempercayainya untuk memimpin lembaga intelijen strategis, Intel Kopkamtib, dan merangkap Wakil Kepala Bakin. Sementara itu, peran dan pamor Ali Moertopo sebagai orang intelijen memudar.
Pada akhir Maret 1981, Benny sukses memimpin tim antiteror Kopassus melumpuhkan para pembajak pesawat Garuda di Bangkok, Thailand. Pada 29 Maret 1983, Soeharto mempromosikannya menjadi Panglima ABRI dan Panglima Kopkamtib. Sejarawan Rushdy Hoesein menyebut pencapaian Benny itu termasuk luar biasa, karena lazimnya petinggi ABRI adalah orang tempur, bukan intelijen. “Dia memang perwira hebat dan sangat loyal kepada Pak Harto,” ujarnya. Selain loyal, Benny punya kesetiaan bak seorang samurai.
Sebagai intelijen yang pernah dibina Ali Moertopo, Rushdy melanjutkan, Benny punya kemampuan mem-blow-up cerita yang sifatnya fiktif. Rushdy mencontohkan, pada suatu waktu saat kongko bersama Benny dan Jenderal Herman Sarens Soediro, sekonyong-konyong sang perwira intel itu melontarkan kisah fiktif. “Man, koki lu yang dulu sering lu tabokin sekarang kerja sama gua,” ujarnya kepada Herman Sarens. Setelah Benny pergi, giliran Herman yang ngedumel. “Ah, kapan saya pernah tabokin koki.”
Description: http://x.detik.com/detail/intermeso/20160915/Benny-Tragisnya-Loyalis-Soeharto-/images/img_20160915_085408_1473904462555-kux9t1.png
Salim Haji Said saat mewawancarai Panglima ABRI Benny Moerdani, November 1984.
Kian moncernya karier dan kuasa anak pasangan Raden Bagus Moerdani dan Yohana Roeche itu justru kian tak disenangi sebagian kalangan Islam. Dia kerap dituding sebagai aktor intelektual dalam berbagai peristiwa berdarah yang mengorbankan umat islam, seperti dalam Tragedi Tanjung Priok pada 1984. Juga arsitek pembumihangusan preman di seluruh pelosok Tanah Air lewat Petrus (Penembakan Misterius).
“Itu untuk shock therapy supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya,” kata Soeharto membelanya dalam otobiografi Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang ditulis sastrawan Ramadhan K.H.
* * *
Belakangan, loyalitas Benny kepada Soeharto tak sepenuhnya membabi buta. Seperti halnya yang disampaikan Yoga, Benny pun akhirnya mafhum bahwa kiprah anak-anak sang presiden dalam berbisnis menumbuhkan iklim tak sehat. Hingga pada suatu hari, Benny memberanikan diri untuk menyampaikannya langsung kepada Soeharto di sela-sela bermain biliar di Cendana. Sang presiden pun murka.
“Wah bapake ketoke nesu banget. Saya pasti selesai, hanya akan sampai di sini...,” keluh Benny kepada Laksamana Sudomo. Feeling sang intel sepenuhnya benar. Beberapa saat menjelang Sidang Umum MPR, Benny dicopot dari jabatannya sebagai Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib. Berkat lobi mantan Pangkopkamtib Sudomo, yang juga dikenal dekat dengan Soeharto, sang intel tak sepenuhnya dibuang. Dalam kabinet 1988-1993, Benny ditempatkan sebagai Menteri Pertahanan.
“Saya tahunya kembali dijadikan menteri ya baru sesudah mendengar pengumuman di radio. Sebab, saya sudah tidak pernah dihubungi Pak Harto, juga tidak lewat telepon sejak saya tak lagi menjadi Panglima ABRI,” tutur Benny dalam buku Tragedi Seorang Loyalis karya Julius Pour.

Reporter: Pasti Liberti Mappapa
Penulis/Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.
SHARE
Copyright @ 2016 detikcom, All right reserved Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Privacy Policy · Disclaimer

YOGA, KEPALA INTEL YANG MINTA SOEHARTO LENGSER : dari DETIK X



Description: logo
Yoga, Kepala Intel yang Minta Soeharto Lengser
Ilustrasi: Edi Wahyono
Kamis, 15 September 2016
“Kau boleh melakukan tindakan apa saja untuk menyelamatkan penumpang dan pesawat, asalkan jangan mengorbankan kehormatan negara. Dan seandainya semua jalan gagal, kau boleh melancarkan operasi militer. Tapi ingat, jangan grusa-grusu! Jangan gegabah!”
Pesan Presiden Soeharto kepada Jenderal Yoga Soegama pada 28 Maret 1981 pukul 16.15 WIB di Jalan Cendana Nomor 8, Jakarta, itu tercatat dalam buku Operasi Woyla karya Bambang Wiwoho. Sebelumnya, sebagai Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Yoga melaporkan terjadinya pembajakan pesawat Garuda tujuan Medan dari Jakarta. Pesawat yang mengangkut enam awak dan 48 penumpang itu dibajak saat singgah di Palembang. Pesawat lantas dibelokkan ke Bangkok, Thailand, dengan tujuan akhir Kolombo, Sri Lanka.
Dari Cendana, Yoga langsung bertolak menuju Bangkok dari Bandara Halim Perdanakusuma untuk memimpin operasi pembebasan, yang dikenal dengan Operasi Woyla. Dia mendapat laporan, pembajak berjumlah lima orang bersenjata pistol, granat, dan mungkin membawa dinamit. Mereka menuntut pemerintah Indonesia membebaskan tahanan Peristiwa Cicendo dan uang tebusan US$ 1,5 juta. Memasuki hari keempat, para pembajak akhirnya bisa dilumpuhkan, dan semua penumpang selamat. Operasi ini mendapat acungan jempol dunia internasional.
* * *
Pak Yoga berani latihan menembak kaleng permen yang diletakkan di atas kepala anak buahnya.”
Bambang Wiwoho, penulis buku Memori Jenderal Yoga
Description: http://x.detik.com/detail/intermeso/20160915/Yoga-Soegama,-Silat-dan-Tasawuf-/images/20160915_110005-copy-8gk2yj.png
Sudharmono, Soeharto (tampak punggung), dan Benny Moerdani
Foto: dok. Arsip Nasional
Sebagai tentara, perjalanan karier Yoga banyak dihabiskan di dunia intelijen. Dia mendapat gemblengan langsung dari Zulkifli Lubis, peletak dasar intelijen di Tanah Air sekaligus Kepala Badan Rahasia Negara Indonesia, cikal bakal Badan Intelijen Negara (BIN). Zulkifli sempat mengirim Yoga belajar ke dinas intelijen Inggris, MI-6, di Maresfield. Pulang dari tugas belajar, dia menjadi Asisten I (Intelijen) TT-IV Diponegoro di Semarang.
Di lingkungan Diponegoro inilah dia mulai mengenal dan membantu Soeharto. Hingga di kemudian hari, ketika Soeharto menjadi penguasa Orde Baru, Yoga menjadi penguasa intelijen terlama. Ketika Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Soeharto mendirikan Komando Intelijen Negara sebagai pengganti Badan Pusat Intelijen (BPI) pada 22 Agustus 1966, Yoga-lah yang dipercaya untuk memimpinnya hingga 22 Mei 1967. Meski tergolong singkat, dia berhasil membersihkan orang-orang BPI yang terindikasi berhaluan komunis.
Selain mendapat pendidikan di Akademi Militer Jepang dan pendidikan intelijen Inggris, postur tubuh Yoga membuatnya kian nyaris sempurna sebagai tokoh intelijen. Badannya tegap, kokoh, ganteng, menguasai bela diri silat Merpati Putih, serta mendalami ilmu-ilmu kesaktian lazimnya orang Jawa. Untuk tasawuf, yang dipelajarinya sejak 1980-an, dia berguru kepada Abah Anom dari Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebagai tentara, sudah barang tentu Yoga mahir menembak. “Pak Yoga berani latihan menembak kaleng permen yang diletakkan di atas kepala anak buahnya,” tulis Wiwoho di blognya.
* * *
Benny Moerdani dan Sudharmono menentang saran Yoga agar Soeharto tak mencalonkan lagi sebagai presiden pada Sidang Umum MPR 1988.”
Bambang Wiwoho
Description: http://x.detik.com/detail/intermeso/20160915/Yoga-Soegama,-Silat-dan-Tasawuf-/images/peristiwa_malari-i84z9u.pngPersitiwa Malari di Senen pada 15 Januari 1974
Foto: Wikipedia
Beberapa hari setelah meletus kerusuhan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, Soeharto memanggil pulang Yoga Soegama sebagai duta besar di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia ditunjuk menggantikan Sutopo Yuwono untuk memimpin Bakin. Jabatan ini diemban Yoga selama 15 tahun, hingga 1989. Total, Yoga Soegama memimpin lembaga intelijen selama 16 tahun. Tak aneh bila David Jenkins dalam buku Soeharto dan Barisan Jenderal Orba menyebut Yoga sebagai satu dari empat jenderal kepercayaan Soeharto. Tiga lainnya adalah Ali Moertopo, Sudomo, dan Benny Moerdani.
Tapi, menurut Wiwoho, sejatinya hubungan Soeharto dengan Yoga mulai merenggang sejak Mei 1985. Pemicunya tak lain adalah sikap Yoga yang berani meminta agar bosnya itu tak lagi mencalonkan diri sebagai presiden pada Sidang Umum MPR 1988. Selain karena faktor usia yang mulai sepuh (Soeharto berusia 67 tahun pada 1988), Soeharto terlampau lama menjadi presiden. Hal lain yang mulai mengkhawatirkan adalah kiprah bisnis putra-putri sang presiden yang kian menggurita. Sepak terjang mereka di dunia bisnis amat rentan memicu kecemburuan sosial dan rentan menjadikan Soeharto sebagai sasaran tembak.
Description: http://x.detik.com/detail/intermeso/20160915/Yoga-Soegama,-Silat-dan-Tasawuf-/images/b-wiwoho-dok-pribadi-gcpjko.png
Bambang Wiwoho
Foto: dok. pribadi
Description: http://x.detik.com/detail/intermeso/20160915/Yoga-Soegama,-Silat-dan-Tasawuf-/images/yoga-copy-5kalfq.png
Yoga Soegama dalam sebuah operasi militer pada 1950-an.
Foto: repro sampul buku Memori Jenderal Yoga
“Pak Yoga berjanji akan menjamin keamanan siapa pun pengganti Pak Harto,” kata Wiwoho saat berbincang dengan detikX.
Description: http://x.detik.com/detail/intermeso/20160915/Yoga-Soegama,-Silat-dan-Tasawuf-/images/img-heawub.png
Menerima Bintang Panglima Setia Mahkota dari Malaysia yang disematkan oleh Perdana Menteri Tun Abdulrazak. Dengan bintang itu, Yoga berhak menyandang gelar Tan Sri
Foto: dok. repro buku Memori Jenderal Yoga
Ibu Tien, yang kebetulan melintas dan mendengar percakapan tersebut, sempat melontarkan persetujuan meski Soeharto lebih banyak diam menyimak. Tapi ada dua pejabat yang turut dalam pertemuan menentang keras saran Yoga. Dalihnya, rakyat masih menghendaki kepemimpinan Soeharto. Siapa kedua pejabat dimaksud?
“Pak Benny (Moerdani) dan Pak Dharmono (Sekretaris Negara Sudharmono) yang menentang keras saran Pak Yoga,” kata Wiwoho, yang menulis buku Memori Jenderal Yoga.
Menurut mantan wartawan Suara Karya dan majalah Panjimas itu, buku yang diluncurkan pada 1990 tersebut sempat dua kali naik cetak. Cetakan ketiga dibatalkan atas permintaan Soeharto, yang kurang berkenan dengan salah satu materi dalam buku tersebut. “Permintaan itu disampaikan melalui Kepala Bakin Soedibyo dan Menteri Keuangan Radius Prawiro,” tulis Wiwoho di blognya.
Setelah pertemuan Mei 1985, hubungan Yoga dengan Soeharto menjadi dingin. Padahal setiap Jumat malam, Yoga menghadap Soeharto. Sejak pertemuan itu, dia tak lagi mau ke Cendana bila tak diminta.
Sebaliknya dengan Benny, belakangan dia menyadari kebenaran saran Yoga. Dia pun akhirnya menyampaikan permintaan serupa kepada Soeharto saat menemaninya bermain biliar di Cendana. Tak berbeda dengan Yoga, Benny kena getahnya. Dia dicopot sebagai Panglima ABRI beberapa hari menjelang Sidang Umum MPR 1988.

Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.
SHARE
Copyright @ 2016 detikcom, All right reserved Redaksi · Pedoman Media Siber · Karir · Kotak Pos · Privacy Policy · Disclaimer

 Yoga-Soegama,-Silat-dan-Tasawuf- - Detik

x.detik.com/detail/intermeso/20160915/Yoga...Silat...-/index.php
12 hours ago - Sebelumnya, sebagai Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Yoga ... Bambang Wiwoho, penulis buku Memori Jenderal Yoga.