Jumat, 25 September 2020

HIKMAH KISAH SISA AIR WUDU RASULULLAH

 

Mahatma Gandhi: “Bukan pedang yang membuat Islam berjaya, tapi kesederhanaan yang teguh, nabi yang sama sekali tidak menonjolkan diri, kesetiaan yang luar biasa kepada janji, kasih sayang yang amat besar kepada para sahabat dan pengikutnya, keberanian yang tak mengenal rasa takut, serta  keyakinan yang mutlak kepada Tuhan dan misinya”.

 

Pada suatu ketika, Rasulullah sedang mengambil air wudu.  Tiba-tiba para sahabat datang saling berebut menampung air bekas wudu beliau yang mengucur dari sela-sela jari tangannya, lalu memanfaatkan untuk membasuh wajah masing-masing. Tentu saja Nabi heran menyaksikan para sahabatnya berlaku aneh dan jorok macam itu.  Air musta’mal sisa-sisa nabi berwudu malah dipakai untuk mencuci muka mereka yang bersih.

 

Maka Baginda Rasul bertanya penuh rasa ingin tahu, “Wahai para sahabatku, apa yang sedang kalian lakukan ini?  Mengapa air kotor bekasku berwudu kalian pergunakan untuk membasuh muka?”

 

Salah seorang sahabat menjawab, “Kami sedang menunjukkan rasa cinta kami kepadamu, ya Rasulullah. Jangankan sekadar air bekas wudumu, kalau perlu lumpur bernajis bekas kauinjak dengan kakimu pun akan kami lumur­kan ke wajah kami pertanda kami amat cinta kepadamu”.

 

Wahai Sahabat, kebesaran Islam bukan terbangun dari  gemuruh puja-pujaan, melainkan pada kesadaran  dan kepatuhan umat akan keislamannya. Dan sebagaimana  penulis Inggris termasyhur Karen Armstrong,Titik berangkat yang baik adalah dari sosok Muhammad: seorang manusia yang kompleks, yang menolak kategorisasi dangkal yang didorong oleh ideologi, yang terkadang melakukan hal yang sulit atau mustahil untuk kita terima, tetapi memiliki kegeniusan yang luar biasa dan mendirikan sebuah agama serta tradisi budaya yang didasarkan bukan pada pedang, melainkan pada ’Islam’, yang berarti perdamaian dan kerukunan.”

Allahumma shalli wa sallim ’ala Muhammad.
Lebih lanjut klik link berikut: https://panjimasyarakat.com/2020/09/24/hikmah-kisah-sisa-air-wudu-rasulullah/

Selasa, 22 September 2020

HAKIKAT & FADHILAH FATIHAH UNTUK 75 TAHUN INDONESIA MERDEKA.

 

Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm –  Dengan asma Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Wahai Dzat yang seluruh jiwa raga, nasib dan kehidupan kami semua senantiasa berada dalam genggaman Paduka.

Pada bulan Agustus tahun 2020 ini, kami bangsa Indonesia memperingati dan mensyukuri 75 tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pernyataan untuk menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat, yang hidup aman-tenteram-adil-makmur-sejahtera dan jaya- sentausa berdasarkan Pancasila. Maka  jadikanlah  bangsa dan negara kami ini bangsa dan negara yang Paduka ridhoi, rahmati dan berkahi, yang bisa melakukan serta mewujudkan ketertiban dunia  yang berdasarkan kemerdekaan-perdamaian abadi dan keadilan sosial, yang rahmatan lilalamin, yang hamemeyau hayuning bawono.

 اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ:  al-ḥamdu lillāhi rabbil-‘ālamīn  –  Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.

Terima kasih ya Allah atas kasih sayang dan rahmat Paduka, sehingga kami masih tetap bisa berjuang bagi kejajayaan bangsa dan negara kami, menemani serta memberikan dorongan semangat juang anak-anak keturunan kami, generasi muda, dalam membangun kejayaan masa depan mereka, masa depan bangsa dan negara nan gemilang.

  الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ :  ar-raḥmānir-raḥīm – 

Wahai Yang Mahapengasih, wahai Yang Mahapenyayang, anugerahkanlah kepada kami bangsa yang menghuni negeri maritim NusantaraRaya sejak ribuan tahun silam, sampai dengan sekarang dan hari kiamat kelak, kasih sayang dan berkah Paduka.

Juga anugerahkanlah kepada kami, khususnya kepada para pemimpin kami, para elit kami, para penguasa di negeri ini,  pikiran, tindakan, sikap dan perilaku kasih sayang terhadap sesamanya, terhadap bangsa dan negara.

  مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ :  māliki yaumid-dīn – 

Wahai Penguasa dari segala Penguasa, di masa sekarang maupun yang akan datang. Penguasa dunia maupun akhirat. Padukalah Maharaja di Raja. Maka kami memohon dengan sepenuh harapan dan keyakinan, jauhkanlah kami dari para pemimpin, para penguasa dan elit negeri yang dzalim, yang tidak amanah, yang tidak adil, yang semena-mena, yang pembohong dan korup.  Sebaliknya, anugerahkanlah kepada kami bangsa Indonesia, para penguasa yang amanah, yang senantiasa menjunjung tinggi dan berpegang teguh pada keadilan dan kebenaran.

Duh Gusti, kami mungkin tidak semua mampu membayar Pajak Penghasilan. Tapi kami semua adalah pembayar Pajak Pertambahan Nilai, yang hasilnya dipakai oleh Pemerintah untuk mengelola Pemerintahan. Karena itu dengarkan dan kabulkanlah doa kami, rakyat pembayar pajak ini.

 اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ :  iyyāka na’budu wa iyyāka nasta’īn –  Hanya kepada PADUKA kami menyembah dan hanya kepada PADUKAlah kami mohon pertolongan.

Wahai yang maha mengabulkan doa hamba-hambaNya. Wahai sesembahan kami, wahai Yang Mahapenolong, tolonglah bangsa dan negeri kami sehingga kami bisa segera mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang kami proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Jadikanlah negeri kami ini negeri yang sungguh-sungguh mengamalkan Pancasila baik dalam penyelenggaraan Pemerintahan, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari. Berdasarkan firman-firman Paduka, kami yakin Paduka akan mengabulkan doa dan permohonan kami ini, menjadi bangsa yang berkepribadian dalam peradaban dan kebudayaan, yang mandiri dalam bidang ekonomi dan berdaulat di bidang politik. Bangsa yang hidup aman tenteram, adil makmur, sejahtera jaya sentosa.

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ۙ : ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm –    Tunjukilah kami jalan yang lurus.

Tunjukilah kami semua khususnya  para Pemimpin kami, jalan kebajikan, jalan pengabdian bagi sebesar-besarnya kemaslahatan umat, jalan yang bisa mewujudkan rahmat bagi semesta alam, dan jadikanlah itu semua sebagai bekal ibadah dan amal saleh kami.

  صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ :  ṣirāṭallażīna an’amta ‘alaihim gairil-magḍụbi ‘alaihim wa laḍ-ḍāllīn – (yaitu) – jalan orang-orang yang telah PADUKA beri nikmat ; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar.


Subhaana rabbikaa rabbil ‘izzati ‘ammaa yashifuun, Wa salaamun ‘alal mursaliin, Wal hamdulillahi rabbil ‘aalamiin.

 Catatan: tulisan ini telah dimuat di panjimasyarakat.com 22/8/2020.

Membaca Indikator Keadaan: JANGAN SAMPAI KEHILANGAN SATU GENERASI.

 

Berbagai kelemahan dan ancaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di usia NKRI ke 75 ini, misalkan maraknya isyu-isyu pembelahan yang mengancam persatuan dan kesatuan; demokrasi semu yang dikuasai oleh Dwifungsi Gaya Baru “Pengusaha-Penguasa” dan Partai Politik yang tidak sejiwa dengan sila keempat Pancasila; serta ketidakadilan sosial ekonomi yang sangat menyolok, tentu bukanlah kesalahan Presiden Jokowi dan jajarannya semata, melainkan kesalahan kita semua yang mengarsiteki, mendukung atau setidaknya membiarkan terjadinya perubahan UUD pada tahun 2002.

Perubahan yang dikenal sebagai Amandemen UUD tahun 2002 itu telah membuat Pancasila hanya sebagai ruh gentayangan, sehingga pada gilirannya mengakibatkan timbulnya ancaman-ancaman tersebut.

Kini tatkala kita belum berhasil mengatasinya, muncul persoalan baru yang melanda dunia tak terkecuali Indonesia, yakni pandemi Corona atau Covid-19. Sebagaimana kita alami bersama, Corona berdampak dahsyat dalam kehidupan kita sehari-hari, dan terbukti telah mengguncang berbagai sektor kehidupan, sehingga keadaan semakin berat dan ruwet berkelindan. Maka berlangsunglah apa yang dikenal sebagai VUCA yaitu Volatile, Uncertain, Complex dan  Ambigu.  Labil – mudah berubah, tidak menentu, kompleks – ruwet  dan tidak jelas. Lebih lengkai ikuti: https://panjimasyarakat.com/2020/08/16/membaca-indikator-keadaan-jangan-sampai-kehilangan-satu-generasi/

 

Tantangan 75 Tahun Indonesia Merdeka: TANAH SURGA DENGAN 93 JUTA PENDUDUK MISKIN DAN RENTAN

 

“Bukan lautan hanya kolam susu                                                                    kail dan jala cukup menghidupimu                                                                    tiada badai tiada topan kau temui                                                                      ikan dan udang menghampiri dirimu.

Orang bilang tanah kita tanah surga                                                                  tongkat kayu dan batu jadi tanaman                                                                 orang bilang tanah kita tanah surga                                                                tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”

   Masih ingatkah anda wahai generasi remaja dan pemuda tahun 1970an akan lirik lagu di atas? Itulah lirik lagu “Kolam Susu" yang sangat populer pada masa itu. Lagu ini diciptakan oleh Yok Koeswoyo dan dinyanyikan oleh grup musik Koes Ploes tahun 1973, yang diilhami  keindahan serta kandungan kekayaan alam Indonesia.

   "Laut kita kaya raya akan udang, ikan dan tongkat kayu serta batu jadi tanaman. Apa gak surga itu?  Tapi sayang dicuri sama orang-orang asing,” ujar Yok dalam konperensi pers 16 November 2016.

    Lagu Kolam Susu menggambarkan sebagian saja dari  kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah, baik darat, laut maupun udara, sehingga sempat mengundang dan dikuasai penjajah asing selama tiga setengah abad.

    Kini setelah kepulauan Nusantara yang sempat dijajah selama tiga setengah abad ini memproklamasikan kemerdekaan, dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, tepat 75 tahun yang lalu, bagaimanakah keadaannya?  Apakah cita-cita kemerdekaan sebagaimana dituangkan di dalam Pembukaan UUD yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan  kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang berlandaskan pada lima prinsip dasar negara yang kita kenal sebagai Pancasila, sudah terwujud?

    Dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu banyak hal yang sudah kita capai dan hadapi, baik yang positif maupun negatif. Namun ijinkanlah kali ini kita mengikuti contoh dari dua kalifah sahabat Kanjeng Nabi Muhammad, yakni Khalifah Ustman dan Kalifah Ali.

    Ketika Sayyidina Utsman bin Affan dipuji seseorang, wajahnya memerah. Beliau segera berlutut dan melumuri wajahnya dengan tanah. Pun demikian halnya tatkala Sayyidina Ali bin Abi Thalib dipuji, beliau berkata, “Apakah kau ingin menghancurkanku?!”

    Oleh sebab itu penulis akan mengungkapkan fakta dan data yang kita hadapi, yang bisa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara pada usia ke 75 tahun ini. Bukan untuk mengobarkan pesimisme, melainkan guna mengguggah kesadaran bahwa kita tengah menghadapi keadaan yang mendesak, yang mendekati situasi krisis. Dengan mengenali masalah secara tepat, kita bisa membuat perkiraan keadaan yang tepat, serta melakukan antisiapasi yang tepat pula.

    Marilah kita mulai dengan mengutip negarawan senior, sisa-sisa Angkatan 45 – pelaku sejarah Perang Kemerdekaan yang insya Allah 21 September yang akan datang akan genap 93 tahun, yakni Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo.  Cendekiawan TNI yang memiliki reputasi terpuji ini,  sampai sekarang  masih sangat aktif menulis bahkan mengikuti berbagai Webinar yang kini sedang marak.

    Dalam bukunya “Masyarakat Pancasila” yang diluncurkan pada 6 Februari di hadapan lebih 500 hadirin di Gedung MPR-RI, Letjen Sayidiman menulis,  menurut lembaga internasional IMF pada tahun 2018   Indonesia menjadi negara 16 terkaya di Dunia dengan GDP sebesar US 1,015 trilyun. Dengan begitu Indonesia adalah negara terkaya di Asia Tenggara, mengatasi Singapore, Malaysia, Thailand dan lainnya. Namun hal itu tidak menjadikan Indonesia negara sejahtera, karena dalam kondisi ini ada kenyataan bahwa 9,82 prosen jumlah penduduk atau 25,95 juta orang  Indonesia masih hidup dalam kemiskinan.

    Di samping kemiskinan  ada kesenjangan lebar antara golongan kaya dan miskin. Rasio Gini sebesar 0,389 pada bulan Maret 2018 masih menunjukkan lebarnya kesenjangan. Diperkirakan bahwa 1% dari jumlah orang terkaya atau 2,5 juta orang menguasai 50% kekayaan negara atau sekitar USD 550 milyar. Tentu  bukan kesejahteraan yang seperti ini yang kita inginkan.

    Angka penduduk miskin yang dikutip Pak Sayidiman adalah angka tahun 2018. Sementara itu sekitar sebulan sebelum Indonesia mengakui terserang wabah Corona, tepatnya pada 30 Januari 2020, Bank Dunia mengeluarkan data lapisan masyarakat Indonesia yang terdiri dari 5 (lima) lapis. Pertama lapisan masyarakat miskin 11% atau 29,656 juta jiwa; kedua masyarakat rentan 24% (64,704 juta); ketiga lapisan menuju menengah 44,5% (119,972 juta); keempat lapisan menengah 20% (53,920 juta) dan lapisan atas 0,5% (1,348 juta). Berarti lapisan atas justru semakin mengecil.

    Bank Dunia menyebut masyarakat menuju kelas menengah yang merupakan kelompok paling besar, diukur berdasarkan kemampuan belanja sebesar Rp.532.000,- sampai Rp.1.200.000,- per kapita perbulan. Bagi rata-rata Kepala Keluarga  dengan 2 anak, itu sama dengan Rp.2.128.000,- sampai Rp.4.800.000,- sebulan. Dari pengamatan penulis, keluarga tukang ojeg termasuk dalam lapisan menuju menengah. Kita tahu sendiri bagaimana marginalnya kehidupan mereka dengan kemampuan belanja sebesar itu, buat (1) memenuhi cicilan kredit motor dan segala persyaratan operasional untuk ngojek yang harus ditanggungnya; (2) kontrakan rumah petak; (3) kebutuhan hidup sehari-hari.

    Jika menyimak perkembangan yang kurang baik pada  ketenagakerjaan dan penghasilan masyarakat selama  5 bulan terakhir akibat pandemi Corona, dipastikan jumlah masyarakat miskin sampai dengan menuju menengah menjadi semakin besar.

    Sejalan dengan pendapat Pak Sayidiman tersebut, masih segar diingatan kita, banyak beredar berita, Indonesia masuk dalam 100 negara termiskin dengan urutan 68, diapit oleh Djibouti (urutan 67) dan Guyana (urutan 69). Sebelumnya, Oxfam Indonesia bersama NGO Forum on Indonesia Development (INFID) mengumumkan penelitiannya tentang kekayaan 4 (empat) orang terkaya  Indonesia pada 2016 sama dengan 100 juta rakyat miskin Indonesia.

    Demikian pula, Lembaga  Keuangan Swiss Credit Suisse juga mengeluarkan riset mengenai ketimpangan kekayaan di berbagai negara. Indonesia masuk dalam 9 besar negara dengan kekayaan tidak merata. Hanya satu persen saja orang terkaya Indonesia sudah menguasasi 49,3 persen kekayaan nasional. Sementara itu dalam  kepemilikan tanah atau penguasaan lahan, Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2014 mencatat 72% tanah di Indonesia dikuasai hanya oleh 1% penduduk atau sekitar 2,6 juta orang, sedangkan sisanya yang 28% diperebutkan oleh 99% penduduk atau oleh lebih dari 257,4 juta orang, yang pada awal 2020 sudah meningkat menjadi 269,6 juta.

    Dampak yang amat memprihatinkan dari kesenjangan sekaligus kemiskinan tersebut bagi masa depan Indonesia adalah, lebih dari sepertiga generasi muda kita menghadapi masa depan yang buruk. Ini disebabkan  4 dari 10 anak balita kita sekarang dipastikan mengalami stunting atau pertumbuhan yang buruk. Kenyataan pahit tersebut diumumkan oleh Menteri Kesehatan Nila Muluk pada Agustus 2018. Berdasarkan data yang diperoleh, Menkes menyebut kasus stunting di Indonesia menunjukan angka 37,2 persen.

    "Kita juga masih mengalami stunting, atau kekurangan gizi atau kekerdilan, kerdil dalam arti pendek barangkali enggak apa-apa, asal otaknya jangan ikut kerdil, tapi masalahnya otaknya juga ikut kerdil," ujar Menkes. Selain pertumbuhan terhambat, stunting  dikaitkan pula dengan perkembangan otak yang tidak maksimal, yang menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk. (Tribunnews 3 Agustus 2018).

    Dalam buku “Mengapa Kita  Harus Kembali ke UUD 1945?” yang juga diluncurkan bersamaan buku pak Sayidiman di MPR, penulis menyatakan, data-data di atas secara terang benderang menegaskan bahwa ketimpangan, kesenjangan, ketidakadilan sosial dan ancaman masa depan tengah melanda Indonesia.

    Hal itu bisa diatasi apabila semua kebijakan nasional  berlandaskan serta taat asas pada Pancasila, sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD. Yang menjadi masalah adalah  Pancasila justru hanya sekadar retorika, yang dalam kenyataannya hanya  berupa  semangat atau ruh di pembukaan UUD yang berlaku sekarang, tapi tidak dijabarkan di dalam batang tubuh UUD berupa pasal-pasal, yang selanjutnya menjadi pedoman dalam menyusun berbagai UU dan kebijakan nasional pengelolaan negara. Menyedihkan sekali. Bila diibaratkan makhluk hidup, Pancasila oleh UUD sekarang atau UUD Amandemen 2002, hanya dijadikan sebagai ruh gentayangan tanpa memiliki tubuh.

    Kesenjangan dan ketidakadilan sosial akibat Pancasila tidak menjadi pedoman dalam pengelolaan negara itulah musuh terbesar dan yang paling berbahaya bagi bangsa Indonesia, yang akan terus muncul berkelindan dengan masalah-masalah lain,  dan setiap saat bisa meledak kepermukaan dalam berbagai bentuk, varian dan manifestasinya khususnya Suku – Agama – Ras -  Antar Golongan dan Daerah, dalam sebuah negara lebih dari 17.500 pulau yang yang secara potensial sangat rawan.

    Semoga kita bisa segera menemukan jalan keluarnya, tapi itulah gambaran “Tanah kita tanah surga” sebelum pandemi Corona. Lantas bagaimana halnya setelah Corona yang melanda dunia termasuk Indonesia selama 8 bulan terakhir? (Berikutnya: JANGAN SAMPAI KEHILANGAN SATU GENERASI).

Catatan: artikel ini telah dimuat di panjimasyarakat.com 15/08/2020.

 

 

Menakar Putusan MA Tentang Pilpres Dari Segi Moral Keagamaan

 

Rahmawati Sukarnoputri dkk. menggugat landasan penyelenggaraan Pemilihan Presiden tahun 2019 yang dituangkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Rahmawati mempersoalkan konsistensi PKPU No. 5 Tahun 2019 terhadap UU No. 42 Tahun 2008 ke Mahkamah Agung  tertanggal 14 Mei 2019. Lima bulan kemudian MA memutus perkara tersebut pada tanggal 28 Oktober 2019 dengan Putusan No. 44 P/HUM/2019, dan diumumkan ke masyarakat  sembilan bulan berikutnya, 3 Juli 2020.

Atas keputusan tersebut sementara kalangan menilai, konsekuensi logisnya adalah,  hasil Pilpres dan Pelantikan Jokowi-Ma’ruf Amin tidak sesuai UU sehingga dengan demikian harus dinyatakan batal. Tak pelak lagi, pro dan kontra serta polemik segera membahana  dari para ahli hukum dan politisi, terutama menyangkut legalitas pasangan Presiden dan Wakil Presiden  Jokowi – Ma’ruf Amin,

Sebagai orang awam yang bukan ahli hukum, ijinkan saya membaca sekaligus menakar keputusan MA itu dari aspek lain, terutama berdasarkan moral keagamaan, dalam hal ini  tentang pemahaman dan pengamalan prinsip halal dan thoyib, yang  tidak hanya sebatas pada kandungan zat dalam makanan dan minuman, tetapi juga pada perbuatan.

Para ulama menggariskan nilai-nilai moral keagamaan berdasarkan ayat tentang halal dan thoyib tadi, dengan secara tegas menyatakan, janganlah pernah berharap hasil yang baik dari sesuatu yang tidak baik atau tidak thoyib. Segala sesuatu haruslah berdasarkan prinsip halal dan baik.

Demikianlah saya yang bukan pakar hukum tatanegara ini, membaca sekaligus menakar keputusan Mahkamah Agung no 44 tahun 2019, yang hari-hari ini sedang ramai bersamaan dengan heboh soal RUU Haluan Ideologi Pancasila. Bukan soal Presidennya sah tidak sah, legal tidak legal. Karena saya yakin siapapun yang jadi Presiden dari sistem ketatanegaran seperti sekarang, akan sama saja, kesulitan menghadapi berbagai krisis termasuk menyongsong “Norma-Norma Baru “ pasca pandemi Corona.  SELENGKAPNYA BACA:  https://panjimasyarakat.com/2020/07/11/menakar-putusan-ma-tentang-pilpres-dari-segi-moral-keagamaan/