Rabu, 29 April 2020

Hikmah Di Balik Pageblug Corona: Membangun Rumah Allah Dalam Kalbu


Hikmah Di Balik Pageblug Corona: Membangun Rumah Allah Dalam Kalbu

Oleh: B.Wiwoho

Demi mengatasi wabah corona, Pemerintah Arab Saudi pada 5 Maret 2020 mengumumkan larangan ibadah umroh.  Sejalan dengan meluasnya penyebaran wabah tersebut, beberapa negara termasuk Indonesia juga menyusul melarang penyelenggaraan ibadah berjamaah di rumah-rumah peribadatan, tak terkecuali shalat wajib lima waktu, shalat Jumat dan shalat tarawih di masjid dan mushola.
Tatkala mendengar itu, ada tiga kenangan yang segera muncul diingatan saya. 

Pertama, Suluk Linglung karya pujangga wanita Iman Anom yang merupakan cucu R.Ng.Ranggawarsita, yang mengisahkan perjalanan batin Sunan Kalijaga dalam menempuh jalan Allah, mencari hakikat menuju makrifat. Kedua, riwayat ulama sufi Abu Yazid al-Busthami yang dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji, singgah mengunjungi seorang sufi lainnya di Bashrah. Ketiga, lagu Sajadah Panjang  yang dinyanyikan oleh grup musik Bimbo, dengan syair karya sastrawan kawakan Taufiq Ismail.

Suluk Linglung adalah tembang tentang ilmu hakikat yang  mengajarkan jika kita pergi haji dan umroh hanya untuk secara lahiriah berkhidmat terhadap bangunan batu yang kita kenal sebagai Kakbah, maka itu tak ubahnya bagai menyembah berhala. Jika kita pergi ke Mekah tanpa menyelami makna dan hakikatnya, justru tak lebih dari sekedar berpesiar mengunjungi tempat bersejarah. Oleh sebab itu mengunjungi rumah Allah harus dengan tujuan utama membangun hubungan yang kuat antara seorang hamba dengan Tuannya, antara makhluk dengan Sang Penciptanya.

Sedangkan dialog antara Abu Yazid Al-Bustami, sufi kelahiran Iran (804 M/ 188H), sering diriwayatkan oleh para mursyid kepada salik-saliknya, guna mengajarkan bagaimana membangun istana Allah dalam hati setiap muslim.

Sementara itu “Sajadah Panjang” mengingatkan pada sabda Kanjeng Nabi yang menyatakan bahwa  setiap jengkal bumi adalah masjid. Setiap jengkal tanah adalah sajadah yang tergelar untuk tempat kita bersujud. Sajadah ini ada di mana-mana, tergelar panjang dan lebar tak terhingga. Tergelar di bangunan tempat ibadah berjamaah yang kita kenal sebagai masjid, yang secara bahasa berarti tempat bersujud; tergelar di kantor kita, di sekolahan, di mall, di stasion, di kebun dan tentu saja juga di rumah kita dan lain-lain. Selengkapnya ikuti:

https://panjimasyarakat.com/2020/04/29/hikmah-di-balik-pageblug-corona-membangun-rumah-allah-dalam-kalbu/

Di Balik Pageblug Corona: Hikmah Memakai Masker Penutup Mulut


Oleh : B.Wiwoho

Pageblug Corona yang kini tengah berkecamuk, membuat orang kreatif membanjiri dunia maya dengan aneka tulisan dan candaan, termasuk kutak-katik kalimat yang dalam bahasa Jawa disebut “gothak gathik gathuk”.

Kutak-katik kalimat  seperti itu, sebetulnya merupakan awal dari membaca isyarat zaman sambil mencari hikmah. Sedangkan membaca isyarat atau tanda-tanda zaman dari peristiwa alam dan kejadian sehari-hari, adalah juga awal dari membaca ayat-ayat kauniyah.

Apa hikmah dari wabah Corona ini? Penulis mencoba menarik beberapa saja, selanjutnya silahkan sahabat pembaca melakukannya sendiri. Misalkan, mulut ditutup dengan masker. Mulut dengan lidahnya serta hati, dalam hikayat Lukman si ahli hikmah yang namanya diabadikan menjadi nama salah satu surat dalam Alqur’an, adalah bagian dari tubuh manusia yang paling besar khasiatnya apabila orang pandai menjaganya. Tapi keduanya juga akan mencelakakan manusia bila tidak dapat mengendalikan. Lebih lanjut ikuti :

https://panjimasyarakat.com/2020/04/27/di-balik-pageblug-corona-hikmah-memakai-masker-penutup-mulut/

Minggu, 05 April 2020

I'TIBAR MENYIKAPI WABAH CORONA



Alqur’an banyak mengisahkan berbagai bencana yang memusnahkan sesuatu kaum dan peradaban yang tidak berpegang pada tali Allah.
 
Bencana apapun bentuknya, apakah itu bencana alam atau wabah penyakit selalu mengobarkan perasaan mencekam lagi menakutkan. Apalagi jika berskala nasional, bahkan global seperti pandemi Corona Virus yang mulai merebak di akhir tahun 2019 ini, yang kemudian disebut Covid-19.

Alqur’an banyak mengisahkan berbagai bencana yang memusnahkan sesuatu kaum dan peradaban yang tidak berpegang pada tali Allah,  misalkan kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Luth, kaum Nabi Shaleh, kaum Nabi Huud dan kaum Nabi Syuaib. Sebagian besar dari mereka musnah, runtuh disapu bencana baik yang merupakan bencana alam, maupun bencana lain yang pada masa sekarang diduga sejenis  virus. Bangsa ‘Aad yang merupakan kaum Nabi Huud dalam Alqur’an digambarkan sebagai bangsa yang sangat maju yang memilik bangunan-bangunan tinggi lagi megah. Di puing-puing rerentuhan itu, tumbuh kembali generasi dan peradaban baru, era baru, zaman baru.

Lima puluh hari sebelum Kanjeng Nabi Muhammad Saw dilahirkan, Mekah dikepung oleh bala tentara dari Yaman yang sangat kuat, yang dipimpin  Raja Abrahah yang mengendarai gajah. Mereka hendak menyerbu untuk menghancurkan Kakbah. Menghadapi pasukan yang kekuatannya jauh diatasnya itu, para pemuka Quraisy dengan dipimpin oleh kakek Nabi, Abdul Muthalib, berserah diri seraya berdoa, “Ya Tuhanku! Tiada yang hamba harap selain Paduka! Ya Tuhanku! Tahanlah mereka dengan benteng Paduka! Sesungguhnya siapa yang memusuhi rumah ini adalah musuh Paduka. Mereka tidak akan dapat menaklukkan kekuatan Paduka.”
Kisah serbuan Tentara Bergajah ini, dituangkan dalam Surat Al-Fiil (Gajah), dan bersama dengan kisah kaum para Nabi, oleh umat Islam disepakati sebagi i’tibar, bahan pelajaran bagi kaum yang mendustakan dan mempermainkan aturan-aturan Allah, sebaliknya juga penguat iman bagi yang taat. Dalam Al Fiil diterangkan, Allah mengirim balatentaraNya berupa burung berduyun-duyun, yang melempari Tentara Bergajah dengan batu siksaan, dan menjadikan mereka bagai daun-daun yang dimakan ulat.

Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar mengutip Syekh Muhammad Abduh menulis batu-batu yang dibawa oleh burung-burung itu adalah virus cacar air, yang dengan cepat menyerang serta melumpuhkan pasukan Abrahah.

Bagaimana halnya dengan Covid-19? Kaum ilmuwan dan ahli strategi perang menilai adalah senjata biologi. Dengan berbagai dalih ada yang menyebut buatan China, sementara yang lain menyatakan buatan Amerika Serikat. Mana yang benar, kita masih harus menunggu. Namun demikian satu hal yang kita sudah yakin benar adalah, pertama, tiada sesuatu pun kejadian yang tidak diketahui Allah, dan segala sesuatu yang terjadi itulah takdirNya. Kedua, semua isi alam semesta ini bisa berubah, tidak ada yang abadi, dan semua itu adalah makhlukNya, termasuk aneka macam virus serta bakteri.

Menghadapi serbuan ganas makhlukNya yang tak nampak mata ini, apa yang sebaiknya kita lakukan? Rasulullah mengajarkan untuk melakukan ikhtiar dan berdoa. Dalam berikhtiar dikatakan, “Setiap penyakit itu ada obatnya. Karena itu apabila obat tepat mengena pada penyakit, maka yang sakit sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla (Shahih Muslim).

Dalam hal menyikapi wabah, Rasulullah secara tegas menyatakan: “ Wabah adalah pertanda siksa yang ditimpakan Allah Azza wa Jalla kepada sebagian manusia di antara para hambaNya. Karena itu apabila kalian mendengar adanya wabah tersebut, jangan kalian memasukinya. Dan kalau terjadi di suatu daerah, sedangkan kalian ada di sana, maka janganlah kalian lari menghindarinya.”

Sahabat Kanjeng Nabi yaitu Khalifah Umar bin Khattab suatu waktu tatkala sedang bepergian menuju negeri Syam, sekarang Suriah-Libanon-Yordania-Palestina, mendapat kabar jika di daerah tujuan sedang berjangkit wabah penyakit. Khalifah meminta pendapat anggota rombongan dan cerdik pandai. Terjadi perdebatan seru, pro dan kontra, jalan terus atau kembali, sampai kemudian datang sahabat Abdurrahman bin Auf yang mengingatkan hadis Nabi di atas. Maka sebagai umat yang taat kepada Allah dan Rasulullah, akhirnya mereka sepakat menjalankan hadis tersebut dan kembali ke Madinah.

Apa hakikat ajaran dari hadis itu? Secara tegas membatasi bahkan mencegah terjadinya mobilitas orang. Yang di daerah wabah tidak boleh keluar agar tidak menyebarkannya kepada orang dan daerah lain, sedangkan yang di luar tidak boleh masuk agar tidak tertular. Apa artinya, lockdown, karantina wilayah ataukah Pembatasan Sosial Berskala Besar? Silahkan apa istilahnya, sepanjang melokalisasi, mengunci penyebaran penyakit.

Di samping ikhtiar, marilah kita teguhkan keyakinan dan doa mohon kesembuhan bagi yang sakit, mohon dijaga serta dihindarkan bagi yang sehat. Marilah kita memohon pertolongan Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung, selamat dari gangguan makhlukNya yang kita sebut sebagai Corona atau Covid 19, menjadi dan tetap sehat walafiat. Memohon hikmah dan berkah atas bencana wabah ini, sehingga kita bisa membangun kembali tata kehidupan yang diridhoi, dirahmati serta diberkahiNya. Tata kehidupan yang jauh dari kezoliman dan kerakusan yang merusak alam rayaNya, kehidupan yang amanah, yang menjunjung tinggi keadilan, kejujuran serta kemaslahatan rakyat.

Sejalan dengan doa Abdul Muthalib tatkala menghadapi serbuan tentara bergajah, “ Wahai Tuhan kami! Tiada yang kami harap selain Paduka! Wahai Tuhan kami! Tahanlah wabah ini dengan benteng Paduka! Sesungguhnya siapa yang tidak mematuhi apalagi yang memusuhi ajaran Paduka adalah musuh Paduka. Mereka tidak akan dapat menaklukkan kekuatan Paduka. Amin.”
(https://panjimasyarakat.com/2020/04/05/itibar-menyikapi-wabah-corona/)

Jumat, 03 April 2020

Mengolah Cipta – Rahsa – Karsa Melawan Corona



Menggalang Sikap Positif Kolektif Demi Menyelamatkan Bangsa dan Negara


Kita perlu bersama-sama menggalang sikap positif, optimistis,  dan bersangka baik terhadap sesama – terlebih kepada Tuhan yang menguasai seluruh jiwa-raga-nasib dan kehidupan kita.

Sejak UUD 1945 asli yang dijiwai Pancasila dirombak total oleh para elit politik menjadi UUD yang berjiwa individualistis, liberalistis dan kapitalistis pada tahun 2002, bangsa Indonesia menjadi sangat individualis, pragmatis, hedonis, materialis dan narsis dengan ujub-riyanya yang luar biasa. UUD 1945 pun kehilangan semangat gotong royongnya. Sebagaimana para elit memanipulasi nama UUD yang sudah dirombak total, dengan tetap menyebutnya sebagai UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka gaya hidup semau gue dan penuh manipulasi pun meruyak di masyarakat. Yang penting bagaimana bisa menjadi berkuasa dan kaya raya dalam tempo sesingkat-singkatnya dengan segala cara. 

Apa akibat dan dampak lebih lanjut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Kini bangsa Indonesia mulai terbelah mengikuti pola SARA – Suku – Agama – Ras – Antargolongan. Dengan dukungan buzzer masing-masing  yang terus mendengung, pembelahan pun makin mengental. Ada Islam vs non Islam, ada Islam radikal vs Islam wasathiyah, ada cebong versus kampret, dan sekarang ada kadrun (katak dungu turun-temurun) vs kadrun (kadal gurun), ada goodbener vs gakbener dan seterusnya. Semua saling menghinakan, saling menafikan kebaikan yang lain, saling menghujat dan merendahkan.

Yang sangat memprihatinkan, meski kita sedang menghadapi ancaman pandemi, wabah atau pageblug yang mengancam jutaan jiwa manusia secara acak, sejak dari rakyat jelata sampai penguasa. Mereka yang menderita dalam ketakberdayaan di kampung-kampung kumuh perkotaan dan di hutan-hutan Papua sampai dengan Presiden dan para konglomerat. Termasuk jiwa mereka yang saling membelah, termasuk jiwa para pendengung yang terus saling memuntahkan makian dan hinaan, termasuk para elit penguasa partai-partai politik. Jiwa mereka, keluarga mereka sungguh terancam, namun ironisnya tak menyadari, bahkan tetap merasa sedang menggenggam martabat dan jiwa hamba Allah yang lain. 

Di tengah kemelut suasana yang seperti itu, sejatinya diperlukan kesadaran kolektif bangsa. Kita perlu menyadari benar bahwa keadaan yang tengah kita hadapi sekarang merupakan ancaman kehancuran bangsa dan negara. Kita perlu bersama-sama menggalang sikap positif, optimistis,  dan bersangka baik terhadap sesama – terlebih kepada Tuhan yang menguasai seluruh jiwa-raga-nasib dan kehidupan kita.
Ini sejalan dengan firman bahwa Allah akan mengabulkan permohonan hamba-hamba-Nya (QS Al-Baqarah: 186). ), dan hadis qudsi bahwa  “Aku sesuai dengan prasangka hamba-hamb-Ku kepadaku” (HR Bukhari dan Muslim). Karena itu marilah kita tinggalkan segera, segala pikiran, ucapan, tulisan, tindakan dan perbuatan yang mengandung ungkapan serta konotasi negatif terhadap apa dan siapa pun, sebab ucapan dan tulisan itu bagaikan doa. 

Marilah kita olah tiga potensi dasar yang ada dalam setiap diri kita, yakni kehendak atau nafsu, akal dan kalbu kita menjadi suatu senyawa yang positiF. Orang Jawa tempo dulu menyebut ketiga potensi diri tadi sebagai karsa (nafsu atau kehendak), cipta (akal dengan otaknya) serta rahsa yang merupakan inti kalbu atau nurani. Olahan atas ketiganya disebut olah cipta– rahsa–karsa.

Mari kita bangkitkan karsa kita untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari wabah Covid-19 yang bisa memusnahkan kita,  serta menata dan membangun kembali, memberikan landasan rahsa, demi kemaslahatan sesama, sebagai perwujudan rahmatan lil alamin.  Selanjutnya mari kita proses lebih lanjut dengan sikap positif dan optimistis, kita visualkan dalam pikiran kita, dalam cipta kita, menjadi gambaran sebuah negara kepulauan yang disebut Nusantara ini, sebuah negeri idaman nan aman tenteram, adil makmur sejahtera, jaya sentosa, baldatun thyibatun wa rabbun ghafur, senaniasa dalam perlindungan dan ampunan Tuhan, yang dipimpin oleh para elit, para penguasa yang jujur, adil dan amanah; yang kehidupannya bersih, sederhana dan mengabdi. Mari kita bayangkan, kita visualkan diri kita bersama orang-orang yang kita cintai serta para sahabat kita, berbahagia bersama dalam suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang seperti itu. Semoga (Menggalang Sikap Positif Kolektif Demi Menyelamatkan Bangsa dan Negara https://panjimasyarakat.com/2020/03/30/menggalang-sikap-positif-kolektif-demi-menyelamatkan-bangsa-dan-negara/)