Minggu, 24 Februari 2013

KURAWAYUDHA


Sekarang ini bukan saatnya Pandawa terusir karena kalah main dadu. Saat Pandawa terusir susah lama berlalu, yaitu tatkala UUD 2002 dimanipulasi oleh para Kurawa menjadi UUD 1945, dan selanjutnya demokrasi yang mestinya dari, oleh dan untuk rakyat dibajak oleh Partai-Partai Politik dan sekedar dijadikan demokrasi prosedural. Sementara itu Parpol-parpol dikuasi oleh "dwifungsi gaya baru", yaitu dwi fungsi penguasa-pengusaha yang beranak pinak OKB (Orang-Orang Kaya Baru) atau Politisi-Politisi Mendadak Kaya dari menjarah uang negara yang dikumpulkan dari pajak rakyat. Karena itu sangat tidak pantas, orang-orang seperti itu disebut Pandawa, apalagi Puntadewa.

Pandawa adalah para kstaria pelindung rakyat yang hidup amat sangat sederhana. Rajanya saja yaitu Puntadewa, tidak mau mengenakan "badong", lambang seorang raja, apalagi mahkota. Rambutnya hanya digelung. Mereka senang "blusukan", turun ke pelosok-pelosok kampung jalan kaki hanya didampingi oleh punakawan Semar, Gareng, Petruk, membasmi para penindas rakyat. Melibas Buto Cakil dan para raksasa rakus lainnya, yang banyak tingkah dan vokal.

Kalau di Parpol-Parpol sekarang ribut internal, itulah Kurawayudha. Pertengkaran di antara sesama Kurawa. Bila diibaratkan, slagorde Kurawa yang berpenampilan santun bagaikan satria utama adalah Prabu Salya dan Adipati Karna (anak menantu Salya), maka suatu saat Adipati Karana sang anak ini, juga pernah ribut keras dan menghina ayah mertuanya tersebut.

Pandawa sekarang ini adalah para aktivis dan patriot-patriot bangsa yang terpanggil berjuang memberantas elit-elit korup, baik korup kecil maupun korup besar, karena koruptor ya koruptor, tak peduli besar kecil uang rakyat yang dikorupnya, sekaligus merebut kembali demokrasi yang sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945, dari tangan para Kurawa itu.

Oleh sebab itu, para Pandawa jangan sampai terkecoh memihak salah satu Kurawa yang sedang saling bertikai, saling menghina, saling merobek mulut, seperti merobek mulut Sengkuni. Adalah sudah sepantasnya apabila para Kurawa itu saling menipu dan memangsa satu sama lain.
Para Pandawa harus segera merapatkan barisan, menyongsong matahari terbit yang sudah mulai bercahya. Semoga.

24 Februari 2013.

Kamis, 21 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (10): PENGAMPUNAN PAJAK & FRONT PERTEMPURAN YANG MELUAS




Jika pembahasan RUU di DPR dengan perdebatan-perdebatannya yang kritis dan keras boleh disebut sebagai front pertempuran ide-ide dan gagasan, maka pertempuran itu tidak berlangsung lama, karena kedua belah pihak yaitu  Eksekutif dan Legislatif, memiliki filosofi  perjuangan yang sama. Demikian pula pribadi orang-orangnya yang semuanya masih kental dengan semangat kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tetapi begitu sudah keluar dari Gedung Senayan menjadi Unang-Undang, tentu tidak demikian halnya.

Jumlah anggota DPR hanyalah  460 orang,  terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki wasawan yang relatif sama. Sedangkan di masyarakat, pelaksanaan undang-undang menghadapi hampir 160 juta manusia, dengan ragam, wawasan dan kondisi sosial-budaya serta ekonomi yang berbeda-beda. Mengharapkan mereka paham dalam 40 hari sebagaimana anggota DPR sangat mustahil. Lagi pula, sistem baru tentu tidak akan otomatis melaju seperti mobil yang meluncur di jalan tol. Ada sistem lama yang harus dibuang namun masih meninggalkan sisa-sisa masalah yang harus ditangani. Ada perangkat sistem baru yang juga harus disiapkan, dan tidak kalah  penting mengubah pola pikir serta pola perilaku  sekitar 20 ribu aparat pajak, termasuk pemahaman mereka akan sistem yang baru sama sekali.

Di bidang peraturan pelaksanaan, saya mencatat suatu hal yang sangat luar biasa dari tim PSPN ini, bahkan tetap luar biasa dibandingkan kemampuan Pemerintah tahun 2013 ini. Tim PSPN sejak saat itu sampai dengan saya terlibat di dalamnya tahun 1999, selalu bekerja bukan hanya sekedar maraton dan intensif siang malam, tetapi selalu mampu menghasilkan produk-produk undang-undang dengan segala peraturan turunannya sampai ke tingkat Surat Edaran Dirjen termasuk formulir-formulir pajak dalam dimensi besar secara menyeluruh, terpadu dan dalam satu paket sekaligus, semuanya nyaris sempurna. Sebuah cara kerja yang baik yang tidak saya lihat dan jumpai selama ini di produk undang-undang yang lain.

Meskipun begitu, semua itu masih belum cukup. Di bidang Pajak Penghasilan saja, kecuali tuntutan untuk segera bisa memperluas basis pajak demi meningkatkan jumlah wajib pajak, juga banyak sisa masalah yang harus dirapikan antara lain kewajiban wajib pajak di masa lalu. Ada enam jenis kewajiban pajak di masa lalu yang harus dijernihkan sebelum beralih menggunakan sistem baru sama sekali, yaitu: (1) Pajak Kekayaan; (2). Pajak pendapatan; (3). Pajak Perseroan; (4). Pajak Pendapatan 17a ( buruh dan karyawan); (5) Menghitung Pajak Orang (MPO)/Wajib Pungut; (6). Pajak atas bunga, deviden dan royalti. Di samping itu ada satu lagi yag terkait dengan PPN yaitu Pajak Penjualan.

Demi memberikan kemudahan kepada wajib pajak, Pemerintah memberikan fasilitas yang  disebut pemutihan atau pengampunan pajak. Wajib Pajak yang menggunakan kesempatan atas fasilitas ini, maka kewajiban pajaknya sampai dengan tahun 1987 akan dinyatakan bersih atau benar. Pengampunan diberikan dan masa lalunya yang dianggap kurang baik akan dilupakan dan tidak akan pernah dipersoalkan lagi. Untuk itu Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 26 tahun 1984, yang mulai berlaku sejak 18 April 1984 sampai dengan 31 Desember 1984.

Reaksi masyarakat atas Keppres tersebut ternyata di luar dugaan. Masyarakat curiga fasilitas pemutihan itu hanya akan dijadikan sarana untuk menggiring wajib pajak bagaikan hewan masuk ke kebun binantang, untuk kemudian dijadikan obyek buruan. Pada masa itu istilah “berburu di kebun binatang” sangat populer guna menggambarkan begitu kejam dan sikap seenaknya sendiri aparat pajak terhadap wajib pajak.

Reaksi keras juga ditujukan kepada pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang membebankan pengenaan pajak pada setiap terjadi pertambahan nilai (accrual basis) sehingga menjadi “cruel” atau ganas. Pemberitaan dan tajuk rencana media massa, bertubi-tubi menyerang sistem baru. Surat kaleng yang berisi hal-hal buruk mengenai dan kepada Menteri Keuangan Radius Prawiro serta Dirjen Pajak Salamun AT, datang bak gelombang di lautan, bergulung-gulung tiada henti, sehingga boleh dikatakan tiada hari tanpa surat kaleng. Bahkan bukan hanya surat kaleng, tanda-tanda telah terjadi perbuatan mistis hitam, juga beberapa kali dijumpai di sekitar ruang kerja pak Salamun.

Sepanjang tahun 1984 sampai dengan awal 1985, sejumlah pakar ternama ikut mengkritisi. Prof.Dr.Panglaykim misalnya menyatakan, PSPN tidak akan berhasil sebelum terjadi perbaikan perilaku dan cara kerja aparat pajak. Ekonom Universitas Indonesia Dr.Arsyad Anwar juga meminta agar pemasyarakatan PSPN ditingkatkan sampai masyarakat lebih memahami. Sementara itu mantan anggota tim arsitek ekonomi Orde Baru, Prod.Dr.M.Sadli selaku Sekretaris Jenderal Kamar Dagang dan Industri Nasional pun mencemaskannya. “ Yang banyak ditakutkan sekarang adalah pelaksanaan dari Pajak Pertambahan Nilai yang 10%. Sektor swasta sangat cemas menghadapi kemungkian ini, terutama swasta industri dan bangunan, karena pasarnya sangat lesu”, demikian ia menulis dalam Bulletin Kadin Indonesia No.17/11/84, yang kemudian menjadi bahan liputan media massa umum.

Tentu saja Pemerintah tidak menutup mata terhadap kritik dan kecemasan tadi. Apalagi dengan menyadari pengalaman sejarah di berbagai negara. Khusus mengenai PPN, sampai dengan tahun 1984, ada 30 negara di dunia yang sudah melaksanakan. Indonesia adalah yang ke 31 atau yang ke 4 di Asia.  Dari jumlah itu, 21 berjalan tanpa gejolak sedangkan yang 9 mengalami sejumlah masalah terutama gejolak kenaikan harga barang-barang. Oleh sebab itu,  di samping memberikan beberapa insentif umum kepada dunia usaha melalui pembelanjaan anggaran negara serta persiapan melakukan operasi pasar jika sewaktu-waktu sangat diperlukan, Pemerintah pun memberikan kemudahan berupa penghapusan pajak MPO semenjak 1 Januari 1984, sehingga Pengusaha Kena Pajak hanya  hanya membayar PPn 1951 sampai dengan 31 Maret 1985.

Akan halnya fasilitas pemutihan, ternyata sampai dengan batas akhir 31 Desember 1984, minat wajib pajak sangat rendah pula. Sebagai contoh, pada pertengahan Desember 1984, dari 9000 formulir pemutihan yang dikirimkan kepada wajib pajak Sumatera Selatan, hanya 42 yang kembali, di kota Manado sebanyak 335 formulir hanya kembali 11. Di daerah-daerah lain pun termasuk Jakarta, gambarannya kurang lebih sama. 
( “Pajak di Mata Rakyat”, hal 201, 20)
Karena itu akhirnya Pemerintah juga mengundurkan masa pemutihan pajak menjadi sampai dengan 30 Juni 1985.

Betapa buruk citra pajak, ada sebuah artikel di surat kabar Suara Karya tanggal 27 Juni 1985, yang ditulis dan merupakan pengakuan dari seorang aparat pajak, yaitu Suratno Mulyowigeno SE. Ia menulis, “ Kalau orang mendengar atau membaca kata pajak, umumnya ia mempunyai kesan yang negatif. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa pajak itu adalah hal yang memberatkan atau hal yang harus dihindarkan atau aparatnya brengsek. Sedikit sekali yang memunyai kesan bahwa pajak itu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehdupan negara dan karenanya membayar pajak itu adalah pekerjaan mulia. Kesan yang negatif itu, barangkali timbul sebagai akibat praktek-praktek kotor dari pemungutannya pada zaman penjajahan dulu yang telah menjadi cerita panjang sampai sekarang. Citra tersebut sudah tentu sangat merugikan Negara. Keinginan untuk mengikisnya, sudah tentu memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dan terus-menerus”. Di kemudian hari, Suratno sempat dipromosikan  menjadi Kepala Hubungan Masyarakat dan Penyuluhan Pajak.

Minggu, 17 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (9): KEUTAMAAN-KEUTAMAAN SISTEM BARU




Kalimat kunci yang menjadi ruh dan semangat dari revolusi atau reformasi perpajakan (PSPN) ini adalah, suatu paket undang-undang perpajakan yang sederhana, yang mudah difahami dan dilaksanakan sendiri oleh rakyat secara bertanggungjawab demi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Itulah ruh, semangat dan esensi sekaligus maksud dan tujuan utama dari PSPN.

Dengan maksud dan tujuan utama seperti itu  untuk pertama kalinya setelah  40 (empat puluh) tahun merdeka, Indonesia memiliki 5 (lima) undang-undang dengan 156 (seratus lima puluh enam) pasal dan 9 (sembilan) jenis tarif, menggantikan sistem lama yang terdiri dari 13 (tiga belas) undang-undang dengan 573 (lima ratus tujuh puluh tiga) pasal dan puluhan ribu aturan pelaksanaan serta 270 tarif. Kita bisa bayangkan, betapa rumit bahkan ruwet sistem lama tersebut, sehingga wajar bila pada akhirnya rakyat Wajib Pajak menyerah atau memilih berkolusi saja dengan fiskus atau aparat pajak.

Garis besar dari sistem baru yang membedakannya dengan sistem lama adalah sebagai berikut:

1.     Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP).

Perbedaan filosifis antara sistem lama dan baru, dituangkan dalam UUKUP yang memuat sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap Wajib Pajak (WP). WP tidak lagi menjadi obyek, melainkan subyek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban bernegara. Di segi tuntutan masyarakat terhadap perlunya fiskus yang mampu dan bersih dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam undang-undang ini.

Dalam melaksanakan kewajibannya, WP memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan sendiri atau menunjuk pihak yang dipercayainya. Tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti dalam sistem lama, yang menitikberatkan kegiatannya pada tugas  dan menetapkan semua  Surat Pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang harus dibayar. UUKUP menentukan tugas administrasi perpajakan sebagai pengendali aktif adminstrasi pemungutan yang meliputi pembinaan, penelitian, pengawasan dan penerapan sanksi administrasi.

2. Pajak Penghasilan (UUPPh).

Pajak Penghasilan (PPh) yang baru, dikenakan baik kepada perorangan maupun perusahaan. PPh ini menggantikan empat undang-undang  lama yang rumit dan berbelit-belit, yang masing-masing berkaitan dengan perorangan, perseroan, bunga, dividen, royalty serta pajak pemotongan.

Istilah penghasilan dalam sistem baru mempunyai arti luas, termasuk di dalamnya arti pertambahan kekayaan. Segala bentuk penghasilan untuk tiap tingkat dikenakan dengan tarif yang sama. Hal ini berarti penyederhanaan terhadap praktek perpajakan lama yang mengenakan bermacam-macam pajak penghasilan dengan tarif yang berbeda-beda atau sama sekali tidak dikenakan. Jika sistem lama memiliki 66 jenis tarif dengan tarif terendah 2,5% dan tertinggi 50%,  UUPPh tahun 1983 hanya terdiri dari tiga tingkatan tarif, yaitu 15%, 25% dan 35%.

UUPPh menggariskan dengan jelas jenis-jenis penghasilan yang dikenakan dan yang tidak dikenakan pajak, penghasilan yang pengenaan pajaknya ditangguhkan, pajak yang ditanggung pemerintah serta batas penghasilan yang tidak kena pajak.

Sistem lama memberikan perangsang perpajakan bagi dunia usaha, misalkan masa bebas pajak, namun diberikan tidak secara merata dan seragam. Sedangkan dalam sistem baru, insentif seperti itu diganti dengan daya tarik umum yang sederhana berupa tarif pajak yang lebih rendah untuk segala tingkat perusahaan, serta sejumlah insentif lain yaitu pajak atas tunjangan dan biaya umum perusahaan, penyusutan, indeksasi, kerugian kumulatif dan potongan atas bunga.



3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Inilah jenis pajak yang oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro disebut sebagai mesin uang. Istilah itu juga ia sampaikan kepada DPR tatkala mengajukan RUU PPN. Mengenang proses pemilihan dan penyusunan PPN ini, Radius menyatakan, agar pajak-pajak dapat mengkompensasi kehilangan pendapatan minyak, Indonesia perlu memiliki sumber penghasilan pajak yang lebih banyak dari sekedar pajak penghasilan. Para perencana ekonomi Indonesia memilih PPN. Pajak ini memang terbukti menjadi sokoguru dari sistem perpajakan Indonesia. Keberhasilannya melampaui ramalan dan harapan. 

Di Indonesia, tulis Radius selanjutnya, PPN diberlakukan untuk semua barang yang diproduksi maupun yang diimpor, serta jasa-jasa konstruksi. Pajak ini tidak berlaku untuk tembakau, serta hasil pertanian lainnya, karena memelihara tanaman atau ternak tidak dianggap sebagai manufaktur. Kecuali itu, tidak ada pembebasan-pembebasan lainnya. Yang paling penting di Indonesia, tidak seperti di negara-negara lain, hanya ada satu tarif yang dipakai untuk PPN ini, 10 persen, dan tidak berlaku untuk tingkat eceran. Oleh karena itu, “tidak dapat dilihat” oleh para konsumen. Hal ini membuatnya menjadi pajak yang jarang dipertengkarkan. Lagi pula tidak seperti pajak penjualan, PPN ini bukan merupakan pajak bertingkat. PPN menggantikan pajak penjualan dalam sistem lama yang rumit sehingga tidak dapat dilaksanakan.

Dengan berlakunya satu tarif saja dan penerapan yang universal, kekuatan terbesar dari PPN Indonesia terletak pada kesederhanaannya. Walaupun Indonesia menerima inspirasi ini dari negara Eropa, menurut Radius, pendekatan Eropa sangat rumit karena diberlakukan bukan saja untuk barang tapi juga untuk jasa dengan tarif yang berbeda-beda.

Kekuatan kedua dari PPN Indonesia terletak  pada cara pengumpulannya. Sebuah perusahaan yang membayar PPN pada saat membeli barang, akan memperolehnya kembali saat mereka menjual produknya  yang mengandung barang yang PPN –nya sudah dibayar. Sebagai contoh klasik, bila seorang tukang roti menjual rotinya kepada serentetan pasar swalayan, ia membayar PPN pada saat membeli bahan-bahannya, dan memperoleh kembali ketika menjual produknya.

Menarik PPN adalah demi kepentingan perusahaan itu sendiri karena PPN yang telah dibayar hanya dapat dikompensasikan bila PPN berikutnya telah diperoleh. Agar tidak mengurangi gairah untuk ekspor, PPN dapat diperoleh kembali terhadap produk ekspor yang PPN-nya sudah dibayar. Demikian catatan seorang tokoh utama yang menghantarkan kelahiran PPN Indonesia.




 


Jenis pajak ini disebut Pajak Pertambahan Nilai karena dikenakan atas pertambahan nilai dari barang dan jasa yang dihasilkan atau diserahkan oleh pengusaha kena pajak, apakah ia fabrikan, importir, agen utama atau pemborong bangunan. Pajak ini memang berkali-kali dipungut, yakni pada setiap tingkat, tapi yang dikenakan PPN hanya atas pertambahan nilainya saja. Artinya, jumlah pajak yang harus dibayar oleh pengusaha kena pajak adalah  selisih jumlah pajak yang harus dipungut oleh pengusaha ketika menjual hasil produksinya dengan jumlah pajak yang sudah dibayar sewaktu membeli bahan baku termasuk barang modal. Yang jelas, PPN dibebankan pada pundak pembeli, dibebankan kepada masyarakat luas tanpa dirasakan sebagai beban oleh masyarakat itu sendiri.

4. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Di dalam UUPPN, terdapat dua jenis pajak. Yang pertama yaitu PPN, sedangkan yang kedua adalah Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Ppn BM). Ppn BM sesungguhnya adalah hasil kompromi atau mengakomodasi  usulan beberapa anggota DPR.

Ppn BM dipungut satu kali pada sumbernya yaitu pada tingkat pabrikan atau pada waktu impor. Atas barang mewah, selain dikenakan PPN juga dikenakan Pajak Penjualan sebagai upaya nyata untuk menegakkan keadilan dalam pembebanan pajak, yang sekaligus merupakan upaya mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak produktif di masyarakat.

Ada dua tarif yang diterapkan untuk pajak ini yaitu 10% bagi barang-barang seperti peralatan  rumahtangga dan minuman yang mengandung karbon, dam 20% untuk beberapa macam barang termasuk mobil sedan dan kapal terbang pribadi. Namun dengan  Peraturan Pemerintah, besaran tarif tersebut dapat diubah menjadi setinggi-tingginya 35%.

5. Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB).

Sesungguhnya inilah jenis pajak yang paling peka, yang pada zaman penjajahan Belanda mudah menjadi pemicu pemberontakan petani. UU PBB dibuat untuk menggantikan beberapa pajak pemilikan pada sistem lama yaitu: (1). Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1908 (Personels Belasting Ordonnantie 1908); (2). Ordonansi Verponding Indonesia 1923 (Inlandsche Verponding Ordonnantie 1923); (3). Ordonansi Verponding tahun 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928); (4). Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonnantie op de Vermogens Belasting 1932); (5). Ordonansi Pajak Jalanan tahun 1942 (Weggeld Ordonnantie 1942).

Sebelum UU PBB dikeluarkan, berdasarkan Hukum Adat, tanah dikenakan pajak menurut Undang-Undang nomor 11 tahun 1959, sedangkan berdasarkan Hukum Belanda dikenakan pajak menurut Ordonansi Verponding Indonesia tahun 1923 dan Ordonansi Verponding tahun 1928. Sejalan dengan pajak tanah, bangunan dikenakan pajak sesuai Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1908 serta beberapa pungutan dalam hal tanah dan bangunan misalnya Iuran Rehabilitasi Daerah (IREDA)  dan lain-lain.

Nampak jelas sekali bahwa sistem lama itu saling tumpang tindih dan sudah tidak sesuai lagi dengan situasi sosial ekonomi masyarakat. Sementara itu pajak kekayaan, dalam prakteknya juga sulit dilaksanakan, karena bagaimana mungkin kita sungguh-sungguh bisa mengetahui harta benda seseorang, misalkan jumlah dan jenis perhiasan emasnya.

Pajak yang hasil pengumpulannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah ini, lebih dimaksudkan untuk dikenakan terhadap pemilik-pemilik tanah bangunan yang kaya  serta pengembang perumahan kota atau properti komersial. Tetapi agar pajak ini mudah dipahami masyarakat luas, maka dibuat sederhana. Bangunan yang nilainya kurang dari Rp.2 juta,- dibebaskan dari pembayaran.  Sedangkan pengenaannya hanya ditetapkan sebesar 0,5% atas seperlima (20%) dari nilai tanah dan bangunan yang diperkirakan. Besaran rumus tarif tersebut ditetapkan semata-mata berdasarkan alasan psikologis serta hasil perundingan yang alot dengan DPR.  Bagi Pemerintah, yang terpenting UU ini dapat diterima dan dilaksanakan, dan oleh karena itu tidak mengapa ditetapkan dengan tarif yang rendah. Berdasarkan tarif itu diperkirakan hasil pajak yang diperuntukkan bagi Pemerintah Daerah tadi, tidak akan lebih kecil dari hasil pemungutan pajak-pajak dari sistem lama yang digantikan.

Karena PBB merupakan pajak kebendaan, UU juga memberikan peluang untuk memperoleh keringanan bagi pemilik yang secara ekonomis memang tidak mampu, misalkan para pensiunan atau pemilik-pemilik yang tertimpa bencana alam dan sejenisnya.

6. Bea Meterai.

Undang-Undang nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai (UU BM) menggantikan Aturan Bea Meterai tahun 1921 yang sudah ketinggalan zaman. Aturan yang sudah berusia 64 tahun tersebut sudah beberapa kali diubah dan ditambah, namun jiwa dan falsafahnya tidak berubah, pasal-pasalnya tidak sesuai dengan sasaran yang diharapkan dan isinya pun tidak sesuai dengan keperluan serta perkembangan keadaan, bahkan sulit dimengerti dan dilaksanakan.

UU BM terdiri hanya 18 pasal, jauh lebih sederhana dibanding yang lama yang terdiri dari 137 pasal. Bea Meterai dikenakan terhadap dokumen-dokumen yang biasa digunakan oleh umum dalam soal-soal yang bertalian atau pun yang memerlukan penguatan hukum, seperti surat perjanjian, pernyataan akte notaris berserta masing-masing duplikatnya, kertas penerimaan uang, pernyataan status keuangan, posisi keuangan di bank dan lain-lain.
UU BM hanya mengenal dua tarif tetap yang pada saat diundangkan pada tanggal 27 Desember 1985 (mulai berlaku 1 Januari 1986), ditetapkan sebesar Rp.500,- dan Rp.1.000,- Di samping dikenakan pada saat penandatanganan dokumen atau tanda pembayaran, pembayaran bea meterai juga bisa dilakukan belakangan, yang dikenal dengan istilah pemeteraian kemudian yang dilakukan oleh pejabat kantor pos Pemerintah.

Dokumen-dokumen yang mendapat pemeteraian kemudian adalah:
(1)   dokumen yang semula belum atau tidak dibubuhi meterai, tetapi karena kemudian digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan. Untuk jenis dokumen seperti ini tidak dikenakan denda.
(2)   Dokumen yang seharusnya dibubuhi meterai tetapi bea meterainya tidak atau kurang dilunasi, dikenakan bea sebesar jumlah yang tidak atau kurang terlunasi, ditambah denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar.
(3)   Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia, dikenakan bea meterai sebesar  yang seharusnya dilunasi tanpa denda. Namun bila bea meterai dokumen tersebut baru dilunasi sesudah dokumen tersebut digunakan, maka pemeteraian kemudian dilakukan denda 200%.

Dengan melihat aturan-aturan yang seperti di atas, nampak bahwa UU Bea Meterai ini merupakan undang-undang yang unik. Saya masih teringat jelas  pada suatu malam tatkala mendampingi pak Radius dan pak Salamun melakukan lobby-lobby pembahasan RUU, pak Salamun menyatakan, undang-undang ini sesungguhnya sepenuhnya ditujukan untuk memenuhi rasa puas masyarakat. Karena bukankah dengan pembubuhan tandatangan, lebih-lebih pada umumnya untuk perusahaan atau lembaga masih ditambah lagi dengan cap atau stempel, itu sudah lebih dari cukup? Tapi ya mengingat masyarakat masih belum akan puas jika tidak diberi meterai, ya Pemerintah mengakomodasi saja. Masyarakat puas, Pemerintah memperoleh tambahan penerimaan. Luar biasa.

Kamis, 14 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (8): TIDAK ADA ORANG YANG SUKA PAJAK.





Premis ini menjadi pegangan dwitunggal pejabat tinggi yang waktu itu bertanggungjawab langsung atas masalah perpajakan. Mereka adalah Menteri Keuangan Radius Prawiro (alm) dan Direktur Jenderal Pajak Salamun AT (alm). Dengan senantiasa mengingat premis ini, mereka mengantarkan dua paket RUU Perpajakan tadi untuk dibahas di DPR, dan kemudian juga memasyarakatkan. Kebetulan keduanya adalah orang-orang yang penyabar dan pandai mendengar kata-kata orang, meski itu kata-kata kritis yang keras  bahkan cenderung kasar.

Bahkan semua politikus juga tidak menyukai pajak, demikian catatan Radius Prawiro tentang pembahasan RUU Pajak di DPR, dalam bukunya “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi” hal 334. Ia menulis lebih lanjut, memang  benar keluwesan teknis  serta kemantapan ekonomi dari undang-undang perpajakan baru Indonesia tidak cukup untuk menjamin sambutan yang hangat di kalangan politisi. Banyak di antara anggota DPR yang gigih menentang undang-undang baru tersebut karena banyak alasan, yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru tentang dampak undang-undang terhadap wajib pajak.

Dalam DPR yang diwakili 460 orang, terdapat pandangan-pandangan yang sama banyak tentang bagaimana undang-undang ini harus dimodifikasi.  Salah satu kelompok politik ingin menambah lebih dari tiga tarif, kelompok yang lain tidak percaya bahwa asas menilai sendiri (self assessment) dapat berhasil. Ada lagi yang menginginkan lebih banyak pengurangan. Ada pula kelompok-kelompok yang menentang PPN, dan yang lain lagi lebih menyukai status quo. Kelihatannya akan terjadi pertengkaran sengit menuju jalan buntu.

Melihat reaksi seperti itu, Radius melakukan pendekatan-pendekatan dengan meminta para pimpinan fraksi-fraksi DPR mengunjungi Radius di kantornya secara pribadi. Dalam pertemuan atau lobby-lobby personal yang jauh dari luapan emosi serta tekanan kelompok yang semakin meningkat di DPR, Ia mengingatkan  partner kerjanya di DPR itu, bahwa undang-undang lama yang harus dan akan  diganti dengan undang-undang baru, adalah undang-undang warisan orang-orang Belanda, dan dirancang  untuk mendukung rezim kolonial. Sebagai mantan anggota Tentara Pelajar di masa revolusi kemerdekaan, Radius menggunakan pendekatan semangat patriotisme dalam lobby-lobby tersebut.

Ia mengatakan, sistem warisan Belanda itu sama sekali tidak cocok  untuk kebutuhan-kebutuhan sebuah negara modern yang berhasrat menjadi sebuah negara industri. Radius mengingatkan bahwa kita semua telah turut berperang untuk kemerdekaan, dan sebagai patriot-patriot, saat itu kita telah berjanji, sebagaimana kita perlu tetap berjanji sekarang, untuk membasmi segala sisa-sisa yang merugikan serta menghambat kemajuan negara kita.
Dengan mengobarkan nostalgia perjuangan para politisi Senayan itu,  Radius memohon mereka bergabung dengan pendapat Kabinet dalam menciptakan sebuah dasar baru untuk kemerdekaan fiskal. Sistem perpajakan yang dianjurkan, katanya, dirancang bukan saja untuk menggantikan sebuah sistem perpajakan kuno, tetapi juga perlu  untuk usaha pemerintah menghilangkan ketergantungan nya pada minyak yang telah begitu lama mendominasi perekonomian Indonesia.

Setelah percakapan yang berjam-jam lamanya, banyak di antara penentang dapat diyakinkan, dan sistem perpajakan baru akhirnya diterima dengan hanya sedikit sekali perubahan. Paket I undang-undang baru mulai diberlakukan pada tanggal 31 Desember 1983, kira-kira satu tahun lebih cepat dari yang diperkirakan orang. 

RUU-KUP ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UUKUP), mulai berlaku sejak 1 Januari 1984. RUU-PPh ditetapkan menjadi UU nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UUPPh) dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1984, sedangkan RUU PPN ditetapkan menjadi UU nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UUPPN) dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1984. Tetapi karena sejumlah hambatan serta persiapan yang belum cukup, maka pada tanggal 16 Juni 1984 pelaksanaan UU PPN ditunda selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1986. Dalam kenyataannya UU PPN sudah bisa diberlakukan mulai 1 April 1985.

Selama pembahasan RUU di DPR, memang banyak pihak – dari berbagai displin ilmu, kalangan masyarakat – yang memberikan tanggapan, saran dan juga kritik tajam. Pemberitaan, tajuk rencana dan artikel-artikel di berbagai media massa dengan gencar menampilkan pandangan yang beraneka ragam. Ada yang menulis dengan judul besar yang membesarkan hati, tapi ada juga yang menyatakan tergesa-gesa bahkan menolak.

Dari banyak tanggapan spontan yang muncul pada hari-hari pertama pengajuan RUU  ke DPR, menurut Dirjen Pajak Salamun AT, secara jujur harus diakui, sebagian besar  menekankan pentingnya  agar masalah mental aparatur pajak mendapat perhatian pemerintah. Wakil Ketua Komisi VII DPR, anggota Fraksi Karya Pembangunan, yang kemudian menjabat sebagai Ketua Panitia Khusus Bidang Perpajakan yang membahas RUU tersebut – Novyan Kaman SH – misalnya  mengatakan : “Selama ini acapkali terjadi pembukuan ganda dan cara-cara damai di tempat antara petugas pajak dan Wajib Pajak. Bahkan tidak jarang terjadi aparat pajak tidak menghayati tugas dan fungsinya. Wajib Pajak selalu berada di pihak yang lemah, sedang aparat pajak menjadikan diri bagai dewa”   

Akan halnya Paket II yang terdiri dari dua RUU, pembahasan lebih alot lagi, berlangsung intensif siang-malam selama 47 hari atau tujuh hari lebih lama dibanding Paket I yang hanya 40 hari untuk tiga RUU. Ini disebabkan RUU PBB menyangkut pajak kebendaan, dalam hal ini bumi dan bangunan. Pajak kebendaan pada umumnya bersifat kaku dan lebih-lebih karena benda itu adalah bumi atau tanah dan bangunan yang mencakup kepentingan masyarakat luas, tidak peduli kaya atau miskin, maka bisa dimengerti kalau baik Pemerintah maupun DPR amat hati-hati dalam menanganinya. Bahkan pada awal pembahasan hampir semua fraksi di DPR menentang, termasuk fraksi pendukung Pemerintah yaitu Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi ABRI.

Namun dengan dialog yang baik serta didukung oleh berbagai alasan dan bahan-bahan referensi yang memadai, akhirnya RUU-PBB berhasil dirumuskan dengan berbagai penyesuaian, serta ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UUPBB) yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1986, sementara RUU-BM ditetapkan menjadi Undang-Undang  nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai (UUBM) dan mulai berlaku 1 Januari 1986. (bersambung)

Senin, 11 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (7): SESUNGGUHNYA REVOLUSI, BUKAN REFORMASI




Melihat filosofi dan isinya, sesungguhnya reformasi atau Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional 1983 lebih tepat disebut sebagai revolusi. Karena ini bukan sekedar penataan kembali, bahkan juga bukan hanya sekedar membongkar total, melainkan membuang berbagai Undang-Undang dan peraturan-peraturan lama warisan zaman penjajahan Belanda sejak tahun 1925, serta menggantikannya dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang baru sama sekali.

Memang seperti tidak masuk akal. Tapi itulah kenyataannya. Sistem Perpajakan yang berlaku sebelumnya adalah sistem yang dibuat pada zaman  penjajahan seperti Ordonansi Pajak Perseroan  tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan tahun 1932 dan Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944.

Ditinjau dari segi ketatanegaraan, landasan pemikiran, sasaran dan tujuannya, terlihat adanya perbedaan mendasar antara pemungutan pajak di zaman penjajahan dan di alam kemerdekaan sekarang ini. Pada zaman kolonial, pemungutan pajak semata-mata untuk memenuhi kepentingan Pemerintahan Penjajahan, sedangkan di era kemerdekaan pajak  adalah dari, oleh dan untuk rakyat pembayar pajak itu sendiri. Dalam suatu negara merdeka, pajak merupakan perwujudan atas kewajiban kenegaraan dan peranserta anggota masyarakat dalam memenuhi keperluan pengelolaan negara dan pembangunan nasionalnya, demi mencapai keadilan sosial dan kemakmuran yang merata, baik spiritual maupun material.

Sejak tahun 1945, Indonesia adalah sebuah negara merdeka, sehingga sudah seharusnya pula memiliki sistem perpajakan baru  dengan falsafah dan landasan ideologi dari suatu negara modern yang berdaulat, yang demokratis berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya prinsip kegotongroyongan  dalam pengelolaan serta kehidupan bernegara.

Di samping asas demokrasi, perpajakan nasional harus didayagunakan sehingga mencerminkan asas keadilan sosial. Asas-asas dan falsafah tersebut harus mengubah falsafah pajak sebagai iuran wajib dari warga negara kepada Pemerintah, yang baik penetapan, adminstrasi maupun penggunannya  semata-mata menjadi wewenang Pemerintah, sebab itu Wajib Pajak ditempatkan sebagai obyek, ke suatu falsafah perpajakan baru yang menempatkan Wajib Pajak menjadi subyek yang harus aktif  serta  memegang peranan yang menentukan baik dalam membayar pajak maupun dalam menggunakannya.

Untuk itu pembiayaan Pemerintah  harus bertumpu pada sumber yang memiliki basis yang luas dan kuat, kokoh mandiri secara nasional. Basis yang seperti itu, yang secara potensial dimiliki negara adalah penduduk atau rakyatnya.  Sumber pembiayaan yang berasal dari rakyat itulah yang disebut pajak. Akan tetapi kebanyakan penduduk kita sama sekali tidak membayar pajak, bahkan di antara yang membayar pun masih banyak yang belum sebagaimana sewajarnya.

Permasalahannya, disamping sistem perpajakan yang ada tidak menunjang  karena sudah kuno, juga  tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,  baik filosofis, sistem ketatanegaraan  maupun kondisi perekonomian modern. Oleh sebab itu sistem yang lama harus diganti dengan sistem baru sama sekali.

Namun timbul masalah lain. Di mana pun dan kapan pun, masalah pajak ini amat peka. Banyak Pemerintah di berbagai belahan bumi, yang jatuh gara-gara pajak. Banyak gejolak  bahkan pemberontakan yang berkobar lantaran pajak. Karena itu meskipun Pemerintah Orde Baru semenjak awal menyadari bahwa sistem perpajakan harus diperbaiki, terpaksa mengulur-ulur waktu, dengan sekedar membuat perubahan-perubahan kecil dan perbaikan tambal-sulam, yang ternyata semakin lama bukan semakin baik, tapi justru semakin membuat ruwet dan memiliki banyak kelemahan, antara lain:   
   
1.     Terdapat berbagai jenis pajak dengan peraturan yang beraneka ragam
  1. Pelaksanaan kewajiban pajak sangat tergantung pada aparat pajak.
  2. Terdapat berbagai jenis tarif termasuk adanya tarif khusus, dengan struktur tarif yang mudah menimbulkan peluang menghindari pajak.
  3. Tata cara pemungutan yang berbelit-belit sehingga juga membuka peluang permainan.

Dalam rangka membangun sistem yang baru sama sekali buat menggantikan sistem lama, Pemerintah membentuk Panitia Pengarah serta berbagai Tim Kerja baik yang berada di dalam lingkungan Ditjen Pajak dan Departemen Keuangan maupun yang berada di luar Departemen Keuangan. Jumlah seluruh Tim mencapai 22, ditambah Panitia Pengarah menjadi 23.  13).

Guna memperoleh pengalaman dari negara-negara lain dalam melakukan reformasi perpajakan, maka disamping melakukan berbagai studi banding, Pemerintah juga meminta pendapat dari sejumlah tenaga ahli asing yang berpengalaman, agar kita bisa mengambil hal-hal yang positif dan menutup hal-hal negatif.

Bagi Indonesia, persiapan pembaruan ini  mencakup semua aspek yang terkait, mulai dari bersifat struktural sampai ke hal-hal yang bersifat prosedur, adminstratif dan bahkan berbagai permasalahaan pelaksanaannya sekaligus. Dalam perkembangannya masih ditambah lagi dengan persiapan pengembangan sistem informasi berbasis komputer. Karena itu tim yang dibentuk mencakup para ahli dan pejabat perpajakan, akuntan, ahli teknologi informasi, hukum, ekonomi bahkan ahli bahasa Indonesia.

Pelaksanaan Pembaruan Sistem Perpajakan dilakukan berdekatan waktunya dengan dimulainya Pelita IV pada bulan April 1984. Untuk periode tersebut anggaran belanja negara telah ditentukan sebesar 26% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila harga ekspor migas tidak menurun, maka pendapatan dari migas akan bisa memenuhi setengah dari anggaran belanja negara tadi, atau sektar 13% dari PDB. Arus bantuan luar negeri atau hutang luar negeri, sementara itu diharapkan memenuhi sekitar 2,5% dari PDB. Dengan demikian jika tidak ada kenaikan pinjaman komersial oleh Pemerintah dan penurunan target anggaran yang drastis, maka pendapatan dari non migas harus dinaikkan menjadi sekurang-kurangnya 10,5% dari PDB atau 3,5% lebih besar dibanding biasanya yang mencapai 7%.

Dengan kata lain, laju pertumbuhan pengumpulan pajak  haruslah sekurang-kurangnya  dua kali lipat laju perkembangan PDB. Namun perhitungan dengan data yang ada menyatakan tidak mungkin mempercepat laju perkembangan pendapatan non migas yang seimbang dengan perkembangan PDB. Karena itu, laju pendapatan non migas haruslah tiga kali lipat laju PDB, agar tingkat anggaran belanja negara bisa tetap. Akan tetapi berdasarkan pengalaman, hal ini tidak pernah terjadi di negara mana pun, sehingga sasaran pendapatan dari reformasi pajak hanyalah meningkatkan laju pendapatan dari pajak penjualan dan pajak pendapatan sebesar dua kali lipat dari laju PDB dalam jangka waktu lima tahun. Itu pun belum pernah terjadi di mana pun, kecuali bila porsi dari kedua jenis pajak tersebut rendah sekali.

Ringkasnya, paket PSPN dipersiapkan guna menghadapi kemungkinan penurunan porsi penerimaan migas dalam PDB dengan harga ekspor tahun 1983 sebagai batasan. Kalau pada pertengahan 1984 harga ekspor migas menurun lagi, maka tidak ada jalan lain guna menutup defisit negara kecuali dengan cara memotong anggaran belanja  atau meningkatkan pinjaman komersial dari negara lain. Dalam hal ini PSPN tidak diandalkan. 14).

Setelah falsafah baru berhasil dirumuskan, selanjutnya dirumuskan tujuan PSPN sebagai berikut:

1.     Menegakkan kemandirian dalam membiayai Pembangunan dengan menggerakkan segenap kemampuan nasional.
2.     Menyederhanakan sistem perpajakan terutama yang mencakup jenis, tarif dan pembayarannya. Dengan sistem yang sederhana, diharapkan masyarakat mudah mempelajari sendiri, sementara di lain pihak memperkecil kesempatan kontak dengan aparat pajak.
3.     Menyusun sistem pembayaran pajak yang adil tapi mudah diwujudkan pelaksanaannya.
4.     Membenahi dan menata aparatur perpajakan yang meliputi semua aspek baik porsedur, tata kerja, disiplin maupun mental.
5.     Membuat beban pajak yang semakin adil, wajar dan mengandung semangat pemerataan bagi semua penduduk, sehingga di satu pihak mendorong Wajib Pajak melaksanakan  dengan sadar kewajibannya membayar pajak, di lain pihak menutup lubang-lubang bagi penghindaran dan penggelapan pajak.

PSPN dengan falsafah dan tujuan seperti diuraikan diatas memiliki enam ciri, yaitu:

1.     Sederhana baik dalam jumlah dan jenis pajaknya, tarif  dan sistem pemungutannya serta menghapuskan pajak berganda.
2.     Mencerminkan pemerataan dalam pengenaan dan pembebanan.
3.     Memberikan asas keadilan dan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun aparat pajak.
4.     Menutup peluang penggelapan pajak dan penyalahgunaan wewenang.
5.     Memberikan kepercayaan yang besar kepada Wajib Pajak dengan memberlakukan asas menghitung dan menyetor sendiri kewajiban pajaknya (self assessment).
6.     Mendorong dan memberikan pengaruh yang positif pada kegiatan ekonomi dan bisnis.

Berdasarkan falsafah, tujuan dan ciri-ciri seperti itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) disusun, sehingga menjelang pidato kenegaraan Presiden Soeharto tanggal 16 Agustus 1983, Panitia Pengarah dan timnya sudah mempunyai gambaran yang pasti tentang paket PSPN. Gambaran itu pulalah yang menjadi dasar bagi Presiden  untuk menyinggung dan memberitahukan kepada sidang Dewan Perwakilan Rakyat, mengenai akan diajukannya beberapa RUU dalam rangka melakukan reformasi perpajakan sebelum Repelita IV (1 April 1984) dimulai.

Sebelum pidato kenegaraan 16 Agustus 1983, sesungguhnya Pemerintah juga sudah melakukan pra-kondisi dengan memasukkan pokok-pokok dari reformasi perpajakan ke dalam pembahasan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat bulan Maret 1983.

Demikianlah, pematangan penggodogan PSPN terus dilakukan secara maraton, menyeluruh, terpadu dan simultan mulai dari RUU sampai dengan rancangan berbagai peraturan pelaksanaannya seperti rancangan Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri sampai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak, yang dipersiapkan sudah bisa dikeluarkan sekaligus semuanya pada saat diundangkan.

Tiga bulan semenjak disinggung dalam pidato kenegaraan, akhirnya pada hari Saptu tanggal 5 November 1983, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro, mengajukan Paket I dari PSPN  ke Sidang Paripurna DPR. Paket I ini terdiri dari tiga RUU yaitu RUU tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP),  RUU tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan RUU tentang  Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Paket II diajukan  dua tahun berikutnya, yaitu Senin 4 November 1985, terdiri dari RUU tetang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta RUU tentang Bea Meterai (BM). (bersambung).

Revolusi Perpajakan th 1983 (6): REFORMASI PAJAK, DITENTANG DI SETIAP FRONT.




Kebijakan-kebijakan besar mendasar yang diluncurkan pada 30 Maret 1983 dan 2 Juni 1984, terus disempurnakan dan dilengkapi dengan kebijakan-kebijakan lain di waktu-waktu kemudian. Sesudah kebijakan-kebijakan yang diharapkan bisa menyehatkan perekonomian dan dunia usaha tersebut, reformasi pajak memperoleh giliran berikutnya.

Namun sebagaimana diuraikan di bagian depan, masalah pajak ini amat sangat peka. Di samping harus cermat membaca sikap masyarakat yang masih mengidap trauma pajak, juga perlawanan dari aparat pajak. Sudah selama tiga tahun pemerintah bekerja mempersiapkan sistem perpajakan baru. Tetapi kecuali Presiden Soeharto, anggota kabinet dan Direktur Jenderal Pajak Salamun AT, usaha ini sangat ditentang di semua front, mulai dari departemen perpajakan ( penulis: secara lebih khusus yang dimaksud adalah aparat pajak), DPR sampai masyarakat umum.

Walaupun menemukan banyak oposisi, tim ekonomi meyakini bahwa reformasi merupakan hal yang perlu dilaksanakan, dan mereka tetap maju dengan memberi prioritas kepada masalah-masalah keamanan negara. Kemampuan pemerintah untuk membiayai operasi-operasinya di kemudian hari dipertaruhkan di sini.  Perlawanan pertama adalah justru di internal aparat pajak (fiskus) itu sendiri. Dengan reformasi pajak yang akan dilakukan secara total dan mendasar, banyak kewenangan serta peluang permainan mereka yang akan terpangkas atau dihapus. Guna meyakinkan manfaat reformasi pajak bagi bangsa dan negara, dan pada gilirannya bagi setiap anggota masyarakat serta individu, diadakanlah seminar internal di Jakarta, di Puncak hingga di Unversitas Harvard, Amerika Serikat, total mencapai lebih dari 1000 jam seminar.  

Untuk memberikan gambaran situasi mengapa aparat pajak melawan dari dalam, berikut ini saya kutipkan kata pengantar saya selaku editor buku “Bunga Rampai: Pajak di Mata Rakyat” sebagai berikut:
“Di restoran Oasis – Jakarta. Pada suatu hari dalam pertengahan tahun 1970-an, dalam jamuan makan siang dengan  beberapa tokoh pengusaha untuk memperoleh bahan masukan dan umpan balik bagi penyusunan rencana kebijaksanaan pemberitaan, saya sebagai Redaktur Ekonomi Harian Suara Karya (waktu itu), melemparkan gagasan mengembangkan rubrik pajak. Seorang pengusaha yang hadir mentertawakan ide saya, dan mengatakan, ‘Percuma kita membuang waktu dan tenaga untuk belajar pajak. Toh pada akhirnya semuanya bisa kita atur di kamar hotel”.

Dirjen Pajak Salamun AT pun mengakui, citra negatif aparat pajak bahkan dapat mengarah pada pribadi aparatnya, misalnya ungakapan “Pantas saja dia kaya, orang pajak sih!”. Singkatnya, aparat pajak seakan berkonotasi dengan penyelewengan.
Sekalipun tidak semua aparat pajak melakukan penyelewengan seperti itu, namun pengaruh negatifnya  menyebar kemana-mana (penulis: bahkan sampai sekarang sewaktu tulisan ini dibuat, kembali marak dengan terungkapnya berbagai korupsi aparat pajak khususnya kasus aparat pajak yang masih sangat muda yang bernama Gayus Tambunan). Akibatnya terjadi generalisasi citra buruk terhadap perpajakan. Kita misalnya dapat mengutip Gubernur Bengkulu Suprapto dalam koran Jurnal Ekuin, 13 Oktober 1982, yang menyatakan, petugas pajak lebih merupakan momok di mata rakyat ketimbang petugas yang menjalankan fungsinya bagi kepentingan negara (Bersambung).

Minggu, 10 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (5): ANTISIPASI MALAPETAKA PENERIMAAN MIGAS



ANTISIPASI MALAPETAKA PENERIMAAN NEGARA.

Bersamaan dengan semakin bulatnya tekad untuk melakukan reformasi perpajakan, pada tanggal 11 Maret 1983, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali memilih Jenderal Purnawirawan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia yang keempat kalinya. Selanjutnya pada tanggal 19 Maret 1983, Pak Harto melantik Kabinetnya yang dinamakan Kabinet Pembangunan IV. Dalam susunan Kabinet ini, Widjojo Nitisasatro diangkat menjadi Penasihat Eknomi Pemerintah, Ali Wardhana menjabat sebagai Menko Ekuin, J.B.Sumarlin menjabat Ketua Bappenas dan Radius Prawiro, yaitu Menteri paling senior karena sudah menjadi Menteri semenjak 8 Maret 1965, bergeser dari Menteri Perdagangan ke Menteri Keuangan. Dengan demikian tugas-tugas Ali Wardhana  untuk melakukan reformasi perpajakan juga otomatis menjadi tugas Radius Prawiro. Tetapi Radius tidak sendirian, karena disamping sudah ada tim khusus, pun Widjojo dan Ali Wardhana masih tetap mendampingi serta mendukungnya.

Meskipun demikian, Kabinet baru dengan Radius Prawiro sebagai Menteri Keuangannya  itu langsung berhadapan dengan keadaan perekonomian yang sangat tidak menggembirakan, bahkan mengkhawatirkan. Radius menggambarkan situasi tersebut sebagai perekonomian tertekan, penghasilan minyak yang lebih rendah dan penurunan cadangan devisa secara cepat. Situasi bertambah buruk lagi karena harga-harga komoditi tradisional non migas juga melemah, sementara nilai rupiah telah menjadi terlalu mahal sejak devaluasi terakahir diadakan pada bulan November 1978. Padahal nilai rupiah yang terlalu mahal berdampak buruk terhadap perdagangan. Pada bulan Maret 1983, cadangan devisa Indonesia tinggal US.$.3,3 milyar. Dalam bulan yang sama, Organisasi Negara-Negara Pengkspor Miyak (OPEC) menurunkan harga minyak sebesar US.$.5.  
Setelah selama hampir empat tahun menikmati bulan madu migas yang membius, penurunan harga tersebut sangat mencemaskan, karena penurunan US.$.1 per barrel saja, berarti samadengan penurunan ekspor Indonesia sebesar US.$.400 juta, yang akan berdampak besar serta mengakibatkan defisit transaksi berjalan. Dengan demikian, Kabinet baru harus berpacu dengan waktu menyelamatkan keadaan. Inilah saat-saat yang mengkuatirkan setelah krisis perekonomian dan politik tahun 1965. Dalam perjalanan waktu, situasi yang benar-benar kritis, sangat-sangat kritis, terjadi dan berlangsung  mulai tahun 1985, tatkala harga minyak makin meluncur ke US.$.28, US.$.25, masuk tahun 1986 turun lagi ke US.$.22 dan pada Agustus 1986 drop di bawah US.$.10. Itu berarti Indonesia kehilangan lebih dari 2/3 (dua per tiga) penghasilannya.

Sementara itu perekonomian dunia juga menunjukkan gejala-gejala kelesuan,  antara lain berupa melemahnya harga komoditi-komoditi tradisional, melemahnya arus penanaman modal ke negara-negara berkembang serta menurunnya pertumbuhan ekonomi beberapa negara maju.

Dalam rangka mengantisipasi keadaan buruk tadi, tim ekonomi harus berpacu dengan waktu. Belum genap satu bulan, pada tanggal 30 Maret 1983, Kabinet Pembangunan IV sudah harus membuat keputusan pahit, mengambil langkah-langkah penyelamatan yang penuh risiko. Rupiah didevaluasi sebanyak 27,5% dari 702 menjadi 970 per dollar. Sejalan dengan itu proyek-proyek besar terutama yang memerlukan banyak devisa dibatalkan, ditunda atau dijadwalkan kembali. Proyek-proyek tersebut antara lain pabrik olefin, pabrik aromatik, kilang minyak, pabrik aluminium, proyek rel kereta api, pembelian bis besar-besaran dan berbagai investasi di bidang perkapalan.
 Akan tetapi langkah-langkah pengamanan devisa serta penghematan itu dianggap belum cukup. Harus dilakukan reformasi ekonomi yang mendasar. Radius Prawiro menggambarkan, tembakan pertama dalam pertempuran deregulasi dan reformasi ekonomi meletus  pada tanggal 2 Juni 1983 dengan dikeluarkannya sederet kebijakan yang ditujukan guna mendefinisi ulang lingkungan perbankan.

Elemen  esensial dari reformasi perbankan 2 Juni ini mencakup hal-hal berikut:
1.  Batas pemberian kredit dihapus untuk semua bank.
2. Semua bank diberi otoritas untuk menentukan sendiri suku bunga simpanan dan pinjaman.
3. Pajak bunga, dividen, royalti untuk deposito valuta asing di semua bank pemerintah dihapus.
4. Sistem pembedaan suku bunga, yang mengatur suku bunga tergantung dari sektor yang diberi pinjaman, dihapus.(Bersambung).

TABRAK MATI



Tak ada seorangpun yang mengharapkan kecelakaan, apalagi menyukainya. Tapi lagi-lagi ini terjadi.

Menabrak mati seorang pengendara motor Sabtu 9/2.13 dini hari di Lapangan Banteng Jakarta, Hotline Toni Mangatas langsung diamankan disel, sementara mobilnya dibakar massa.

Inilah beda seorang rakyat biasa bernama Mangatas dengan Rasyid Rajasa, yang juga menabrak mati 2 orang, Selasa dini hari 1/1.13.

Saudaraku, ijinkan saya sekedar mengingatkan. Di dalam Islam ada sebuah kisah yang menggetarkan hati, yaitu "kemarahan" Kanjeng Nabi Muhammad SAW tatkala mengetahui ada seorang pencuri yang tidak dihukum karena anak tokoh masyarakat.

Sabdanya, "Ketahuilah, sesungguhnya yang bikin binasa orang-orang sebelum kamu ialah, manakala ada orang mulia mencuri maka dibiarkan. Tapi jika orang lemah maka dihukum. Demi Allah seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, maka akan aku potong tangannya". Demikian beliau mengambil contoh puteri kesayangannya sendiri.

Pesan hadis ini, khususnya bagi mayoritas bangsa Indonesia yang muslim, tegakkanlah keadilan tanpa pandang bulu walaupun pahit. Termasuk berbagai kasus korupsi dan pelanggaran hukum lainnya. Antara lain agar bangsa ini selamat dari kebinasaan. Semoga.

Sabtu, 09 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (4): AGAR BERKAH MINYAK TIDAK BERUBAH JADI KUTUKAN




Penerimaan negara khususnya penerimaan dalam negeri tersebut secara struktur sebenarnya cukup sehat, namun secara nilai masih jauh dari kebutuhan negeri maritim berpenduduk sekitar 120 juta jiwa ini, dengan pendapatan rata-rata per kapita yang hanya sekitar US.$.60 pada tahun 1966 dan bergerak ke US.$.80 pada tahun 1970. Pada masa itu, harga minyak bumi masih US.$.1,67 per barrel di tahun 1970, sedikit bergerak di sekitar US.$.3 tahun 1973. Perang Teluk ke 4 antara  negara-negara Arab dengan Israel yang meletus pada 6 Oktober 1973, yang menghasilkan kemenangan di pihak Arab,  berbalik kembali ke Israel karena Amerika Serikat serta merta membantu Israel. Sungguh tidak ada yang menyangka, tindakan AS tersebut memicu kemarahan negara-negara Arab, yang  segera pada tanggal 16 Oktober 1973, bersiasat menggunakan minyak sebagai senjata dengan melakukan embargo ekspor minyak ke AS. Dengan cepat harga naik sekitar 17% menjadi US.$.3,65 per barrel.

Harga minyak ternyata terus meroket tatkala embargo diperluas ke Belanda, mencapai US.$.12 per barrel tahun 1974. Produksi minyak Indonesia sekitar 890.000 barrel per hari, saat itu menyumbang kepada penerimaan negara sebesar 29%. Bisa dibayangkan, betapa besar peranannya tatkala tiba-tiba harga minyak naik empat kali lipat. Sebagai wartawan muda, saya terperangah, menyaksikan bagaimana tiba-tiba pula instansi-instansi Pemerintah bagaikan berlomba pesta, belanja barang dengan gampang, sebentar-sebentar upacara, kunjungan-kunjungan kerja dengan rombongan besar termasuk wartawan. Klab-klab malam,  pelacuran-pelacuran klas menengah atas yang berkedok panti pijat dan klab malam, restoran-restoran dan pembangunan hotel tumbuh bak jamur di musim hujan. Tentu hampir semuanya diresmikan pembukaannya dengan menggelar upacara dan pesta meriah. 

Begitulah, jika semula pragmatisme digunakan hanya terbatas pada kebijakan pembangunan nasional, kini mulai merambah ke  gaya hidup masyarakat. Dengan pedih saya menjuluki periode itu sebagai zaman jahiliyah Indonesia, yang pragmatisme gaya hidupnya menggeser nilai-nilai luhur, menuju pada hedonisme-materialisme. Kesenangan dan materi menjadi tujuan hidup, yang harus dicapai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dengan segala cara. Naudzubillah.

Minyak bumi secara tiba-tiba bagaikan durian runtuh, berubah menjadi emas hitam. Boom minyak datang sebagai berkah, sekaligus juga malapetaka. Selama periode 5 tahun semenjak embargo 1973, harga per barrel bertahan di kisaran US.$.12 – US.$.13,5. Sampai kemudian pecah Revolusi Iran 1979, kembali membuat boom minyak kedua. Harga minyak meroket menjadi US.$.15,65 tahun 1979, US.$.29,5 tahun 1980 dan US.$.35  selama periode 1981 – 1984. 

Sebagai produsen minyak dan gas bumi, Indonesia tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Produksi digenjot mencapai puncak sebanyak 1,6 juta barrel per hari dalam tahun 1981. Dengan harga setinggi itu, minyak dan belakangan gas bumi (migas), membalikkan struktur penerimaan negara dari semula sekitar 30% migas dan sekitar 70% pajak, menjadi 46% dibanding 54% selama 1974 – 1978, dan 70% dibanding 30% di awal 1980an.

Rezeki migas yang membanjir tersebut datang bersamaan dengan resesi dunia yang berkepanjangan khususnya di negara-negara berkembang yang bukan produsen migas. Di dalam negeri, boom minyak kedua juga menimbulkan distorsi dan ketidakseimbangan dalam ekonomi. Gejala ini tidak luput dari pengamatan tim ekonomi Pemerintah yang dipimpin oleh Prof.Dr.Widjojo Nitisastro selaku Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri merangkap Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menko Ekuin/Ketua Bappenas) serta Menteri Keuangan Prof.Dr. Ali Wardhana. Mereka kuatir Indonesia terlena dengan rezeki migas yang datang tak terduga itu dan gagal mengelolanya secara positif. Apalagi jika mengingat laju konsumsi pemakaian energi di dalam negeri sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk di satu pihak, dan keterbatasan sumber migas sebagai energi yang tak bisa diperbarui di lain pihak, diperkirakan dalam waktu yang tak terlalu lama Indonesia akan berubah dari negara pengekspor migas menjadi negara pengimpor. Perubahan itu diperkirakan akan terjadi sekitar 3 dasawarsa ke depan.

Kekuatiran itu pernah disampaikan oleh Pak Widjojo dalam suatu perbincangan dengan penulis di kantornya. Menurut beliau, ketergantungan pada migas harus diantisipasi dengan membangun serta memperkuat sumber-sumber penerimaan dalam negeri yang berbasis pada masyarakat luas secara berkesinambungan. Sumber penerimaan tersebut tiada lain adalah pajak yang berada dalam kewenangan Menteri Keuangan Ali Wardhana. Jika tidak diantisipasi dengan baik, beliau sangat kuatir berkah minyak akan berubah menjadi kutukan.

Pada tahun 1978, sebenarnya Menkeu sudah membentuk tim untuk mempelajari upaya-upaya memperkuat sumber penerimaan pajak. Hasil tim tadi menyatakan perlunya dilakukan reformasi perpajakan. Namun Menkeu memutuskan belum saatnya kita melaksanakan hal itu mengingat aparat pajak belum bersedia menerima apalagi melaksanakan reformasi. 7).

Begitu boom minyak kedua terjadi dan kecenderungan ketidakseimbangan dalam ekonomi makin menguat, akhirnya pada sekitar Januari 1983 Menkeu Ali Wardhana memutuskan kinilah saatnya untuk melakukan reformasi sistem perpajakan nasional secara total, dengan akan membuat empat Rancangan Undang-Undang (RUU), yaitu RUU tentang Pajak Penghasilan, RUU tentang Pajak Pertambahan Nilai, RUU tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta RUU tentang Tata Cara Pemungutan Pajak. (Bersambung).