Sabtu, 30 Maret 2013

PRESS RELEASE PELUNCURAN BUKU ” 34 WARTAWAN ISTANA BICARA TENTANG PAK HARTO ”



Mengenang kembali perjalanan sejarah Kepemimpinan Bapak H.M Soeharto, tentu Kita semua tak akan mengingkari pencapaian sukses pembangunan nasional yang harus dilalui dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Kendati Kita pun perlu memahami kegagalan yang menimpa perjalanan kiprah Orde Baru. Memimpin Bangsa Indonesia yang bermukim di sekitar 17.000 pulau dengan ribuan etnis, tentu tak semudah membalikan telapak tangan, apalagi di awal langkah Orde Baru dihadang dengan situasi dan kondisi negeri yang tak menentu. Dimensi kehidupan nasional dibebani faktor keamanan pasca terjadinya peristiwa kudeta G-30-S/PKI, kemelut di internal Partai Politik (Parpol), kondisi ekonomi nasional dan berbagai tatanan kehidupan bernegara yang porak-poranda, mengharuskan Pimpinan Negara bertindak cepat dan melakukan pengawasan secara ketat. Situasi dan kondisi pada saat itu tidak menguntungkan untuk siapa pun yang memimpin negeri ini.
Universitas Mercu Buana (UMB) bekerjasama dengan Persaudaraan Wartawan Istana (PEWARIS) meluncurkan buku “34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto” (27/03/13), bertempat di Auditorium Adhiyana Wisma Antara, Lantai 2 Jakarta Pusat. Universitas Mercu Buana merupakan universitas yang dibangun oleh Bapak H. Probosutedjo dalam rangka ikut serta mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila melalui pendidikan tinggi, mempunyai tanggung jawab sosial untuk menerbitkan buku ini melalui UMB Press. Keputusan tersebut bukanlah semata-mata didasarkan karena adanya hubungan emosional dan pribadi antara UMB dengan Pak Harto, tetapi karena alasan yang lebih luas, yaitu mengungkapkan hal-hal yang belum pernah diketahui sebelumnya mengenai salah satu pemimpin besar Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.
Tiga puluh empat wartawan senior berhasil menuangkan tulisan dalam buku ini dengan dua versi, nuansa human interest sesuai dengan kesan, kenangan serta pengalaman masing-masing dan nuansa semi tematik. 34 Wartawan tersebut ialah Daud Sinjal (Direktur Utama Harian Sinar Harapan), Suryohadi (Wartawan Harian Sinar Harapan), Dr.Toeti Kakiailatu (Redaktur Majalah Tempo), Alwi Shahab, Dudi Sudibyo (Pemimpin Redaksi Majalah Angkasa), Koos Arumdanie (Wartawati Harian Berita Buana), H. Bambang Wiwoho (Wartawan Suara Karya), H. Ucin Nusyirwan Rustian (Editor Film TVRI), H.Tarman Azzam (Redaksi Harian Terbit), Laurens Samsoeri, Mursyid Noor (Reporter RRI), Hj. Helena Oli (Wartawan RRI), H. Chaeruddin (GM Produksi Pemberitaan TVRI), H.Ernesto Barcelona (Wartawan Harian Pelita), Eddy Satya Dharma (Photographer Harian Suara Karya), Sukarno Marno, Suryo Pranoto (Wartawan Harian Angkatan Bersenjata), Dra. Subrantini (Wartawati Harian Berita Yudha), Anna Mariana Massie (Redaktur Majalah Femina), AJF.Makiwawu (Wartawan LKBN Antara), Darwin Ali (Reporter TVRI), Sudharto (Harian Berita Yudha), Totok Soesilo (Photographer Harian Sinar Harapan & Suara Pembaruan), Issac Sinjal (Harian Sinar Harapan), Hendro Martono (Reporter RRI), Djoko Saksono (Reporter RRI), Daniel Ilyas, Dr.Sutrimo (Redaktur Pelaksana Harian Kartika), Tubagus Budi Rachman (Redaktur Pelaksana Harian Angkatan Bersenjata), Anshor Fahiem (Wartawan Mingguan Anjang Raya), Sudarto (Redaktur Kantor Berita Nasional Indonesia), H. Margono Hirwoto (Wartawan Harian Kedaulatan Rakyat Biro Jakarta), Wawan Indrawan (Wartawan LKBN Antara), Banjar Chaeruddin (Wartawan Harian Merdeka).
Bermula dari pertemuan reuni sejumlah wartawan yang pernah bertugas di lingkungan Istana Kepresidenan beberapa tahun lalu. sebagian besar adalah kaum Pensiunan, tentu banyak yang menarik yang bisa diungkapkan sebagai “now it can be told”, yaitu berbagai kejadian yang pernah dilalui seputar tugas-tugasnya sebagai wartawan tapi oleh situasi kali itu tidak bisa dilaporkan di media masing-masing. Sebanyak 34 orang awak media senior yang terdiri dari reporter, photographer dan cameraman yang pernah bertugas dalam lingkungan Istana Kepresidenan antara tahun 1968-1998, berhasil menuliskan kesan, kenangan dan pendapatnya masing-masing mengenai berbagai sisi pada era kepemimpinan almarhum Presiden Soeharto. Menurut informasi, ke 34 awak media ini hanya sebagian saja dari sejumlah besar awak media yang sesungguhnya pernah bertugas di lingkungan Presiden Republik Indonesia.
Akhirnya tulisan dari 34 wartawan Istana, atau tepatnya mantan wartawan istana berhasil diterbitkan. yang dimaksud dengan istana kepresidenan di sini adalah istana di masa pemerintahan Soeharto. Tapi ada pula yang menulis sedikit tentang Presiden Soekarno, atau setidaknya pada masa peralihan dari Presiden Soekano ke Presiden Soeharto. Kandungan tulisannya beranekaragam mengingat tema buku ini terdiri dari dua hal, human interest dan semi tematik. Ada yang menuturkan suka-duka pengalaman pribadinya dalam menjalankan tugas. Ada yang menyoroti, mengenang dan menimbang kembali apa yang telah dilakukan oleh Presiden Soeharto. Namun umumnya mencoba melihat sisi-sisi positif yang bisa diwariskan dari masa kepresidenan Soeharto ke masa sekarang ini.
Judul buku “34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto” merupakan hasil kontribusi rekan Suryohadi—salah seorang anggota dewan Pengarah PEWARIS berisikan tulisan rangkuman nuansa human interest dan semi tematik, yang digagas oleh Bambang Wiwoho salah seorang anggota PEWARIS. Sehingga di dalam buku ini terdapat dua substansi yang berbeda, tulisan yang menyampaikan sisi human interest dan sisi semi tematik yang mengangkat berbagai kebijakan Bapak H.M Soeharto bersama para anggota kabinetnya .
Rektor Universitas Mercu Buana, Dr. Arissetyanto Nugroho,MM. mengungkapkan 3 hal yakni “Pertama, Saya bergembira bahwa pihak-pihak yang mengungkapkan sisi lain dari sosok Pak Harto, the other side of Soeharto, adalah para wartawan. Ini sudah merupakan taruhan reputasi yang tidak diragukan lagi, karena wartawan yang bertanggung jawab tidak akan menulis sesuatu tanpa melakukan verifikasi atas data yang akan ditulisnya”.
“Kedua, sejumlah besar nama wartawan yang menulis dalam buku ini adalah wartawan senior dengan jam terbang yang tinggi. Media massa pada waktu itu memang tidak menugaskan reporter atau wartawan muda untuk meliput kegiatan kepresidenan. Sama seperti di banyak tempat di luar negeri, wartawan yang meliput di pusat pemerintahan adalah mereka yang memiliki pengalaman, wawasan luas serta mampu dengan cepat menangkap esensi penting dalam dinamika yang terjadi pada pusat pengambilan keputusan tertinggi di negara tersebut. Informasi yang mereka sebarkan melalui media masing-masing harus akurat dan tidak bias, karena kesalahan kutip atau kekurangakuratan data bisa berdampak panjang.
“Ketiga, dengan membaca secara lengkap isi buku ini, Saya mampu melihat benang merah suatu era yang cukup panjang dari kepemimpinan Pak Harto. Para penulis dalam buku ini mencatat sebagai seseorang yang berkedudukan unik. Mereka adalah wartawan profesional, yang mampu menganalisa secara balance serta tidak mengacu pada satu sisi semata. Tetapi sebagai insan yang mengikuti proses decision maker di lingkungan istana dari jarak yang cukup dekat. Mereka adalah “orang dalam”, yang dituntut mampu menyerap permasalahan-permasalahan nasional maupun internasional. Lebih-lebih dalam kaitan penugasan mereka, para peliput acara-acara kepresidenan sering mendapat taklimat latar belakang (background information) dari para pejabat terpenting dan terdekat Pak Harto sehingga memiliki pemahaman yang lebih luas dibanding anggota masyarakat lain”.
Koos Arumdanie selaku Ketua Tim Koordinator PEWARIS memaparkan “Kami berharap agar penerbitan buku pertama “PEWARIS” ini bisa memberikan gambaran celah-celah kehidupan awak media di seputar Pak Harto dan bermanfaat untuk para pembaca. Demikian pula tulisan semi tematik yang menyajikan sekilas tentang kebijakan pemerintahan almarhum Presiden Soeharto”.
Sedangkan menurut JB Sumarlin, “Saya bisa tersenyum membaca sendau-gurau atau celotehan para penulis naskah tatkala berada dilingkup Kepresidenan mengikuti perjalana-perjalanan Presiden Soeharto ke daerah maupn ke luar negeri, dan Saya pun terharu membaca perjuangan para cameraman dan photographer untuk bisa mengabadikan momentum-momentum bersejarah kiprah Presiden RI II. Semoga pengalaman-pengalaman yang dilalui para wartawan/wartawati, reporter, photographer serta cameraman pada waktu itu bisa menjadi kenangan, pengalaman, dan pengabdian jurnalistik yang bermanfaat.”
Contact Person : Kepala Biro Sekretariat Universitas dan Humas / Irmulan Sati T, SH,M.Si / 0818 1515 72 /irmulansati@yahoo.co.id / irmulansati@mercubuana.ac.id (sumber: disarikan dari Buku 34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto)

Kamis, 28 Maret 2013

Peluncuran Buku: 34 WARTAWAN ISTANA BICARA TENTANG PAK HARTO.


By Dahlia on 28 Mar 2013, 13:39 A A A
(Berita Daerah - Jakarta) Wartawan Senior Tarman Azzam didampingi wartawan senior Bambang Wiwoho menyerahkan buku kepada Mantan Dirut Pertamina, A.R.Ramli, Mantan Menteri Agama Maftuh Basuni dan Mantan Menteri Keuangan Sumarlin pada acara peluncuran buku "34 wartawan Istana bicara tentang Pak Harto", di Jakarta, Rabu Malam (27/3). Buku tersebut berisi tentang pengalaman 34 wartawan istana selama mengikuti kegiatan kenegaraan Presiden kedua RI, H.M Soeharto.

YOGA SOEGAMA SUDAH SARANKAN PRESIDEN SOEHARTO LENGSER 1988.

Soeharto Sudah Disarankan Lengser di Tahun 1988

Usul itu disampaikan Kepala BAKIN Yoga Soegama, dan Bu Tien setuju.

ddd
Kamis, 28 Maret 2013, 12:03 Anggi Kusumadewi
Presiden RI kedua, Soeharto.
Presiden RI kedua, Soeharto. (REUTERS)
VIVAnews – Sebanyak 34 mantan wartawan Istana yang pernah bertugas di Istana Negara pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto menuliskan kisah-kisah mereka dalam buku “34 Wartawan Istana Bicara tentang Pak Harto.” Salah satu cerita yang diangkat terjadi menjelang kejatuhan Soeharto pada tahun 1998. Kisah itu ditulis oleh B Wiwoho, wartawan harian Suara Karya.

Wiwoho menceritakan, 10 tahun sebelum kekuasaan Soeharto berakhir, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Yoga Soegomo sesungguhnya telah “memperingatkan” Pak Harto tentang situasi negara yang ia nilai tidak menguntungkan sang Presiden. Dalam pertemuan rutin mingguan di antara keduanya, Yoga menyampaikan empat poin pandangannya.

Pertama, Pak Harto akan mencapai usia 67 tahun pada Pemilu 1988 dan sudah menjadi kepala negara selama 22 tahun, sehingga ia akan sampai pada tahap jenuh dan lelah. Kedua, pemerintahan Soeharto dikhawatirkan akan melemah karena puncak keemasan kepemimpinannya diprediksi hanya berlangsung pada periode 1983-1988.

Ketiga, bisnis keluarga Soeharto – terutama bisnis putra-putranya – terus membesar dan menggurita sehingga Soeharto rawan menjadi sumber kecemburuan sosial dan sasaran tembak. Keempat, informasi yang diterima Soeharto dari orang-orang dekatnya dikhawatirkan akan semakin tidak akurat karena sumber dan jaringan informasi milik Pak Harto semakin menyempit akibat kesenjangan generasi.

Intinya, sang Kepala BAKIN Yoga Soegomo menyarankan Soeharto untuk mundur dari jabatan presiden dengan jiwa besar, dan mempersiapkan suksesi kepemimpinan pada Pemilu 1988. Yoga berjanji akan mendukung penuh dan menjamin keamanan siapapun suksesor yang ditunjuk Soeharto.

Namun usul Yoga tersebut tak ditanggapi oleh Soeharto. Dalam perdebatan yang menegangkan, dua pejabat penting negara menolak saran Yoga mentah-mentah, sedangkan Ibu Negara Tien Soeharto yang diam-diam mengamati diskusi sambil melintas di ruang pertemuan, tampak cenderung menyetujui pendapat Yoga. Soeharto sendiri diam seribu bahasa, sehingga akhirnya usul agar Pak Harto lengser keprabon pada tahun 1988 itu kandas.

Sepuluh tahun kemudian, 1998, pemerintahan Soeharto terbukti di ujung tanduk. Sebelas menteri mundur dari kabinet yang baru berumur 70 hari. Mereka menyatakan keberatan mendukung Pak Harto, terlebih desakan mundur dari rakyat menguat dan demonstrasi besar terjadi hampir di seantero nusantara. Surat pengunduran 11 menteri itu diterima Soeharto pada Rabu malam, 20 Mei 1998, di tengah meningkatnya eskalasi gejolak rakyat. Soeharto pun mengambil keputusan.

Ora dadi Presiden yo ra patekan,” kata Soeharto. Artinya, tidak jadi Presiden pun tidak rugi apa-apa. Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden.

Sang penulis kisah itu, Wiwoho, mengatakan terlepas dari berbagai kelemahan Soeharto sebagai manusia, ia adalah orang besar yang pernah memimpin Indonesia tumbuh menjadi negara yang disegani oleh pemimpin dunia.
“Sekuat-kuatnya orang, suatu saat pasti akan lemah juga. Stamina akan turun dan kejenuhan menghampiri,” kata Wiwoho. Inilah yang menurutnya kerap dilupakan para penguasa dunia, termasuk Soeharto. (umi)

34 WARTAWAN ISTANA BICARA TENTANG PAK HARTO

Persaudaraan Wartawan Istana luncurkan buku

Rabu, 27 Maret 2013 22:37 WIB | 842 Views

Presiden Republik Indonesia kedua, mendiang HM Soeharto (ANTARANEWS)
Kami berharap penerbitan buku pertama Pewaris ini bisa memberikan gambaran celah-celah kehidupan awak media di seputar pak Harto,"
Jakarta (ANTARA News) - Persaudaraan Wartawan Istana (Pewaris) meluncurkan buku berjudul "34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto" untuk memberikan gambaran kehidupan awak media periode Orde Baru, sekaligus mengenang perjalanan sejarah kepemimpinan Presiden HM Soeharto.

"Kami berharap penerbitan buku pertama Pewaris ini bisa memberikan gambaran celah-celah kehidupan awak media di seputar pak Harto," ujar Ketua Tim Koordinator Pewaris Koos Arumdanie, dalam peluncuran buku "34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto" di Wisma Antara, Jakarta, Rabu.

Koos Arumdanie mengatakan, selain diceritakan perjalanan awak media periode Orde Baru, di dalam buku tersebut terdapat tulisan semi tematik yang menyajikan sekilas tentang kebijakan pemerintahan mendiang mantan Presiden Soeharto.

Dia mengatakan, penyusunan tulisan buku tersebut dipersiapkan selama satu tahun. Menurut dia tidak mudah menggabungkan 34 tulisan karya wartawan menjadi satu buku.

Anggota Pewaris Daud Sinjal menambahkan, tidak mudah mengingat-ingat memori lama pada era kepemimpinan Presiden Soeharto untuk dituliskan kembali menjadi sebuah buku.

Dia mengatakan, di dalam buku tersebut dituliskan suka duka awak media pada era itu, serta beberapa hal mengenai Presiden Soeharto yang pada Zamannya tidak bisa diungkapkan.

Peluncuran buku tersebut merupakan hasil kerja sama Pewaris dengan Universitas Mercu Buana (UMB). Rektor UMB Arissetyanto Nugroho mengaku gembira bahwa para wartawan mengungkapkan sisi lain dari Pak Harto melalui buku tersebut.

"Ini sudah merupakan taruhan reputasi yang tidak diragukan lagi, karena wartawan yang bertanggung jawab tidak akan menulis sesuatu tanpa melakukan verifikasi tas data yang akan ditulisnya," kata Arissetyanto.

Ke-34 wartawan yang menulis dalam buku tersebut berasal dari berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik pada masa 1964--1998. Menurut Arissetyanto mereka merupakan wartawan senior dengan jam terbang tinggi.

"Media massa pada waktu itu memang tidak menugaskan wartawan muda untuk meliput kegiatan kepresidenan, sama seperti di banyak tempat di luar negeri. Wartawan yang meliput di pusat pemerintahan adalah mereka yang memiliki pengalaman, wawasan luas serta mampu dengan cepat menangkap esensi penting dalam dinamika yang terjadi di pusat pengambilan keputusan tertinggi di negara tersebut," kata dia.

Dia mengatakan, dengan membaca buku "34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto" secara lengkap dirinya mampu melihat benang merah suatu era yang cukup panjang dari kepemimpinan Pak Harto.

Ke-34 wartawan yang ikut serta menulis buku tersebut antara lain:



  • -Daud Sinjal (Direktur Utama Harian Sinar Harapan)
  • -Suryohadi (Wartawan Harian Sinar Harapan)
  • -Toeti Kakiailatu (Redaktur Majalah Tempo)
  • -Alwi Shahab (Pemimpin Redaksi Majalah Angkasa)
  • - Dudi Sudibyo (Pemimpin Redaksi Majalah Angkasa)
  • - Koos Arumdanie (Wartawati Harian Berita Buana)
  • - Bambang Wiwoho (Wartawan Suara Karya)
  • - Ucin Nuusyirwan Rustian (Editor Film TVRI)
  • - Tarman Azzam (Redaksi Harian Terbit)
  • - Laurens Samsoeri (Reporter RRI)
  • - Mursyid Noor (Reporter RRI)
  • - Helena Oli (Wartawan RRI)
  • - Chaeruddin (GM Produksi Pemberitaan TVRI)
  • - Ernesto Barcelona (Wartawan Harian Pelita)
  • - Eddy Satya Dharma (Photograper Harian Suara Karya)
  • - Sukarno Marno (Wartawan Harian Angkatan Bersenjata)
  • - Suryo Pranoto (Wartawan Harian Angkatan Bersenjata)
  • - Subrantini (Wartawati Harian Berita Yudha)
  • - Anna Mariana Massie (Redaktur Majalah Femina)
  • - AJF. Makiwawu (Wartawan LKBN Antara)
  • - Darwin Ali (Reporter TVRI)
  • - Sudharto (Harian Berita Yudha)
  • - Totok Soesilo (Photograper Harian Sinar Harapan dan Suara Pembaruan)
  • - Issac Sinjal (Harian Sinar Harapan)
  • - Hendro Martono (Reporter RRI)
  • - Djoko Saksono (Reporter RRI)
  • - Daniel Ilyas (Redaktur Pelaksana Harian Kartika)
  • - Sutrimo (Redaktur Pelaksana Harian Kartika)
  • - Tubagus Budi Rachman (Redaktur Pelaksana Harian Angkatan Bersenjata)
  • - Anshor Fahiem (Wartawan Mingguan Anjang Raya)
  • - Sudarto (Redaktur Kantor Berita Nasional Indonesia)
  • - Margono Hirwato (Wartawan Harian Kedaulatan Biro Jakarta)
  • - Wawan Indrawan (Wartawan LKBN Antara)
  • - Banjar Chaeruddin (Wartawan Harian Merdeka).

Sementara itu peluncuran buku tersebut turut dihadiri sejumlah wartawan senior dan tokoh nasional antara lain Cosmas Batubara, Sutiyoso dan Fuad Bawazier.

Cosmas Batubara mengatakan, banyak cerita awak media dituliskan dalam buku tersebut yang patut disimak.

"Buku ini dituliskan para wartawan senior sehingga mudah dibaca, dengan kata-kata yang lincah, tidak membosankan. Para wartawan ini punya integritas, mereka mengungkap bagaimana sebagian besar menggambarkan wajah pemerintahan Pak Harto, dan saya lihat ada alur benang merah antarpenulis yang menggambarkan fokus pemerintahan pak Harto terkait pangan dan papan," ujar dia. 34

Suluk, Tembang Dakwah Walisongo (1): DARI SULUK TASAWUF KE SULUK WAYANG.




Kata suluk, berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti cara atau jalan. Tapi bisa juga berarti kelakuan atau tingkah laku. Dalam tasawuf, suluk berarti jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah Swt. Menurut buku “Ensiklopedi Islam” yang diterbitkan PT.Ichtiar Baru Van Hoeve - Jakarta, istilah suluk digunakan untuk suatu kegiatan tertentu oleh seseorang agar ia dapat mencapai suatu ihwal (keadaan mental) atau makam tertentu.

Agama Islam disebarkan ke Indonesia terutama pulau Jawa oleh para ulama tasawuf melalui pendekatan budaya yang halus lagi indah, lembut menyusup ke relung hati dan kehidupan sehari-hari masyarakat tanpa menimbulkan gejolak. Para ulama awal yang kemudian oleh masyarakat Jawa disebut sebagai para wali itu, memiliki metode dakwah dan komunikasi yang bagus. Dengan metode itu meskipun bukan asli Jawa, dengan cepat mereka mempelajari dan menguasai tata nilai dan budaya Jawa, kemudian menyusup serta mengembangkannya  dengan corak dan tata nilai baru yang terus berkembang menjadi tata nilai dan budaya Jawa yang kita kenal sekarang.

Dalam tulisan berjudul “Sunan Bonang, Cucu Ulama Samarkand Yang Berdakwah Dengan Mengembangkan Budaya Jawa”, serta beberapa tulisan lain mengenai Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan “Tongggak-Tonggak Awal Tasawuf Jawa”,  telah saya uraikan bagaimana cara berdakwah Sunan Bonang yang didukung oleh muridnya, yaitu Sunan Kalijaga dan cucu muridnya yakni Sunan Muria. Karena yang dihadapi adalah masyarakat yang memeluk Hindu – Budha atau Syiwa – Budha, mereka menyusupkan nilai-nilai keislaman ke dalam adat istiadat dan tata kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat Islam yang telah kafah lagi rasional dewasa ini, cara itu tentu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin silsilah para nabi misalkan, disusupkan dan melebur dengan silsilah para dewa dalam kisah wayang Mahabarata karangan manusia, selanjutnya menurunkan suku Jawa. Tetapi suka tidak suka, nyatanya legenda itu bisa diterima dan dipercaya masyarakat pada masa itu, dan melalui itu pelan-pelan agama Islam masuk, menggeser nilai-nilai Syiwa – Budha.

Bersamaan dengan itu,  karena yang dihadapi adalah masyarakat yang percaya kepada hal-hal mistis dan dan supranatural, maka para wali mengajarkan hakekat tasawuf terlebih dulu baru menyusul syariat. Guna menarik perhatian masyarakat yang menyenangi seni budaya, mereka membaur, mempelajari serta mengembangkan perangkat-perangkat musik atau  instrumen gamelan Jawa dengan instrumen kempul Cina dan rebab Arab, aneka irama tembang dan komposisi musik gamelan yang sarat dengan estetika sufisme, menjadi orkestra polyfonik yang sangat meditatif dan komtemplatif. Dakwah-dakwah selanjutnya disampaikan dengan cara menembang, bersenandung merdu aneka irama, mulai dari irama ceria yang ditujukan sebagai pengiring permainan anak-anak, irama menggelora pengobar semangat sampai irama sentimental menyertai ajaran-ajaran menyongsong kematian ke alam kelanggengan di haribaan Ilahi. Ajaran tembang-tembang islami itu diberi nama Suluk, sesuai tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa.

Namun demikian, dalam mempelajari suluk-suluk tersebut, hendaknya kita tidak menggunakan “kacamata” zaman sekarang, melainkan harus dengan mempelajari latarbelakang sejarah, kehidupan serta situasi dan kondisi masyarakat pada masa itu. Karena ajaran kesilamannya memang dimasukkan setapak demi setapak, setahap demi setahap, sehingga jangan kaget jika dalam suluk-suluk tertentu khususnya suluk-suluk ciptaan Sunan Kalijaga, kita menjumpai tata nilai dan akidah yang masih campur aduk.

Para wali pencipta aneka irama tembang dan komposisi musik gamelan tadi di dalam tata pemerintahan Kerajaan Islam Pertama di Jawa, yaitu Kesultanan Demak Bintoro, membentuk majelis ulama yang disebut Dewan  Wali, yang karena selalu berjumlah sembilan orang, maka masyarakat menyebutnya sebagai Wali Songo (Sembilan Wali).

Sejalan dengan pengembangan gamelan, Walisongo juga mengembangkan berbagai seni budaya dan tata kehidupan masyarakat, seperti seni ukir, seni busana dan adat-istiadat dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari perkawinan, kehamilan, melahirkan, perkembangan pertumbuhan anak dari bayi sampai khitanan dan kematian, bahkan tata kota dengan sistem alun – alun dengan masjidnya.

Dalam hal seni pertunjukkan, mereka menggubah seni pertunjukkan yang sangat digemari masyarakat yaitu seni wayang beber. Seni wayang beber adalah seni pertunjukkan wayang yang mengisahkan cerita yang dilukiskan dalam selembar kain, sebagaimana lukisan cerita wayang Bali yang masih bisa dijumpai saat ini. Wayang beber dikembangkan menjadi wayang kulit yang melukiskan setiap tokoh seorang demi seorang, yang dari waktu ke waktu terus berkembang menjadi wayang kulit yang kita kenal sekarang.

Lakon atau kisah wayang diambil dari cerita induknya yakni Ramayana dan Mahabarata, tetapi oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus digubah menjadi bernuansa islami, bahkan Sunan Kalijaga menciptakan lakon-lakon sisipan yang dikenal sampai kini seperti  Dewa Ruci, Jamus Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu. Kisah Dewa Ruci adalah kisah seorang salik (dalam hal ini tokoh Bima) dalam menempuh jalan tasawuf. Jamus Kalimasada, mengisahkan tentang pusaka yang paling sakti tiada tara, yaitu “dua kalimat syahadat (kalimasada)”. Sedang Petruk Dadi Ratu, mengisahkan seorang rakyat jelata yang dengan menguasai pusaka jamus kalimasada, kemudian bisa menjadi Raja yang berkuasa dan kaya raya. Tetapi karena ia tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya, akhirnya ia kembali menjadi orang biasa lagi. Artinya, dua kalimat syahadat itu sangat penting, tapi ia tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus diamalkan dalam perilaku dan kehidupan yang dipengaruhi oleh hawa nafsu. Oleh sebab itu, meskipun kita sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, kita juga masih harus melengkapinya dengan menguasai serta mengendalikan hawa nafsu kita, agar hidup kita bisa selamat di dunia maupun di akhirat kelak.

Yang menarik dari seni pertunjukkan wayang tersebut, Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus yang merupakan dalang wayang kulit versi Islam generasi pertama, menembangkan suluk sebagai pertanda untuk mengawali setiap babak pertunjukkan. Suluk yang ditembangkan, menggambarkan keadaan, suasana atau situasi dan kondisi dalam babak yang akan dimainkan. Dewasa ini kita mengenal puluhan jenis suluk dalam pertunjukkan wayang, yang tidak kita ketahui siapa penciptanya dan kapan diciptakan. Karena setiap dalang dimungkinkan untuk menciptakan sendiri suluk yang dikehendakinya. Misalkan, bila sang dalang ingin menggambarkan betapa adil bijaksananya seorang  pemimpin dalam hal ini raja, maka ia bisa melantunkan suluk sebagai berikut:

“Oooooo, dene utamaning nata
berbudi bawa laksana
ooooooo, lire berbudi mangkana……” dan seterusnya.
(menggambarkan watak utama seorang raja, yaitu berbudi luhur yang diamalkan dalam kehidupannya. Adapun yang dimaksud dengan berbudi luhur yaitu…….dan seterusnya).

Dari suluk-suluk wayang yang tidak diketahui persis jumlahnya itu, ada sebuah suluk yang diyakini oleh para dalang dan penggemar cerita wayang sebagai suluk ciptaan Sunan Kalijaga yaitu sebagai berikut:

“Oooooooooo
kali ilang kedunge
pasar ilang kumandange
wong wadon ilang wirange
wong jujur malah kojur
wong clutak tambah galak
Oooooo………….”

Artinya adalah:

-          Sungai sudah tidak berlubuk lagi (karena kerusakan alam yang mengakibatkan pendangkalan).
-         Pasar sudah kehilangan gaungnya (karena rakyat susah hidup dan menjadi miskin).
-         Kaum perempuan sudah tidak punya rasa malu (karena rusak moralnya).
-         Orang jujur justru celaka.
-         Orang serakah semakin menjadi-jadi (karena budi baik dikalahkan oleh kejahatan, ketidakadilan merajalela, tatanan hukum kacau balau).

Ada beberapa versi dari suluk ini, misalkan versi pesantren tradisional Jawa.
Setelah “wong wadon ilang wirange”, baris selanjutnya adalah:

-         wong lanang ilang wibawane (pria/lelaki hilang wibawanya).
-         mulo enggal-enggalo topo lelono njajah desa milang kori (maka segeralah pergi bertapa dengan cara berkelana ke desa-desa melewati tak terhitung jumlah pintu rumah).
-         Goleko wisik soko Sang Hyang Widhi/Ilahi (mencari petunjuk atau hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa/Ilahi).

Dalam  pentas wayang, suluk tersebut secara umum menggambarkan tatanan kehidupan masyarakat yang rusak karena buruknya kepemimpinan sang raja dan para punggawanya, yang biasanya disambung dengan babak berikutnya yang diawali dengan suluk yang menggambarkan kemarahan alam dengan datangnya berbagai bencana. Suluk ini oleh ulama pujangga Ranggawarsito pada pertengahan abad ke 19, juga dikutip guna menggambarkan tanda-tanda akan datangnya “Zaman Kolobendu”, yaitu zaman yang penuh dengan aneka kejahatan dan bencana. Sementara bagi kalangan santri, suluk ini dijadikan sebagai perintah berdakwah menyebarkan agama Islam dengan cara berkelana.
        
        Suluk Sunan Kalijaga, kekasih Allah ini, yang diciptakan sekitar enam abad yang lalu,  sungguh menarik, sarat makna dan sangat visioner, bahkan sesuai dengan gambaran  keadaan sekarang. Maka, rasanya perlu jadi bahan renungan kita semua dewasa ini. Semoga.

Beji, 12 Maret 2013.

Selasa, 26 Maret 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (7): NATIONAL DEVELOPMENT INFORMATION OFFICE (NDIO).




Penyelesaian krisis Pertamina ternyata tidak menghentikan pemberitaan dan kampanye negatif tentang Indonesia. Hal tersebut tentu dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi kepentingan nasional. Selesai  satu kasus muncul kasus lain yang selalu dicoba untuk dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu buat mendiskreditkan dan menekan Indonesia. Guna menangkal menurunnya citra dan kepercayaan internasional tadi, Presiden Soeharto menugaskan Ismail Saleh untuk meneruskan tim pengggalangan citra kasus Pertamina dengan membentuk National Development Information Office (NDIO). Meski pun sama dengan lembaga-lembaga resmi lainnya, yaitu menggunakan logo lambang burung Garuda dalam kop suratnya, sebagaimana dilakukan sewaktu menangani krisis Pertamina, NDIO tetap beroperasi dengan cara dan dana yang tidak resmi.

Sebagai pegangan operasional, Ismail Saleh menggariskan pokok-pokok kegiatan antara lain:

1.         Memberikan penerangan dan penjelasan kepada kelompok-kelompok masyarakat tertentu misalnya para pengusaha, dunia perbankan, unsur-unsur/pejabat –pejabat pemerintahan, dunia perguruan tinggi dan berbegai media massa mengenai kebijaksaaan dan pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia seperti perkembangan neraca pembayaran, kependudukan, tingkat inflasi, penanaman modal, ekspor Indonesia, pembangnan daerah, keluarga berencana, transmigrasi dan sebagainya.

2.         Pada tahap pertama, penerangan akan dilakukan di lima negara yakni Amerika, Inggris, Jepang, Australia dan Hongkong. Jumlah negara ini dapat ditambah sesuai dengan perkembangan situasi.

3.         Program tersebut dilakukan dengan cara antara lain menyusun dan menyebarkan bahan-bahan penerangan seperti Indonesia Fact Folder, artikel-artikel, buku-buku, “newsletter” serta menyelenggarakan wawancara pers dan “press tour”.

Dalam melaksanakan tugasnya, NDIO memperoleh arahan yang cukup efektif dari kalangan menteri-menteri di bidang ekonomi. Radius Prawiro yang memiliki hubungan emosional, bahkan terus memberikan perhatian dan nasihat kepada NDIO walaupun sudah tidak menjabat sebagai anggota Kabinet. Setelah kepemimpinan Ismail Saleh dibantu Ginanjar Kartasasmita (waktu itu Asisten Menteri), NDIO berturut-turut dipimpin oleh Mayor Jenderal August Marpaung, Syamsu Sugito dan B.Wiwoho.

NDIO  melakukan bagian terbesar kegiatannya dari kantor-kantor di luar negeri, sedangkan kantor pusat Jakarta disamping mengkoordinasi, juga mengumpulkan dan mengolah materi komunikasi. Tidak jarang sejumlah pejabat tinggi yang akan melakukan kunjungan ke luar negeri atau memberikan sambutan di forum internasional, meminta masukan serta dukungan NDIO.

Setelah berjalan selama 16 tahun, pada akhir 1993 penulis mendapat tugas untuk melakukan reorganisasi dan penghematan biaya operasional NDIO. Secara organisasi NDIO memang sangat lemah karena hanya merupakan “special task force” yang tidak memiliki kewenangan melakukan perencanaan jangka panjang baik di bidang organisasi, kaderisasi, program maupun anggaran. Semuanya hanya dibicarakan serta diputuskan secara “ad-hoc” jangka pendek. Kepada Pemerintah, penulis mengusulkan agar status “special task force” diakhiri dan diganti menjadi lembaga resmi terstruktur, atau diubah menjadi bentuk Yayasan seperti dilakukan oleh Bank Indonesia dan Departemen Keuangan terhadap Yayasan Kerjasama Pembangunan Untuk Irian Jaya. Usulan ini ditolak oleh Menteri Sekretaris Negara Murdiono, antara lain dengan alasan dikuatirkan tidak bisa bekerja secara leluasa  karena menjadi birokratis, kaku dan lamban sebagaimana lazimnya lembaga-lembaga resmi.

Alasan tersebut masuk akal, namun tidak memberikan penyelesaian atas hambatan-hambatan kerja NDIO  yang menjadi datar setelah penyelesaian krisis Pertamina, sementara itu tekanan-tekanan negatif dari luar negeri semakin terasa berat. Tekanan-tekanan asing yang mendukung pergolakan-pergolakan di Aceh, Timor Timur dan Papua (Irian Jaya), kejemuan para pengamat dan lembaga swadaya masyarakat luar negeri terhadap pemerintah Orde Baru yang sudah berjalan 28 tahun serta  pergerakan kelompok-kelompok yang tidak senang terhadap Indonesa, yang semenjak awal NDIO sudah disinyalir keberadaannya, terus meningkat.

Mengingat perasaan tidak suka terhadap  Pemerintah Indonesia yang sedang meningkat kuat itu, maka agar NDIO bisa lebih diterima,  kami memutuskan untuk menghilangkan logo lambang Garuda dalam kop surat dan produk-produk NDIO, menjadi hanya “Indonesia NDIO”.  Demikian pula format dan kemasan produknya disesuaikan perkembangan keadaan serta kelaziman di kalangan swasta. Hasilnya memang cukup menggembirakan. Target sasaran  memberikan respons dan respek, bahkan sampai sekarang produk-produk NDIO versi periode pertengahan tahun 1990-an itu masih tersimpan dan dipergunakan di perpustakaan-perpustakaan ternama di luar negeri.

Di bidang lobby dan penggalangan, NDIO juga mulai mengoptimalkan peranserta warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri, khususnya para pelajar dan mahasiswa. Demikian pula komunitas asing yang pernah tinggal di Indonesia, yang pada umumnya memiliki kesan yang baik terhadap Indonesia.

Khusus mengenai lobby Amerika Serikat, pada saat itu sudah terbentuk The United Stated – Indonesia Society (USINDO), yang diprakarsai oleh para mantan menteri dan duta besar. Tokoh-tokoh Indonesia yang terlibat antara lain Prof.Dr.Sumitro Djojohadikusumo dan Prof.Dr.Emil Salim, sedangkan di pihak AS antara lain George P.Sultz. Edward Masters dan Paul Wolfowitch. Keberadaan USINDO sangat membantu memperkokoh hubungan baik kedua negara, oleh sebab itu Presiden Soeharto menugaskan NDIO menjalin kerjasama dan mendukungnya.

Ketika tekanan negatif dari luar negeri kian meningkat, NDIO mengusulkan untuk memperluas bidang tugas bukan hanya sebatas ekonomi  pembangunan, tapi juga sosial politik dan keamanan secara pro aktif. Gagasan tersebut kemudian dimatangkan dengan beberapa pejabat tinggi instansi-instansi terkait, antara lain membahas kemungkinan membentuk tim satuan tugas bersama yang bisa bergerak seketika jika terjadi sesuatu peristiwa di dalam negeri, yang berpotensi membawa dampak di luar negeri, meskipun hanya berupa pemberitaan media asing. Termasuk diantaranya adalah memberikan latarbelakang informasi instan kepada para perwakilan Indonesia di luar negeri, agar mereka tidak justru memperoleh informasi dari media massa asing. Sebaliknya berdasarkan latarbelakang informasi dari tim, mereka bisa memberikan penjelasan yang tepat kepada pers dan masyarakat di mana mereka bertugas. Dalam rangka ini NDIO sudah mulai menyiapkan tim dan sarana komunikasinya. Tetapi ternyata sejarah menghendaki lain. Sebelum gagasan ini bisa diwujudkan, Orde Reformasi bergulir dan Pak Harto lengser, mengundurkan diri sebagai Presiden. BERSAMBUNG.

Senin, 25 Maret 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (6): PELAJARAN DARI KRISIS PERTAMINA




Perumpaan apakah yang paling tepat untuk menggambarkan situasi Indonesia, yang semula lemah lunglai, kemudian tiba-tiba mendadak kaya raya – berlimpah dollar akibat Perang Teluk Oktober 1973? Dalam tulisan “Revolusi Perpajakan th 1983: Membangun Monumen Nasional Yang Bisa Menjadi Mesin Uang”, telah saya jelaskan bagaimana kita menerima berkah dari lonjakan harga minyak dunia akibat Perang Teluk tersebut. Jika pada tahun awal 1970-an harga minyak hanya berada pada kisaran US.$.1,67 per barrel, maka akibat perang yang meletus pada 6 Oktober 1873 itu, harga dengan cepat naik menjadi US.$.3,65 dan terus meroket mancapai US.$.12 per barrel awal 1974. Itu pun belum berhenti. Masih merambat lagi jadi US.$.13,5 dan meroket lagi dipicu Revolusi Iran 1979,  menjadi US.$.35 per barrel.

Salah seorang arsitek ekonomi Orde Baru Radius Prawiro dalam bukunya “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi”, melukiskan situasi itu bagaikan sebuah dongeng sebagai berikut: “Pada zaman dahulu kala, ada seorang petani tua dan isterinya yang hidup secara jujur dan baik. Mereka mempunyai keluarga yang bahagia dengan anak-anak yang patuh dan hormat kepada orang tua, namun secara materi mereka miskin. Mereka bercocok tanam di atas sebidang lahan sempit untuk mencari nafkah yang pas-pasan. Setiap hari mereka berdoa agar kesulitan hidup mereka bisa teratasi. Suatu ketika, bebek-bebek mereka hilang. Setelah mencari-cari cukup lama, pak tani dan isterinya menemukan bebek-bebek tersebut dekat sebuah mata air ajaib yang mengucurkan emas. “Bu, tahu tidak apa artinya ini?” kata pak tani. “Ini artinya doa kita terjawab, Pak!” teriak isterinya. “Benar. Kita kaya. Mulai saat ini, kita tidak akan punya masalah lagi!”.

Tentu saja dongeng ini belum selesai. Masih akan diceritakan perubahan yang terjadi dan masalah-masalah baru yang dihadapi keluarga itu karena kaya mendadak. Akhirnya, keluarga tersebut malah menghadapi masalah yang lebih besar lagi. Kalau dihitung-hitung, kehidupan mereka sebelum jadi orang kaya relatif lebih bahagia” (halaman 133).

Lantas perumpaan apa yang tepat untuk menggambarkan Pertamina, yaitu perusahaan negara yang bertugas serta bertanggungjawab mengelola durian runtuh dari minyak dan gas bumi itu? Radius Prawiro menulis lebih lanjut : “Kekayaan dan kesuburan tanah Indonesia adalah anugerah akibat gunung berapi. Perusahaan minyak nasional Indonesia, Pertamina, juga mirip dengan gunung berapi. Pertumbuhan industrialisasi dunia menyebabkan kebutuhan energi meningkat terus. Indonesia menyalurkan permintaan energi melalui Pertamina. Gunung berapi bertumbuh, dan pada awalnya membawa kemakmuran. Kemudian, pada bulan Februari 1975, gunung meletus. Kerusakan yang terjadi dahsyat, tetapi dalam jangka panjang, pengalaman ini membawa banyak manfaat bagi negara. Peristiwa-peristiwa yang terkait  dengan Pertamina akan membawa dampak yang besar bagi pembangunan negara. Pelajaran-pelajaran yang bisa diambil sangat berharga, tetapi biayanya juga tinggi” (halaman 139 – 140).

Pertamina didirikan pada tahun 1968, sebagai hasil gabungan dari tiga perusahaan minyak yaitu PN Permina, PN Permigan dan PT.Pertamin. Dalam tempo cepat, Pertamina telah berubah dari sekumpulan usaha-usaha dunia ketiga menjadi konglomerasi multinasional yang mencapai puncaknya pada pertengahan dekade tujuhpuluhan sebagai perusahaan internasional terbesar ke-200. Untuk Indonesia, hal ini merupakan keberhasilan yang menggemparkan. Tetapi meskipun besar dan penting, menurut Radius, Pertamina hanya kulit luarnya yang tampak sebagai perusahaan multinasional yang canggih. Tentu saja kulit luar yang bernilai bermiliar-miliar dollar ini, cukup untuk menimbulkan impresi yang sangat berkesan. Padahal di bawah permukaan, ternyata Pertamina tak punya: sistem – kontrol – manajemen – tenaga ahli bahkan pengalaman yang memadai.

Semua keterbatasan tadi ditutupi dengan penampilannya sebagai Sinterklas dunia bisnis yang murah hati terhadap konraktor, pemasok, dan pegawai tingginya. Pertamina mengesankan dirinya sebagai agen pembangunan. Dengan dukungan sejumlah kelompok, ia melenggang berperan seolah-olah bendahara nasional, mengumpulkan sebagain besar dari pajak, serta  menggunakan dana tersebut sedemikian besarnya untuk membangun berbagai proyek dan industri di luar jalur perminyakan, sehingga kemudian berdampak langsung terhadap pasokan uang.

Karena itu meskipun makmur, pada tahun 1972 Pertamina mulai menurunkan kontribusi pajaknya kepada pemerintah. Kemudian pada Oktober 1974, ia sama sekali tidak membayar pajak lagi dengan justifikasi  sedang memerlukan dana untuk membiayai proyek-proyek pembangunannya. Tanda pertama yang jelas dari kesulitan besar, muncul pada tahun 1974 ketika Pertamina tidak menyetorkan kepada pemerintah kewajiban per triwulan dari penghasilannya dan juga dari kontraktor luar negeri.  Pada periode yang sama, ia juga mulai mencari pinjaman  dari bank-bank lokal, padahal sebelumnya meminjam dari sumber luar negeri. Radius menengarai, pinjaman dari sumber lokal ini merupakan pertanda Pertamina mulai sulit memperoleh pinjaman luar negeri. Segera setelah itu, pada bulan Februari 1975, Pertamina gagal membayar pinjaman US.$.40 juta yang berasal dari Republic National Bank of Dallas. Bank ini relatif kecil dan hampir tak dikenal oleh orang-orang Pemerintah di luar Pertamina. Peristiwa itu menguak parahnya masalah keuangan Pertamina serta menciptakan perhatian negatif secara internasional.

Kesulitan menjadi berlipat ganda karena ada sebuah klausul “cross-default” dalam sebagian besar pinjaman komersial kepada pemerintah Indonesia. Menurut klausul ini, jika negara wan prestasi terhadap salah satu pinjamannya, semua pinjaman yang lain akan ditarik kembali, guna melindungi para pemberi pinjaman. Oleh karena itu implikasi dari wan prestasi adalah bencana besar.

Segera sesudah itu kesibukan para menteri di bidang ekonomi meningkat luar biasa. Mereka baik secara sendiri maupun bersama-sama, sering menghadap Presiden.  Beberapa anggota kabinet segera diorganisasi ke dalam sebuah tim untuk mengambil alih kendali situasi. Menteri Widjojo dan Gubernur Bank Sentral Rahmat Saleh, fokus pada pinjaman Pertamina. Menteri Sumarlin bertanggungjawab meneliti kontrak-kontrak Pertamina dengan semua kontraktorya dan merunding-ulang kontrak-kontrak yang dianggap tidak layak. Letnan Jenderal Hasnan Habis dibantu Mayor Jenderal Piet Haryono dan Brigjen Ismail Saleh, bertanggungjawab meneliti organisasi Pertamina. Sementara Radius yang semua bersama Sumarlin mengkaji ulang kontrak-kontrak Pertamina, diminta khusus menyelesaikan  urusan perjanjian tanker yang sudah mengarah pada sengketa  hukum di pengadilan internasional. Radius mencatat, dalam masa tugasnya selama 28 tahun sebagai pejabat Kabinet, ia belum pernah melihat kabinet yang begitu termobilisasi. “wan prestasi dari Pertamina adalah sebuah keadaan darurat yag dalam tempo singkat membahayakan stabilitas finansial negara Indonesia. Hal ini ditangani  dengan penuh perhatian seperti pada masa darurat perang atau bencana nasional yang sangat besar”.

Dalam pidato akhir tahun Rabu, 31 Desember 1975, Presiden Soeharto menjelaskan tentang persoalan Pertamina  tersebut beserta langkah-langkah nyata untuk menertibkan dan menyehatkan Pertamina.

Selanjutnya pada tanggal 3 Maret 1976, Presiden memberhentikan Letjen Ibnu Sutowo sebagai  Direktur Utama Pertamina serta mengangkat Piet Haryono  sebagai penggantinya. Dalam pidato pelantikan Piet Haryono  menjadi Direktur Utama Pertamina pada tanggal 15 April 1976 di Istana Negara, Presiden mengatakan, memang benar Pemerintah telah mengetahui, dan bahkan menyetujui beberapa kegiatan Pertamina di luar minyak. Tetapi pengetahuan  dan persetujuan tersebut adalah dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas pokoknya dengan beberapa  syarat bahwa pembiayaannya tidak boleh memberatkan perusahaan apalagi membebani pemerintah. Pemerintah menyetujui partisipasi Pertamina untuk melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan di bidang  non minyak dalam rangka memanfaatkan potensi Pertamina dan kepercayaan dunia usaha kepada Pertamina. Ternyata tanpa diketahui Pemerintah, Pertamina telah ditimbuni dengan berbagai kewajiban keuangan di luar kemampuannya. Andaikata pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan, menurut Presiden, pastilah Pertamina akan bangkrut, dan keadaan itu juga pasti akan menimbulkan akibat yang lebih serius pada keuangan negara.

Dari berbagai kasus dalam krisis Pertamina, ada satu kasus yang menjadi bahan berita ramai di media massa internasional, yakni sengketa kapal-kapal tanker Pertamina antara lain dengan raja tanker Bruce Rappaport. Ini menyangkut uang US.$.3,3 milyar, terbesar dari utang-utang Pertamina serta memerlukan banyak waktu dan usaha buat menyelesaikannya, yang melibatkan berbagai perusahaan internasional yang tersebar antara lain di Inggris, Norwegia, Amerika Serikat dan Hongkong. Jika perusahaan-perusahaan lain bersedia menyelesaikan tanpa beban kesulitan yang berarti, Rappaport yang mempunyai kontrak lebih dari US.$.1,5 milyar memilih penyelesaian lewat jalan pengadilan. Selama  berbulan-bulan, kedua pihak bertempur secara hukum di Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Belgia, Perancis, Swis, Jepang dan Singapura.

Rappaport memiliki bertumpuk-tumpuk kontrak dengan Pertamina, termasuk 1600 “promisory notes”, semuanya ditandatangani Ibnu Sutowo. Persyaratan-persyaratan kontrak sangat buruk. Kompas 29 November 1976 melaporkan, kapal-kapalnya terlalu besar untuk berlayar di perairan Indonesia dan tidak memiliki kumparan pemanas yang diperlukan untuk minyak Indonesia. Lebih dari itu, harga kontrak secara terang-terangan dibuat jauh lebih tinggi dari harga pasar.

Perselisihan secara hukum ini menggoyahkan kepercayaan konsorsium bank, dengan siapa Indonesia mengatur penyelesaian dari pinjaman-pinjaman Pertamina. Tekanan dilancarkan ke Indonesia untuk mencari penyelesaian cepat. Posisi Indonesia semakin redup. Peristiwa ini tentu saja  menjadi bahan bulan-bulanan pemberitaan media massa internasional. Sementara itu organ-organ resmi Pemerintah yang terkait nyaris tak berdaya. Menghadapi situasi seperti ini, Pemerintah segera menyusun operasi penggalangan citra yang dipimpin langsung oleh Radius Prawiro didampingi oleh Sumarlin dan Ismail Saleh.  Sebagai Wakil Sekretaris Kabinet, Ismail Saleh meneruskan petunjuk-petunjuk rahasia Presiden kepada sejumlah Duta Besar Indonesia di luar negeri dan beberapa pejabat tinggi untuk mensukseskan operasi penggalangan citra yang harus  mampu bergerak menembus batas-batas birokrasi, tepat dan berdaya guna. Sedangkan untuk membantu di lapangan, Radius mengkontrak perusahaan  “Public Relations” ternama Hill and Knowlton dari Amerika Serikat,  yang memiliki jaringan luas dan perwakilan antara lain di Inggris, Jepang, Australia dan Hongkong.

Sejalan dengan operasi itu, di dalam negeri Pemerintah berhasil menyudutkan pimpinan Pertamina dengan mengungkap bukti-bukti kontrak yang buruk tadi, sehingga akhirnya Ibnu Sutowo bersedia membuat “affidavit” yang berisi tuduhan penipuan. Dengan “affidavit” ini menurut Radius situasi mulai berubah. Meskipun masih tetap berat dan alot, satu demi satu peradilan dimenangkan Indonesia. Untuk pertama kali secara terbuka di dalam negeri, pada tanggal 26 Januari 1977, Radius Prawiro didampingi Sumarlin dan Menteri Sekretaris Negara Sudharmono melaporkan kepada Presiden Soeharto perkembangan  tersebut. Kepada wartawan selesai pertemuan, Radius mengatakan, Pengadilan Singapura  dalam keputusannya segera membebaskan kapal Pertamina yang bernama “Teluk Nibung” dengan nomor lambung 1017 pada tanggal 29 Januari 1977. Hal ini disebabkan karena pengadilan beranggapan bahwa pihak penggugat yaitu Bruce Rappaport, tidak dapat membuktikan kebenaran gugatannya.  Dengan demikian telah tiga kapal Pertamina yang dibebaskan dari empat kapal yang ditahan, sedangkan satu lagi masih ditahan karena dalam proses banding.

Segera sesudah itu, opini dunia berubah. Indonesia berhasil menggalang tim pertempuran sampai opini Rappaport memburuk, sehingga akhirnya pada bulan Agustus 1977, Pertamina dan Rappaport mencapai kata sepakat. Pertamina setuju membayar US.$.150 juta untuk pembatalan kontrak senilai US.$.1,55 milyar. Dengan terselesaikannya masalah tanker, kenang Radius, kisah tragis Pertamina secara teknis telah selesai. Namun dalam kenyataannya, skandal ini punya dampak berkepanjangan terhadap perekonomian Indonesia dan kebijakan ekonomi negara.BERSAMBUNG.

Jumat, 22 Maret 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (5): DISEMINASI & SOSIALISASI KEBIJAKAN






Untuk mendiseminasi atau menyebar-luaskan berbagai kebijakan, Pemerintah Orde Baru menggunakan berbagai lembaga, sarana dan cara. Secara resmi, lembaga yang menangani serta mengkoordinasikan hal itu ialah Departemen Penerangan (Deppen). Deppen pada masa itu merupakan salah satu departemen yang kuat karena menentukan hidup dan matinya suatu media massa, membawahi badan-badan usaha media massa Pemerintah seperti Radio Republik Indonesia, Televisi Republik Indonesia, Lembaga Kantor Berita Antara, Perusahaan Film Negara dan Percetakan Negara. Deppen juga bertugas serta bertanggungjawab mengkoordinasikan unit-unit kehumasan dan penerangan di seluruh instansi pemerintah, dari pusat sampai daerah, di dalam maupun di luar negeri.

Kecuali Deppen, Pemerintah kadang-kadang membentuk satuan-satuan tugas (Satgas) tertentu guna menangani sesuatu kasus. Salah satu Satgas yang paling menonjol dan berlangsung beberapa tahun adalah Satgas Mass Media, di bawah kendali  Operasi Khusus yang dipimpin Letjen Ali Murtopo. Media massa yang tergabung dalam satgas ini antara lain Harian  Berita Yudha, Harian Suara Karya, Harian The New Standard, Harian El Bahar, Majalah Berita Ekspres, Majalah Ekonomi Progres dan Radio Safari. Di samping itu ada lagi suatu kelompok kegiatan yang pada masa itu sangat terkenal yaitu Koordinator Artis Safari dan Safari Film.  Beberapa wartawan dan karyawan dari Satgas ini secara berkala dilatih dan dibekali dengan pemahaman mengenai ketahanan nasional Indonesia, ilmu perang urat syaraf dan “contra subversi”.

Meski sudah memiliki dua jalur utama dalam kehumasan, seringkali menteri atau pejabat tinggi tertentu yang ingin menggalang suatu program pemberitaan membuat sendiri tim-tim kecil. Penulis pernah dua kali memperoleh tugas ikut mengkoordinasikan tim kecil tersebut. Pertama, tugas dari Menteri Koordinator Ekonomi – Keuangan dan Industri/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Prof.Dr.Widjojo Nitisastro pada tahun 1973/1974, untuk memantau dan mengekspose daerah-daerah tingkat II yang memperoleh penghargaan Parasamnya Purna Karya Nugraha. Pada  tahun 1974, untuk pertama kalinya Pemerintah menganugerahkan penghargaan tadi kepada Daerah Tingat II terbaik di setiap propinsi. Tugas ini tidak mudah mengingat prasarana dan sarana perhubungan serta komunikasi di daerah-daerah jauh dari memadai dibanding keadaan sekarang. Anggota tim terdiri dari wartawan berbagai media massa, dipilih yang muda-muda dan sehat, serta dibagi dalam tiga kelompok yaitu Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur. Bersyukur sekali, tim didukung secara penuh dan baik oleh seorang birokrat muda eselon II di Bappenas, Saadilah Mursyid (almarhum), yang di kemudian hari menjadi Menteri Sekretaris Negara.

Kedua, tugas dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang baru, Laksamana Sudomo segera sesudah Peristiwa Malari. Tugas ini hampir sama dengan yang pertama, namun rentang waktu dan wilayahnya lebih kecil. Tim ditugaskan untuk secara bebas berjalan-jalan melihat dan melaporkan sejauh mana pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Tahap I, sampai di pesolok daerah dan dampaknya bagi masyarakat luas. Setelah dibekali dengan surat tugas dan logistik, tim ini betul-betul harus terjun bebas tanpa dukungan seperti Tim Parasamya.  Jika Tim Parasamnya di setiap daerah disambut oleh seluruh Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) bagaikan tamu kehormatan, sebaliknya tim pemantau Repelita tidak jarang harus menghadapi interogasi Pemerintah Daerah setempat.

Selain diminta secara khusus untuk melakukan  pemantauan sekaligus peliputan sebagaimana di atas, sebagai wartawan  penulis juga sering diundang meliput oleh instansi/lembaga  pemerintah. Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut, penulis tidak pernah berfikir, sejauh mana Presiden Soeharto memantau hal-hal sekecil ini. Sampai beberapa hari menjelang Konperensi V Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) tahun 1979 di Manila, Sabtu sore 5 Mei 1979 di rumah,  penulis kedatangan tamu Sekretaris Ditjen dari Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri Departemen  Luar Negeri (Ditjen HELN – Deplu), menyampaikan undangan untuk mengikuti  perjalanan dinas Menko Ekuin/Ketua Bappenas Widjojo Nitisasto selama dua sampai tiga minggu di Manila. Karena  saat itu penulis sedang sakit batuk pilek berat, penulis berusaha menolak. Namun sang tamu mendesak karena itu sudah perintah Pak Widjojo, yang menurut dia siang sebelumnya sudah dibicarakan dengan Presiden. Sebetulnya saya tidak percaya dan tidak peduli apakah benar-benar hal sekecil ini merupakan hasil pembicaraan dengan Presiden. Tapi lantaran Pemimpin Redaksi -  DH.Assegaff juga memerintahkan agar penulis berangkat, maka penulis bersedia dengan syarat mengajak teman wartawan lain yang sudah akrab seperti saudara sendiri, yaitu saudara Darmansyah Darwis dari Harian Angkatan Bersenjata, guna menemani penulis yang sedang kurang sehat. Karena tidak siap sebelumnya dan  subuh keesokan harinya sudah harus di bandara, sementara paspornya ada di kantor di Jalan Kramat Raya,  malam itu saudara Darmansyah harus membongkar jendela untuk masuk ke ruang kerjanya mengambil paspor.

Pada masa itu, setiap orang yang mau bepergian ke luar negeri harus memperoleh ijin keluar negeri yang disebut exit-permit. Subuh hari Minggu 6 Mei 1979, kami berdua sudah di VIP Room, Bandara Kemayoran, bersama Sekretaris Ditjen HELN (maaf, saya lupa namanya) untuk mengurus exit-permit, sedangkan seorang petugas Deplu lainnya mengurus tiket dan check-in. Sampai sekitar pukul  06.15 atau 45 menit sebelum pesawat tinggal landas, petugas imigrasi tidak bersedia memberikan exit permit karena Sekditjen HELN tidak membawa Surat Tugas untuk saya dan Darmansyah. Pada menit-menit kritis itu datang Kepala Protokol Kepresidenan almarhum Dewanto, yang juga dengan pesawat yang sama akan ke Singapura menjemput tamu negara Korea Selatan  Choi Kyu Hah.  Begitu melihat kerumunan kami, alm Dewanto menghampiri dan bertanya, “Ada apa?”. Setelah penulis jelaskan, beliau spontan berkata, “Lha ini sudah dibicarakan dengan Presiden kemarin siang. Memang mendadak. Saya saksinya, kebetulan saya juga dipanggil untuk persiapan menjemput dan bergabung dengan tamu negara di Singapura. Sudah saya yang menjamin, kalau tidak percaya buatkan surat jaminan untuk saya tandatangani dan pegang ini pas istana saya”. Dengan sertamerta, exit permit keluar tanpa surat jaminan ataupun meninggalkan pas istana, sementara keberangkatan pesawat Garuda ditunda lebih setengah jam untuk menunggu kami, dengan Pak Widjojo sudah berada di dalam pesawat, dan sebuah mobil VW Combi Garuda menunggu untuk khusus mengantarkan kami ke tangga pesawat. Sungguh sampai sekarang saya tidak pernah tahu dan tidak pernah mengecek kepada siapa pun, apakah ucapan pejabat Deplu dan Kepala Protokol Istana tadi memang benar ataukah hanya sekedar gertakan. Yang jelas sangat ampuh. Dan karena baik Pak Harto, Pak Widjojo maupun pak Dewanto sudah wafat, maka hanya tinggal Allah Yang Maha Tahu yang mengetahui kebenarannya.BERSAMBUNG.

Kamis, 21 Maret 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (4): ANCAMAN PRESIDEN SOEHARTO/TNI TERHADAP SIAPA SAJA YANG MAU MENGUBAH UUD'45.



Jika Perlu Menculik 1 Orang Demi UUD 1945.

Banyak orang yang terkejut dan tidak suka mendengar pidato keras Pak Harto mengenai tekadnya untuk habis-habisan mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Tapi kini tigapuluh tiga tahun kemudian, meski tidak sepenuhnya setuju dengan sistem dan cara yang dipakai Pak Harto, banyak orang yang sependapat dengan tujuan akhirnya yaitu mengembalikan (karena sudah terlanjur diubah),  Undang-Undang Dasar, yang telah empat kali diubah, dimulai pada tahun bulan Oktober 1999 dan terakhir tahun 2002, kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang asli dengan satu perubahan tentang pembatasan masa jabatan presiden saja.

Hanya setahun setelah reformasi digulirkan dan Pak Harto “legowo lengser keprabon”, mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998, pertahanan nasional atas Undang-Undang Dasar 1945 mulai jebol. Digempur pertama kali dalam Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Oktober 1999, digempur kedua pada Agustus 2000, gempuran ketiga November 2001 dan akhirnya benar-benar runtuh pada  bulan Agustus 2002, setelah Fraksi  ABRI yang semula sangat diandalkan Pak Harto menyerah.

Tentang strategi antisipasi menghadapi upaya-upaya untuk mengubah UUD 1945, Presiden Soeharto menggariskan secara rinci dan terbuka, blak-blakan sampai mengeluarkan kata-kata bila perlu menculik satu orang anggota MPR. Penjelasan pertama dilakukan ketika memberikan pidato tanpa teks pada Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980, yang selanjutnya ditegaskan kembali pada peringatan ulang tahun Kopassandha 16 April 1980. Dimulai dengan menggambarkan perjalanan bangsa Indonesia semenjak Proklamasi Kemerdekaan 1945 dengan cita-cita kemerdekaannya, kemudian timbulnya berbagai pergolakan terutama yang bertujuan mengubah idelogi Pancasila dengan ideologi-ideologi lain, sampai akhirnya lahir Orde Baru yang bertekad mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila, serta langka-langkah yang sudah ditempuh dalam menyederhanakan sistem kepartaian.

Menurut Pak Harto, UUD sesuai konstitusi bisa diubah oleh MPR dengan minimal 2/3 (dua pertiga) suara yang menghendaki perubahan. Demi mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila, ABRI bisa saja dengan kekuatan senjatanya melakukannya. Ini dimungkinkan berdasarkan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang secara tegas menyatakan sumpah setianya kepada Pancasila dan UUD 1945. Tetapi jika itu dilakukan, maka akan menimbulkan korban jiwa di antara sesama anak bangsa. Oleh sebab itu guna menghindari hal tersebut namun tetap bisa menjaga UUD 1945 dan Pancasila, maka ABRI yang sudah rela mengorbankan hak asasinya untuk dipilih dan memilih dalam Pemilihan Umum, demi menjaga netralitas, menggunakan peluang yang memang dimungkinkan serta tidak bertentangan dengan konstitusi, menghendaki anggota-anggotanya diangkat dan mengisi 1/3 (sepertiga) jumlah anggota MPR.

Jumlah tersebut, katanya, masih tetap kurang jika harus mencapai 2/3 suara untuk mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila. Masih memerlukan tambahan kawan seperjuangan. “Maka saya gambarkan juga pada semua kekuatan politik pada waktu itu, daripada kita menggunakan senjata dalam menghadapi perobahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, itu lebih baik kami menculik seorang dari 2/3 suara yang ingin mengadakan perobahan, karena 2/3 dikurangi satu sudah tidak sah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu”.

Kedua pidato yang diucapkan tanpa teks oleh Panglima Tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangti ABRI) hanya dalam selang 20 hari itu, memicu reaksi keras di masyarakat, termasuk dari sesama rekannya sejumlah purnawirawan ABRI seperti Letnan Jenderal Marinir (Purn) Ali Sadikin, Jenderal Polisi (Purn) Hugeng serta seniornya Jenderal TNI(Purn) Dr.Abdul Haris Nasution dan beberapa negarawan senior antara lain SK.Trimurti, Mohammad Natsir, Kasman Singodimejo, Syafrudddin Prawiranegara dan Chris Siner Key Timu. Mereka membentuk kelompok “Petisi 50” dan mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang ditandatangani oleh 51 (limapuluh satu) orang. Petisi 50 prihatin dengan praduga Presiden tentang adanya polarisasi “melestarikan Pancasila” di satu pihak dan “mengganti Pancasila” di lain pihak.  Mereka juga prihatin dengan pembenaran perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji di pihak penguasa untuk secara berencana melumpuhkan UUD 1945, dengan dalih Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, padahal kedua ikrar itu tidak mungkin berada di atas UUD 1945. Yang mereka sesalkan pula, pidato Pak Harto mengesankan seolah-olah ada yang menilai dirinya sebagai pengejawantahan (personifikasi) Pancasila, sehingga setiap kabar angin tentang dirinya diartikan sebagai sikap anti Pancasila.

Demikianlah, hukum besi sejarah telah berlaku. Tonggak-tonggak perjalanan bangsa sudah dipancangkan, dan UUD 1945 sudah dibongkar oleh MPR dengan dukungan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam negeri CETRO (Centre for Electoral Reform) dan kekuatan luar yaitu USAID ( United States Agency for International Development) dan NDI (The National Democratic Institute for International Affairs).

Wartawan senior Yop Pandie dalam bukunya “Polemik Cabut Mandat SBY” (penerbit Bina Rena Pariwara 2007) menulis, “Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie juga mengakui, UUD 45 setelah empat kali amandemen mengalami perubahan sampai 300 persen dibanding UUD 1945 yang asli”. Sementara   pakar hukum tatanegara Maria Farida mengatakan, sesungguhnya Indonesia sudah membuat konstitusi baru, bukan hanya mengubah UUD 1945.

Menjadi pertanyaan, mengapa UUD yang baru sama sekali itu tetap disebut sebagai UUD 1945 dan bukan UUD 2002?  Mengapa dipaksakan untuk dimanipulasi sebagai UUD 1945, pada hemat  penulis adalah untuk menghindari  konflik dan penentangan dari TNI, sebab  prajurit TNI telah digembleng dan telah bersumpah dengan Sumpah Prajurit yang terdiri dari lima butir, dan butir pertama berbunyi: Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pula dengan Tri Brata Polri yang butir keduanya berbunyi: Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kini apa yang dulu dikuatirkan Pak Harto, yaitu UUD 1945 diubah - dan dimanipulasi sudah terjadi. Yang tidak terbukti adalah ternyata ketika proses perubahan itu berlangsung selama kurun waktu tiga tahun, tidak ada pertumpahan darah, bahkan tidak ada seorang prajurit TNI pun  yang tampil sebagaimana diharapkan Pak Harto untuk mempertahankannya, apalagi dengan mengangkat senjata, meskipun tahu sudah dikelabui. Sekarang banyak orang menyesalkan perubahan itu, namun semuanya masih sebatas wacana dan di dalam ruang-ruang terbatas pula. Banyak orang marah, tapi masih sebatas jago kandang. Sesal kemudian tiada guna. Apalagi kalau hanya NATO, “no action talk only”.

Sejalan dengan itu, berbagai undang-undang dan peraturan turunannya, sampai sekarang masih terus dilakukan bagaikan menggelar karpet merah untuk menyambut kedatangan kekuatan-kekuatan asing ke bumi Nusantara, mengancam masa depan generasi muda, anak cucu kita, anak cucu para prajurit TNI-Polri dan segenap rakyat. Termasuk anak cucu para anggota MPR yang melakukan perubahan UUD 1945. Kelak sejarah akan mencatat, seperti apakah kaliber patriotisme generasi kita sekarang. Semoga tidak mengecewakan, apalagi memalukan. (BERSAMBUNG).

Rabu, 20 Maret 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (3): REAKSI PRESIDEN SOEHARTO TERHADAP KRITIK DAN GOSIP.




Banyak tokoh besar yang tahan terhadap serangan dan kritik terhadap dirinya, tetapi tidak apabila hal itu ditujukan kepada keluarganya. Karena itu pulalah maka wajar jika keluarga inti dari para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di seantero dunia, juga memperoleh pengawalan dari negara, baik pengawalan secara terbuka maupun tertutup.

Namun demikian serangan di era modern, lebih-lebih di era globlalisasi sekarang, tidak hanya berbentuk fisik semata, melainkan bisa non fisik berupa tulisan dan tayangan di media massa serta jejaring sosial. Hal seperti itu pun dialami oleh Presiden Soeharto.

Di dalam bahasa Jawa dikenal istilah “tepo-sliro”. Agak sulit mencari  padanan katanya. Hampir sama dengan mawas diri, tapi tidak sepenuhnya tepat. Jika diartikan, kuranglebih adalah mencoba menerapkan pada diri kita sesuatu hal yang menimpa atau dituduhkan pada orang lain, atau mencoba merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Ini biasanya terkait dengan hal-hal buruk. Misalkan, keluarga Pak Harto dituduh melakukan perbuatan tidak terpuji. Nah bagaimana bila tuduhan itu menimpa pada keluarga kita? Pasti tidak senang. Yang mungkin berbeda ialah  kadar reaksi ketidaksenangan kita. Dan itu tergantung serta dipengaruhi oleh seberapa besar kekuasan dan latar belakang kehidupan kita masing-masing.

Dengan mencoba memahami dan “tepo-sliro” pada kehidupan Pak Harto semenjak  masa balitanya yang tidak diasuh sendiri secara langsung oleh kedua orang tua kandungnya, bahkan beberapa kali berpindah asuhan dari buyut, kakek dan bibinya, sangatlah wajar seseorang yang seperti itu  setelah berumahtangga, sangat merindukan keharmonisan serta keutuhan rumahtangga dan keluarga besarnya. Hal ini bisa menimbulkan sikap protektif yang merupakan kekuatan tetapi juga sekaligus kelemahan.

Dengan latar belakang kehidupan masa kecil yang seperti tadi dan dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, Pak Harto dan keluarganya menjadi bahan gosip, persis  bagaikan peribahasa “ semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpanya”.  Gosip dan fitnah mengenai dirinya, sudah menerpa sewaktu menjadi Panglima Kodam (Teritorium IV) Diponegoro di Jawa Tengah awal tahun 1960-an, bersambung dengan rumors kedekatannya dengan tokoh Gerakan 30 September/PKI, Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief.

Terhadap gosip-gosip mengenai dirinya sendiri, tanpa menyangkut orang lain, Pak Harto tidak pernah menanggapi sama sekali. Demikian pula jika gosip itu hanya sebatas dari mulut ke mulut atau surat kaleng. Tetapi tatkala itu sudah menjadi bahan laporan di media massa, Pak Harto merasa hal itu harus dijernihkan agar tidak merusak wibawa kepemimpinan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kemampuannya memimpin bangsa dan negara.

Tindakan pertama yang dilakukan terhadap hal tersebut adalah sewaktu menyikapi berbagai pernyataan dan demonstrasi menolak pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII)  yang digagas oleh Ibu Tien  Soeharto, menjelang  akhir tahun 1971. Terhadap penolakan tersebut, dalam pidato tanpa teks sewaktu meresmikan Rumah Sakit Pusat Pertamina di Kebayoran Baru, Jakarta pada hari Kamis 6 Januari 1972, Pak Harto mengatakan sebagai berikut:
“ Saya akan menghantam siapa saja yang mencoba melanggar konstitusi, dan saya akan mendapat dukungan dari ABRI. Kalau ada seorang ahli hukum yang mengatakan bahwa Presiden tidak bisa menindak  orang yang tidak mengerti dan tidak mau mengerti, maka Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966) bisa saya gunakan sebagai alasan karena mengganggu ketertiban umum”.

Ia menolak pendapat sementara kalangan yang mengatakan bahwa proyek yang merupakan miniatur Indonesia itu adalah proyek mercusuar. Ia juga membantah proyek ini menghisap uang rakyat dan membahayakan pembangunan, karena proyek ini akan dibiayai oleh dana-dana swasta.  Pada hematnya, proyek TMII telah dijadikan isyu politik oleh orang-orang dan pelaku yang sama sejak tahun 1968. Isyu politik tersebut dalam jangka pendek bertujuan mendiskreditkan pemerintah, dan dalam jangka panjang untuk mendepak ABRI keluar dari lembaga eksekutif. Usaha itu akan menghilangkan dwifungsi ABRI dan menjadikan ABRI alat pertahanan keamanan saja. “Dan saya tegaskan bahwa saya tidak akan melepaskan dwifungsi ABRI”.

Kalau tujuan aksi-aksi anti Taman Mini Indonesia itu untuk menyingkirkan Presiden, Pak Harto melanjutkan, jawabannya mudah. Karena ia adalah Kepala Negara yang dipilih melalui MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), maka ia dapat diberhentikan secara konstitusional melalui sidang MPR. Kalau ada usaha menggantikannya secara inkonstitusional maka “saya akan kembali mengambil sikap seperti pada tanggal 1 Oktober 1965, ketika menghadapi PKI (Partai Komunis Indonesia). Waktu itu yang mendukung saya hanyalah isteri saya, sedangkan Front Pancasila dan Angkatan 66 belum lahir”.

Selanjutnya ia menjelaskan, proyek Miniatur Indonesia Indah mempunyai dua tugas pokok. Keluar, sebagai sarana memperkenalkan wajah Indonesia kepada bangsa lain; dan ke dalam, agar supaya rakyat Indonesia secara keseluruhan bisa melihat dan merasa bangga akan kebudayaan tanah airnya (buku  “Jejak Langkah Pak Harto”, oleh Team Dokumentasi Presiden RI, penerbit Citra Lamtoro Gung Persada - 1991).

Enambelas tahun kemudian, dalam bukunya “Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya” ( G.Dwipayana dan Ramadhan KH, Penerbit Citra Lamtoro Gung Persada - 1988), Pak Harto menyatakan, “ Saya dan isteri saya mempunyai cita-cita untuk membangun suatu pusat kebudayaan peninggalan nenek moyang kita yang akhirnya nanti bisa berfungsi sebagai tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan juga tempat untuk mengembangkan kebudayaan. Akhirnya proyek yang kami cita-citakan itu terlaksana, dibangun mulai tahun 1975. Kritik terhadap ide kami itu muncul lagi. Namun, sebenarnya pihak yang mengkritik itu belum tahu tujuan kami. Mereka khawatir bahwa pembangunan itu akan membuat pemborosan saja dan tidak ada artinya. Padahal tujuan kami bukan seperti yang dikhawatirkan itu. Kenyataan, sekian tahun kemudian menunjukkan bahwa setelah Taman Mini Indonesia Indah  itu jadi, pengkritik-pengkritik itu akhirnya mengakui manfaatnya”.

Reaksi kedua yang cukup keras dilakukan menanggapi laporan Majalah Dwi Mingguan “POP” edisi No.17 Oktober 1974, yang memuat tulisan berjudul “Teka-Teki Sekitar Garis Keturunan Soeharto”. Majalah itu menyebutkan bahwa ayah kandung Pak Harto yang sebenarnya bukanlah seorang desa bernama Kertoredjo alias Kertosudiro, melainkan seorang bangsawan berdarah biru keturunan Sultan Hamengkubuwono II. Terhadap hal itu pada hari Senin 28 Oktober 1974 di Bina Graha, di hadapan sekitar 100 wartawan dalam dan luar negeri, Pak Harto memberikan bantahan dan penjelasan seraya membagikan  skema silsilah keluarga yang selama ini resmi diakuinya. Dengan didampingi oleh Kepala Bakin, Jaksa Agung, Menteri Penerangan dan Menteri Sekretaris Negara, Pak Harto menyatakan kekesalannya serta menganggap laporan majalah itu bisa membuka kesempatan baik untuk subversi yang menggangu stabilitas nasional dan mempermalukan bangsa. “ Artikel tersebut, katanya, bukan saja merugikan pribadi dan keluarga, melainkan kehormatan negara. Sebagai Kepala Negara, tidak bisa sembarangan menjadi obyek dugaan, teka-teki, yang bisa merusak nama baik dan wibawa. Ini karena posisi dan tanggungjawab sebagai Kepala Negara. Artikel tersebut tidak bisa kita nilai sebagai suatu masalah yang kecil”  (Majalah Tempo, 15 Nopember 1974). Akhirnya majalah POP dibreidel dan Ray Hanityo, Pemimpin Redaksinya, dijatuhi hukuman penjara.

Dalam hal silsilah keluarga seseorang tokoh, sebagian masyarakat Jawa memang  berpandangan bahwa seorang pemimpin itu dilahirkan, bukan karena pendidikan. Ia dilahirkan atau merupakan keturunan “trahing kusuma rembesing madu, wijining andana tapa”, dan tidak mungkin  keturunan orang kebanyakan.  Secara harafiah itu berarti keturunan bunga, tirisan madu dan benih pertapa atau berdarah  biru. Sebab itu bila ada seorang tokoh nasional yang ganteng dan berwibawa, sering muncul rumors bahwa yang bersangkutan  sesungguhnya adalah putera bangsawan “X” atau tokoh “Y” misalkan. Bahkan Bung Karno pun diisyukan putera bangsawan Surakarta. Begitulah, suka atau tidak, cara pandang sebagian masyarakat kita.

Beberapa isyu, kritik dan aksi mahasiswa yang juga mendapat tanggapan cukup serius dari Pak Harto antara lain:

1.         Peristiwa Malari. Yaitu demonstrasi mahasiswa yang berakhir pada kerusuhan besar di Jakarta pada tanggal 15 – 16 Januari 1974, yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Malari.

Senin 21 Januari 1974 Presiden mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) seperti Rosihan Anwar, Jakob Utama, Harmoko, BM.Diah dan Sunardi DM.  Melalui mereka Pak Harto membantah pemberitaan pers yang menyatakan bahwa keluarganya mempunyai hubungan dengan P.T.Astra, Bogasari, Sahid dan Batik Keris.  Ia juga menjelaskan tentang tindakan preventif  yang diambil Pemerintah menyangkut penertiban pemberitaan pers terkait dengan Peristiwa Malari. Selanjutnya diharapkan agar PWI meningkatkan keterampilan dan kemampuan wartawan dalam melaksanakan  pekerjaannya.

Selasa 22 Januari 1974, Presiden memimpin Sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi. Meskipun kesal dan kecewa berat terhadap demonstrasi mahasiswa yang memicu terjadinya Peristiwa Malari, Pak Harto meminta para menteri dan jajarannya untuk menyempurnakan kebijakan penanaman modal asing, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, kebijakan pemberian kredit kepada pengusaha kecil serta melaksanakan pola hidup sederhana agar tidak memancing kecemburuan sosial. Walau tidak dikemukakan secara eksplisit, apa yang diputuskan oleh Sidang dan ditindaklanjuti dalam berbagai kebijakan selanjutnya itu menunjukkan bahwa tuntutan para mahasiswa diperhatikan serta diusahakan untuk dipenuhi.

2.   Terjadinya krisis beras akhir 1972. Setahun atau tepatnya 13 bulan sebelumnya, hampir sepanjang bulan Desember 1972, Presiden melontarkan pernyataan-pernyataan keras menanggapi kritik keras masyarakat. Rabu 6 Desember misalkan, tatkala menerima Pimpinan Pusat Corps Cacad Veteran di Bina Graha, ia mengatakan, ada pihak yang sengaja melontarkan masalah beras dengan tujuan mengeruhkan suasana. Lontaran-lontaran tersebut disebarluaskan oleh orang-orang yang tidak senang dan tidak ingin Orde Baru membangun. Mereka juga berusaha menghancurkan Orde Baru agar dapat berkuasa kembali. Pemerintah menurut Pak Harto merasa terpukul oleh musim kemarau panjang yang mengakibatkan panen padi merosot sampai 20 %. Karena itu ia mengajak masyarakat bisa ikut menerima keadaan ini sebagai suatu peringatan dari Tuhan, sehingga tidak cepat merasa gembira akan hasil-hasil yang dicapai.

Keesokan harinya, kepada Jaksa Agung Sugih Arto, Presiden memerintahkan untuk menyelidiki dugaan manipulasi beras yang dilemparkan Badan Urusan Logistik (Bulog) ke berbagai pasar di Pulau Jawa khususnya di Jakarta.  Ia menilai pula, pers banyak yang kurang memahami masalah perberasan yang sesungguhnya, sehingga apa yang digambarkan kurang lengkap.

Minggu 17 Desember 1972 ketika menerima sejumlah pejabat dari Kabupaten Wonogiri di Istana Merdeka, Presiden kembali menyinggung masalah beras. Di tahun-tahun mendatang pemerintah akan mengamankan produksi beras dan tidak akan mengulangi lagi kesalahan seperti yang terjadi dalam tahun ini. Tahun ini kita mendapat cobaan disebabkan oleh kemarau panjang dan kering.
Terhadap orang-orang yang menggembar-gemborkan masyarakat adil makmur harus dilaksanakan sekarang juga, Presiden menyatakan, itu hanya mimpi, omong kosong  dan menipu diri sendiri. Kita harus mengatakan yang sebenarnya kepada rakyat bahwa untuk mencapai masyarakat adil dan makmur diperlukan beberapa tahapan.

Dalam kesempatan lain pada peringatan Hari Ibu di Istora Senayan, Jumat 22 Desember 1972, berbicara tanpa teks lagi dengan diawali humor tentang peranan pria dan wanita, Presiden kemudian secara serius mengungkapkan kekesalannya karena di tengah-tengah usaha pemerintah melakukan pembangunan, ada suara-suara yang mengatakan seolah-olah pembangunan itu hanya untuk segolongan kecil yang ekonominya kuat. Hal itu tidak benar. Kalau dikatakan kemelaratan masih ada, tidak ada yang dapat membantahnya. Tapi janganlah dikatakan bahwa pembangunan sekarang ini memberatkan rakyat.

3.   Tentang  Selir dan Komisi Ibu Tien. Dalam sambutan pada Hari Ulang Tahun Korps Baret Merah Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha), 16 April 1980 di Cijantung, Jakarta, Pak Harto setelah berbicara panjang lebar mengenai tekadnya buat mempertahankan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945, kemudian menanggapi isyu-isyu yang dinilainya sudah tidak pada tempatnya lagi.

Mereka, katanya, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. “Tidak hanya  sekedar mendiskreditkan pemerintah, pejabat-pejabat, tetapi akhir-akhir ini pula bahkan kemarin saya bertemu dengan kolega saya saudara Kusno Utomo, juga telah mendengar isyu-isyu yang sebetulnya tidak pada tempatnya yang ditujukan kepada saya, juga kepada isteri saya, Bu Harto. Selalu diisyukan bahwa isteri Soeharto menerima komisi. Menentukan kemenangan tender, yang seolah-olah jalan Cendana itu sebagai Markas Besar untuk menentukan kemenangan tender dan komisi dan lain sebagainya. Yang sebenarnya tidak terjadi sama sekali keadaan demikian.

Jangankan memikirkan itu, waktu untuk memikirkan kegiatan-kegiatan sosial sajasudah tidak mencukupi. Dan bahkan akhir-akhir ini sampai juga ditujukan kepada saya, yang sudah diisyukan di kalangan mahasiswa dan juga di kalangan ibu-ibu yang biasa mudah untuk sampai ke mana-mana. Satu isyu kalau saya ini katanya mempunyai selir, mempunyai simpanan salah satu dari bintang film yang terkenal yang dinamakan Rahayu Effendi. Ini sudah lama bahkan sekarang ini juga dibangkitkan kembali hal itu. Padahal kenal, berjumpa saja tidak. Tapi sudah toh dilontarkan isyu itu.”
      
Pak Harto melanjutkan, apa maksud semua itu? Tiada lain karena mereka menilai ia sebagai penghalang utama kegiatan politik mereka. Mereka lupa seandainya bisa meniadakan dirinya, akan muncul pengganti yang melebihinya, warga negara, prajurit-prajurit ABRI termasuk dari Korps Kopassandha Baret Merah yang akan menghalangi usaha mereka mengganti Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. (buku “Memori Jenderal Yoga”, oleh B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, penerbit Bina Rena Pariwara – 1991).BERSAMBUNG.