Sabtu, 20 Agustus 2011

MASIHKAH ANDA, SAYA + KITA SEMUA MEMILIKI KEPEDULIAN SOSIAL & DAYA KRITIS?


Harian Kompas hari ini, Senin 15 Agustus 2011 di halaman 25, sebanyak separuh halaman memberitakan kisah tragis bunuh diri sepasang suami isteri di Bekasi, lantaran tidak kuat menahan kemiskinan yang mendera keluarganya. Menyertai berita tersebut juga diturunkan ulasan para pakar ilmu sosial dan psikologi mengenai fenomena sosial masyarakat kita, yang menyebabkan maraknya kasus bunuh diri.

“Anak-anakku sayang, maafkan Bapak sama Mama sudah pergi. Tolong jagain adik-adik. Ada uang tigaratus ribu di Yoman. Cinta sejati” Itulah isi surat wasiat Kaepi (41) dan isterinya Yati Suryati (31) kepada tiga orang anaknya. Mereka bunuh diri dengan gantung diri tanpa busana Sabtu pagi (13/8). Kepala Kepolisian Sektor Bekasi Timur Komisaris Yana Darmayana mengatakan, tidak ditemukan tanda kekerasan pada kedua jenazah. Bahkan penyidik yakin,korban saling mencintai serta melakukan hubungan intim sebelum gantung diri.

Kaepi yang berasal dari Desa Tanjungsari, Kecamatan Binong, Kabupaten Subang itu Cuma bersekolah hingga kelas tiga SD, dan bekerja serabutan sebagai buruh kasar serta pengeruk puing di lahan bangunan baru. Sementara Yati isterinya, berasal dari Desa Kadungora, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, lulus Sekolah Menengah Pertama dan bekerja serabutan sebagai buruh cuci pakaian warga perumahan di Bekasi Jaya.

50.000 ORANG INDONESIA BUNUH DIRI SETIAP TAHUN.

Kasus Kaepi -Yati pernah dilakukan pasangan Samad - Titi yang gantung diri pada satu tali dalam keadaan berpelukan di Desa Sirnajaya, Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, 12 Mei 2007. Penyebabnya sama yaitu impitan kemiskinan.

Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya mendata, dalam kurun waktu Januari – Agustus 2011 ada 58 kasus bunuh diri yang 55 diantaranya gantung diri. Pada 2010, dari 176 kasus bunuh diri, 83 kasus adalah gantung diri. Menurut laporan Kompas, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005 melansir, sekitar 50.000 orang Indonesia bunuh diri setiap tahun.

Beberapa bulan yang lalu, hanya selang beberapa hari setelah berkobar Revolusi Tunisia yang disulut oleh peristiwa bunuh diri dengan bakar diri seorang pedagang keliling, di kawasan Menteng, kawasan hunian orang-orang kaya Jakarta juga terjadi perisiwa bunuh diri seorang ibu gelandangan yang tak tahan menderita sakit+kemiskinan. Tatkala peristiwa tersebut saya tulis di facebook, respon fesbuker tidak seramai dibanding posting-posting bercandaan. Itu pun bahkan sebagian “agak mencemooh”.

Ironis sekali, perstiwa bunuh diri akibat kemiskinan yang semakin marak di negeri yang mayoritas penduduknya mengaku mslim ini, justru terjadi di bulan suci Ramadhan dan hanya kurang empat hari sebelum kita memperingati 66 tahun Proklamasi Kemerdekaan.

Secara jauh ke depan, para Bapak Bangsa kita telah merumuskan cita-cita dan semangat kemerdekaan tersebut ke dalam visi dan misi, yang dituangkan dengan indah dan gambling ke dalam Mukadimah UUD 45, yaitu dengan kemerdekaan kita ngin mewujudkan Negara Bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat, yang rakyat dan masyarakatnya hidup adil makmur.

Demi muwujudkan visi tadi selanjutnya ditetapkan misinya yaitu: (1) membentuk suatu Pemerintahan Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. (2). Memajukan kesejahteraan umum. (3). Mencerdaskan kehidupan bangsa. (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Sebagai muslim, kita juga dipandu untuk menapaki kehidupan pribadi maupun bermasyarakat dengan akhlakul karimah, misalkan mengingatkan janganlah kita tidur nyenyak dengan perut kenyang, bahkan janganlah pergi berhaji, sementara ada tetangga kita yan g kelaparan. Juga betapa berat tanggungjawab seorang pemimpin masyarakat, pemimpin negeri yang tidak bisa mewujudkan keadilan, yang hidup enak-enakan sementara masih ada rakyatnya yang hidup dalam kemiskinan. Lha ini para pemimpin kita, rambutnya makin kelimis, badannya makin tambun, pipinya montok-montok bagai buah apel, bajunya selalu berganti baru dalam setiap pemunculan ke publik, dan sering heboh memperjuangakan kenaikan gajinya?

Padahal Rasulullah, Kanjeng Nabi Muhammad Saw perutnya kempes dan untuk menutupi dari pandangan sahabat-sahabatnya terpaksa harus diganjal batu; tidurnya hanya beralasakan tikar dari pelepah kurma dengan bantal dari kulit binatang berisi serabut kurma, sehingga para sahabatnya iba serta membujuknya untuk menyediakan kasur yang empuk, namun ditolaknya. Rasulullah juga tidak menyimpan sesuatu harta benda berharga dan makanan untuk esok hari bagi diri dan keluarganya. Sedangkan sekarang, berlomba-lomba korupsi demi simpanan tujuh turunan.

Demikan pula sahabat-sahabatnya. Para Khalifah Empat yang termasyhur, hidup hanya dengan dua lembar pakaian yang penuh tambalan, makan roti dari tepung kasar yang diolesi minyak dengan alasan solider terhadap rakyatnya yang masih dalam taraf kehidupan seperti itu. Bahkan, Khalifah Umar harus memaksakan dirinya memanggul sekantong gandum serta memasakkan sendiri untuk satu keluarga miskin yang dijumpainya, sebagai bentuk hukuman atas dirinya sendiri selaku Kepala Negara yang tidak bisa menyejahterakan rakyatnya. Sementara dia sedang meniup api agar tungku terus menyala sehingga mukanya penuh abu, Si Ibu yang dimasakkan, yang tidak tahu siapa diri Umar yang sesungguhnya, mencela kepemimpinan Umar yang membiarkan atau tak peduli keluarga Si Ibu hidup miskin.

Kita tentulah tidak menuntut Presiden, para Menteri , para elite dan keluarganya hidup spartan persis seperti Rasulllah dan para sahabatnya. Kita juga tidak menuntut agar orang Indonesia jangan pergi haji atau umroh selama di Iindonesia masih banyak orang miskin. Tapi marilah kita galang kepedulian sosial dan daya kritis kita, menyikapi fenomena kemiskinan struktural yang menyebabkan kasus-kasus bunuh diri itu. Marilah bagi yang muslim, kita berjuang meneladani setahap demi setahap semangat kepedulian serta kesederhaan sunah Rasul tersebut.
Bagi seluruh warga bangsa, marilah kita bangun daya kritis kita agar cita-cita dan semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sungguh-sungguh dapat diwujudkan, dan jangan puas hanya sekedar merayakan dengan lomba lari karung, makan krupuk atau panjat pinang. Sungguh, bukan itu tujuan serta esensi Kemerdekaan.

Tapi ngomong-ngomong nanti sore buka puasa apa kita? Kolak, bubur kampiun, kurma impor, pastel, kroket, pidza, teramizu, kambing guling, bebek goreng, sirlon steak, sapi lada hitam dan tim ikan sebelah? Subhanallah, maasyaa Allaah. (B.WIWOHO).

(Gbr : Orang Gantung Diri dari Google Images)

Minggu, 14 Agustus 2011

RELAKAH KITA DIPIMPIN PARA PEMBOHONG?

Sidang-sidang Pansus Hak Angket DPR tentang BC (Pansus BC), terus secara telanjang mempertontonkan kebohongan-kebohongan publik dari sejumlah pejabat tinggi dan atau mantan pejabat tinggi negara, antara lain Jusuf Kalla dan Susno Duadji versus Budiono, Susno versus Sri Mulyani. Sementara publik alias rakyak nrimo, diam saja membiarkan kemungkaran itu berlangsung. Bahkan para ulamanya pun belum terdengar
pendapat apalagi fatwanya.

Ustadz Abah Thoyib dari Semengko, Mojokerta mengajarkan, “Kalau mencari staf, teman dan anak buah, pertama-tama carilah yang jujur , bukan yang pinter. Kedua, cari yang jujur sekaligus pinter, bukan semata-mata pinter. Karena kejujuran akan mendatangkan hidayah, ridho dan berkah. Sebaliknya orang pinter yang tidak jujur hanya akan mendatangkan azab. Pinter yang keblinger, hanya akan ‘minteri’ alias memperalat rakyat.”

Para pejabat Negara itu dilantik dengan mengangkat sumpah dan janji atas nama Allah Swt. Demikian pula sebelum memberikan keterangan di Pansus BC. Bahkan sewaktu di Pansus ada yang sambil terus memegang tasbih. Siapakah diantara mereka yang berbohong dan siapakah yang jujur? Pasti tidak semuanya pembohong dan tidak semuanya jujur. Tapi ada yang jujur sebaliknya ada pula yang pembohong.

Beberapa bulan yang lalu tatkala “Kasus Cicak vs Buaya” merebak, saya sudah mengulas berbagai kontroversi dan versi sumpah masing_masing tokoh publik. Di dalam sejarah dan hukum Islam, dua kelompok atau orang yang berbeda pendapat tentang sesuatu hal, dan tidak memungkinkan adanya saksi atau kalau pun ada tidak diterima pihak lain karena beda keyakinan, maka kedua pihak tersebut dapat bersama-sama melakukan mubahalah.

Dasar hukum mubahalah adalah firman Allah Swt dalam Surat Ali Imran ayat 61 yang artinya: “ Maka barangsiapa membantahmu tentang itu, sesudah datang pengetahuan kepadamu, katakanlah (kepada mereka): Marilah kita ajak anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, kaum kami dan kaum kamu, kemudian kita berdoa agar Allah menjatuhkan laknat kepada orang-orang yang berdusta.”

Dalam riwayat, Kanjeng Nabi Muhammad pernah dua kali menantang mubahalah terhadap penentangnya dengan mengikutkan orang-orang yang dicintainya yaitu Ali, Fatimah serta Hasan dan Husin dalam sumpah. Ternyata lawan-lawannya tidak ada yang berani diajak bermubahalah.

Di kalangan masyarakat Islam Kejawen, sumpah seperti itu dikenal sebagai “Sumpah Pocong” dan dilakukan secara khidmat di hadapan orang banyak sebagai saksi, sementara kedua orang atau kelompok yang bersumpah dikafani atau dipocong bagaikan jenazah.

Kini kita kembali menghadapi kebohongan publik dari pejabat atau mantan pejabat tinggi negara yang menyangkut uang yang amat sangat besar yaitu Rp.6,7 triliun. Padahal dalam kehidupan politik, terutama di negara yang menjunjung tinggi demokrasi, kebohongan publik merupakan kejahatan yang paling diharamkan.

Indonesia bukan hanya sekedar negara demokratis, tapi juga negara berketuhanan yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang sangat mengutamakan kejujuran. Tetapi mengapa kita semua diam saja? Tidak berani menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran? Ataukah kita ini memang sudah benar-benar hidup dalam “Republik Mimpi”? Kalau begitu, ya seperti saya kemukakan minggu lalu, kita bawa saja bapak dan ibu kita tersebut: Jusuf Kalla, Susno Duadji, Budiono dab Sri Mulyani ke hadapan para master hipnotis seperti Uya Kuya dan Rommy Rafael dan kawan-kawan. Biarlah para master hipnotis itu yang menyelesaikan dalam suatu mega-infotemen yang disiarkan secara langsung oleh media massa termasuk televisi, agar disaksikan oleh lebih duaratus juta rakyat “Republik Mimpi”. Masya Allah. (Jatipadang, 21 Januari 2010).
· · Share · Delete

    • Ayyub Rachmayadi Pansus kok hanya debat saja ya, mana hasilnya?...tidakkah para pejabat itu ingat akan firman Gusti Allah, "Janganlah kalian menjadi penentang orang yg tidak bersalah krn membela orang yg berkhianat..., dan jgn pula kamu berdebat untuk membela orang yg mengkhianati dirinya" (QS 4: 105-107).
      January 25, 2010 at 10:34am ·
    • Bambang Wiwoho ‎@Gus Ayyub: Masya Allah.... laa quwwata illaa billaah....
      January 26, 2010 at 9:45am ·

100 HARI SBY - NAPOLEON - ROOSEVELT

Dalam 5 tahun terakhir ini kita sering mendengar istilah Program 100 Hari SBY. Dari mana istilah ini? Ternyata istilah ini berasal dari Jenderal Perancis yg amat terkenal yaitu, Napoleon Bonaparte. Begitu ia dapat meloloskan diri dari pengasingannya di Pulau Elba Maret 1815, ia merancang program perang 100 hari.

Dalam kemiliteran, program perang harus dirancang secermat mungkin, karena menyangkut banyak aspek dan jiwa manusia. Napoleon boleh merencanakan, tapi Gusti Allah yang menentukan. Di tengah cuaca Eropa yg mulai nyaman itu. Tuhan Sang Maha Sutradara punya skenario lain, yaitu memerintahkan balatentaranya dari kepulauan Nusantara, Gunung Tambora, agar meletus sedahsyat-dahsyatnya. Maka selama periode 10 – 15 April1815 Tambora meletus, dengan puncak letusan pada 12 April 1815. Inilah menurut para ahli, letusah terdahsyat selama 10.000 tahun, empat kali lipat dari letusan Gunung Krakatau. Letusan ini menimbulkan gempa vulkanik sebesar 7 SR serta memuntahkan asap pekat setinggi 43 km. Akibatnya selama tahun 1816 terjadi dunia tanpa musim panas. Di seluruh dunia matahari tertutup, bahkan di sebagian Eropa curah hujan dingin hampir berlangsung sepanjang tahun.

Bagi Jenderal Napoleon, sungguh itu merupakan bencana. Prajuritnya yg sedang bergerak dalam Pertempuran Waterloo, menjadi tak berdaya, sehingga akhirnya pada 18 Juni 1815 ia kembali tertangkap. Bagitulah, Program Perang 100 Hari Napoleon, dikalahkan sesungguhnya bukan oleh tentara Inggris dan Rusia, tapi oleh Balantera Allah dari Nusantara.

Tokoh dunia berikutnya yang menggunakan istilah Program 100 Hari adalah Presiden Amerika Serikat ke 32: Franklin D. Roosevelt, dikenal dengan FDR. Apakah FDR sedang menghadapi situasi perang? Jawabnya ya. AS tengah menghadapi perang besar dibidang sosial ekonomi, “Great Depression”, yang mengancam kehidupan rakyat dan bangsanya. Demikianlah, pada tahun 1933, dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden, ia melancarkan program-program pemulihan situasi, agar AS keluar dari jurang resesi dengan melakukan reformasi ekonomi, sosial dan politik.

Apakah Program 100 hari yang kemudian dikenal sebagai New Deal, segera dapat mengentaskan AS dari resesi besar? Tentu saja tidak. Program 100 Hari FDR dipakai pertama-tama untuk mengokohkan kepemimpinannya, menggalang dukungan rakyat, menegakkan disiplin masyarakat, membangun harapan dan membuat 15 Undang-Undang
yang akan dijadikan sebagai arah dan pedoman bergerak bersama keluar dari jurang resesi.

FDR yang fisiknya lemah karena terserang folio pada tahun 1921, ternyata berhasil membawa negara raksasa AS mengalahkan “Great Depression”, dengan melancarkan program-program penghematan nasional yang dimulai dari atas, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan harga-harga produk pertanian, meningkatkan daya beli rakyat, membangun infrastrukstur dan menghentikan spekulasi pasar uang. Semboyannya yang amat terkenal adalah: “ Action now. We must act and act quickly.” Model Program 100 Hari ini selanjutnya dipakai oleh Presiden-Presiden AS berikutnya sampai dengan Obama sekarang.

Bagaimana SBY. Tatkala pada masa Kepresidenannya yang pertama tahun 2004 ia mengumumkan Program 100 Hari, saya sungguh terkejut. Perang apa gerangan yang hendak dia lancarkan? Siapa musuhnya? Globalisasi, Neolib, kemelaratan, kesenjangan sosial, mafia hukum ataukah masa lalu? Bukankah SBY adalah produk masa lalu? Taruna militer yang dididik dan dibesarkan oleh Orde Baru? Menjadi salah satu tokoh kunci dalam Kabinet-Kabinet Orde Reformasi? Ataukah retorika ala AS semata-mata? Hanya beliau dan Gusti Allah yang tahu. Tapi yang jelas, situasi yang dihadapinya selaku Presiden adalah situasi produk masa lalu dimana beliau bersama para pembantu dekatnya juga berasal mula.

Kini dalam masa jabatannya yang kedua, SBY bersama sejumlah arsitek kepercayaannya selama lebih 5 tahun terakhir, kembali melancarkan Program 100 Hari. Saya berprasangka baik saja, dengan berharap, karena sebelumnya banyak kecaman terhadap langkah-langkah kebijakan yang dianggap neolib, SBY akan seperti FDR, memberikan keteladanan dalam penghematan nasional serta melakukan perombakan besar terhadap sejumlah Undang-Undang produk Orde Reformasi yang pada hematnya saya, telah menempatkan Indonesia pada Gelombang Liberalisme III. Gelombang Liberalisme I berlangsung pada tahun 1870 – 1900, Gelombang Liberalisme II adalah
periode Orde Baru.

Gelombang Liberalisme III menurut saya lebih mengerikan dibanding dua gelombang sebelumnya. Karena tekanan kapitalisme global dengan strategi globalismenya, para elit Orde Reformasi telah membuat beberapa UU dan kebijakan yang bertentangan dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, bahkan menyerahkan begitu saja tanah air (bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk air tanah) pada cengkeraman neoliberalisme dan globalisme serta takluk pada instrument mekanisme pasar bebasnya.

Hal ini mengakibatkan negara tidak cukup lagi memiliki kuasa atas pengelolaan kekayaan kita yang melimpah, dan telah mulai mengakibatkan perusakan serta eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan kekuatan modal semata-mata.

Saya boleh berharap dari Program 100 Hari SBY. Tapi entah ini kehendak Gusti Allah atau kebetulan (tapi adakah kebetulan secara ilmu fikih?), harapan saya telah dibuyarkan oleh Kasus Bibit – Chandra, Kasus Bank Century, pembelian mobil mewah untuk para menteri, renovasi pagar Istana, renovasi rumah dinas DPR hampir sebesar Rp.1milyar,- per rumah, pembelian komputer anggota DPR Rp.20 juta per orang, rencana pembelian pesawat terbang Kepresidenan dan kenaikan gaji pejabat negara.
Duuuhhh Gusti……..

01/02.2010. (B. Wiwoho)
· · Share · Delete

    • Nurmimi Tjunty Velley's
      ya wong pada goleke pangan ....he he he he...Ngono yo ngono, nek ojo ngono. Bagaimanapun aku tetap resfek sama Pak Harto yang sangat menjaga hati rakyat dari sisi jurang pemisah antara siakaya dengan simiskin, bahkan keberadaan mobil mewah di Indonesia kerika itu sangat dibatasi agar tak mencolok mata. Kenapa SBY gak gitu ya, padahal dia kan muridnya Pak Harto juga, jangan2 orang seputar dia (ring satu) nih mau ngehancurin dia???
      February 2, 2010 at 3:11pm ·
    • Imam Baskoro M Terima kasih Pak Wi.
      February 2, 2010 at 4:13pm ·
    • Nasional Demokrat Di saat seperti ini kita makin rindu (sekadar tebakan- red) dengan almarhum Soeharto dan Mubyarto dengan ekonomi Pancasilanya.....
      February 2, 2010 at 9:53pm ·
    • Bambang Wiwoho
      ‎@ Bung Akbar, mas Wahyudi & mas Imam, trims perhatiannya.
      @ Nasional Demokrat, betul. Sehari sebelum masuk Rumah Sakit dan kemudian wafat, alm pak Muby masih sempat hadir dlm diskusi kami memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Dlm kesempatan itu beliau (juga alm Pak Ruslan Abdulgani dan alm Juanda) kesal sekali dengan keadaan kita sekarang. Menurut beliau, Indonesia kini sudah terjajah kembali dengan penjajah yg jauh lebih kejam dr Belanda dulu.Harapan kita, Nasional Demokrat bisa membangkitan semangat perlawanan rakyat mematahkan belenggu penjajahan "neolib", karena : Matahari di Timur mulai bercahya!!!
      February 3, 2010 at 7:57am ·
    • Hendy Hendro manusia boleh berencana, tapi Allah Swt yg menentukan .. suara rakyat adalah suara Tuhan ...
      February 3, 2010 at 1:59pm ·
    • Bambang Wiwoho Bung Hendy betul, suara rakyat suara Tuhan. Tp rakyatnya juga harus berusaha bangkit sendiri memperbaiki keadaan, dan jangan jadi rakyat yg munafik, krn itu justru dibenci Tuhan. Mari kita saling mencerahkan.Salam.
      February 3, 2010 at 3:22pm ·
    • Sukmadji Indro Tjahyono Ternyata yang dipidatokan oleh SBY di istana Bogor bukan program 100 hari seperti yang dijanjikan pada awal pelantikannya. Itu program 460 hari. Hayo jangan bohong lagi, nanti hidungmu tambah panjang.
      February 3, 2010 at 6:28pm ·
    • Bambang Wiwoho Kalau begitu bawa boneka Pinokio????? Nanti dipakai nyantet?
      February 3, 2010 at 8:42pm ·
    • Akmal Adji Kurniawan
      Hidup penuh warna & begitu indah. Sayang bila terbuang sia hanya terfokus pada satu soal. Hari ini tak akan kembali. Biar tak terbuang, manfaatkan sebaik mungkin dg hal2 yg positif & bermanfaat buat diri, keluarga, masyarakat & bgs ini. Terkait 100 hari SBY, itu program pemerintah sbgai pengantar kinerjanya 5 tahun kedepan. Biarkan mereka bekerja, biarkan pula tim/pihak lain mengurus kasus2 yg berwarna. Kita pun jgn buang waktu, tetap poiduktif dg pekerjaan dan skill kita. Jgn buang energi...masih byk hal positif yg msh bisa kita kerjakan untuk mbangun bgs & negara ini.......
      February 4, 2010 at 12:26pm ·
    • Bambang Wiwoho Allah Swt tdk akan mengubah nasib sesuatu kaum, jika kaum tsb tdk berusaha sendiri untuk mengubahnya. Dmkn pula Islam menyuruh ummatnya untuk amar ma'ruf nahi munkar. Lha kalau kita cuma permisif + nrimo, mana mungkin negeri ini baik dan maju?
      February 11, 2010 at 3:20pm ·

KEPEMIMPINAN SBY CERMINAN RAKYATNYA

Ada nasihat dari seorang ulama sekaligus filsuf, pemikir dan konseptor besar Al Ghazali (1058 – 1111M) tentang pemimpin dan rakyatnya, yang relevan dengan keadaan kita sekarang, yaitu: “Pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya”. Ini sejalan dengan nasihat leluhur kita dulu yang menyatakan, pemimpin para harimau adalah harimau; pemimpin para monyet adalah monyet; pemimpin para kerbau adalah kerbau.
Almarhumah ibu saya sering membuat tamsil serta penjabaran yang mudah atas nasihat tadi, dengan mengatakan: “ Burung emprit berkumpul dengan sesama emprit. Burung gagak sesama burung gagak. Rajawali berkumpul dengan sesama rajawali. Demikian pula para emprit dipimpin burung emprit, para rajawali dipimpin rajawali. Tidak mungkin para emprit dipimpin rajawali atau sebaliknya.”
Demikianlah, ibu mengajarkan dua hal dari tamsil di atas. Pertama, makna yang tersurat sebagaimana adanya. Kedua, makna yang lebih luas dan dalam. Manusia adalah makhluk utama, yang dilahirkan bagaikan kain putih bersih. Kehidupannya di kemudian hari bak lukisan yang ditorehkan oleh orang tua-guru-masyarakat dan dirinya sendiri di atas kain putih tersebut. Lukisan itu bisa bergambar harimau, rajawali, gagak, emprit atau kerbau. Karena itu kalau kita ingin menjadi rajawali, goreskanlah rajawali. Tempalah diri kita menjadi rajawali, dan bergaulah dengan para rajawali, bukan dengan kerbau, gagak apalagi emprit. Ini sejalan dengan nasihat Kanjeng Nabi Muhammad, kalau ingin bau wangi maka bergaulah dengan pembuat atau penjual minyak wangi. Sedangkan jika dengan pandai besi maka badan kita akan bau asap dan jelaga besi.
Mengenai tamsil burung gagak berkumpul dengan sesama gagak, dimaksudkan agar kita bisa menilai sesorang dari teman bergaulnya, dari kawanannya. Setiap jenis, mencari teman sejenisnya. Maka jangan heran jika punya kenalan yang berwatak tidak terpuji, sudah bisa dipastikan sebagian besar teman bergaul kenalan tersebut adalah orang-orang yang berwatak tidak terpuji. Teman main penjudi adalah penjudi. Teman pembual adalah pembual.
Nah, kini Indonesia memiliki pemimpin yang oleh banyak pengamat dinilai peragu dan cengeng bahkan nyinyir plus sejumlah hal buruk lainnya.. Sebetulnya penilaian ini juga bak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Muka kita semua.
Bulan lalu, sahabat saya Beta Ketaren menulis di fesbuk grup Forum Studi Nusantara Raya, “Tujuh Ciri Budaya & Karakter Bangsa Indonesia”, dengan mengutip pandangan tokoh pers almarhum Mochtar Lubis yaitu: (1) hipokrit, (2) enggan bertanggungjawab bahkan suka mencari kambinghitam, (3) feodalis, (4) percaya takhayul, (5) artistik dan dekat dengan alam, (6) berwatak lemah, kurang kuat mempertahankan pendapat dan suka meniru, (7) kurang sabar, cepat cemburu dan dengki.
Dalam buku “Pengembaraan Batin Orang Jawa Di Lorong Kehidupan”, saya juga banyak menulis mengenai pengalaman hidup saya, dan dalam hal pergaulan sosial serta karakter bangsa, kesimpulan saya sebagian sama dengan Mochtar Lubis. Orde Baru di samping menghasilkan sejumlah keberhasilan, ternyata juga telah mengabaikan pembangunan karakter bangsa, bahkan mengobarkan nilai-nilai materialisme, hedonis-individualis yang menggilas-meluluhlantakkan nilai-nilai idealis. Hasilnya adalah manusia-manusia (insya Allah tidak semua) yang oportunis, munafik, tidak peduli halal haram, mau cepat dan enaknya sendiri, melupakan budi luhur tapi juga suka opera sabun yang dangkal. Uniknya, secara umum masyarakat kita masih tetap masyarakat yang soft-culture, yang lembek, nrimo sekaligus juga suka ngegrundel di belakang. Kalau hanya soal ekonomi, kelaparan, dibohongi atau nggak diurusin Pemimpinnya, jangan harap masyarakat menjadi marah dan mudah dihasut. Tapi kalau soal ketidakadilan dan kezoliman, lebih-lebih harga diri, suku dan agama, awas hati-hati, mula-mula bisa keluar kata-kata: “ora pateken (nggak bakal kudisan)”. Namun jika berlanjut, maka bisa menimbulkan amuk massa yang mengerikan. “Sedumuk batuk senyari bumi, tak labuhi pecahing dada wutahing ludiro (jika menyangkut penghinaan dan harga diri, rela dada pecah dan darah tumpah)”. Naudzubillah.
Marilah kita jujur, mawasdiri mengakui segala kelemahan kita, karena yakinlah, kita juga masih punya sejumlah nilai positif yang jika dibangkitkan, akan membuat kita menjadi bangsa yang besar, sejahtera-jaya-sentosa. Dengan memahai kelemahan, kekuatan, ancaman dan peluang kita, Allahuma amien, kita bisa mengobati penyakit sosial-budaya kita, memperbaiki kelemahan dan menggalang kekuatan guna merebut peluang masa depan nan gemilang.
Kembali tentang halnya kepemimpinan nasional dewasa ini, yaaa begitulah adanya. Para emprit akan dipimpin emprit. Para rajawali dipimpin rajawali. Para kerbau? Ya dipimpin kerbaulah. Mosyok mau dipimpin macan atau rajawali, ya mustahil. Karena itu kalau ingin dipimpin macan, marilah kita bersama-sama memperbaiki diri, bermetamorfosa bagai ulat menjadi kupu-kupu, meninggalkan ciri kerbau yang kata Pak SBY, gemuk, bodoh dan lamban, menjadi harimau yang atletis, cekatan dan garang. Mumpung sekarang masuk tahun macan, mengaumlah sekuat-kuatnya wahai macan-macan Indonesia Raya! Amin. (B.Wiwoho, 04/02.2010).
· · Share · Delete

    • Soemantri Hassan jadi malu...hiks...hiks
      February 4, 2010 at 3:05pm ·
    • Wahyudi Hr Pak wi, kalau sudah seperti itu, akhirnya untuk meneteramkan hati kita masing-masing adalah mawas diri sekaligus introspeksi diri. Kalau kita beragurmen terus tak akan ada yang mampu berpikir jernih, sama halnya ketika kita berdebat mana yang lebih dahulu telur atau ayam
      February 4, 2010 at 4:59pm ·
    • Hendy Hendro beberapa studi mengatakan ... negara2 yg masih terbelakang & berkembang cenderung dipimpin oleh militer atau mantan militer ..negara2 maju sebagian besar dipimpin oleh sipil ..sebenarnya Gus Dur sudah mendobrak tradisi kepemimpinan di Ind dg ..membubarkan dwi fungsi ABRI .. ABRI must go to barrack ... eeee ..lha kok sekarang malah mbalik lagi .....
      February 4, 2010 at 7:39pm ·
    • Ronggeng Jaya Manggilingan tulisan yang inspiratif dan motivatif. Mari kita mengaum seperti macan. Dan terima kasih kirimannya mas.
      February 4, 2010 at 9:09pm ·
    • Soemantri Hassan
      guru ngaji saya bilang tingkat rasionalitas tertinggi adalah irasionalitas,karena ada fenomena dan nomena menginsafi Imannuel Kant, maka melihat kesemrawutan ini perlu ketenangan. Pemimpin harus bisa mengangkap gejala-gejala baru dalam masyarakat, seperti Gus Dur.JUJUR dan JENAKA saja, bukan pada tempatnya pemimpin berkeluh kesah namun abai dengan isi dari gejala-gejala itu. Gejala itu ANGGGAPAN UMUM TENTANG KERBAU. Piss ahh
      February 4, 2010 at 9:17pm ·
    • Nurmimi Tjunty Velley's
      Perenungan sejatinya diawali dialog bathin yang netral. Sesungguhnya orang yang suka menghinakan, tak lebih mulia dari orang yang dihinakan. Saya kok lebih suka hidup di negara antah berantah: penduduknya hidup rukun dan damai, bicara santun dan sangat tenggang rasa.Tirani minoritas, tak serta merta membuat mayoritas penduduk negeri antah berantah merasa menyerupai permisalan yang keliru dari kaum yang tersisihkan. Sudah menjadi sifat banyak orang memang, saat kepentingannya merasa terusik, atau terabaikan, maka subjektifitasnya akan lebih menonjol dari objektivitas yang sebenarnya ada dalam dirinya.Tapi hidup akan terus berjalan, suka atau tidak suka seorang pemimpin tetaplah orang yang diutamakan, dia bisa sampai ke kursi kepemimpinannya tak semata karena mayoritas rakyat di negeri ini menilai dia memang pantas jadi pemimpin, tapi juga ada RAHASIA ILAHI dibalik itu semua. Kenapa Orang Buta bisa dipilih, kenapa pilihan jatuh kembali pada pensiunan tentara, kenapa sipil tak bisa langgeng, pasti ada rahasia dari semuanya itu yang hanya bisa dilihat dengan kacamata hati yang bersih, tawadu'. Sejatinya agama itu mengajarkan kita melalui petunjuk tertulis (Al Qur'an, Al Kitab, Taurat, Zabur dsbnya),selain itu juga dengan ayat2 yang tertulis, kejadian sekitar kita, tanda2 alam. Bahkan trend yang ada di masyarakatpun umumnya ingin menunjukkan tentang: Ini gejala apa??? maka benarlah pertanyaan yang banyak dimuat dalam Al Qur'an: Menagapa kamu tidak berpikir? Sinkronkan logika dengan jiwa, maka insyallah kita tak terbawa arus yang tanpa diundang terkadang suka menyeret-nyeret kita ke arah yang tak jelas, salam!
      February 4, 2010 at 11:11pm ·
    • Sukmadji Indro Tjahyono
      Yang penting sebenarnya pemimpin yang muncul dari kancah perjuangan rakyat dalam mencapai hakekat kehidupannya. Bukan pemimpin yang merengek dukungan karena "didzalimi" atau minta dikasihani.Dominasi kapital pada media massa memang dapat mencetak pemimpin2 yang setelah memegang tampuk kekuasaan bersikap anti rakyat. Inilah bentuk dari politik media massa dalam memformat kekuasaan dengan cara sekenanya. Mereka menginginkan kekuasaan yang akomodatif terhadap kepentingannya.
      February 5, 2010 at 4:57am ·
    • Bambang Wiwoho Komentar2 yg saling memperkaya, shgg tdk perlu dikomentari balik. Terima kasih semuanya.
      February 6, 2010 at 1:30pm ·
    • Tashudi Yanto
      ‎: Ada beberapa kemungkinan seseorang diangkat jadi PEMIMPI(N)--terlepas apakah dia jadi PEMIMPIN KARENA CURANG DALAM PILPRES atau karena dia itu JUJUR & AMANAH sehingga rakyat memilihnya. <i>Pertama</i>, PEMIMPIN SEBAGAI COBAAN/UJIAN baik bagi pribadinya sendiri (misal, apakah dia amanah, jujur, ikhlas, dan adil) maupun juga bagi rakyatnya (misal, apakah rakyat mampu sabar dan tahan dengan kemiskinan, kelaparan, nganggur sampai mati, dst). <i>Kedua</i>, PEMIMPIN SEBAGAI BERKAH di suatu negara sehingga rakyatnya hidup makmur, sejahtera, damai, berkarya dalam suatu <i>baldatun thoyyibatun wa robbun ghafour</i>... Nah, melihat kenyataan di negara kita, ada BATITA DIKURUNG DI RUMAH PETAK SELAMA 5 HARI GAK MAKAN, ADA KOIN PRITA, ADA KOIN BILQIS, ADA KOIN SINAR, maka Presiden SBY itu masuk pemimpin yang mana, ya?
      February 6, 2010 at 2:18pm ·
    • Bambang Wiwoho Mas Tashudi, skrg org banyak ngomong etika sampai2 subsantsi dikalahkan. Apakah mereka sendiri scr pribadi sdh punya etika yg baik? Sy kok ragu. Apalagi ttg kritik dan pertanyaan yg berestetika, apa pula ini????? Naudzubillah.
      February 7, 2010 at 8:21am ·
    • Tashudi Yanto
      ‎: Saya lihat di kehidupan bernegara kita saja, semoga saya salah total, terutama para "elite"-nya, agama (al-dien) yang dianut tidak lagi menampakkan adanya kandungan "al-akhlaq" -- yaitu hatinya terguncang karena ada di antara RAKYAT yang dipimpinnya BUNUH DIRI KARENA DUITNYA DIRAMPOK OLEH BANK CENTURY, BUNUH DIRI KARENA TERLIBAT RENTENIR, ada RAKYAT-nya yang membiarkan anaknya dikunci & tidak makan berhari-hari karena miskin & nganggur, dst. -- dan apalagi aspek "ketuhanan" -- yaitu hatinya takut kepada Allah karena sebagai PEMIMPIN NEGARA pasti diminta pertanggung-jawabannya! Lho, ini ORANG BAWA KERBAU MALAH JADI ISU NASIONAL?!!! Apa masalah anak-anak yang dibiarkan lapar selama berhari-hari bukan masalah nasional? Berapa juta anak-anak mengalami KEKERASAN EKONOMI, SOSIAL, BUDAYA, karena orangtua mereka miskin & nganggur?!!! Bukankah ini KEKERASAN NEGARA TERHADAP RAKYAT-nya??? Di mana rasa kemanusiaanya sebagai PEMIMPIN NEGERI ini...?!!! Astaghfirullah...!!!
      February 7, 2010 at 10:47am ·
    • Bambang Wiwoho Ya, di mana etika dan tanggungjawabnya sbg pemimpin yang dibiayai oleh uang pajak dr rakyat tatkala membeli air mineral, mie instan, rokok, tahu-tempe + sejumlah PPN dll? Termasuk zolim apa ggak sih itu?
      February 7, 2010 at 1:40pm ·

Kamis, 11 Agustus 2011

AJAKAN PRESIDEN MENELADANI KANJENG NABI.


Untuk kesekian kalinya, Presiden SBY Sabtu siang (3 Juli 2010) dalam rangkaian ziarah di makam Kanjeng Nabi Muhammad Saw di Madinah, mengajak masyarakat meneladani Kanjeng Nabi. Presiden, para elite nasional dan para Kepala Daerah, seringkali mengemukakan ajakan tersebut tatkala memberikan sambutan pada peringatan Maulid Nabi dan Isra Mi'raj.

Sebagai rakyat, pada umumnya kita membaca atau mendengarkan ajakan itu bagaikan hembusan angin yang lewat tanpa kita maknai. Padahal, kita bisa menggunakan hak kita, minimal mengajukan persaksian kepada Gusti Allah Swt, terhadap ucapan para pemimpin tadi.Apakah mereka jujurdan tulus dalam mengungkapkan hal itu? Apakah mereka sudah satunya kata dalam perbuatan serta memberikan keteladanan lebih dulu? Apakah mereka sudah berusaha keras memberikan contoh meneladani cara kepemimpinan dan kehidupan Kanjeng Nabi? Hidup bersih, sederhana dan mengabdi? Jujurkah mereka? Amanahkah? Beranikan mereka menegakkan kebenaran dan memberantas kebhatilan? Hidup semata-mata dari gajinya? Memberantas (tanpa pandang bulu) korupsi yang dilarang Islam?

KAWAN-KAWAN FESBUKER, BAGAIMANA PENDAPAT ANDA? KETELADANAN RASULULLAH APA SAJA YANG PATUT DITELADANI TAPI JUSTRU DILANGGAR OLEH PARA PEMIMPIN KITA? (Seri KETELADANAN PEMIMPIN: 3/Forum Studi Nusantara Raya).
· · Share · Delete

    • Darmawan Sepriyossa Benar Pak Wi. Apalagi yang ditunggu beliau di akhir masa jabatan ini? Be brave to the grave...
      July 4, 2010 at 6:43pm ·
    • Mas Subagyo Eko Prasetyo-Satu Pemimpin itu : ucapan dan perbuatannya harus sama........
      July 4, 2010 at 11:32pm ·
    • M Rasyid Ridho ‎..Sungguh, telah datang kpdmu seorang rasul dr kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yg engkau alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yg beriman. ( At-Taubah : 128 )
      July 5, 2010 at 1:03am · · 1 person
    • Suhardi Arief Kalo punya Presiden BABI ya gitulah... !!!! BAnyak BIcara !!!! Kaburo maktan Indallah... Laknat Allah bagi orang yang mengatakan apa yang tidak dilakukannya !!!
      July 5, 2010 at 2:28am ·
    • Tashudi Yanto
      ‎: Kini keteladanan yang baik sudah langka diperlihatkan oleh para pejabat pemerintah, para ulama, tokoh masyarakat, dan termasuk para guru. Yang lebih banyak dipertontonkan oleh mereka adalah keteladanan yang buruk-buruk dan sikap penuh kepura-puraan. Akibatnya muncul sikap saling tidak percaya di antara rakyat dan pemerintah, atau juga sikap saling curiga sesama masyarakat. Hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah ini telah menenggelamkan optimisme terhadap kepemimpinan yang penuh citra palsu.
      July 5, 2010 at 7:36am ·
    • Adnan Balfas Bagaimana mau meneladani? agama sudah jadi dagangan dan tak lagi ada dalam kamus keseharian mereka. Hanya kebohongan setiap hari yang kita dengarkan, kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya.
      July 5, 2010 at 8:18am ·
    • Sukmadji Indro Tjahyono Nabi tidak pernah berbohong, karena kejujuran adalah keutamaan dan sumber kehidupan. Mnusia kebanyakan masih bersahabat dengan kebohongan dan ketidak-konsistenan antara uacapan dan perbuatannya.
      July 6, 2010 at 7:00am ·
    • Bambang Wiwoho
      ‎@ FTR @ Mas Djuyoto @ @ Bung Ridho: trims jempolnya.
      @ Darmawan: Muhun Kang, sebentar lagi Presiden SBY akan segera memasuki second term syndrom. Sebagian besar pembantunya sudah akan berlomba dan bersiap2 menghadapi Pemilu + Pilpres. SBY hrs berpacu dg waktu utk mengukir kenangan indah bagi bangsa n negaranya atau terus membiarkan semua tanpa arah spt sekarang.
      @Mas Subagyo : itu yg kita harapkan.
      @M.Rasyid Ridho: jangan melemparkan beban kpd orang lain dan lebih2 kpd rakyatnya ya?
      @ Suhardi: Naudzubillah.....
      @ Tashudi : pemimpin yg spt itu menganggap kekuasaannya sbg panggung dan rakyat sbg penonton. Dia menyanyi, menari, bersolek bak primadoa, menjadi tontonan dan bukan tuntunan.
      @Adnan: betul, satu kebohongan mudah memancing kebohongan2 yl.
      @ Sukmadji: Romo, mereka sdh mengajak meneladani Kanjeng Nabi. Mari kita jadi saksi dan memohon Allah keadilanNya. Amin.
      July 6, 2010 at 9:44am ·

ARAH EKONOMI MENGANCAN MASA DEPAN ANAK CUCU KITA.


Harian terkemuka, Kompas, tanggal 6 dan 7 Juli menurunkan laporan diskusi "yang mengagetkan" dari para pakar ekonomi dan pengusaha, baik yang sudah pada tingkat Begawan Ekonomi seperti Prof.Dr.Ali Wardhana dan tokoh-tokoh seangkatannya, maupun yang masih muda belia seperti Dr.Firmansyah dkk. Para tokoh tersebut, sebagian juga masih punya hubungan dekat -- pribadi, keilmuan + pekerjaan -- dengan arsitek-arsitek perekonomian Kabinet-Kabinet Orde Reformasi, termasuk Kabinet yang sekarang.

Para tokoh tersebut menyimpulkan, kondisi perekonomian nasional jangka panjang kian merisaukan. Program yang dijalankan dengan koordinasi yang buruk antar kementerian dan kepemimpinan yang lemah membuat roh pembangunan rakyat hilang. Jurang masyarakat kaya dan miskin pun melebar.
Pemerintah yang sejumlah menterinya adalah kader-kader arahan mereka, menurut mereka juga masih harus menuntaskan pekerjaan rumahnya dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dunia usaha masih menghadapi ekonomi biaya tingggi, infrastruktur belum memadai, keterbatasan pasokan energi, kebijakan pusat - daerah tidak sejalan. Bahkan lebih mengerikan lagi, mereka menilai, kebijakan ekonomi jangka panjang telah kehilangan panduan.
Nah lho. Kok baru sekarang bicara?
Kemana saja mereka selama ini? Ngapain saja mereka? Padahal banyak orang dan media massa telah menyuarakan hal tersebut tatkala Penguasa Orde Reformasi yang antara lain dimotori Amin Rais mulai mengobrak-abrik berbagai tatanan ekonomi melalui pembuatan berbagai Undang-Undang yang mengobral murah "tanah-air".

Karena tekanan kapitalisme global dengan strategi globalismenya, para elit membuat beberapa UU dan kebijakan yang bertentangan dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, bahkan menyerahkan begitu saja tanah air (bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) pada cengkeraman neo-liberal dan globalisme serta takluk pada instrumen mekanisme pasar bebasnya.

UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 20/2002 tentang Kelistrikan, UU 19/2003 tentang BUMN, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal serta berbagai peraturan lainnya misalkan penambangan di hutan lindung, membuat negara tidak cukup lagi memiliki kuasa atas pengelolaan (produksi dan distribusi) kekayaan kita yang melimpah.
Ini menyebabkan perusakan dan eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan kekuatan modal semata-mata, sehingga mengakibatkan gunung kita yang berfungsi sebagai paku bumi digempur, laut diaduk, pulau dikeduk, hutan dibabat, air tanah disedot tiada terkira.
Sungguh perusakan lingkungan yang luar biasa dan perekonomian yang tidak berkeadilan, tidak berkelanjutan, tidak seimbang dan tidak mandiri dan sekaligus benar-benar menjual tanah air (bahan galian dan air mineral) secara obral dan mentah-mentah tanpa diolah lebih dulu sebagai barang jadi.

Tak pelak lagi, cengkeraman kapitalisme global dan neo liberal bersama para kolaboratornya telah menempatkan Indonesia kembali dalam belenggu penjajahan gaya baru, yang jauh lebih kejam dibanding pejajahan Belanda di masa lalu. Ditambah wabah korupsi yang merajalela, telah memunculkan kecenderungan kehidupan rakyat yang sangat mencemaskan, yang jika tidak segera dihentikan, maka akan dapat menyebabkan kehidupan rakyat bagaikan "ayam mati di lumbung padi".

Mereka sedang membunuh pelan-pelan rakyat Indonesia. Mereka menikmati dan berpesta pora di atas penderitaan demi penderitaan rakyat. Dengan demokrasi globalismenya yang ahistoris bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, mereka menginfiltrasi dan menguasai perundang-undangan serta produk hukum kita, kemudian menguasai sumberdaya kita, membuat daya saing kita lemah, dan selanjutnya memperbodoh, membuat kita miskin, lemah lagi berpenyakitan. Ini adalah kemungkaran dan kezaliman yang terstruktur yang wajib diperangi.

Kini, 10 hari sudah kerisauan terlambat dari para pakar ekonomi tersebut digaungkan. Toh Pemerintah dan para elit tidak memberikan reaksi apa-apa. Mereka seperti sudah menutup mata dan telinganya terhadap kritik, membiarkan bagai "Anjing menggonggong kafilah berlalu". Tinggal anda, kawan-kawan fesbuker, apakah juga akan ikut masa bodoh. Tidak peduli terhadap masa depan anak cucu kita yang mencemaskan tersebut. Masya Allah, laa quwwata illaa billaah. (B.WIWOHO).
· · Share · Delete

    • Dana Anwari Tanah Air Indonesia yg kaya raya cuma dilihat sebagai koleteral saja oleh dunia. Rakyat penghuni Zamrud Khatulistiwa ini tidak dipikirkan kesejahteraannya. Pemimpinnya dianggap bisa disogok dan diancam agar menuruti kepemimpinan bisnis & politik para penguasa dunia. Ratu Adil dalam benak orang Indonesia, bagai Godot yg ditunggu dengan sabar...tetapi tak kunjung tiba.
      July 15, 2010 at 4:18pm ·
    • Tashudi Yanto
      ‎:Bunuh-diri kolektif, lanjutkan!!! : "..., perusakan dan eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan kekuatan modal semata-mata, sehingga mengakibatkan gunung kita yang berfungsi sebagai paku bumi digempur, laut diaduk, pulau dikeduk, hutan dibabat, air tanah disedot tiada terkira. Sungguh perusakan lingkungan yang luar biasa dan perekonomian yang tidak berkeadilan, tidak berkelanjutan, tidak seimbang dan tidak mandiri dan sekaligus benar-benar menjual tanah air (bahan galian dan air mineral) secara obral dan mentah-mentah tanpa diolah lebih dulu sebagai barang jadi."
      July 15, 2010 at 9:30pm ·
    • Suhardi Arief Kerakusan, ketamakan dan gaya hidup hedonisme rakyat Indonesia, sebagai akibat dari kampanye konsumerisme yang massiv menyebabkan perilaku berhutang dengan menggadaikan masa depan bangsa pada setiap tingkat hidup masyarakat melahirkan pertumbuhan ekonomi yang semu dan kesejahteraan yang semu....
      July 15, 2010 at 11:52pm ·
    • Mul Izar
      ‎@ Bambang....; Tulisan yang menarik Mas. "Lebih baik terlambat daripada tidak samasekali." Mereka (sekarang) sudah bersedia ikut terlibat (kembali) untuk mendiskusikan arah dan kinerja bangsa ini. Negara (yang posisinya) ; ibarat "telur" di ujung tanduk, tertunduk "malu" di hadapan dunia, tapi masih cenderung (ikut-ikutan) dengan bangga, gaya hedonisme yang (hanya) sebuah impian (untuk mengimbangi) dijadikan "sebuah kebanggaan" di balik kemaluannya...;
      July 16, 2010 at 9:33am ·
    • Meiky Parwanti Setuju dengan P Muilizar.. better late than never.berarti masih ada rasa kepedulian dari mereka akan nasib perekonomian bagsa ini..tinggal menunggu Good will dari pemerintah , apakah akan membiarkan kolaborasi kapitalisme, neo liberaisme memposisikan negara ini pada kehancuran jiid 2.. atau menunggu keajaiban dari adanya persatuan rasa dan keinginan serta tanggung jawab untuk melakukan perubahan
      July 16, 2010 at 4:28pm ·
    • Bambang Wiwoho ‎@ Kang Darmawan, hatur nuhun jempolnya.
      @ Mas Dana, Allahumma amin akan segara datang keadilan yang kita cita2kan, tp mari terus kita perjuangkan.
      @ Mas Tashudi, naudzubillah.....
      @ Mas Suhardi, sing eling ngelingake, ayo yang sadar menyadarkan bangsanya.
      @ Bung Mulizar n @ Mbak Meiky : 1000% setuju. Ayo kita galang kejayaan negeri zamrud khatulistiwa ini.
      July 18, 2010 at 7:01am ·
    • Cak Yono
      Perencanaan ekonomi yg terukur hingga tkt program, jarang sanggup berorientasi jangka panjang. Di banyak pemerintahan daerah dan termasuk institusi saya (yakni PTN), hanya dapat berkecenderungan multi years (dalam praktek yakni dng mengikuti negosiasi anggaran hingga tingkatan Parlemen, paling2 menghasilkan agenda kerja 2-4 tahun). Jadi yg dimaksud perekonomian jangka panjang saat ini, ya sekitar 2-4 th, yakni disesuaikan dng masa rejim Parlemen serta eksekutif terkait dengan masa antar Pemilu.

      Nah beginilah ekses dari Demokrasi Liberal atau Demokrasi Terbuka per 5 tahunan. Tidak ada prinsip atau kekuatan permanent yg memimpin mekanisme antar Pemilu tsb. Masa Pemilu, merupakan masa yg "telanjang" bagi security Negara termasuk Pemda.
      Contoh, pd Pemilu 2004 segenap elemen Kabinet ber metaforsa menjadi beberapa pasang kandidat Kepresidenan. Dan dalam kampanye, saling mengungkap kelakuan masing2 pihak di dalam era sebelumnya. Begitu pula pd kampanye Kepresidenan dlm Pemilu 2009, antara pasangan SBY dan pasangan Jusuf Kalla.
      Pd lingkungan daerah pun demikian. Yg sebelumnya sbg pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah, pd Pilkada berikutnya berpencar sbg pasangan yg berbeda. Maka, saling menelanjangi kondisi pemerintahan sebelumnya kerap terjadi.

      Bagi masyarakat seolah-olah ada manfaatnya, yakni adanya transparansi. Tetapi yg paling menikmati manfaat yaa para intelejen Negara Asing serta kaoem Kompradornya di dalam masyarakat kita sendiri. Krn lebih terorganisir.

      Oleh krn itu hrs ada koreksi total. Bangun demokrasi lebih bersifat terpimpin, yakni terpimpin oleh fatsun2 tertentu. Jangan mengumbar informasi strategis ditengah persaingan politik pd tiap Pemilu/Pilkada, yg menguntungkan pihak asing. Koreksi total Otonomi Daerah dan sistem2 dekonsentrasi yg "merugikan" efektivitas Negara. Termasuk kendala Negara, dlm mensinkronkan agenda perekonomian jangka panjang, yakni pd praktek sehari-hari pemerintahan.
      July 18, 2010 at 6:33pm ·
    • Bambang Wiwoho Itulah Cak, demokrasi tanpa Visi-Misi.
      July 18, 2010 at 6:45pm ·