Senin, 27 Januari 2014

Sebelum Pilih Menteri, Soeharto Tanya Siapa Teman Tidurnya



Reporter : Dedi Rahmadi | Senin, 27 Januari 2014 12:21


Merdeka.com - Mantan Presiden Soeharto sudah meninggal enam tahun lalu, namun cerita tentang penguasa Indonesia selama 32 tahun itu masih menarik untuk disimak. Soeharto pernah mengkritik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal menteri-menteri SBY yang dinilai tidak nyambung.

Lalu bagaimana cara Soeharto memilih menteri-menterinya?

Wartawan senior harian Suara Karya, B Wiwoho, mengungkapkan cara Soeharto dalam menyeleksi calon menterinya dalam buku 34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto terbitan UMB Press tahun 2013.

Menurut Wiwoho, Soeharto memiliki dua ujung tombak untuk menyaring calon menteri yakni, Pimpinan Operasi Khusus (OPSUS) Ali Murtopo dan Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN), Yoga Sugama. Jika suatu saat Soeharto membutuhkan menteri dari daftar itu, OPSUS dan BAKIN ditugaskan untuk mengecek dengan cepat dan sangat rahasia dalam hitungan hari, tanpa hiruk pikuk, informasi tentang seseorang yang akan direkrut menjadi menteri.

"Misalkan tentang siapa teman tidur-sekasurnya (suami/istri), siapa sedulur-seumur (saudara dekat), siapa teman bergaulnya, apa saja hobbynya, bagaimana riwayat perjuangannya terutama rasa setia kawan-loyalitas kepada pimpinan dan senior, bagaimana sikap hidup dan kepribadiannya terutama kejujuran dan kapasitas pribadinya. Bagaimana pandangan hidup dan rekam jejaknya terhadap harta, tahta dan wanita/pria," kata Wiwoho (hal 75).

Wiwoho bercerita, menurut Ali Murtopo, Pak harto memiliki feeling dan mata batin yang kuat terhadap seseorang. Berdasarkan laporan intelijen dan feeling tersebut, semuanya diproses secara tertutup, dan Pak Harto mengambil kata akhir serta memutuskan sendiri pilihannya.

"Beliau ( Soeharto ) ingin betul-betul mengenal secara mendalam dan yakin mengenai orang-orang yang akan berada di dekatnya untuk membantu mengelola negara," jelas Wiwoho.

Selasa, 14 Januari 2014

Menyambut "Wiyosan Dalem" Kanjeng Nabi Muhammad, Dengan Menyerap Api, Semangat dan Energi Ajarannya, Bukan Abunya.





Catatan: artikel ini kami unggah kembali dari artikel yang sebelumnya berjudul: “Berhala Baru, Gaya Hidup Hedonarsis”.  Kami  beri judul yang lain sesuai konteks waktunya, yaitu peringatan Maulid Nabi. Semoga berkenan dan bermanfaat.

Gaya hidup hedonis dan narsis (hedonarsis) yang banal, yang memuja pesona dunia, harus kita akui tengah melanda masyarakat kita. Marilah coba kita kaji beberapa peristiwa yang sempat menjadi topik hangat pemberitaan media massa. Rita misalkan, bukan nama sebenarnya tapi dari peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi, adalah seorang mahasiswi berusia 19 tahun. Siang itu, bukannya di perpustakaan untuk belajar, ia nongkrong di sebuah kafe di Plaza Senayan, Jakarta. Tak jauh dari mejanya, duduk beberapa orang, salah satu di antaranya pengusaha tajir bernama Abu Fatah, juga nama yang disamarkan.

Singkat kata mereka berkenalan dan berjanji malam hari bertemu di sebuah hotel berbintang lima.Tapi siapa menyangka malam itu di kamar hotelnya, mereka digerebek dan ditangkap petugas-petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rupanya Abu Fatah sedang menjadi target pengawasan atas dugaan korupsi berjamaah, yang dipantau ketat oleh KPK.

Begitulah jika Gusti Allah sudah membiarkan tabir penutup aib hamba-hamba-Nya tersingkap.Rita adalah seorang mahasiswi muda beliau dari keluarga sederhana, yang tak menyadari kemampuan ekonomi serta statusnya sebagai wanita dan mahasiswa, bergaya hidup bak orang kaya. Sementara Abu Fatah, adalah putera seorang ulama, alumni pondok pesantren dan bagian dari jaringan persahabatan tokoh-tokoh partai yang berlabel Islam, yang sedang hidup bergelimang pesona dunia.

Contoh kisah yang kedua, mahasiswa Ridho Ramanda, juga nama yang disamarkan, adalah seorang putera pejabat tinggi ternama, yang mengalami kecelakaan di jalan tol Jagorawi, pagi-pagi sekali pukul 05.45, setelah semalaman bergadang merayakan pesta tahun baru 2013 Masehi, yang tidak ada di dalam kamus kegiatan islami. Lantaran mengantuk, Ridho yang berusia 22 tahun ini menabrak mobil lain sehingga menewaskan dua orang dan mencederai tiga orang lainnya.

Kasus yang menyerupai Ridho, dialami oleh Abu Jamal, pun nama yang disamarkan, pelajar di bawah umur dengan usia 13 tahun yang ngebut dengan mobilnya di jalan tol pukul 00.45 sehingga mencelakai kendaraan lain dan merenggut tujuh nyawa manusia serta melukai sejumlah orang.

Ketiga contoh tadi, menggambarkan betapa gaya hidup generasi muda kita telah melenceng dari apa yang diajarkan oleh Islam dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Bukan hanya pada keluarga mereka, tapi harus kita akui bahwa kekuasaan, kekayaan, harta benda dan pesona dunia telah menyilaukan matahati kehidupan banyak rumahtangga masyarakat kita dewasa ini. Padahal kita yakin mereka adalah keluarga-keluarga muslim yang pasti sering mengumandangkan tasbih, menyebut asma Allah nan Maha Suci serta shalawat nabi.

Namun memang tidak mudah menangkap energi api ajaran islami dibanding menangkap abunya. Sebagaimana dikisahkan perawi hadis Bukhari, suatu hari tatkala Baginda Rasul sedang berwudhu, para sahabat berebut menampung limbah atau musta’mal air tetesan wudhu yang mengalir dari sela-sela jari tangan Rasulullah. Para sahabat tersebut memanfaatkan air limbah itu buat membasuh muka masing-masing.

Kanjeng Nabi terkejut melihat air limbah wudhunya dipakai mambasuh muka para sahabat yang bersih itu.Beliau bertanya, “Wahai sahabat-sahabatku, apa yang sedang kalian lakukan? Mengapa air kotor bekas wudhuku kalian pakai membasuih muka?” Salah seorang menjawab, “Kami sedang menunjukkan rasa cinta kami kepadamu ya Rasulullah.” Kanjeng Nabi menggeleng dan bersabda, “ Tidak para sahabatku tercinta, bukan seperti itu cara kalian membuktikan cinta kepadaku. Jika memang kalian bena-benar mencintaiku, maka patuhilah ajaranku, dan kerjakan sunahku.”Beliau kemudian menegaskan, “Barangsiapa mencintai sunahku, berarti dia mencintaiku.Dan barangsiapa mencintaiku, pasti akan bersamaku di dalam surga.”

Sahabatku, kita sering secara gegap gempita merayakan hari-hari besar Islam, memperingati maulud atau hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, bahkan mengumandangkan atau membaca shalawat setiap hari.Tentu itu semua bagus. Namun akan jauh lebih bagus lagi dan bermakna apabila kita bisa memetik hikmah dengan meneladani perilaku kehidupan mulianya, serta mentaati sabda, hadis dan sunahnya. Lebih jauh lagi, jangan sampai mulut kita mengumandangkan shalawat dan jari kita menghitungnya ratusan, bahkan ribuan, tapi perilaku kita menyimpang dan bertentangan dengan hadis serta sunahnya.

Tiga contoh peristiwa di atas, jelas-jelas menggambarkan betapa pragmatisme dan hedonarsis telah mempengaruhi kehidupan generasi muda penerus masa depan bangsa dan umat. Mereka hanyalah beberapa titik pada puncak gunung es berhala-berhala modern, penghamba pesona dunia, sebagai akibat bergesernya filosofi dan tata nilai kehidupan dari idealisme dan akhlak mulia, ke pragmatisme-materialisme yang berkembang semakin banal.Sebagian generasi muda kita telah menganut slogan kehidupan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga.Hidup sekali, mati sudah pasti, karena itu nikmatilah dunia selagi kita hidup.”

Pergeseran filosofi dan tata nilai kehidupan ini, memang dirancang secara sengaja oleh Kapitalisme Global, yang secara sadar dan terpola, membentuk suatu tata dunia baru dengan gaya hidup masyarakat yang menekankan pentingnya kekuatan modal, ilmu dan teknologi, yang selanjutnya menghasilkan aneka produk gaya hidup moderen dalam segala bentuknya, baik yang berupa jasa maupun barang.

Dengan dukungan media massa yang berbasis teknologi canggih, mereka menggalang citra gaya hidup yang menekankan pada kebebasan individu, kepentingan diri dan pasar bebas. Sebuah contoh gaya hidup yang tidak islami namun bisa marak di Indonesia dengan penduduk mayoritas beragama Islam ini, adalah perayaan Hari Kasih Sayang setiap tanggal 14 Pebruari, yang dikenal sebagai Hari Valentine.Penggalangan citra super luar biasa ini, ditandai aneka produk dengan ciri warna dasar merah jambu, gambar simbol hati, bunga mawar dan coklat.Padahal hari Valentine adalah hari peringatan Katholik Roma untuk martir Santo Valentine.

Demikianlah, Kapitalisme Global telah menciptakan musik jiwa yang mampu membuat nilai tukar sebagai tujuan utama, dengan mengabaikan nilai-nilai kebenaran termasuk tradisi luhur bangsa-bangsa dan agama. Musik jiwa ini menurut Herbert Marcuse (One Dimensional Man,dalam berbagai tulisan di internet antara lain ungumerahmuda.blogspot.com, Abdul Muin Angkat blog dan Manusia Satu Dimensi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta 2000 ) bahkan telah menjadi sumber kekuasaan baru pasca Perang Dunia II, yaitu kekuasaan selera dan gaya hidup, yang dikemas dengan penggalangan citra, iklan dan promosi secara besar-besaran. Ia menyerbu ke segenap pelosok dunia, termasuk Indonesia, yang secara kebetulan sedang mengalami lompatan-lompatan budaya.

Kapitalisme Global dengan dalih rasionalitas, efektivitas dan produktivitas, menawarkan kebebasan berfikir, berbicara dan berkesadaran, telah menggilas nalar, budi luhur dan kearifan-kearifan tradisional, selanjutnya memobilisasi masyarakat secara total.

Kapitalisme Global telah melancakan perang semesta, sebagaimana perang yang paling dikuatirkan Rasulullah Saw, yaitu bukan perang fisik seperti Perang Badar, melainkan perang di wilayah batin dan jiwa manusia. Perang semesta merupakan perang moderen yang paling dahsyat, yang bukan lagi ditentukan oleh benteng-benteng batu nan kokoh serta meriam-meriam, melainkan perang budaya dan gaya hidup yang mampu menembus masuk ke ruang-ruang pribadi di dalam rumahtangga setiap penduduk dunia.

Perang semesta bisa dengan cepat dan tanpa disadari target sasarannya, menyingkirkan budaya, nilai-nilai agamis dan tata nilai lainnya, sekaligus membangun alam pikiran baru yang terpadu secara total, yang pada hakekatnya membangun gaya hidup yang individualistis, pragmatis, hedonis, materialistis dan narsis.

Dengan musik jiwa dan gaya hidup, Kapitalisme Global telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir dan menghisap individu-individu ke dalam pusaran sistem produksi dan konsumsi. Media massa, budaya termasuk film dan musik, industri periklanan, penggalangan citra, manajemen dan cara-cara berfikir sempit, semuanya diarahkan untuk memproduksi sistem represif yang melenyapkan negativitas, kritik dan perlawanan. Sistem yang seperti ini membentuk masyarakat industri maju lintas negara yang moderen, dengan pola pemikiran yang berdimensi satu, yang tidak mengenal alternatif.

Di dalam ketatanegaraan dan politik praktis, hal itu bisa dilihat dari fenomena partai-partai, yang secara ideologis tidak lagi memiliki perbedaan. Mereka seolah-olah menawarkan perbedaan dan perubahan, namun sejatinya tidak ada bedanya antara partai satu dengan yang lain.

Manusia moderen mengira dirinya benar-benar hidup bebas dalam dunia yang menawarkan aneka kemungkinan untuk dipilih, diraih dan diwujudkan, padahal kebebasan yang dikehendakinya sesungguhnya hanyalah apa yang sudah didiktekan oleh Kapitalisme Global kepadanya.

Ketiga contoh peristiwa yang mengawali tulisan ini, dengan gamblang menggambarkan serangkaian perilaku masyarakat yang mengabdi pesona dunia dengan kebebasannya. Demikian pula berbagai fakta di persidangan kasus-kasus korupsi yang hampir setiap hari digelar beberapa tahun belakangan ini, menunjukkan keterlibatan para tokoh dari lintas profesi dan pilar kekuasaan, mulai dari pengusaha, legislatif, eksekutif sampai dengan yudikatif. Mereka menunjukkan perilaku mengejar kekuasaan dan kekayaan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara. Mau serba enak secara instan, sehingga mengabaikan ajaran-ajaran moral dan agama.Kesalehan hanya sebatas formalitas bahkan dijadikan sebagai topeng.Puji-pujian terhadap Yang Maha Kuasa dan Kanjeng Nabi hanyalah penghias bibir belaka.

Sahabatku, tasawuf mengajarkan para penganutnya untuk membangun akhlak luhur dan budi mulia, hidup bersih, sederhana dan mengabdi, yang tidak silau apalagi memuja pesona dunia.Islam diturunkan bukan untuk meluapkan kebebasan individual dan kepentingan diri, melainkan mengabdi pada kebersamaan dan harmonisasi dalam mewujudkan rahmat bagi semesta alam. Bukan hanya bagi manusia, bahkan bukan hanya untuk sesama muslim. Karena itu Rasulullah senantiasa menunjukkan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Beliau hidup sangat sederhana, zuhud dan wara, lembut lagi penuh kasih sayang terhadap sesamanya, sampai-sampai semua benda perlengkapan hidupnya, juga binatang piaraannya diberi nama serta panggilan kesayangan. Beliau juga sangat menjaga perasaan orang lain, sebagaimana contoh sederhana yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Apabila kalian bertiga, maka janganlah dua orang berbisik-bisik dengan membiarkan, tidak mengajak yang ketiganya.”

Maka, marilah sama-sama kita renungkan dan hayati gumaman isteri beliau, Siti Aisyah, di pinggir makam Rasulullah pada malam pertama setelah pemakaman:

“ Wahai laki-laki yang tak pernah mengenakan sutera.
Wahai laki-laki yang tak pernah tidur di atas tilam nan lembut.
Wahai laki-laki yang hingga saat meninggalnya belum pernah
kenyang dengan roti gandum yang lezat-lezat.
Wahai laki-laki yang menyukai dipan kasar dibanding ranjang mewah.
Wahai laki-laki yang sering beberapa malam tidak tidur karena takutnya pada neraka (yang mengancam umatnya).”

(Sumber: K.H.Abdurrahman Arroisi dalam 30 Kisah Teladan dan K.H.Firdaus AN dalam Detik-Detik Terakhir Kehidupan Rasulullah).

Sabtu, 11 Januari 2014

Seri "Tasawuf, Salon Kecantikan Jiwa di Era Globalisasi" (5): Menjadi Gunung Karang di Tengah Gelombang Globalisasi.



Sahabatku, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan perkembangan zaman itu adalah sebuah keniscayaan. Demikian pula kehidupan di dunia dan alam raya. Semua berlangsung  sesuai sunatullah. Kita tidak mungkin lari darinya, apalagi dengan bersikap bagaikan burung onta yang mencoba menyembunyikan kepalanya ke dalam tanah bila menghadapi bahaya, sementara badannya yang besar teronggok di permukaan.

Karena itu kita mesti mengarungi gelombang kehidupan ini dengan persiapan diri dan bekal yang memadai. Dunia dan apa-apa yang ada di dalamnya menurut Al Ghazali mengutip Rasulullah, terkutuk kecuali yang digunakan untuk apa-apa yang diridhoi Allah. Oleh karena itu dunia harus ditaklukkan untuk beribadah kepada Allah.

Ia menjelaskan, segala perbuatan dan tindakan yang ditujukan untuk akhirat, sudah tidak dikategorikan dunia lagi. Umpamanya, seorang pedagang yang bermaksud mencari rejeki untuk bekal ibadah dan bukan untuk memuaskan hawa nafsu serta keserakahannya. Dagang yang demikian itu termasuk amal akhirat, asal benar-benar niatnya dilaksanakan. Begitu pula dengan amal-amal mubah yang dilaksanakan dengan niat ibadah dan memang sungguh-sungguh diwujudkan. Misalkan, makan agar badan kuat, dan setelah itu menolong fakir miskin. Juga tidur agar badan sehat, dan dengan badan yang sehat itu kita melakukan kegiatan-kegiatan yang diridhoi Allah. Status hukum mubah adalah kegiatan yang bila dikerjakan tidak berpahala tapi juga tidak berdosa, sedangkan bila ditinggalkan pun tidak berdosa dan tidak berpahala.

Adapun batasan bekal ibadah, yaitu betul-betul untuk bekal ibadah, berhubungan dengan urusan akhirat dan tujuannya harus mutlak untuk itu.Bukan hanya sekedar penghias bibir yang tidak diwujudkan dalam perbuatan. Maka dalam kaitan ini menurut Al Ghazali, mengharapkan kebaikan bukanlah riya. Juga apabila kita ingin dihormati orang dengan tujuan agar seruan dan ajakannya menegakkan amar makruf nahi munkar diikuti orang banyak.Yang harus senantiasa kita waspadai, semua itu dengan tidak bermaksud memuliakan diri sendiri atau untuk memenuhi dahaga pesona dunia.

Orang-orang yang memiliki pengikut dan pengaruh besar di masyarakat serta mempunyai ilmu dan kemampuan yang dibutuhkan bagi kemaslahatan orang banyak,karenanya juga tidak boleh uzlah mengasingkan diri. Seperti Kanjeng Nabi, ia harus berdiri kokoh bagaikan gunung karang di tengah samudera kehidupan, berada di tengah masyarakat menegakkan urusan agama, menegakkan yang haq memberantas yang batil. Mengajak masyarakat melaksanakan kebaikan dan memberantas kemungkaran, memberi nasehat, menjelaskan hukum-hukum Allah.

Orang yang seperti itu mempunyai potensi besar untuk masuk ke dalam golongan orang-orang yang mampu menjalankan firman Allah dalam surat Al-Bayyinah ayat 7, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.”Perintah buat mengerjakan amal saleh juga ditegaskan sebelumnya dalam Surat An-Nahl ayat 97, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”

Di dalam Al-Qur’an cukup banyak kata iman yang dikaitkan dengan amal saleh, karena amal memang merupakan realisasi dari iman.Perwujudan nyata dari iman adalah amal saleh.Jika hanya berbicara mengenai iman saja, maka itu merupakan rahasia antata kita dengan Gusti Allah.Tiada seorang pun kecuali diri sendiri yang tahu apakah kita betul-betul beriman atau tidak.Oleh sebab itu jika iman dikaitkan dengan amal, menjadi nampak perwujudannya di dalam perilaku sehari-hari, sehingga dengan demikian iman menjadi sempurna karena ada buktinya. Mewujudkan iman menjadi amal saleh merupakan tahapan-tahapan perjalanan seorang salik dalam menapaki jalan ketuhanan.

Amal saleh atau kerja yang mulia dan baik, seringkali hanya ditafsirkan secara sempit, terbatas pada perbuatan ibadah ritual yang kita kenal sehari-hari seperti salat, puasa dan haji.Bahkan ada lagi yang membuat sekedar ukuran formalitas.Misalkan orang yang berpeci putih atau bersorban diberi predikat orang beriman yang saleh. Tentu saja ini menyedihlkan, sebab iman dan amal saleh hanya diukur sebatas itu. (Memaknai Kehidupan).

Menurut Prof.K.H. Ali Yafie, pengertian amal saleh yang perlu kita miliki dan yang harus dikembangkan adalah seluruh aktivitas yang dilakukan orang beriman, yang dimulai dengan kebersihan, dikembangkan dalam kesederhanaan dengan sasaran pengabdian. Itulah gambaran yang lengkap dari amal saleh.Dan itu pula yang dikembangkan dalam pembinaan tasawuf, yang menitikberatkan pada pembinaan personal-individual.

Sahabatku, dengan pemahaman mengenai tasawuf dan gelombang globalisasi sebagaimana telah kita bahas di atas, maka dengan berbekal tasawuf kita akan berani berdiri tegar dan kokoh. Dengan tasawuf kita akan bisa membangun semangat dan pola hidup meneladani pola kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad dan para sahabatnya, yaitu bersih – sederhana – mengabdi (BSM). Pola hidup yang tidak konsumtif, yang tidak larut dalam gemerlap pesona dunia dengan serba kemewahannya.

Sederhana pada hemat Puang Yafie, tidak identik dengan kemiskinan atau pun hidup miskin. Sederhana tidak tergantung pada materi yang dimiliki, tetapi pada sikap. Sikap inilah yang perlu diluruskan. Tidak ada halangan bagi seseorang, bahkan seorang sufi sekalipun, untuk hidup kaya. Sebab banyak di dalam cerita, sufi itu adalah orang-orang kaya. Seperti yang paling terkenal adalah Imam al-Malik, seorang sufi yang kaya raya. Sahabat Nabi SAW, yang bernama Abdurrahman bin ‘Auf dan Usman bin ‘Affan adalah sufi yang kaya raya. Akan tetapi, kekayaannya betul-betul digunakan sesuai dengan tuntunan Islam.

Sederhana adalah tidak berlebih-lebihan dan tidak bermewah-mewahan. Oleh karena itu, pola hidup sederhana ini memerlukan penjelasan untuk menepis pengertian yang tidak positif. Biasanya hidup sederhana diartikan dengan miskin dan serba kekurangan. Ini merupakan pengertian yang tidak positif. Yang tepat, hidup sederhana adalah hidup berkecukupan. Dalam bahasa fiqih disebut “kifaayah” , yakni hidup yang tidak berlebih-lebihan. Jadi, hidup yang tidak bermewah-mehah dan tidak foya-foya, tetapi berkecukupan. Itulah arti hidup sederhana secara positif.

Kalau kita mendengar kata “sederhana”, konotasinya pada kemiskinan, serba kekurangan. Itu yang perlu diluruskan, karena tidak benar. Sederhana itu berbeda dengan miskin. Orang kaya itu perlu hidup sederhana, karena batasannya adalah berkecukupan, dengan catatan tidak berlebih-lebihan, dan tidak berfoya-foya. (Prof. Dr. Muhammadiyah Amin dalam Jati Diri Tempaan Fiqih).

Jika kita bisa mengembangkan pola hidup BSM di kancah dunia yang sedang dikendalikan oleh Kapitalisme Global ini, insya Allah perekonomian Indonesia akan bergeser dari perekonomian yang konsumtif menjadi perekonomian yang produktif. Devisa kita akan bisa banyak dihemat. Ekonomi berbiaya tingggi akan dapat ditekan. Lapangan kerja akan banyak tersedia. Pengangguran ditekan sekecil mungkin, sumber daya alam terkelola dengan baik, lingkungan hidup terjaga dan terpelihara, kesenjangan sosial terjembatani, korupsi dapat diberantas, keadilan sosial dapat ditegakkan, keamanan dan ketertiban umum terpelihara baik lagi terkendali.

Demi mempraktekkan pola hidup BSM, Puang Kyai Ali Yafie dalam Ramadhan Menggugah Semangat Proklamasi  (Bina Rena Pariwara, 2005) menekankan, segala macam aktivitas yang kita lakukan harus dimulai dengan kebersihan jiwa, kebersihan hati dan niat, dikembangkan dalam pola kehidupan serta perilaku kesederhanaan, dengan sasaran pengabdian demi kemaslahatan umat. Pola hidup BSM harus dikembangkan menjadi moral ekonomi, politik, hukum dan terus dikembangkan  ke sektor-sektor kehidupan lainnya.

Sahabatku, secara individu, orang yang sudah memiliki tasawuf sebagai pertahanan jiwanya,  akan melaksanakan pola hidup BSM dalam situasi dan kondisi apa pun termasuk di era globalisasi sekarang, sehingga bersama golongan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, akan senantiasa bertawakal kepada Gusti Allah, yang tidak akan pernah terpengaruh dengan kesusahan dan kepayahan dunia. Akan senantiasa lapang dada, jauh dari pikiran kusut yang merepotkan.Senantiasa tenteram dan tidak menjadi boyongan makhluk, yang tidak terhempas dan tidak terbenam oleh ombak perobahan tempat, masa dan keadaan. Bagaikan gunung karang yang perkasa, tetap tegak kokoh  walau dihempas bertubi-bertubi oleh Gelombang Globalisasi yang menerjang bergulung-gulung, di tengah lautan kehidupan nan ganas.

Semoga kita memperoleh anugerah-Nya, dimasukkan dan senantiasa berada di dalam golongan hamba-hamba sekaligus kekasih-Nya yang seperti itu.

Duh Gusti,
anugerahkanlah kepada hamba,
gelora pesona cinta nan membara,
‘tuk kepakkan sayap jiwa,
terbang suka cita luar biasa
ke haribaan Paduka.


Alhamdulillaah, alhamdulillaah, alhamdulillaah,
aamiin, aamiin, aamiin ya rabbill ‘aalamiin.

Beji, Depok: Jumat 13 Desember 2013.

Selasa, 07 Januari 2014

Seri "Tasawuf, Salon Kecantikan Jiwa di Era Globalisasi" (4): Zuhud Yang Positip.




Di bagian awal buku ini kita sudah membahas makna dan pengertian tasawuf, juga tentang ulama-ulama sufi tempo dulu yang menjadi panutan dari para penganut tasawuf. Sekarang kita sampai pada masalah pengobatan dan perawatan batin manusia. Apa yang harus kita lakukan setelah siap menjadi manusia baru dengan wajah batin yang indah dan sempurna? Apakah lantas berzuhud dengan pergi uzlah, menyepi lari dari hiruk pikuk masyarakat agar tidak kembali terkena hantaman Gelombang Globalisasi-II?Jika kita melakukan hal itu, maka yaitulah yang oleh Buya Hamka disebut sebagai menempuh jalan sesat. Zuhud yang seperti ini adalah “zuhud yang melemahkan dan bukan merupakan ajaran Islam. Semangat Islam ialah semangat berjuang. Semangat berkurban, bekerja , bukan bermalas-malasan, lemah paruh dan melempem.”

Sikap Buya yang mengecam keras zuhud yang dianggapnya tidak merupakan ajaran Islam itu, beralasan jika kita menyimak sabda Rasulullah yang menyatakan,”Melakukan zuhud dalam kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula memboroskan kekayaan.Akan tetapi zuhud dalam kehidupan itu adalah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti dari pada apa yang ada pada Allah, dan hendaknya kamu bergembira memperoleh pahala musibah yang sedang menimpamu walaupun musibah itu akan tetap menimpamu.” (HR.Ahmad).

Seperti Buya Hamka, Kyai Ali Yafie juga tidak sependapat dengan pemahaman tasawuf sebagai sikap hidup yang seakan-akan cenderung untuk hidup bermiskin-miskin, menjauhi dunia atau tidak memperdulikan dunia, tidak memberikan penghargaan terhadap prestasi kerja dan tidak memperhatikan pada pengumpulan kekayaan. Itu adalah tasawuf yang negatif.Segala sesuatu dalam tasawuf itu titik beratnya pada mujahadah atau berjuang, dan kerja keras.Inti ajaran tasawuf adalah mengajarkan kerja keras yang seimbang antara kerja lahir dan kerja batin. Ada orang yang bekerja keras dengan mengandalkan fisiknya, misalkan tukang becak, tapi mungkin batinnya tidak bekerja. Di lain pihak ada yang akal, yaitu bagian dari batinnya kerja keras, contohnya para intelektual, namun kerja fisiknya hanya sedikit sehingga menjadi tidak seimbang. Akibatnya badannya sering sakit-sakitan.Tasawuf mengajarkan kerja keras lahir batin secara utuh, seimbang dan sempurna, yang dipandu oleh dua kekuatan, yaitu zikir dan pikir, sehingga menghasilkan amal saleh.
Tasawuf dengan ajaran zuhudnya seringkali disalahartikan sebagai ajaran membenci kehidupan dunia, sehingga ajaran zuhud dianggap tidak sesuai dengan kenyataan kehidupan dunia.

Dalam Merintis Fiqh Lingkungan Hidup (Yayasan Amanah dan Ufuk Press, 2006), Puang Ali Yafie mengutip pandangan Imam Ibnu Qudamah mengenai zuhud, yaitu sikap memalingkan keinginan atau kesukaan akan sesuatu kepada yang lain yang lebih baik. Syaratnya adalah apa yang ditinggalkan itu harus sesuatu yang bernilai. Jika yang ditinggalkan itu tidak memiliki nilai sama sekali, maka sikap meninggalkan dan berpaling daripadanya tidak dinamakan zuhud. Orang yang membuang sebongkah tanah yang tidak berharga misalkan, tidak dapat dinamai zahid.

Syekh Abdul Qadir Jailani dalam  50 Inti Wejangan-nya juga sependapat dengan definisi zuhud Ibnu Qudamah Al-Muqadasi tersebut. Orang yang zuhud menurut Ibnu Qudamah mempunyai tiga sifat.Pertama, sedikit sekali menggemari dunia, sederhana  dalam menggunakan segala miliknya, menerima apa yang ada, serta tidak merisaukan sesuatu yang sudah tidak ada, tetapi giat bekerja sebab mencari rezeki adalah suatu kewajiban. Kedua,dalam pandangannya, pujian dan celaan orang sama saja. Ia tidak bergembira karena mendapat pujian, dan tidak pula bersusah hati lantaran memperoleh celaan. Ketiga, mendahulukan ridha Allah dibanding ridha manusia.Ia merasa tenang jiwanya hanya karena bersama Allah Azza Wa Jalla, dan berbahagia karena dapat mengerjakan syariat-Nya.

Dengan pengertian tersebut, maka berpaling meninggalkan harta benda pada hemat Puang Yafie dalam Manusia dan Kehidupan, Pustaka Pelita 2007, tidak termasuk dalam kategori zuhud. Zuhud yang sesungguhnya adalah berpaling meninggalkan kesenangan dunia, dalam arti tidak menjadikannya sebagai tujuan hidup.

Hasrat untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan duniawi yakni makanan, pakaian, tempat tinggal, perabotan rumahtangga, keluarga dan kedudukan, dengan demikian tidak bertentangan dengan ajaran zuhud.Bahkan pemenuhan kebutuhan pokok itu bisa menjadi wajib demi melindungi jiwa raganya. Baru bisa disebut bertentangan dengan zuhud apabila melampaui takaran kebutuhan, yaitu mengambil lebih dari yang semestinya atau dalam bahasa lain mengeksploitasi secara berlebihan dan tidak wajar.

Jika hal itu terjadi, yakni eksploitasi sumber daya berlebihan, menurut ahli fiqih dan mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia ini, berarti melambangkan kecintaan yang berlebihan terhadap kehidupan dunia, ketamakan, kerakusan dan keserakahan. Itulah yang akan mengakibatkan kerusakan ekosistem dan mendatangkan bencana di muka bumi.

Mengambil lebih dari kebutuhan manusia yang semestinya, dalam kaitan dengan sifat terbatas sumber daya alam, pada dasarnya hanya akan mendatangkan berbagai akibat buruk bagi manusia sendiri. Kecenderungan untuk mengambil lebih dari yang semestinya, mendorong terjadinya eksploitasi terhadap alam. Isi perut bumi dikuras dan tanah dipaksa untuk memproduksi melampaui ambang batas kewajarannya serta penggundulan hutan untuk kepentingan industri, menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi penyangga bagi keseimbangan dan kelanjutan kehidupan alam semesta. Gejala seperti inilah yang kita alami di era globalisasi. Suhu bumi semakin memanas, permukaan air laut semakin naik, dan udara yang kita hirup tidak sehat lagi.

Kecenderungan seperti itu juga menyebabkan ketimpangan dalam masyarakat dunia. Adanya pihak, golongan atau negara yang menguasasi kekuatan, pengetahuan, teknologi dan kesempatan, mendominasi pemanfaatan sumber daya alam, mengambil lebih dari yang semestinya sehingga mengakibatkan sebagian besar penduduk bumi berada dalam kondisi krisis kehidupan, jauh di bawah standar kehidupan yang layak. Pembagian sumber daya tidak merata dan tidak adil.Kondisi semacam ini selain sangat rawan, juga memungkinkan timbulnya gejolak dalam masyarakat.Perang pun, yang juga turut serta merusak lingkungan hidup, pada dasarnya terjadi karena ketidakadilan pendapatan dan akses terhadap sumber daya.
Kehidupan yang demikian itu tercela menurut al-Qur’an dan hanya akan mendatangkan kerusakan di muka bumi. Al-Qur’an telah menggariskan suatu nilai dasar tentang apa yang harus dituju dalam hidup ini, dan bagaimana mengelola apa yang ada dalam alam semesta untuk dinikmati dengan sewajarnya, sesuai dengan kehendak Sang Pencipta tanpa menimbulkan kerusakan.

Subhaanallaahi wabihamdihi, subhaanallaahil ‘adziim astaghfirullaah.

Jumat, 03 Januari 2014

Seri "Tasawuf, Salon Kecantikan Jiwa di Era Globalisasi" (3): Salon Kecantikan Jiwa.





Pesona dunia dan gaya hidup yang digelorakan oleh Gelombang Globalisasi, bisa  membuat manusia terombang-ambing, terhempas ke sana ke mari, menjadi materislistis, individualistis, hedonistis dan bahkan narsis. Manusia yang seperti itu telah dikuasai oleh Divisi-Divisi Peperangan Panglima Iblis, khususnya Divisi Pesona Dunia dan Divisi Hawa Nafsu, sehingga tamak dan serakah, tidak pernah merasa cukup.Mereka tidak peduli dengan akhlak mulia dan wajah batinnya. Ada yang rela bekerja keras siang malam karena percaya hanya dengan cara itulah mereka bisa membahagiakan keluarga. Mereka mengukur nilai-nilai kehidupan bukan lagi dengan nilai-nilai idiil, melainkan dengan satuan materi seperti mobil, rumah, liburan ke luar negeri dan sejenisnya. Yang lebih memprihatinkan adalah yang ingin serba instan, bisa berkuasa dan kaya raya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, dengan segala cara. Menempatkan kekuasaan dan harta benda sebagai tujuan dan bukan sarana untuk mewujudkan cita-cita idiil yang luhur.Sungguh, semua itu mengakibatkan kerusakan pada wajah batin dan jiwa kita.

Sahabatku, marilah kita membentengi diri dan keluarga kita dari serangan Divisi-Divisi Peperangan Panglima Iblis dalam Perang Semesta yang seperti itu.Dan kalau toh kita terkena, tidaklah juga perlu berkecil hati.Namun marilah kita cepat memperbaiki benteng pertahanan batin dan mengobati serta memperbaiki wajah batin kita yang terhantam serangan.

Pertahanan batin, mengobati dan memperbaiki wajah batin itu menjadi tugas tasawuf.Oleh karena itu pula Prof.K.H.Ali Yafie dalam buku Jati Diri Tempaan Fiqih, mengibaratkan tasawuf dengan sebuah kompleks ataupun gedung yang memiliki dua fasilitas kehidupan moderen di era globalisasi ini.Guna mengobati dan memperkuat daya pertahanan batin manusia, kompleks ini menyediakan rumah sakit. Sedangkan untuk memperbaiki sekaligus  mempercantik wajah batin tersedia salon kecantikan.

Gedung tersebut memiliki orang-orang profesional, yang dalam istilah tasawuf disebut mursyid.Mursyid  adalah orang-orang profesional, dokter dan perawat kecantikan hati nurani, kecantikan batin. Mursyid profesional ini  tidak berasal dari satu aliran tertentu saja, tetapi berasal dari berbagai aliran dengan berbagai metode yang berbeda-beda, yang bisa menghasilkan model tata rias yang berbeda, bahkan sampai jenis bedaknya pun juga berbeda-beda.

Metode-metode dalam dunia tasawuf disebut tarekat.Misalnya ada tarekat Syaziliyah, itu berarti metode Imam al-Syazili yang dipakai untuk merawat kecantikan batin.Ada pula tarekat Iskandariyah, ada tarekat Rifa’iyah dan banyak macam lagi.Di Indonesia saja ada sekitar 40 macam tarekat.

Metode mengobati, merawat, memperindah dan mempercantik batin, hati nurani atau qalbu akan menghasilkan kecantikan batin yang disebut akhlak karimah atau akhlak yang mulia, yang bisa menjadi pedoman hidup di tengah hingar bingar pesona dunia.

Apabila tasawuf diibaratkan rumah sakit, Puang Yafie menjelaskan, dokter-dokter profesional selalu ingin menciptakan suatu kondisi kesehatan yang baik pada diri manusia.Pada dasarnya manusia itu sehat, tetapi karena berbagai faktor misalnya makanan, minuman dan lingkungan, maka kemudian menjadi tidak sehat. Demikian pula hanya  dengan kondisi mental manusia, pada dasarnya adalah baik, sebagai ditegaskan dalam Al Qur’an, surat at-Tin: 4,  La-qad khalaqnaa al-insaana fii ahsani taqwiim. (Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya)”.

Ayat itu menggambarkan kondisi mental manusia yang seimbang, sehat dan baik.Namun lantaran berbagai faktor misalkan iblis, hawa nafsu, kawan, lingkungan dan pendidikan yang tidak baik, maka bisa terjadi gangguan mental, sehingga yang semula pada dasarnya baik menjadi sakit.

Menghadapi manusia yang sakit itu, seperti halnya di rumah sakit, tasawuf melakukan diagnose, yang dalam bahasa tasawuf disebut tahliil al-qalb atau tahliil al-nafs, yaitu memeriksa dahulu kondisi mental, sejauh mana ia sehat dan sejauh mana ia mendapat gangguan. Ini seperti check-up di rumah sakit umum.

Dari hasil diagnose selanjutnya ditentukan terapinya, yang disebut dawaa’ al-qalb atau dawaa’ amraadh al-qalb.Jadi, semua orang yang masuk ke wilayah tasawuf, harus bersedia diperiksa, dicek kesehatannya untuk mendapatkan terapi.Jalan menuju terapi itu disebut riyaadah atau pelatihan.Seperti  di rumah sakit, jika dalam observasi diketahui ada penyakit yang harus dioperasi, bahkan sudah mulai semenjak menjelang pemeriksaan laboratorium, maka sang pasien harus berpuasa terlebih dahulu. Pun demikian halnya dalam perawatan tasawuf, sang murid disuruh melakukan puasa-puasa sunah yang banyaknya tergantung pada kondisi yang bersangkutan. Di samping berpuasa, murid tasawuf juga dilatih agar bisa senantiasa mengenal dan mengingat Allah, melalui zikir.Zikir yang istiqomah, kontinyu terus menerus disebut wirid, dan wirid adalah riyaadah yang paling ringan.

Jika kita mengibaratkan tasawuf  sebagai perawatan dan tata rias wajah batin di salon kecantikan jiwa, maka kita mengenal tahapan kegiatan awal yang disebut membersihkan wajah dari berbagai kotoran termasuk debu-debu kehidupan. Sesudah bersih tahap berikutnya adalah memberikan foundation, memasang alas atau dasar, baru sesudah itu dilakukan tata rias seperti bedak, celak mata, merapikan alis dan bulu mata, bayangan hidung, pemerah bibir dan lain sebagainya.
Membersihkan wajah batin di dalam tasawuf merupakan tahap pengenalan kondisi awal (awwal maqaamaat).Pada tahap awal ini kita diajarkan untuk  mawas diri, melakukan diagnose dan kalkulasi kehidupan, yang lazim disebut muraqaabah dan muhaasabah.Kita selama ini pada umumnya jago dalam melihat serta menilai orang lain, namun tidak pandai bahkan hampir tidak berani melihat dan menilai diri sendiri. Dengan muraqabah, kita melihat dan menyoroti diri kita, dan sesudah itu membuat muhasabah, perhitungan atau kalkulasi, sudah sejauh mana nilai-nilai kehidupan, seberat apa timbangan dosa dan amal saleh kita. Setelah melihat kekurangan dan coreng-moreng wajah batin, maka kemudian kita diajarkan untuk membuat penyesalan dengan cara bertobat.

Pada dasarnya manusia itu tidak sempurna, ada saja kekurangannya, tidak luput dari dosa dan kesalahan. Karena itu meskipun sudah dijamin untuk diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, bahkan dijamin pula derajat kemuliaannya di sisi Allah, Kanjeng Nabi Muhammad tetap senantiasa melakukan pertobatan dan beristighfar setiap hari.“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberimu ampunan kepadamu terhadap dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu pada jalan yang lurus,” (Surat Al-Fath: 1- 2).

Demikianlah, jaminan dari Allah tidak membuat Rasulullah jemu memberikan keteladanan sebagaimana sabdanya yang dirawikan oleh Bukhari, “Demi Allah, sungguh aku selalu beristighfar dan bertobat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali”.Dalam kesempatan lain beliau kembali mengingatkan, “Wahai sekalian manusia, bertobatlah kepada Allah, karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak100 kali,” (Hadis Muslim).

Selanjutnya beliau juga menganjurkan agar kita membiasakan berzikir dengan zikirnya malaikat dan para makhluk sebanyak 100 kali setiap menjelang salat subuh, yaitu “Subhaanallaahi wa bihamdihi, subhaanallaahil ‘adziim, astaghfirullaah.Maha Suci Allah dengan segala puji bagi-Nya, Maha Suci Allah Yang Maha Agung, hamba memohon ampun kepada Allah.” Zikir yang sekaligus bermakna sebagai doa ini terdiri dari tasbih, yaitu bacaan subhanallah, hamdallah yaitu bacaan alhamdulillah atau puji-pujian kepada Allah serta istighfar yaitu mengucapkan astaghfirullah sebagai permohonan ampun.

Sahabatku, akan halnya bagaimana cara bertobat, kita telah membahasnya dalam sub judul Bertaubat, Langkah Awal Jalan Tasawuf, dan  sub judul Permohonan Maaf Menjelang Puasa serta sub judul Pintu Tobat Tidak Pernah Tertutup.Karena itu saya hanya ingin menambahkan suatu ilustrasi yang diberikan oleh Kyai Ali Yafie, dengan mengandaikan masalah tobat ini bagaikan pengakuan serta penyesalan dalam bidang hukum. Seorang penjahat yang melakukan kejahatan kemudian menyesali kejahatannya, maka akan memperingan hukumannya. Sebaliknya bila tidak, hukumannya diperberat.Begitu pula halnya di hadapan Allah. Kalau kita menyesali kesalahan-kesalahan maka akan memperingan dosa kita. Sesudah menyesal, lalu secara spontan mengucapkan, astaghfirullaah wa atuubi ilaika, memohon ampun dan menyatakan tobat kepada Allah, dengan sepenuh kesadaran batin, dan bukan sekedar ucapan belaka. Setelah itu masih ada lagi tindak lanjutnya, yakni secara sadar harus bertekad di dalam diri untuk tidak akan mengulangi kesalahan yang telah diperbuat. Proses yang seperti itulah yang disebut dengan taubat nasuuha, yaitu tobat yang sebenar-benarnya tobat.

Jika tadi kita mengibaratkan tobat sebagai membersihkan wajah batin, maka sesudah wajah bersih, perawatan kecantikan berikutnya adalah membuat pondasi tata rias. Di dalam tasawuf, ini seperti menanamkan dasar ketauhidan, yakni pengakuan sekaligus penyerahan diri secara total kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa. Kalimat zikir yang menyertai pengakuan sekaligus penyerahan diri ialah tahliil, laa ilaaha illaallaah. Sesudah wajah batin bersih dan kemudian diberi pondasi yang kokoh, barulah tata rias wajah batin  dilakukan. Berbagai riasan wajah batin itu adalah sifat, moral dan perilaku  luhur yang berlandaskan pada keimanan yang kokoh, yang pada akhirnya menghasilkan amal saleh, antara lain ikhlas, sabar, jujur, taat, tawakal, tawadlu, ridho dan merasa cukup atau qanaah, senantiasa bersyukur, baik budi, murah hati dan suka menolong serta penuh kasih sayang terhadap sesamanya.

Tasawuf juga membuat dua tahapan pengobatan, perbaikan dan perawatan jiwa manusia.Pertama yaitu tahapan takhalli atau pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela.Kedua yaitu tahalli atau mengisi kembali dengan sifat-sifat terpuji.Hasil dari kedua tahapan ini adalah tajalli, yaitu manusia baru dengan wajah batin yang indah dan sempurna, yang mampu meresapi rasa ketuhanan dan memiliki sifat, moral serta perilaku mulia.Orang yang seperti ini akan selalu merasa bersama Tuhan, mencintai dan mentaati-Nya dengan sebenar-benarnya. Dia bukan hanya sekedar bisa melakukan kebaikan, tapi juga berani membasmi kemungkaran.Berani menarik garis tegas antara yang haq dan yang batil, antara yang halal dan baik dengan yang haram dan tidak baik.

Semoga itu adalah anda dan kita semua pembaca catatan ini.Aamiin.

Rabu, 01 Januari 2014

Seri "Tasawuf, Salon Kecantikan Jiwa di Era Globalisasi" (2): Musik Jiwa Dalam Perang Semesta.




Hampir bersamaan dengan meredanya Perang Dingin, ilmu pengetahuan dan teknologi juga mengalami perkembangan yang luar biasa pesat, terutama di bidang teknologi informasi.Jika perkembangan iptek di abad ke-19 telah menghasilkan industri moderen serta membuat hubungan antar benua dan daerah menjadi suatu keniscayaan, maka perkembangan iptek di akhir abad ke-20 telah membuat dunia serasa tidak berjarak, dan manusia merasa seolah bisa mewujudkan semua mimpinya.Bahkan ruang-ruang pribadi dalam rumahtangga pun seakan tidak bersekat lagi.

Lompatan-lompatan besar dalam iptek yang sangat spektakuler di paruh kedua abad ke-20, dipicu oleh Perang Dunia II. Masing-masing pihak yang berperang yaitu Jerman dan Jepang di satu pihak melawan Amerika Serikat dan sekutunya di pihak lain, berusaha menemukan alat-alat perang baru yang bisa mengalahkan musuhnya. Maka pada tahun1941, insinyur Jerman Konrad Zuse membuat komputer guna merancang pengoperasian pesawat terbang dan peluru kendali.Sementara Inggris membuat komputer buat memecahkan kode-kode rahasia Jerman.Selanjutnya Amerika pun tidak mau ketinggalan.

Pada generasi pertama, komputer tersebut berukuran sangat besar, hampir sebesar lapangan bola.Namun dengan penemuan transistor yang menggantikan tabung vakum di radio, televisi, peralatan elektronik dan komputer tahun 1948, maka ukuran-ukuran mesin dan alat-alat elektronik menurun drastis, dan terus mengecil seperti yang kita pakai sekarang. Di samping itu pemanfaatan komputer juga melesat luar biasa menjadi apa yang kita kenal sebagai teknologi informasi, yaitu teknologi apapun yang bisa membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengkomunikasikan serta menyebarluaskan informasi dengan kecepatan sangat tinggi, malahan bisa dibilang hanya sekejap.

Di bidang perhubungan dan pengangkutan atau distribusi barang, Perang Dunia II juga mendorong Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, US Army, untuk merancang sistem mobilisasi peralatan perang yang mudah, aman dan tepat guna, yang kemudian kita kenal dengan peti kemas. Seperti halnya penemuan komputer, suasana Perang Dingin setelah berakhirnya Perang Dunia II, memacu negara-negara maju untuk mengembangkan dan menyempurnakan penemuan-penemuannya semasa perang, termasuk penemuan sistem peti kemas.Sistem yang semula hanya dipakai di kalangan militer, kemudian dikembangkan menjadi untuk bisnis, dengan diluncurkannya pelayaran perdana kapal peti kemas Gate Way City tahun 1957, menempuh jalur Houston – New York. Selanjutnya pada tahun 1972, sistem peti kemas mulai go internationalmelayari jalur Eropa, Jepang dan Australia, dan dalam tempo lima tahun sudah melayari hampir seluruh dunia.

Sistem peti kemas mampu memuat apa saja, mulai dari produk dalam bentuk curah sampai produk-produk jadi yang berupa perakitan seberat puluhan ton. Ini merupakan revolusi moda transportasi yang juga luar biasa dengan keunggulan-keunggulan antara lain, keamanan lebih terjamin, risiko kerusakan barang kecil, biaya murah, proses distribusi barang yang meliputi pelayaran dan bongkar muat lebih cepat, kapasitas angkut besar dan merupakan multi moda transporasi darat – laut – udara.

Lompatan besar iptek lainnya yang bahkan sedang berlangsung yang belum bisa diketahui persis ujungnya, adalah apa yang disebut nano teknologi. Konsep nano teknologi diperkenalkan pertama kali oleh ahli fisika Amerika, Richard Feynman, pada tahun 1959. Istilah nano teknologi itu sendiri diresmikan oleh Prof.Norio Taniguchi di Jepang tahun 1974, dan sejak itu terus berkembang.

Nano teknologi adalah pembuatan dan penggunaan materi atau devais pada ukuran yang amat sangat kecil, mulai dari 0,1 hingga 100, selanjutnya disebut skala nano dengan kode nano meter (nm). Satu nm sama dengan satu per milyar meter (0,000.000.000.1m atau 10-9), yang berarti 50.000 kali lebih kecil dibanding garistengah rambut manusia.Contoh pembanding lainnya yaitu ukuran protein dalam sel tubuh manusia sebesar sekitar 5nm. Materi pada dimensi skala nano menunjukkan sifat fisis yang berbeda, sehingga dengan itu para ahli berharap dapat membuat terobosan baru di bidang iptek khususnya kesehatan. Sungguh tak terbayangkan, seberapa besar ukuran seperlimapuluhribu rambut manusia, terutama pula bagaimana memahami serta mendayagunakan materi sebesar itu bagi kehidupan kita.

Toh kini sudah terbukti. Beberapa contoh terobosan  penting yang sudah dipakai di berbagai produk yang digunakan di seluruh dunia, meliputi penggunaan di komputer, elektronik, kosmetika, pupuk, bahan polimer hingga ramuan herbal, misalkan: (1) katalis pengubah  pada kendaraan yang mereduksi polutan udara, (2) devais pada komputer yang membaca serta menulis dari dan ke hard disk, (3) beberapa pelindung terik matahari dan kosmetika yang secara transparan dapat menghalangi radiasi berbahaya dari matahari.

Tetapi lagi-lagi, tekonologi informasi super canggih itu pun dikuasai oleh kaum kapitalis, yang dengan dalih rasionalitas, efektivitas dan produktivitas, menawarkan kebebasan individu, kepentingan diri dan pasar bebas, yang kemudian memicu timbulnya Gelombang Globalisasi-II, melanda segenap pelosok dunia, bergulung-gulung, menggilas nalar serta melibas kearifan-kearifan tradisional dan agama.

Kapitalisme Global juga menggubah musik jiwa yang mendendangkan pemujaan pada pesona dunia dengan aneka selera dan gaya hidupnya, menggalang alam pikiran manusia agar terpadu secara total menjadi satu dimensi yang mengagungkan rasionalitas, yang pada hakekatnya membangun gaya hidup yang individualistis, materialistis, hedonistis dan bahkan narsis.

Bersama musik jiwa tersebut, Kapitalisme Global menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu yang menghisap individu-individu ke dalam pusaran sistem produksi dan konsumsi.Berbagai komponen penunjang seperti manajemen, media massa, industri periklanan, film dan cara-cara berrfikir sempit, semuanya diarahkan untuk memproduksi sistem represif dalam suatu masyarakat industri maju yang moderen yang tak mengenal alternatif. Manusia-manusia moderen di segenap pelosok bumi, mengira dirinya benar-benar hidup bebas dalam panggung pesona dunia yang menawarkan aneka kemungkinan untuk dipilih, diraih dan diwujudkan. Padahal kebebasan beserta kepuasan diri yang dikehendakinya, sesungguhnya hanyalah apa yang didiktekan oleh Kapitalisme Global kepadanya.

Perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan tekonologi, sesungguhnya harus kita syukuri. Namun pendayagunaannya yang melampaui batas kewajaran kebutuhan hidup, telah mendorong para kapitalis yang menguasainya menjadi serakah dan tamak,

Manusia yang memperoleh amanah sebagai khalifah di muka bumi, ternyata memang mempunyai potensi besar untuk merusak bumi itu sendiri.Pagar makan tanaman, demikian bunyi peribahasa, dimungkinkan bila manusia tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya.Tidak bisa mengalahkan godaan setan dan pesona dunia, yang dalam sub judul Surga Dikepung Kesulitan, Neraka Dikelilingi Kemudahan, saya sebut sebagai Divisi-Divisi Perang Panglima Setan.

Maka bila  nafsu serakah dan ketamakan manusia membara kemudian berkobar, ia menjadi lebih buas dibanding binatang yang paling buas sekalipun,  lebih buas dari harimau, lebih berbahaya dibanding ular yang paling berbisa. Harimau menerkam dan membunuh mangsanya hanya untuk sekedar makan penangsal perut, tidak lebih.Harimau tidak menyimpan dan menimbun makanannya.Sedangkan manusia membunuh rusa, harimau, gajah dan lain-lain bukan untuk makan tapi demi memuaskan dahaga ujub dan riya, berbangga lagi menyombongkan diri semata.Ia bangga dapat memamerkan fotonya di atas bangkai binatang buruannya, memajang kulit harimau, tanduk rusa yang bercabang-cabang dan gading gajah hasil buruannya. ((Memakanai Kehidupan, B.Wiwoho, Bina Rena Pariwara, 2006).

Prof.Dr.H.Abubakar Aceh dalam Pengantar Ilmu Tarekat, Uraian Tentang Mistik menyatakan, dari kacamata sufi, kerusuhan di dunia ini disebabkan oleh dua hal, pertama lantaran manusia tidak percaya adanya Tuhan. Kedua, karena manusia itu terlalu mencintai dirinya. Penyebab yang pertama mengakibatkan  orang tidak mengenal Tuhan, sehingga menjadi tidak takut dan tidak patuh kepada perintah dan larangan-larangan-Nya. Padahal perintah dan larangan-Nya itu dimaksudkan untuk menjaga keharmonisan hubungan antar manusia dan keharmonisan antar makhluk, bahkan keharmonisan alam raya.

Sebab yang kedua mengakibatkan orang mencintai harta benda  dan kekayaan, mencintai makan minum yang lezat yang berlimpah-limpah, mencintai anak-isteri secara berlebihan, mencintai rumah yang besar dan megah, mencintai nama yang harum dan masyhur, yang akhirnya membawa kepada kecintaan yang sangat kepada dunia dan ingin hidup kekal di atas permukaan bumi.

Kedua hal di atas membuat orang tidak mengindahkan tata nilai dan budi luhur, memuja hawa nafsu dan pesona dunia tanpa peduli dengan hak-hak orang lain, apalagi makhluk lain dan alam raya. Keinginan untuk membuat dirinya lebih berkuasa, lebih kaya, lebih hebat, lebih masyhur dari orang lain, sudah barang tentu menempatkan orang-orang lain berada di bawahnya, dengan konsekuensi merusak hubungan persaudaraan serta keharmonisan. Orang-orang yang seperti itu akan berjuang demi kepentingannya sendiri tanpa peduli terhadap kepentingan serta hak-hak orang lain, tanpa peduli untuk mensyukuri dan melestarikan alam raya dengan segenap seisinya. Mereka tidak mau memahami hakikat rahmatan lil alamien ataupun hamemayu hayuning bawono, meskipun mungkin mulutnya sering mengucapkan. Apa dan siapa pun harus tunduk dan mengabdi pada kepentingannya.

Kedua penyebab kerusuhan dunia tersebut sudah menyertai manusia semenjak awal, dan merupakan batu ujian bagi ketakwaan dan budi luhur. Alkisah, pada suatu hari Khalifah Ali bin Abi Thalib mengunjungi masjid besar Basrah dan menjumpai banyak orang  saling bercerita tidak karuan, sehingga ia mengusirnya. Tetapi tiba-tiba ia berdiri dekat satu golongan yang tengah mendengarkan  penuh perhatian terhadap cerita seorang anak muda, yang bernama Hasan. Lalu  Sang Khalifah berkata kepada anak itu, “Jika kamu dapat menjawab kedua soal ini, aku akan membiarkan engkau berbicara kepada kumpulan  orang-orang itu, namun bila engkau tidak memberikan jawaban yang benar, aku akan mengeluarkan engkau dari dalam masjid ini seperti mengeluarkan teman-temanmu yang lain. Maka kata anak itu, “Bertanyalah, ya Amirul Mukminin!” Lalu Khalifah Ali berkata, “Coba ceritakan kepadaku, apakah yang menyelamatkan agama atau peraturan, dan apakah yang merusakkannya?”. Sang anak menjawab, “Yang dapat menyelamatkannya adalah wara’, dan yang membinasakannya adaalah tamak.” Ali bin Abi Thalib menyahut, “Sungguh benar katamu itu. Orang semacam engkau layak berbicara terhadap orang banyak.”

Anak kecil tersebut tiada lain adalah Hasan Basri, yang dikemudian hari menjadi salah seorang tokoh sufi terkemuka. Semenjak kecil ternyata ia sudah bisa mengupas penyakit-penyakit jiwa manusia dan cara mengobatinya.

Sahabatku, alunan musik jiwa yang dihembuskan oleh Gelombang Globalisasi-II, pada hemat saya telah menjadi  “Perang Semesta”, yang tergolong perang paling dahsyat yang dikuatirkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana saya uraikan dalam sub judul Tiga Komponen Dasar Manusia, Rasulullah seusai Perang Badar meluruskan anggapan para sahabatnya yang menyatakan Perang Badar sebagai perang besar yang menghasilkan kemenangan dari segala kemenangan. Menurut beliau, kembali dari Perang Badar itu adalah kembali dari perang yang sekecil-kecilnya.”Kita ini kembali dari peperangan yang paling kecil, menuju peperangan yang lebih besar, yaitu peperangan melawan hawa nafsu.” Seorang sahabat bertanya, perang apa yang paling utama. Baginda Rasul menjawab, “Engkau perangi hawa nafsumu.”Abu Daud meriwayatkan sabda beliau, “Bukanlah orang yang gagah berani itu lantaran dia cepat melompati musuhnya di dalam pertempuran, tetapi orang yang berani ialah yang bisa menahan dirinya dari kemarahan.”

Perang Semesta yang menyertai Gelombang Globalisasi-II, merupakan perang moderen terdahsyat, yang bukan lagi ditentukan oleh benteng-benteng batu nan kokoh dan meriam, melainkan perang dalam segala bentuk, khususnya perang budaya dan gaya hidup yang mampu menembus masuk ke ruang-ruang pribadi di dalam rumahtangga setiap penduduk dunia.

Demi memenangkan peperangannya, para Kapitalis Global terus berusaha menggelorakan pesona gaya hidup beserta produk-produk konsumtifnya, dengan akibat di samping kerusakan tata nilai budi luhur dan  keagamaan, juga terkurasnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup.

Maasyaa-Allaahu la quwwata illaa billaah.