Senin, 23 November 2015

BENARKAH PRESIDEN JOKOWI MENERIMA WAHYU DARI TUHAN?

Benarkah Presiden Jokowi Menerima Wahyu dari Tuhan?

Minggu, 22 Nov 2015 - 11:32:45 WIB
Bambang Wiwoho, TEROPONGSENAYAN
200
 
63cropped-dsc_6553_1446976144657.jpg
Sumber foto : Istimewa
Bambang Wiwoho
Belakangan ini saya mendengar dan atau membaca dari beberapa tokoh, bahwa Pak Jokowi itu menjadi Presiden karena memperoleh wahyu dari Tuhan, sehingga kedudukannya sangat kokoh dan tidak mungkin dijatuhkan.
Yang terbaru, kemarin (Sabtu 21 November 2015) di sebuah grup What’s App (WA), Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga menyatakan serupa, antara lain:
“Catatan pemahaman saya, NKRI sekarang ini dalam tahap ‘Ngerubuhaken Pagere Batin’(arti secara umum : Merubuhkan/Merombak Pagar Batin yang Tidak Benar-Kodratnya). Jabatan Presiden RI Nusantara IND menurut kepercayaan Jawa adalah Wahyu...Wahyu akan berbicara melalui pikiran dan batin orang yang di naungi Wahyu terlebih dahulu sebelum orang itu menjadi Presiden. Seperti Presiden Bapak Jokowi sekarang ini sedang bergerak atas perintah Batin Wahyu tsb (amanah dari TuhanYang Maha Kuasa) karena beliau pemegang amanah dan Beliau penerima Wahyu memimpin Nusantara, walaupun Bp Jokowi sendiri mungkin tanpa menyadarinya awalnya -semua mengalir dengan sendirinya dan Bp Jokowi dengan pendukungnya mengalir bergerak -hingga menang Pilpres 2014-)
(Terkait polemik Angg'DPR VS Angg'DPR, DPR VS Lembaga Pemerintahan, Menteri VS Menteri dan opini serta Persepsi Publik yang beragam adalah wujud awal bergeraknya sebuah REVOLUSI MENTAL. Ini akan terus berlangsung sampai 2(dua) tahun mendatang. Jadi perwujudan konsep Revolusi Mental adalah yang terjadi sekarang ini & tidak bisa dicegah karena konsep tersebut yang berbicara ‘Wahyu’, melalui Bapak Presiden dan Bp Jokowi pegang amanah dan beliau Mampu mengendalikan Nusantara dengan kekuatan Batin beliau dan dukungan Masyarakat yg paham dan keyakinan bersma Bp Jokowi akan mampu membangun NUSANTARA IND RAYA- terima kasih(TjahjoKumolo)”

Media online Liputan6.com kemarin juga menurunkan berita yang kurang lebih sama dengan judul “Curhat Tjahjo dan Sudirman Said soal ‘Robohkan Pagar Batin” –https://www.liputan6.com/read/2371432
Saya tak hendak membahas apakah benar atau tidak jabatan pak Jokowi sebagai Presiden itu karena wahyu atau lantaran semata-mata keinginan dan upaya manusia (hawa nafsu) atau juga istidraj dari Gusti Allah dan lain-lain kemungkinan.
Sebagai orang Jawa, saya hanya ingin menyampaikan pemahaman dan filosofi wahyu dalam kepercayaan Jawa, khususnya Islam Kejawen.
Seorang pemimpin tertinggi dalam suatu negara atau kerajaan, dalam bahasa Jawa disebut Ratu, yang berasal dari kata rat yang berarti jagat atau alam raya. Seseorang bisa menjadi raja atau ratu menurut kepercayaan Jawa, karena ia memperoleh wahyu keratuan atau wahyu kedaton atau amanah selaku utusan Allah di jagad raya (khalifah fil ard), guna mewujudkan rahmat bagi alam semesta dan seisinya.
Tempat tinggal seorang ratu disebut keraton atau kedaton yang berasal dari kata dzat sing katon, maksudnya tempat tinggal wakil dzat Allah yang kelihatan.
Karena mengemban tugas sebagai utusan dan wakil Gusti Allah di muka bumi, maka si penerima wahyu juga harus bisa mencerminkan berbagai sifat mulai Allah, meneladani Kanjeng Nabi Muhammad SAW. menjauhi perilaku tercela, meninggalkan ujub dan riya, jujur, adil serta sungguh-sungguh ikhlas dalam mengemban amanah mewujudkan rahmat bagi jagat raya seisinya.
Seorang penerima wahyu juga harus memegang teguh sifat-sifat satria utama yaitu “Sumungkem ing Pangeran, bekti ing bapa biyung, welas asih ing sapada-pada. Berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta ing liyan, dosa lara diapura, dosa pati diuripi, kuat drajat kuat pangkat.
Artinya, sujud dan taat kepada Gusti Allah, berbakti kepada ayah-bunda, belas kasih kepada sesamanya. Berbudi luhur yang diamalkan dalam kehidupan, bersikap adil dan menyejahterakan tanpa membeda-bedakan orang, memaafkan orang yang menyebabkan kita sakit (dalam arti luas termasuk menderita), memberikan hak hidup orang yang menyebabkan kematian (terutama kematian pada keluarga kita).
Kuat mengemban derajat dan pangkat.” Jika tidak, maka wahyu kedaton bisa oncat atau pergi meninggalkannya, menjadi orang yang tidak kuat memikul derajat dan amanah, bahkan bukan tidak mungkin tercampakkan luluh lantak. Naudzubillah.
Semoga kita bangsa Indonesia khususnya para elit penguasa, diampuni dan dianugerahi kesadaran dan kemampuan untuk bisa menjadi pemimpin yang amanah dalam mengemban wahyu kepemimpinannya, yakni mewujudkan rahmat bagi semesta alam, khususnya dalam membasmi kezaliman mewujudkan ketenteraman dan menegakkan keafilan serta menyejahterakan rakyat. Aamiin.(*)
http://www.teropongsenayan.com/21879-benarkah-presiden-jokowi-menerima-wahyu-dari-tuhan



Minggu, 22 November 2015

JENIS-JENIS KEZALIMAN PENGUASA : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (10).





Sahabatku, dalam seri-seri terdahulu kita sudah membahas nasihat Al Ghazali tentang negara yang bermoral dan keteladanan pemimpin, tentang gaya blusukan dan ketakutan Khalifah Umar atas kepemimpinannya yang membiarkan rakyatnya hidup melarat serta makna kezaliman.

Al Ghazali mengingatkan, peranan kepemimpinan sangat menentukan kehidupan masyarakat. Pada hematnya rusak rakyat karena rusak penguasa, dan rusak penguasa karena rusak ulamanya. Ternyata pangkal dari segala kerusakan tersebut adalah para ulama. Oleh karena itu para ulama harus tegak menjaga fungsinya sebagai pemegang amanah Allah, penjaga waris Nabi-Nabi dan penegak politik keadilan.
Para ulama dan cendekiawan  harus bersikap waspada dan jangan menundukkan diri kepada politik kezaliman, bahkan jika dianggap perlu harus mengambil sikap uzlah, menjauhkan diri dari segala soal yang berbau politik dan pemerintahan.

Perihal kezaliman penguasa, Al Ghazali membagi dalam 3 macam yaitu (1). Zalim terhadap kehormatan dan hak-hak manusia; (2). Zalim terhadap harta benda rakyat; (3). Zalim terhadap jiwa rakyat.
Betapa keras Allah memperingatkan hamba-hambanya agar jangan berbuat zalim, sampai-sampai dituangkan ke dalam 192 ayat suci Al Qur’an. Marilah kita kutip kembali salah satu perintah-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberikan kepada  kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran.” (An Nahl:90).

Perintah tersebut kemudian dipertegas oleh Rasulullah Saw. dengan menyatakan bahwa sehari keadilan seorang penguasa jauh lebih baik dari 70 tahun beribadah. Bahkan diperkuat lagi, kekuasaan dapat kekal beserta kekufuran, tapi tidak bisa kekal bersama kezaliman. Hadis ini menguatkan kenyataan yang menunjukkan betapa negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim, namun bisa bertahan sejahtera ratusan tahun, lantaran penguasa dan kehidupan masyarakatnya mengutamakan keadilan serta tegas dalam memberantas kezaliman. Tidak jarang diantara kita menyebut mereka bukan islam tapi islami.

Uraian tentang berbagai nash dalam ajaran Islam berikut Sunnah Rasulullah Saw., menunjukkan bahwa Islam telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana bersikap dan berperilaku sebagai pemimpin, baik pemimpin negara, masyarakat maupun agama. Namun mengapa kenyataan yang kita hadapi sehari-hari dewasa ini seolah-olah bertolak belakang?

Para politisi Indonesia, sering menyatakan negara kita sebagai negara demokrasi, dan seperti yang lazim kita pahami, demokrasi itu ditopang oleh empat pilar. Pertama, penegakan hukum. Sudahkan berjalan dengan baik dan adil. Dari berbagai media massa kita harus jujur masih jauh panggang dari api. Kedua, partai politik. Bagaimana pula kenyataannya? Sudah menjadi rahasia umum, politik kita adalah “politik wani piro.”  Artinya uang lebih berkuasa dan berperan dari norma serta aturan main yang seharusnya. Akibatnya, panggung perpolitikan nasional dikuasai pengusaha-penguasa yang memang menguasai kekuatan uang. Ketiga, media massa. Siapa yang menguasai dan bagaimana keberpihakannya? Juga tak jauh dari pilar kedua.

Keempat, masyarakat sipil. Inilah tumpuan harapan masyarakat luas. Masyarakat banyak yang menderita karena bencana asap yang berbulan memenuhi  paru-parunya. Masyarakat yang tidak mampu ikut menikmati kesejukan udara serta kelezatan makanan di mall-mall nan mewah. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan masih mengenakan koteka di tanah kelahirannya yang memiliki gunung emas. Tetapi, sebagaimana firman Gusti Allah Swt.: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka mengubah diri mereka sendiri ” (Surat Ar Ra’du:11).

Maka wahai para sahabat, marilah kita saling bahu-membahu, berjuang, bergerak bersatu mengubah nasib masyarakat, nasib kita sendiri, dan bukan hanya sekedar ndremimil ataupun menggerutu. Yakinlah, Allah Yang Maha Kuasa, Penguasa dari Segala Penguasa, Pemilik Perbendaharaan Langit dan Bumi akan menolong kita, menegakkan keadilan dan menganugerahkan kesejahteraan kepada kita bangsa Indonesia. Aamiin. Berikutnya: PERANG MELAWAN PENGUASA ZALIM ADALAH KETAATAN KEPADA ALLAH SWT.




Senin, 16 November 2015

Mengapa TNI/Polri Mau Dikelabuhi Amandemen Konstitusi?

TSKita

Mengapa TNI/Polri Mau Dikelabuhi Amandemen Konstitusi?

Minggu, 15 Nov 2015 - 18:38:26 WIB
Bambang Wiwoho, TEROPONGSENAYAN
9cropped-dsc_6553_1446976144657.jpg
Sumber foto : Istimewa
Bambang Wiwoho

Setelah UUD 1945 diamandemen yang keempat kalinya pada tahun 2002, baru kali ini saya mendengar seruan tegas dan jelas dari tokoh Keluarga Besar TNI – Polri, yaitu Purnawirawan Jenderal Bintang Empat, Mantan Panglima ABRI Djoko Santoso, yang menyerukan konsolidasi nasional untuk Gerakan Kembali ke Pancasila dan  UUD 1945.

Seruan yang dikemukan dalam Deklarasi Gerakan Selamatkan Indonesia Dengan Kembali Ke Pancasila & UUD 1945 hari Kamis 12 November 2015 itu, juga menegaskan gerakan harus didukung oleh seluruh komponen bangsa Indonesia termasuk TNI dan Polri yang berpedoman kepada Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Tribrata.

Sebelumnya ia menyatakan, Amandemen UUD 1945 telah membawa ketidaksesuaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Amandemen juga telah menginfiltrasi  kehidupan dan pertahanan konsepsi bernegara dengan faham liberalisme baru dan kapitalisme baru. Kedua faham tersebut telah mencengkeram  dan menghisap darah bangsa Indonesia yang akan berakibat fatal bagi kita.

Seruan untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945, belakangan ini kembali marak diperjuangkan oleh generasi muda dan mahasiswa antara lain dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah,  Persatuan Mahasiswa Khatolik Republik Indonesia, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pemuda Gereja Kristen Indonesia, Mahasiswa Hindhu Dharma, Asosiasi Pedagang Kaki Lima, Gerakan Bumiputera, Front Nasional dan lain-lain.

Pada tahun 2004,  penulis juga pernah ikut aktif mendeklarasikan gerakan serupa yang bernama Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR), yang didukung oleh para sesepuh bangsa antara lain KH.Ali Yafie, Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, aktivis Hariman Siregar, tokoh purnawirawan Polri Nugroho Djajusman, sejumlah purnawirawan dan aktivis.
 Sayang sekali, GKIR yang pada kelahirannya memperoleh dukungan luas dan menjadi tumpuan harapan masyarakat yang setia pada cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu, semenjak 2009 mati suri. Selanjutnya perjuangan untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945 hanya berlangsung di ruang-ruang tertutup oleh kelompok-kelompok terbatas,  berlangsung bagaikan orang onani yang memuaskan diri sendiri tapi tidak dirasakan oleh orang lain apalagi masyarakat luas.
Syukur Alhamdulillah, meski diwarnai oleh sejumpah tuntutan lain, para pemuda, mahasiswa dan masyarakat lapisan bawah yang penulis sebut di atas tadi, gencar melakukan gerakan termasuk demonstrasi untuk menuntut diluruskan serta dikembalikannya kiblat kemerdekaan bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Baik gerakan GKIR maupun para pemuda dan mahasiswa sekarang ini menyadari dan memahami, UUD 1945 bukanlah kitab suci yang tidak bisa dikutak-katik, tidak boleh diubah. UUD 1945 perlu disempurnakan, misalkan tentang pasal masa jabatan Presiden yang memang harus dibatasi hanya boleh selama dua kali saja. Namun demikian penyempurnaan janganlah dilakukan dengan cara amandemen seperti selama ini, yang merombak total batang tubuh UUD, melainkan dengan cara adendum-adendum.

Sebagaimana telah saya tulis dalam seri artikel “Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (4) : Ancaman Presiden Soeharto/TNI Terhadap Siapa Saja yang Mau Mengubah UUD '45 (baca ini) dan juga dimuat dalam buku “Pak Harto Anak Desa Membangun Kepentingan NasionalAK”  yang diterbitkan oleh Unversitas Mercu Buana halaman 223 – 250.
Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengakui UUD 45 setelah empat kali amandemen mengalami perubahan sampai 300 persen dibanding UUD 1945 yang asli. Sementara pakar hukum tatanegara Maria Farida mengatakan sesungguhnya Indonesia sudah membuat konstitusi baru, bukan hanya mengubah UUD 1945.

Menjadi pertanyaan mengapa UUD yang baru sama sekali itu tetap disebut sebagai UUD 1945 dan bukan UUD 2002?  Itu semua pada hemat penulis adalah manipulatif untuk mengelabui dan menghindari konflik dengan TNI – Polri, karena Sumpah Prajurit TNI yang terdiri dari lima butir, butir pertamanya berbunyi : “Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,”bukan UUD 2002! Demikian pula Tri Brata Polri yang butir keduanya berbunyi: “Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dalam menegakakan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,” sekali lagi bukan UUD 2002.

Lantas mengapa TNI – Polri mau dikelabui dengan UUD yang namanya saja UUD 1945, tetapi sesungguhnya UUD yang baru sama sekali? Itulah pertanyaan besar yang selama ini menggelayut, yang pada hari Kamis tanggal 12 November yang lalu mulai memperoleh titik terang dengan seruan Jenderal Djoko Santoso yang menyatakan TNI dan Polri harus mendukung gerakan Penyelamatan Indonesia dengan kembali ke Pancasila dan UUD 1945.
Tentu tetap dengan catatan, selanjutnya mari kita sempurnakan bersama dengan melibatkan seluruh rakyat, secara cermat dan seksama dengan cara membuat adendum-adendum.  Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa merahmati dan memberkati kita bangsa Indonesia. Aamiin.(*)

Dikutip dari media online Teropong Senayan, Minggu 15 November 2015.

PAHAMKAH ANDA TENTANG MAKNA ZALIM : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (9).





Kata zalim atau lalim sering kali kita ucapkan. Bahkan jika ada seseorang atau pihak yang menyakiti hati kita, membuat rugi atau menderita, dengan mudah kita mengatakan orang tersebut zalim. Tapi sungguhkan anda, kita semua, paham akan makna zalim?
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata lalim atau zalim itu luas maknanya. Ia bisa berarti bengis, kejam, tidak adil, sewenang-wenang, menindas atau juga tidak menaruh belas kasihan. Betapa pentingnya kata ini harus dipahami oleh umat manusia khususnya umat Islam, Gusti Allah Yang Maha Adil menuangkannya tidak kurang dalam 192 ayat Al Qur’an. Bandingkan dengan dua kata yang juga bermakna jelek seperti munafik dengan 28 ayat dan munkar dengan 15 ayat.

Meskipun demikian banyak lagi keras peringatan Allah Swt atas perbuatan zalim, masih saja banyak orang yang tetap berlaku zalim, bahkan jangan-jangan diri kita sendiri juga. Naudzubillah. Mari coba kita camkan beberapa peringatanNya, “ Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim (3:140)……Tempat kembali mereka adalah neraka dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim (3:151)….. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolongpun (3: 192…..Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat  di waktu orang-orang zalim dalam tekanan-tekanan sakaratul maut (6:93)…. Sesungguhnya orang-orang zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan (6:135)….Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang zalim (7:41)…..Ingatlah, kutukan Allah ditimpakan atas orang-orang zalim (11:18).”  Sungguh mengerikan. Naudzubillah.

Karena itu wahai sahabatku terutama para pemimpin yang memperoleh amanah dari orang banyak, marilah kita saling mengingatkan dan saling menjaga agar kita tidak berlaku zalim seperti tidak adil, menahan hak orang lain misalkan hak karyawan atau hak teman yang ada dan diamanahkan pada kita, menyakiti atau menganiaya orang lain baik fisik maupun non fisik. Sebab tanpa mereka mendoakan buruk pada kita pun, Allah yang Tidak Pernah Tidur lagi Maha Adil, sudah akan  mengutuk kita. Apalagi jika orang yang kita zalimi tersebut mengadukan persoalannya kepada Allah, maka berlipatgandalah hukuman dan kutukan Allah kepada kita. Naudzubillah.

Meski Allah melarang kita mendoakan orang lain agar celaka, namun khusus terhadap orang-orang yang dizalimi Allah membolehkannya. Jadi saat seseorang dizalimi dan disakiti dan dia mendoakan orang yang menyakitinya agar ditimpa musibah, Allah akan mengabulkannya, sebagaimana firmanNya: " Allah tidak menyukai kata-kata jahat yang diucapkan dengan terus terang, kecuali dari orang yang teraniaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (4: 148).”

Sahabatku, oleh karena itu sikap adil harus tetap ditegakkan kepada siapa pun baik dia muslim, kafir ataupun orang jahat. Sebab doa orang yang teraniaya meski mereka itu kafir dan jahat, tetap dikabulkan oleh Allah Swt, sebagaimana hadis yang diriawayatkan oleh Mu’az: “Aku diutus oleh Rasulullah saw. lalu Beliau saw. bersabda:
‘Sesungguhnya engkau akan mendatangi sesuatu kaum dari ahli kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah patuh untuk melakukan itu, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka salat lima waktu dalam setiap sehari semalam. Jika mereka telah patuh untuk melakukan itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka, kemudian diberikan kepada yang miskin. Jika mereka telah patuh untuk melakukan itu, jauhilah harta mereka. Peliharalah diri kalian dari doa orang yang terzalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara doa tersebut dengan Allah.’ “ (Muttafaq 'alaih)

Sementara itu Abu Hurairah juga mengisahkan sabda Kanjeng Nabi : Ada tiga doa mustajab (dikabulkan) yang tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang teraniaya, doa musafir, dan doa buruk orang tua kepada anaknya. (HR Abu Daud dan al-Tirmizi)”.

Hal tersebut diperkuat oleh Anas yang mengungkapkan peringatan keras Rasulullah : "Hendaklah kamu waspada terhadap doa orang yang dizalimi sekalipun dia adalah orang kafir. Maka sesungguhnya tidak ada penghalang diantaranya untuk diterima oleh Allah." (Hadis riwayat Ahmad). Kemudian dipertegas lagi oleh kisah Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: "Doa orang yang dizalimi itu diterima sekalipun doa dari orang yang jahat. Kejahatannya itu memudaratkan dirinya dan tidak memberi kesan pada doa tadi." (Hadis hasan riwayat at-Tayalasi). Demikian pula dari Ibnu Umar r.a, Rasulullah saw mengingatkan : "Hendaklah kamu waspada terhadap doa orang yang dizalimi. Sesungguhnya doa itu akan naik ke langit amat pantas seumpama api marak ke udara." (Hadis riwayat Hakim - sanad sahih).

Seorang sahabat pernah bertanya tentang sahabat yang lain yang kehidupannya berkelimpahan dengan pesona dunia, padahal suka bermaksiat termasuk zalim sebagai abdi negara. Sahaya jawab itulah yang disebut istidraj. Maka kemudian sahaya kutipkan nasihat Baginda Rasul seperti yang diceritakan Ubah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut: “Bila kamu melihat Allah memberi seorang hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad).
Selanjutnya Kanjeng Nabi membacakan firman Allah Swt: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am: 44)

Oleh sebab itu wahai sahabatku, dalam rangka kewaspadaan dan kehati-hatian,  marilah kita sering mawas diri dan bermuhasabah, apakah kita sudah sungguh-sungguh hidup bahagia, tenteram dan bersih dalam arti yang luas? Lebih-lebih jika pesona dunia datang bertubi-tubi, benarkah ini hadiah Allah, ujian ataukah justru istidraj? Jangan-jangan ada sesuatu dalam perjalanan hidup kita, ada sesuatu di dalam rezeki kita, yang tidak berkenan bagi Allah terutama yang terkait dengan perbuatan zalim. Adakah hak fakir miskin, yatim piatu dan orang lain yang kita tahan  bahkan kita rampas, kita tipu, kita curi? Adakah hak rakyat banyak yang kita korupsi sebagaimana dikecam oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw dalam seri tulisan no 5 yang lalu, yakni : “Sejahat-jahat penguasa adalah siapa yang melahap harta yang bukan haknya. Sebab, ia membuat rusaknya tata cara dan menjadi penyebab penderitaan, meluasnya kesulitan serta meratanya kesusahan.” 

Semoga kita dijauhkan dari perbuatan terkutuk itu. Aamiin. Berikutnya: Jenis-Jenis Kezaliman Penguasa.

Minggu, 15 November 2015

OPERASI WOYLA : Kisah Operasi Pembebasan Pesawat Garuda Indonesia


Operasi WoylaOperasi Woylayogasyubah AsaYopandieharmoko
OPERASI WOYLA

Buku Operasi Woyla menceritakan kisah nyata tentang operasi penyelamatan pesawat milik maskapai penerbangan Garuda yang dibajak pada Sabtu pagi 28 sampai Selasa 31 Maret 1981, yang mengangkut 6 (enam) orang awak pesawat dan 48 penumpang. Pesawat jenis McDonel Douglas berkapasitas 102 penumpang tersebut berangkat dari Jakarta, singgah di Palembang dengan tujuan akhir Medan, dibajak begitu tinggal landas dari pelabuhan udara Talang Betutu, Palembang. Pesawat ini sebagaimana kelaziman kala itu, diberi nama salah satu gunung atau sungai di Indonesia, dan untuk pesawat bernomor penerbangan GA 206 ini diberi nama Woyla, yaitu nama sebuah sungai besar di Aceh Barat.
Karena mengisahkan operasi penyelamatan pesawat Garuda “Woyla”, maka buku ini pun diberi judul OPERASI WOYLA.

Buku ini disusun berdasarkan suatu pengamatan yang dilakukan melalui beberapa rekonstruksi, wawancara-wawancara dengan para pelaku langsung, menelaah rekaman-rekaman pembicaraan selama pembajakan berlangsung, mengamati film-film dokumentasi yang dibuat oleh televisi Muangthai, serta menyimak dokumen-dokumen tertulis baik yang dibuat oleh pejabat-pejabat yang menangani peristiwa tersebut maupun oleh media massa luar dan dalam negeri seperti Suara Karya, Sinar Harapan, Kompas dan Tempo.

Mengingat situasi politik keamanan yang keras dan ketat di masa itu, dan juga demi melindungi para anggota pasukan komando yang terlibat langsung dalam operasi fisik pembebasan dari kemungkinan balas dendam dan ancaman lain, maka tidak semua pihak boleh diwawancarai. Bersyukur penulis bergerak cepat menelusuri dan merekonstruksi tatkala beberapa tempat kejadian masih mendekati aslinya, bahkan beberapa berkas masih ditempatnya. Dan yang lebih membantu pula, Jenderal Yoga Sugomo dan Duta Besar Indonesia untuk Muangthai Letnan Jenderal Hasnan Habib berbicara terbuka apa adanya, dengan mempersilahkan penulis untuk menyaring sendiri mana yang pantas mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk. Insya Allah pada saat yang tepat apa-apa yang belum diungkapkan sampai hari ini, bisa diungkapkan kelak sebagaimana adanya.

Operasi Woyla berhasil baik dan dikagumi dunia internasional, berkat ridho Gusti Allah Swt serta kerja keras yang cermat dan baik dari 3 pusat kendali penanganan operasi yaitu Crisis Center Jakarta yang dipimpin oleh Laksamana Sudomo, Crisis Center Don Muang yang dipimpin Jenderal Yoga Sugomo dan Letnan Jenderal Hasnan Habib serta Pasukan Komando yang dipimpin Letnan Jenderal Benny Murdani. Mereka-mereka yang terlibat dalam operasi nyaris tidak tidur dan tidak meninggalkan lokasi tugas masing-masing selama hampir empat hari.

Buku Operasi Woyla adalah sebuah bahan sejarah yang dikemas secara populer dan disajikan semenjak dini ketika peristiwanya masih hangat, dan pelaku-pelakunya masih lengkap. Dengan demikian diharapkan semua pihak dapat secara cepat memberikan pembetulan, meluruskan yang ternyata bengkok dan mengisi hal-hal yang masih kosong atau terlampaui.

Karena yang menyusun adalah seorang wartawan – bukan sastrawan dan sejarawan – buku ini menurut penulisnya, tentu masih jauh dari sempurna. Meskipun demikian, berdasarkan cara, bentuk dan saat penyajiannya, mudah-mudahan bisa memberikan sumbangan atau setidak-tidaknya memancing munculnya bahan sejarah yang lebih lengkap dan dapat dipercaya, sehingga kelak tidak akan terjadi pemalsuan sejarah.

Guna melengkapi gambaran situasi nasional pada masa itu, berikut kami kutipkan tiga pernyataan tentang Operasi Woyla. Pertama, pesan Presiden Soeharto kepada Jenderal Yoga Sugomo 28 Maret 1981 jam 16.15 di Jalan Cendana 8 Jakarta, yang juga dikutip di bagian depan buku Operasi Woyla, yaitu; “Kau boleh melakukan tindakan apa saja untuk menyelamatkan penumpang dan pesawat, asal jangan mengorbankan kehormatan negara. Dan kalau seandainya semua jalan gagal, kau boleh melancarkan operasi militer. Tapi ingat, jangan grusa-grusu! Jangan gegabah!”

Kedua, catatan tulisan tangan Jenderal Yoga Sugomo kepada penulis tertanggal 17 Oktober 1981: “terima kasih sebesar2nya kpd sdr Wiwoho. Yang secara berani dan obyektif mengungkapkan suatu “mysterie” yg oleh berapa fihak selalu dicoba utk ditutupi. Semoga buku ini akan merupakan bekal utk terus “Berjuang” selaku Prajurit Pena. Yoga Soegomo (dengan tandatangan)”.
 
Ketiga, pernyataan Letnan Jenderal Ali Murtopo kepada penulis pada tanggal 20 September 1983, yang kemudian menjadi semacam testimoni tentang Yoga Sugama, dan diterbitkan dalam buku “Memori Jenderal Yoga” sebagai berikut: “ ….karena pengalaman, saya rasa Pak Harto sukar untuk meninggalkan Pak Yoga dalam penugasan-penugasan negara. Dan juga tidak mungkin ada fitnah lagi. Saya tahu orang-orang yang memfitnah. Saya tahu berapa kali Pak Yoga difitnah. Belakangan sih ada, mulai lagi, umpamanya pada sekitar tahun 79 – 80, yaitu sesudah pembentukan kabinet. Sampai pak Yoga ke Hankam itu pun sudah difitnah. Tapi mungkin karena Pak Yoga sudah berpengalaman, Pak Harto sudah berpengalaman, pak Harto sudah lebih mengenal Pak Yoga, dan Pak Yoga sudah tidak emosional, sudah mampu menyesuaikan, maka tidak terjadi hal-hal yang jelek. Yang lebih jelek, karena sebetulnya saat itu sudah jelek sekali. Tapi karena Pak Harto sudah ndak bisa dibohongi, ya sudah.
Waktu mengenai Woyla mau dicoba lagi. Saya pikir, suruh orang-orang itu baca buku Operasi Woyla saja. Betul nggak? Waktu Woyla, pejabat mana yang berani secara voluntary, secara sukarela menawarkan diri menjalankan tugas. Coba menawarkan diri. Padahal risikonya besar sekalu. Lebih besar dibanding lucknya.”

Mengapa pak Yoga sampai menulis seperti itu? Juga mengapa pak Ali Murtopo menyatakan hal yang senada? Biarlah kelak waktu dan sejarah yang mengungkapkan. Semoga.
Beji, Depok 13 malam 14 Oktober 2015.

DIKUTIP DARI BLOG bukusahabatwiwoho : https://bukusahabatwiwoho.wordpress.com/2015/09/14/operasi-woyla/



POLEMIK ANCAMAN KAUM PEDAGANG DALAM DEMOKRASI INDONESIA (5) : Dikutip dari Media Online Teropong Senayan.

Polemik Penguasa vs Pengusaha

Dwifungsi Penguasa-Pengusaha, Tanggapan Untuk Sayuti Ashyatiri

Minggu, 06 Sep 2015 - 17:14:48 WIB
Bambang Wiwoho , TEROPONGSENAYAN
39IMG-20150904-WA0001_1441452168950.jpg
Sumber foto : Istimewa
Bambang Wiwoho
Terima kasih ustadz Sayuti Ashyatiri (SA) atas pencerahannya. Bukan maksud saya melecehkan profesi pedagang. Tapi meletakkannya pada tempat yang semestinya.
Mungkinkan ada yang berkilah, bukankah Kanjeng Nabi Muhammad SAW juga pedagang. Iya betul, itu sebelum masa kenabian beliau. Bahkan bukan hanya beliau saja, tapi juga sejumlah sahabatnya.
Namun begitu beliau-beliau menjadi pemimpin umat, motif  pedagangnya diletakkan dan motif kenegarawanan dan keimamahannyalah yang kedepankan.
Hal itu dilakukan pula oleh Jimmy Carter sebagaimana ustadz SA kemukakan tadi. Padahal Jimmy Carter bukan seorang muslim.
Sungguh kita adalah negara besar yang membutuhkan bangkit, tumbuh  berkembang dan bersatupadunya segenap potensi bangsa.
Dan itu saya kemukakan dengan tegas sehari sebelum saya memposting tanggapan atas pendapat-pendapat adinda Haris Rusly dan Hatta Taliwang, sebagai pembicara dalam Seminar Revolusi Mental Mewujudkan Ekonomi Berdikari yang diselenggarakan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM di Yogyakarta.
Insya Allah nanti saya posting juga contoh berita dan link blog yang memuat makalah lengkapnya.
Apa yang ustadz uraikan selainnya, saya setuju dan itulah yang merisaukan saya, yakni campur aduknya fungsi yang satu dengan yang lain. Itulah dwifungsi yang pasti tidak sehat dan tidak bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Saya merindukan Indonesia memiliki banyak pengusaha besar yang tangguh berkelas internasional. Saya juga merindukan para penegak hukum yang  tegas, berani, jujur dan adil. Saya juga merindukan negarawan-negarawan yang sebagaimana saya ungkapkan terdahulu.
Juga pencerahan-penceragan yang bijaksana seperti dari dari anda ini. Sekali lagi, terima kasih dan salam takzim. Sekalian mohon ijin saya forward ke Teropong Senayan yang telah mengangkat pendapat saya, komentar pak Fuad Bawazir dll dalam kolom-kolomnya.(*)
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

POLEMIK ANCAMAN KAUM PEDAGANG DALAM DEMOKRASI INDONESIA (4) : Dikutip dari Media Online Teropong Senayan.

Polemik Penguasa vs Pengusaha

Inilah 9 Langkah Politik Agar Negara Tak Makin Terpuruk

Minggu, 06 Sep 2015 - 15:39:50 WIB
Muchtar Effendi Harahap (Aktivis Mahasiswa 77/78), TEROPONGSENAYAN
17Edit_UNI_80051-770x512 (1).jpg
Sumber foto : Eko S Hilman/TeropongSenayan
Kabinet Kerja Presiden Jokowi
Belakangan ini sejumlah pengamat menggugat keberadaan dan kiprah saudagar atau pelaku usaha/bisnis dalam bidang  pemerintahan. Ada asumsi bahwa pelaku usaha dalam pemerintahan hanya mementingkan usaha dan ekonomi  dirinya, bukan rakyat, dan membawa kultur transaksioalisme.
Sesungguhnya dalam dunia masyarakat demokrasi sejati (cita-cita) rakyat seharusnya terdiri dari tiga komponen/bidang kehidupan: 1. Pemerintahan/negara; 2. Dunia usaha/pelaku usaha; 3. Masyarakat madani ( civil society). Terdapat diferensiasi fungsi.
Masalahnya, rakyat Indonesia telah memilih jalan ke demokrasi, bukan Islam, bukan sosialis komunis, bukan fasis, bukan totaliter diktator, bukan juga militeris, tetapi negara diperlemah. Kekuatan/pelaku usaha masuk ke bidang pemerintahan. Manusia politisi pemerintahan masuk ke dunia usaha.
Aktor masyarakat madani misalnya mantan ketua ormas Islam, masuk ke pemerintahan, dan manusia pemerintahan juga pelaku usaha masuk ke ormas madani. 'Ideologi' yang diberlakukan 'ideologi sinkritisme'.
Hal ini diperkuat lagi oleh budaya politik Jawa, yang dibawa oleh politisi Jawa dalam pemerintahan. Sebelum jadi politisi pemerintahan gaya hidupnya sederhana, jujur dan mengesankan dekat dengan rakyat atau umat.
Tetapi, setelah berkuasa dan duduk dalam pemerintahan, mengutamakan sanak famili untuk berkuasa walau melanggar ketentuan yang dibuat sendiri. Bersamaan itu, sang aktor yang tadinya sederhana, kemudian membeli tanah dan property sebanyak mungkin  sebagai 'syimbol' dan 'status' kebergasilan di masyarakat madani.
Pelaku usaha dan masyarakat madani memasuki bidang pemerintahan dengan kendaraan parpol yang membutuhkan dana sangat besar untuk bisa terbentuk, berlanjut dan bertarung dalam pemilu, pilpres dan pilkada.
Jelas fenomena negatif ini semakin menguat di era reformasi, dan menurut saya, akan terus menyingkirkan, menjerumuskan, membawa rakyat kebanyakan ke dalam lembah kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan.
Cita-cita pembentukan negara RI, menjadi tidak relevan, dan hanya utopia atau ilusi belaka dan sebagai bunga-bunga waktu acara 17 Agustus.
Apa yang harus dilakukan agar fenomena ini dihentikan? Minimal ada 9 keputusan politik rakyat harus diambil.
1. Pemilihan Presiden, Gubernur,Walikota dikembalikan model pemilihan oleh legislatif, bukan pemilihan langsung dari rakyat.
2. Hapuskan mekanisme penetapan calon oleh parpol.
3. Wewenang parpol dibatasi hanya rekruitmen  politik (anggota legislatif) melalui pemilu dan dihapuskan hubungan struktural parpol dan fraksi di legislatif.
4. Penegakan hukum konsekuen terhadap parpol tidak melaksanakan tugas fungsi parpol sesuai UU dan dibekukan , dibubarkan  atau dilarang ikut pemilu.
5.Hapuskan keterlibatan DPR menentukan Kapolri, Panglima TNI, Duta Besar.
6. Hapuskan Komisaris independen di BUMN dan BUMD.
7.Hapuskan staf khusus Menteri non PNS.
8. Larangan kader parpol pegang jabatan pemerintahan/negara, seperti Kajagung, KaBin, MK, KY, MA, dll.
9. Hapuskan model pelelangan eselon 1 dan 2 bagi non PNS dll.
(*)
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

POLEMIK ANCAMAN KAUM PEDAGANG DALAM DEMOKRASI INDONESIA (3) : Dikutip dari Media Online Teropong Senayan.

Polemik Penguasa vs Pengusaha

Seperti Nabi, Pedagang Juga Bisa Menjadi Penguasa

Minggu, 06 Sep 2015 - 14:41:02 WIB
Sayuti Ashyatiri, TEROPONGSENAYAN
99images (1)_1441524248238.jpg
Sumber foto : Istimewa
Istana Presiden
Dalam pengertian yang umum, sesungguhnya semua manusia adalah pedagang, dan 'perdagangan dengan Tuhan adalah perniagaan yang tidak akan pernah merugi'.
Kita hanya dibolehkan mengecam perbuatan buruk terutama yang menciderai kesalehan sosial (tidak 'mencampuri' yang individual yang tidak berkaitan dengan masalah sosial) karena itulah kita berhak bicara kritis tentang pejabat dan kebijakan publik mereka.
Kalau ada pelanggaran hukum dan etika maka ada pengadilan dan mahkamah untuk itu. Tetapi kita tidak bisa bahkan tidak boleh mengecam profesi yang dibenarkan secara etik dan legal, karena semua Nabi memiliki profesi yang berbeda beda.
Ada yang jadi panglima ketentaraan, ada yang teknolog dan pandai besi, ada yang kaya raya seperti Sulaiman as dan sekaligus sebagai Raja di Raja, ada yang penggembala kambing seperti Nabi Saleh as, ada pejuang keadilan seperti Musa as, ada yang ahli Hikmah non liner kwantum seperti Khidir as dll.
Kalau ada pedagang yang jadi pejabat, maka ada baiknya diumumkan pada publik, bahwa sejak menjadi pejabat maka semua kegiatan dalam hubungan dengan perdagangannya dihentikan.
Selain itu dia akan bertindak impersonal serta adil tanpa kaitan kepentingan pribadi dengan kepentingan usahanya yang dulu digelutinya atau usaha usaha apa saja yang lain yang menguntungkan dirinya dan merugikan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Juga tidak memberikan perlakuan khusus kepada kroni dan keluarganya, agar rakyat menemukannya sebagai gantungan harapan dalam perlindungan dan pemecahan masalah mereka dalam membangun kehidupan. Pada saat itulah dia dituntut menjadi negarawan.
Tulisan tentang saudagar yang dikemukan Pak Wiwoho, sangat menyentuh nurani kerinduan kita akan perlu hadirnya para negarawan di negeri ini. Tentu dengan memberikan pemaknaan terhadap profesi saudagar dalam pengertian yang adil.
Pada waktu gerakan gerakan 77/78 berlangsung di UI, ada sebuah artikel menarik yang ditulis oleh seorang Doktor lulusan Australia, saya lupa namanya mungkin @Bunga ingat, yang kemudian oleh teman teman dijadikan buku kecil dan karena populernya dijadikan buku mini yang dijual oleh teman teman untuk dana perjuangan di Salemba.
Hasilnya lumayan untuk membeli nasi warteg pengganjal aksi aksi yang berlangsung hingga malam hari. Judulnya bila tidak salah 'Islam dan Kapitalisme'. Dan di dalam salah satu uraiannya ada kutipan Hadist Nabi : "Para pedagang yang jujur akan duduk bersama para Nabi di hari kemudian."
Dalam Islam, dalil seperti ini banyak sekali, begitu juga dalil yang mendukung nilai nilai sosialistis dan gerakan kerakyatan di luar kekuasaan. Sementara dalil tentang keutamaan teknolog yang zhuhud  juga banyak.
Dalam tulisan tentang gerakan kemerdekaan India, diceritakan dalam buku tentang riwayat hidupnya Gandhi, bahwa Gandhi dulunya adalah seorang pengacara di Afrika Selatan. Melihat kepandaian berpidato serta gelora idealismenya Gandhi, para suadagar Muslim di Afrika Selatan menawarkan Gandhi untuk kembali ke India memperjuangkan kemerdekaan.
Gandhi ragu bisa meninggalkan profesinya dengan alasan dia miliki tanggung jawab dan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi melalui profesinya, dan sulit membayangkan tawaran tersebut bisa dilaksanakan apabila tidak lagi menjadi pengacara.
Para Saudagar Muslim kemudian mengumpulkan uang dan mendukung Gandhi kembali ke India memimpin gerakan kemerdekaan dan berhasil. Dalam konteks tersebut para pedagang dan saudagar bertindak altruistik, yakni kelebihan hasil usaha perdagangan digunakan untuk tujuan kemanusiaan. Jadi masalah yang kita hadapi sederhana, bahwa bila ada yang melanggar hukum maka harus diadili atau digugat dan atau diklarifikasi, tetapi bukan profesinya.
Karena semua profesi bisa disalahgunakan dan dicampuradukkan dengan kepentingan tidak mulia dalam kekuasaan, yang membuat rakyat kehilangan gantungan harapan atas pemecahan masalah mereka secara adil, bila mereka bukan anggota keluarga atau bagian dari group bisnis orang yang berkuasa.
Inilah yang kita rindukan, karena kalau tiap orang dari profesi yang melakukan kesalahan kita adili profesinya, dan singkirkan semua asal usul profesi dari pusat-pusat pertolongan sebagai pejabat, maka tidak akan ada pejabat yang miliki bukan hanya integritas tetapi juga keandalan profesionalitas dalam membangun sistem rancangan dan implementasi kebijakan.
Maka jadilah bangsa kita bergerak kearah kemerosotan mutunya, yang kita gelorakan hanya pengadilan bumi hangus, bukan promosi mutu kebijakan dan implementasi dari semua latar belakang profesi.
Jimmy Carter pengusaha kacang dan banyak yang lain, bahkan kerajaan Inggris yang dimuliakan itu bisa tegak karena perdagangan dikendalikan langsung oleh kerajaan.
Artinya ruang kesibukan yang dituntut bagi kita saat ini adalah bukan hanya gerakan dalam konteks hanya prevensi, mengadili ini dan itu, atau hanya promosi, tanpa memikirkan keadilan di dalamnya, tetapi kita ikuti nasehat sederhana PBB yakni lakukanlah dalam bingkai 'promotion and prevention'.
Hanya Tuhan yang Maha Mengetahui segala sesuatu.(*)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.


POLEMIK ANCAMAN KAUM PEDAGANG DALAM DEMOKRASI INDONESIA (2) : Dikutip dari Media Online Teropong Senayan.

Waspadalah, Dwifungsi Penguasa-Pengusaha

Minggu, 06 Sep 2015 - 12:13:20 WIB
Fuad Bawazier (Mantan Menteri Keuangan), TEROPONGSENAYAN
49Fuad Bawazier 004.jpg
Sumber foto : Eko S Hilman/TeropongSenayan
Fuad Bawazier
Sejak reformasi, negeri ini bergulir menjadi negeri para saudagar! Dwifungsinya ya penguasa-pengusaha alias Dwifungsi Saudagar. Yang aslinya saudagar kini jadi penguasa, di eksekutif maupun legislatif.
Layaknya saudagar, nalurinya adalah peluang apa saja kalau bisa dijadikan duit alias cari keuntungan!!! Yang aslinya penguasa, karena selama berkuasa akrab dengan saudagar, setelah pensiun banyak yang jadi saudagar atau ditampung saudagar.
Adalah hak setiap orang untuk menjadi penguasa atau pengusaha (saudagar), tetapi sebaiknya jangan DIRANGKAP! Pendiri kerajaan Saudi Arabia, Abdul Aziz Alsaud selalu berpesan pada anaknya bahwa selama menjadi penguasa kerajaan, janganlah berdagang! Jangan pula mengganggu pedagang.
Abdul Aziz percaya bahwa bila pesannya dilanggar, kerajaan akan roboh. Intinya, jangan mencampuradukkan kekuasaan politik atau birokrasi dengan bisnis karena akan melahirkan ketidakadilan, ketidak-stabilan, konflik dan kejatuhan penguasa. Gejala ini memang sedang menguat di Indonesia. Waspadalah!!!!(*)
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

POLEMIK ANCAMAN KAUM PEDAGANG DALAM DEMOKRASI INDONESIA (1) : Dikutip dari Media Online Teropong Senayan.

Demokrasi Wani Piro, Ancaman Kekuasaan Kaum Pedagang

Sabtu, 05 Sep 2015 - 18:35:46 WIB
Bambang Wiwoho , TEROPONGSENAYAN
18IMG-20150904-WA0001_1441452168950.jpg
Sumber foto : Istimewa
Bambang Wiwoho
Menarik tulisan bertubi-tubi dari aktivis muda Haris Rusly dan aktivis senior M.Hattaa Taliwang, yang amat prihatin dengan sikon NKRI yang mulai dari Presiden, Wapres, pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara, Komisi-Komisi, DPR/DPRD sampai dengan Kepala Daerah-Kepala Daerah dikuasai oleh para saudagar/pedagang/pengusaha.
Sebagai orang awam, yang belajar sejarah lebih banyak dari baca buku-buku populer, mbah google dan televisi termasuk chanel-chanel asing seperti BBC dll. saya juga sedih sekaligus heran.
Baik dalam kisah-kisah mitologi Yunani, China, Kesultanan Aceh, Jawa apalagi India, tanpa bermaksud mengecilkan apalagi merendahkan martabat kaum pedagang, rasanya kok memang belum pernah saya melihat para pedagang diberi kesempatan ikut menjadi penguasa atau pemimpin kerajaan/negara/negarawan???
Mengapa? Pada hemat saya sederhana saja. Memang filosofi hidup pedagang dengan negarawan itu jauh berbeda.
Pedagang itu mendagangkan, menjualbelikan, membisniskan apa saja potensi dan kesempatan yang dilihat dan dijumpainya. Bagi mereka bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya tapi bisa memperoleh untung yang sebesar-besarnya. Prinsip hidupnya adalah profit, untung, untung bagi dirinya. Yang lain? Biarlah orang lain yang urus.
Hal itu sangat berbeda dengan negarawan, yang mengutamakan azaz benefit, sebesar-besar kemaanfaatan dan kemaslaharan bagi masyarakat banyak, bagi bangsa dan negara, yang jika perlu jiwa raga dan harta bendanya pun akan dikorbankan.
Maka celakalah sesuatu bangsa yang dikuasai oleh para pedagang dan bukan oleh para negarawan. Karena semuanya akan diperdagangkan, dibisniskan, jabatan, kekuasaan, tanah, air, sumberdaya alam, orang/manusia/rakyat dan apa saja bagi mereka adalah komoditi, yang pantas bahkan harus diusahakan untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi dirinya.
Dalam Hindu, kasta saudagar adalah kasta kedua dari bawah. Juga dalam filosofi Jawa, mereka itu di bawah para ulama, ksatria, priyayi, guru dan para seniman.
Di China, baik para kaisar, pun ksatria Herkules dalam mitologi Yunani, sahabatnya yang pengusaha akan dilemparkan jauh-jauh jika ia sudah harus menjalankan tugas dan hakikat keksatriaannya.
Bagaimana di Indonesia? Di era Orba kita pernah mengalami masa penyimpangan dengan praktek dwifungsi ABRI. Penyimpangan tersebut di era Reformasi telah kita koreksi, dan ABRI dengan legowo menerima koreksi tersebut. Padahal kalau mau ngotot? Mau dan bisa apa kita kaum sipil?
Sungguh ironis, yang tampil mengambil kesempatan bukanlah para patriot dan negarawan yang rela berkorban bagi banga dan negarawan, melainkan para pedagang yang dengan cepat dan dengan sila "Keuangan Yang Maha Kuasa", mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh dwifungsi ABRI, dengan Dwifungsi Gaya Baru. Dwifungsi Pengusaha-Penguasa. Maka berlangsunglah apa yang kita kenal sekarang ini dengan  "demokrasi wani piro".
Menjadi pertanyaan apakah Indonesia memang sudah tidak lagi memiliki para patriot dan negarawan? Kemanakah mereka sekarang? Kemanakah para patriot prajurit Sapta Marga kita? Apakah juga sudah mlungsungi, bermetafora jadi pengusaha penguasa, sehingga membiarkan bahaya besar mengancam  menghancurkan bangsa dan negaranya? Saya yakin tidak. Mereka hanya sedang mengalami culture shock akibat dihapuskannya dwifungsi ABRI secara mendadak tempo hari.
Mereka pasti akan segera sadar dari shoknya, karena panggilan jiwa patriotismenya. Di samping itu kini juga sudah mulai merebak, bergelora semangat patriotisme di kalangan masyarakat luas khususnya mahasiswa, generasi muda dan para klas menengah atas yang tercerahkan. Matahari mulai bercahya! Alhamdulillah. Aamiin.(*)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Senin, 09 November 2015

UMAR BIN KHATTAB & GAYA BLUSUKANNYA YANG MELEGENDA: Seri Etika & Moral Kepemimpinan (8).

Republik Indonesia memiliki dua Presiden yang senang berkunjung dan berdialog dengan rakyat kecil. Presiden sekarang yaitu Jokowi, senang dengan gaya blusukan dengan rombongan besar dan diekspos media massa.

Presiden Soeharto menerapkan gaya turba atau turun ke bawah dengan dua versi. Versi pertama dilakukan sekali-sekali dalam rombongan kecil dan tidak diekspose media massa. Turba diam-diam ini biasanya baru diketahui oleh media massa setelah peristiwanya berlalu. Bahkan pada awal-awal Orde Baru, konon beberapa kali dilakukan hanya dengan ditemani sekitar tiga orang kepercayaan saja dan tidak diekspose sama sekali.

Versi kedua dengan rombongan besar termasuk wartawan, dan sering dikemas dalam acara temu wicara yang disebut Kelompencapir atau kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa (media massa).
Sekitar lima belas abad sebelumnya, gaya pemimpin blusukan ini sudah dipraktekkan oleh Umar bin Khattab, Khalifah Islam Kedua yang hidup pada 583 – 644 M. Bedanya, Umar hanya betul-betul ditemani oleh seorang sahabat, staf atau ajudannya, diam-diam dan hemat biaya.
Dari blusukannya tersebut lahir dua kisah blusukan yang terus melegenda sampai sekarang, yang secara garis besar banyak dihafal oleh umat Islam.

Kisah pertama menggambarkan karena blusukan, Umar beserta isterinya menolong seorang perempuan miskin melahirkan. Isterinya menangani persalinan sedangkan Umar merebus air dan mempersiapkan segala peralatan persalinan.

Yang kedua mengisahkan bagaimana Umar di suatu hari blusukan melihat kehidupan rakyatnya dari rumah ke rumah, mendengar isak tangis kanak-kanak di sebuah rumah sangat sederhana.
Setelah diperhatikan dan didengarkan secara seksama, ternyata di rumah itu hidup seorang janda miskin yang sembari menangis pula, merebus air berisi batu sambil membujuk dan menghibur anak-anaknya yang tengah menangis kelaparan.
Sang ibu mengulur waktu merebus batu, berharap anaknya tertidur sendiri lantaran capai menangis. Betapa terpukul hati Khalifah Umar, menjumpai rakyatnya yang hidup miskin, bahkan membeli makanan pun tidak sanggup.

Berikut sebagian dialog dari peristiwa yang sangat tersohor itu:
“Boleh aku mendekat?” pinta Umar kepada sang janda.
“Silakan jika kau membawa kebaikan” jawabnya.
“Kenapa anak-anakmu mengangis?”
“Mereka lapar.”
“Apa yang ada di periuk itu?”
“Air. Aku berusaha menghibur mereka sehingga mereka tertidur. Allah yang akan mengadili Umar karena kesusahan kami.”
“Saudaraku!” teriak ajudan Umar memotong yang serentak diberi isyarat oleh Umar agar diam.
“Semoga Allah menyayangimu. Bagaimana Umar bisa mengetahuimu?” kata Umar.
“Ia pemimpin kami tapi tak memperhatikan kami.”
Maka Umar segera pergi ke gudang pangan, mengambil sekarung gandum dan sebagai hukuman terhadap dirinya sendiri yang belum mampu menyejahterakan rakyatnya, ia menolak ajudan atau sahabatnya yang mau membantu membawakan gandum itu.
“Biar aku yang membawanya,” pinta sang ajudan.
“Apa kau akan membawakan bebanku di hari kiamat nanti?” sanggah Umar seraya memanggul sendiri gandum tersebut dan bahkan memasakkan untuk mereka.

Selanjutnya dengan muka penuh corengan jelaga dan badan bau asap, ia membantu menyuapi makan anak-anak tadi tanpa diketahui oleh si empunya rumah bahwa tamu yang baik hati itu adalah khalifah junjungannya.
“Kau lebih baik dari Amirul Mukminin (Umar),” kata janda beranak tiga itu.
“Temui saja Amirul Mukminin besok, dan aku akan hadir juga. Insya Allah dia akan mencukupimu,” balas Umar.

Sahabatku, sungguh sulit membayangkan bagaimana mungkin ada seorang penguasa besar hidup seperti Umar, yang selama masa pemerintahannya, kekuasaan Islam tumbuh amat pesat.
Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan oleh kekhalifahan Islam dibawah pimpinan Umar.

Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, duapuluh ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang berjumlah tujuhpuluhan ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan.

Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk salat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk shalat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. Lima puluh lima tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia shalat.

Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam.
Tahun 638, ia memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam (https://id.wikipedia.org/wiki/Umar_bin_Khattab).

Sebagai seorang penguasa besar, sesungguhnya wajar bagi Umar untuk hidup mewah minimal cukup. Namun apa yang terjadi sehingga pada suatu malam di saat peceklik ia tak bisa tidur, gelisah membolak-balikkan badan di pembaringan?
Ternyata, ia sangat kelaparan, lantaran semua makanan milik pribadinya telah habis dibagikan kepada rakyatnya. Padahal sehari-harinya pun ia hanya makan seadanya mengikuti keteladanan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. yaitu roti yang terbuat dari tepung kasar, dicelupkan dalam kaleng minyak makan tatkala panas.

Itulah santapannya, yang membuat seorang sahabatnya menangis dan kemudian menawarkan tepung dengan kualitas yang bagus. Apa jawaban Umar: “Apakah semua rakyatku sudah bisa makan dengan roti dari tepung halus seperti itu?” Tentu saja belum, bahkan tidak.

Demikian pula pakaiannya. Juga seperti Rasulullah, hanya dua. Satu diantaranya dengan 12 tambalan. Melihat kehidupannya nan menderita karena gajinya yang kecil yang sama dengan prajurit kebanyakan, sahabat yang lain mengusulkan untuk meningkatkan gaji Umar.
Bagaimana reaksi Umar? Persis seperti Khalifah Abubakar tatkala menghadapi urusan yang sama, yakni marah besar kepada pengusulnya. Bahkan Umar mengancam akan menghukum sahabat-sahabat yang mengusulkan kenaikan gajinya.

Sungguh kontras dengan suasana kehidupan kita di Indonesia dewasa ini, di mana para elit penguasa saling berlomba menaikkan gaji, aneka tunjangan dan fasilitas, serta hidup dalam gelimang pesona dunia dan kemewahan, sementara masih banyak rakyatnya yang hidup papa, miskin lagi menderita.
Padahal mayoritas dari elite kita adalah muslim juga. Yang juga sering melantunkan shalawat puja-puji dan doa untuk Kanjeng Nabi Muhammad Saw, serta untuk empat khalifah pertama yakni Abubakar, Umar, Usman dan Ali.

Semoga Gusti Allah Yang Maha Agung senantiasa mengasihi Umar, mengampuni serta menganugerahi kita semenjak sekarang sampai di sepanjang zaman kelak, para pemimpin yang amanah seperti Umar. Aamiin.

Berikutnya: Pahamkan Anda Tentang Makna Zalim? (bisa diikuti juga di: http://www.teropongsenayan.com/20602-umar-bin-khattab-pemimpin-yang-gaya-blusukkannya-melegenda)

Senin, 02 November 2015

MEMORI JENDERAL YOGA : Kilas Balik Berbagai Peristiwa Nasional.

https://bukusahabatwiwoho.wordpress.com/2015/10/30/memori-jenderal-yoga-kilas-balik-berbagai-peristiwa-nasional/

WAWANCARA & PELIPUTAN LEBIH 8 TAHUN.
Kami tidak tahu persis, apakah ada wawancara dan peliputan tokoh dengan metode partisipasi yang lebih lama dari yang pernah kami lakukan, yakni lebih dari 8 (delapan) tahun? Delapan tahun lebih itulah yang kami perlukan untuk menyusun buku MEMORI JENDERAL YOGA. Semua kami lakukan sendiri, B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, dengan tenaga, daya upaya dan biaya sendiri masing-masing pula, termasuk tatkala harus menyertai perjalanan Pak Yoga, demikian kami biasa memanggil, baik di dalam maupun ke luar negeri. Tidak juga melibatkan protokol BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara), kecuali dalam pembuatan paspor yang memperoleh kode-kode tertentu sehingga sangat memudahkan urusan imigrasi.

Maka apabila Pak Yoga ada acara atau mau bepergian, beliau hanya mengatakan “besok hari H tanggal T jam J dengan pesawat P, saya akan pergi ke Tokyo (misalkan) selama sekian hari, menginap di Hotel H.” Pemberitahuan itu berarti sebuah ajakan dan selanjutnya kami harus bisa menyesuaikan diri. Kadang satu pesawat dan satu hotel, kadang kala juga beda pesawat dan beda hotel namun berdekatan.

Pada periode tahun 1980an, pengaruh Pak Yoga dan BAKIN luar biasa besar. Kalau mau, kami bisa dengan mudah dan cepat mencari sponsor untuk membiaya perjalanan kami. Namun demikian kami sangat menjaga kerahasiaan acara dan perjalanan-perjalanan tersebut. Bersyukur kami selalu mampu mengatasi sendiri, termasuk merahasikan acara yang sebenarnya dari kepergian kami, termasuk kepada isteri.

Kami juga sangat bersyukur, pak Yoga cukup terbuka baik dalam acara, kegiatan maupun pembicaraan-pembicaraan dengan tamu atau pun staf. Tak jarang kami diijinkan ikutserta. Seandainya semua peristiwa itu terjadi di era telpon genggam seperti sekarang, barangkali akan sangat banyak foto-foto selfi kami. Semua itu berkat kepercayaan yang antara lain kami peroleh setelah kami berhasil menulis dan menerbitkan operasi pembebasan pembajakan pesawat Garuda “Woyla”, yang kemudian kami beri nama dan menjadi judul buku “OPERASI WOYLA”, terbit Oktober 1981.

Mengapa menulis dan menerbitkan buku seperti itu saja bisa menumbuhkan kepercayaan yang besar dari Kepala Badan Intelijen Negara dan juga Jenderal Berbintang Empat? Bisa saja orang memiliki banyak tafsir atas buku tersebut, namun satu hal sebagaimana testimoni tulisan tangan Pak Yogya yang juga kami sajikan di blog bukusahabatwiwoho, antara lain sebagai berikut: “terima kasih sebesar2nya kpd sdr Wiwoho. Yg secara berani dan obyektif mengungkapkan suatu “mysterie” yg oleh berapa fihak selalu dicoba utk ditutupi…..”

Senada dengan testimoni Pak Yoga, Pak Ali Moertopo juga memberikan testimoni dihadapan Pitut Suharto, Abdul Kadir dan B.Wiwoho pada tanggal 20 September 1983, yang kemudian kami muat di Harian Angkatan Bersenjata (lupa tanggalnya) dan di buku Memori Jenderal Yoga ini, antara lain: “ saya rasa Pak Harto sukar meninggalkan Pak Yoga dalam penugasan-penugasan negara. Dan juga tidak mungkin ada fitnah lagi. Saya tahu orang-orang yang memfitnah. Saya tahu berapa kali Pak Yoga difitnah. Belakangan sih ada, mulai lagi, umpamanya pada sekitar tahun 79 – 80, yaitu sesudah pembentukan kabinet. Sampai Pak Yoga ke Hankam itu pun sudah difitnah. Tapi mungkin karena Pak Yoga sudah berpengalaman, Pak Harto sudah berpengalaman, Pak Harto sudah lebih mengenal Pak Yoga, dan Pak Yoga sudah tidak begitu emosional, sudah mampu menyesuaikan, maka tidak terjadi hal-hal yang jelek. Yang lebih jelek, karena sebetulnya saat itu sudah jelek sekali. Tapi karena Pak Harto sudah ndak bisa dibohongi, ya sudah. Waktu mengenai Woyla mau dicoba lagi. Saya pikir, suruh orang-orang itu baca buku Operasi Woyla saja. Betul nggak? Waktu Woyla, pejabat mana yang berani secara voluntary, secara sukarela menawarkan diri menjalankan tugas. Coba menawarkan diri. Padahal risikonya besar sekali. Lebih besar dibanding lucknya.” (halaman 40-41).

Memahami posisi Pak Yoga yang seperti itu, sebagai anak buah, sahabat sekaligus salah satu pilar termuda dari Tritunggal Jawa Tengah sampai Orde Baru (Soeharto – Yoga Sugomo – Ali Moertopo), Pak Ali yang pada tahun 1982 menjabat sebagai Menteri Penerangan, menugaskan kepada Dewan Film Nasional untuk menuangkan Operasi Woyla ke dalam film layar lebar. Belum sampai film tersebut selesai dibuat, pada Maret 1983 Pak Ali lengser dari jabatan Menteri Penerangan. Seraya itu, berhenti pula pembuatan film Operasi Woyla.

Loyalitas, setiakawan dan rasa hormat Pak Ali kepada Pak Harto dan Pak Yoga sangat besar. B.Wiwoho pernah mengalami gangguan hubungan yang cukup parah dengan Pak Ali antara tahun 1980 – 1981, sampai hampir semua aktivitas ditutup. Sungguh dalam situasi seperti itu, sahabat yang tetap menjalin komunikasi dengan baik dan terus membantu B.Wiwoho adalah Pak Yoga, Tjokropranolo, Amran Zamzami, Probosutejo, Syarnubi Said, Kol Sudarto, Brigjen FX.Surojo, Harmoko dan Zulharman. Tatkala B.Wiwoho sudah tidak tahan lagi, kemudian mengadulah kepada Pak Yoga, yang langsung menelpon dan menegur Pak Ali. Secara spontan pula Pak Ali meminta maaf dan di lain hari menugasi Pak Harmoko menemui B.Wiwoho meminta untuk melupakan semua hubungan buruk masa lalu dan menawarkan memberikan Surat IjinTerbit suratkabar atau majalah berikut segala perlengkapan dan modalnya. Tawaran tersebut secara halus dan dengan sepenuh terima kasih kami tolak.

Loyalitas Pak Ali kepada Pak Yoga juga diungkapkan kepada kami bertiga (Pitut Suharto, Abdul Kadir dan B.Wiwoho), yang diminta untuk melakukan suatu operasi penggalangan, demi mengingatkan janji setiakawan Tri Tunggal:Soeharto – Yoga Sugomo – Ali Moertopo, terutama Soeharto – Yoga, yang menurut Pak Ali, terpisah tapi berjalan bersama atau berhimpitan (halaman 27 – 28). Namun permintaan ini tidak kami laksanakan karena Pak Yoga sendiri tidak setuju. “Biarlah semua mengalir bagaikan air kehidupan. Saya ini kan wayang, biarlah Sang Dalang Yang Maha Agung yang menugasi apa peran saya. Tak berani saya memohon hadiah dan peran tertentu,” katanya.

PERANAN BAKIN DALAM PENGANGKATAN PEJABAT TINGGI.

Tatkala menjabat kembali sebagai Kepala BAKIN segera sesudah peristiwa Malari Januari 1974, hubungan Pak Yoga dengan Presiden Soeharto berlangsung sangat intens, hampir rutin bertemu setiap Jumat malam di kediaman pak Harto di Jalan Cendana no.8. Dalam pertemuan tersebut dibahas evaluasi keadaan selama seminggu terakhir dan langkah serta kebijakan apa yang harus diambil oleh Pemerintah khususnya Presiden Soeharto pada minggu depan dan selanjutnya.

Dalam pertemuan biasanya Pak Yoga membawa berkas setebal sekitar 4 (empat) halaman kertas kuarto dengan sejumlah lampiran bila dianggap perlu. Pak Yoga akan bicara terbuka apa adanya tentang sesuatu masalah, namun demikian sebagaimana orang Jawa, ia sangat memegang “unggah-ungguh” dan menghormati senior apalagi pimpinan. Karena itu masalah-masalah yang sangat peka, terutama bila menyinggung keluarga, dikemukakan dengan menggambarkan perkiraan ancaman, kemudian solusinya dengan tanpa mempermalukan keluarga. Sudah barang tentu, itu semua memerlukan kerja keras staf yang harus mempersiapkan berkas laporan dalam susunan kalimat dan bukti-bukti pendukung yang kuat, yang bisa diterima Pak Harto tanpa membuat marah dan menyinggung perasaan.

Kepercayaan Presiden Soeharto kepada BAKIN termasuk Operasi Khusus (Opsus)-nya semenjak awal Orde Baru sangat besar. Tidak ada pengangkatan pejabat tinggi setingkat Menteri dan Gubernur, yang tidak melalui penyaringan atau paling sedikit pengecekan oleh BAKIN terlebih dulu. Tulisan mengenai ini, kami muat dalam link: http://bwiwoho.blogspot.co.id/2012/05/mengenang-14-tahun-reformasi-cara.html   dengan judul “Cara Presiden Soeharto Merekrut Para Menterinya,” yang kemudian juga diterbitkan dalam buku “ 34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto.”
Tulisan tersebut mendapat perhatian besar dari media masa baik cetak, elektronik maupun online, sehingga banyak dikutip seperti antara lain yang kami sarikan untuk dimuat di blog http://bwiwoho.blogspot.com sebagai berikut:
“Senin, 01 April 2013  PRESIDEN SOEHARTO MEREKRUT PEMBANTUNYA TANPA HIRUK PIKUK.
BIOGRAFI SOEHARTO
Pemimpin Harus Tegas dan Berani Memutuskan
Menjadi pemimpin apa pun, kita harus selalu tegas dan berani mengambil keputusan. Kalau ingin maju, harus pandai mendengar, melihat, dan mengambil hikmahnya”.Demikian alinea pertama dari laporan Harian Kompas mengenai buku “34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto”, Sabtu 30 Maret 2013 halaman 2, yang juga bisa diakses melalui Kompas.com.
Tulisan itu merangkum ciri-ciri kepemimpinan Pak Harto, yang ada di buku tersebut. Mantan wartawan Suara Karya, Bambang Wiwoho dalam kutipan tersebut menulis, bagaimana Soeharto merekrut pembantunya tanpa hiruk pikuk berlarut-larut. Soeharto menugaskan pimpinan Operasi Khusus/Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara untuk menyelidiki hingga detail siapa teman tidur calon pembantunya itu, siapa saudara dan teman bergaulnya, hingga bagaimana riwayat perjuangan hidupnya.”

Beberapa kali penulis menjadi saksi bagaimana Pak Yoga beserta jajarannya memproses dan meneliti calon pejabat tinggi sesuai penugasan Presiden. Salah satu di antaranya bahkan menjadi perantara pertemuan antara Pak Yoga dengan Brigjen TNI (Purn) Dan Anwar, yang ikut memimpin pasukan Siliwangi menumpas pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Dan Anwar dimintai pendapat dan saran-sarannya atas pecalonan Sudharmono menjadi Wakil Presiden RI masa bhakti 1988 – 1993.

Sebagai petinggi intelijen yang berpendidikan Akademi Milter Jepang dan pendidikan intelijen Inggris, serta juga berpengalaman sebagai komandan pertempuran dalam menghadapi pemberontakan bersenjata tahun 1959 – 1960. Yoga nyaris sempurna sebagai tokoh intelijen. Badannya tegap dan kokoh, wajahnya ganteng, penembak mahir yang berani latihan menembak kaleng permen yang diletakkan di atas kepala anak buahnya, menguasai ilmu beladiri termasuk silat Merpati Putih, dan sebagaimana lazimnya pemuda-pemuda Jawa, mendalami pula ilmu-ilmu kesaktian. Pada dasa warsa tahun 1980an itu, Pak Yoga juga mempelajari tasawuf dalam bimbingan Abah Anom dari Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya.

Sebagai perwira intelijen, ia memiliki insting dan perasaan yang tajam. Pagi menjelang Peristiwa Berdarah Kerusuhan Kampanye Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta 18 Maret 1982. Ia sudah menelpon Panglima Kodam Jaya Norman Sasono, untuk mengerahkan pasukan membuat pagar betis dan menyekat peserta kampanye agar tidak timbul ekses negatif, terutama bentrokan dengan masa Partai Persatuan Pembangunan yang di Jakarta dikenal sangat militan. Permintaan itu ditolak oleh Pangdam.

Tatkala ternyata betul-betul terjadi kerusuhan yang merenggut banyak nyawa, Yoga langsung bertindak. Ia menggelar peta Jakarta seperti Ratu Elizabeth I dari Inggris ketika mengatur strategi perang melawan Spanyol tahun 1588. Dengan keyakinan penuh dan wibawa yang tinggi, ia seperti mengambil alih komando, dengan cepat ia meminta dilakukan pergerakkan pasukan untuk mengepung dan mengamankan Istana serta kediaman Presiden Soeharto di Cendana. Oleh sebab itu ketika memang ada sejumlah massa liar yang menuju Cendana, maka bisa langsung dihalau mundur.
YOGA SUDAH SARANKAN PAK HARTO LENGSER TAHUN 1985.

Topik lain yang juga banyak dikutip oleh media massa dari tulisan kami di buku tentang Pak Harto tadi adalah saran Pak Yoga kepada Presiden Soeharto yang disampaikan pada sekitar Mei 1985 antara lain: “Sejalan dengan bertambahnya usia, kawan seperjuangan-segenerasi Pak Harto makin sedikit, banyak yang mendahului kepangkuan Ilahi. Bersamaan dengan itu, pada pertengahan 1985 hubungan Pak Harto dengan pak Yoga yang sudah berlangsung akrab semenjak tahun 1950-an, “membeku”. Jika biasanya hampir setiap Jumat malam selama sekitar 11 tahun mereka rutin bertemu melakukan evaluasi dan membahas perkiraan keadaan, semenjak itu tidak lagi berlanjut. Pak Yoga yang sangat kesal dan prihatin, mengajak saya menenangkan diri ke Jepang hampir selama 2 minggu.

Dalam suatu pertemuan rutin mingguan Pak Yoga menyampaikan pandangannya kepada Pak Harto antara lain: (1). Pak Harto yang sudah akan mencapai usia 67 pada Pemilihan Umum tahun 1988 dan sudah menjadi Kepala Negara selama 22 tahun, tentu akan sampai pada tahap jenuh dan lelah. (2) Periode kepemimpinan 1983 – 1988 menurut Pak Yoga adalah periode puncak keemasan kepemimpinan Pak Harto, yang sesudah itu dikuatirkan akan mulai melemah. (3). Bisnis keluarga dan putera-puterinya yang terus membesar bisa menjadi sumber kecemburuan sosial dan sasaran tembak. (4). Sumber dan jaringan informasi serta rekrutmen pak Harto yang secara alamiah semakin menyempit disebabkan kesenjangan generasi. Di lain pihak kesenjangan generasi juga akan mengganggu komunikasi. Karena itulah pak Yoga menyarankan agar pak Harto dengan jiwa besar legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada tahun 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan kader peralihan generasi 45, dan siapapun kader yang ditunjuk, Pak Yoga akan mengamankannya.

Saran pak Yoga tersebut tidak ditanggapi oleh Pak Harto dan ditolak oleh dua orang pejabat penting lainnya melalui suatu perdebatan yang cukup menegangkan. Sementara Pak Harto hanya diam saja tidak mengambil sikap, Ibu Tien Suharto yang diam-diam mengamati, melintas di ruang pertemuan seraya cenderung mendukung Pak Yoga.”

Sejumlah media massa mengutip bagian tulisan tersebut antara lain seperti link berita berikut: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/400905-soeharto-sudah-disarankan-lengser-di-tahun-1988
Sesuai peraturan yang berlaku, pada Mei 1981 status kemiliteran Pak Yoga adalah Purnawirawan TNI berbintang empat, karena sudah berusia 56 tahun. Kepangkatannya dengan demikian adalah pegawai bulanan golongan IV/e sampai Juni 1989, dan mengajukan berhenti atau pensiun atas permintaan sendiri.

Jika dikaji status kepangkatan Pak Yoga dan kekecewaannya terhadap Pak Harto yang membuat tidak lagi rutin menghadap mingguan sebagaimana kebiasaan selama sebelas tahun terakhir, kecuali dipanggil, nampaknya benar apa yang dikemukan Pak Ali Moertopo tentang perjanjian setiakawan “Tri Tunggal Soeharto – Yoga Sugomo – Ali Moertopo”. Coba kalau tidak ada sejarah hubungan setiakawan yang baik, bagaimana mungkin dibiarkan oleh Pak Harto selama empat tahun tanpa mau menghadap, sampai akhirnya Pak Yoga sendiri yang meminta pensiun.

DILARANG CETAK ULANG.

Buku Memori Jenderal Yoga diluncurkan dalam acara bedah buku pada Juli 1990, yang dihadiri oleh banyak para petinggi negeri baik sipil maupun militer, termasuk mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Jenderal Benny Murdani serta Panglima ABRI Try Sutrisno, serta Kepala BAKIN Letnan Jenderal Soedibyo. Cetakan pertama, habis dibagi untuk sahabat-sahabat Pak Yoga, penulis serta berbagai perpustakaan. Cetakan kedua yang dicetak bersamaan dengan cetakan pertama tapi untuk keperluan pasar bebas habis hanya dalam tempo beberapa bulan. Ketika cetakan ketiga siap diedarkan pada bulan April 1991, tiba-tiba pada suatu pagi kami menerima telpon berurutan pertama dari Kepala BAKIN Letjen Soedibyo, tak lama kemudian dari Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri Radius Prawiro. Keduanya meminta agar kami menemui mereka secara bergantian. Yang pertama di kantor BAKIN di Pejaten, sedang yang kedua di kediaman dinas di Kompleks Menteri Widya Chandra.

Keduanya menjelaskan kepada kami bahwa “semalam” mereka berdua bersama Menteri Sekretaris Negara Murdiono, telah dipanggil Presiden Soeharto untuk membahas buku Memori Jenderal Yoga. Pak Radius ikut diminta hadir karena dianggap Pak Harto memiliki hubungan dekat dengan penulis. Ada isi buku yang oleh Pak Harto dikuatirkan bisa menjadi contoh tidak baik bahkan dapat memicu keberanian bawahan melawan atasan, yakni bab 4 tentang: “Jawa Tengah Menolak Pusat.” Oleh sebab itu Pak Harto meminta agar peredarannya dihentikan. Pertemuan yang berlangsung masing-masing lebih dari 3 (tiga) jam itu membahas secara hati-hati dan mencari jalan keluar yang baik yang tidak memancing kemarahan Pak Yoga.

Kepada keduanya kami paparkan betapa tidak serasinya hubungan Pak Yoga dengan Pak Harto dan beberapa pejabat tinggi lainnya semenjak pertemuan rutin Jumat malam di bulan Mei 1985. Hanya kearifan dan suka duka bersama yang panjanglah yang membuat hubungan buruk tadi tidak menyeruak keluar. Tatkala buku sedang dicetak, Pak Yoga juga sudah mengkuatirkan kemungkinan Pak Harto tidak berkenan. Dan jika itu terjadi, Pak Yoga akan melakukan perlawanan keras.
Akhirnya disepakati agar Pak Yoga tidak perlu tahu masalah ini, sedangkan cetakan ketiga adalah cetakan terakhir, sampai waktu yang belum bisa dipastikan. Selain itu kami juga tidak akan mempromosikan atau pun mempublikasikan buku ini. Kelak jika suatu saat Pak Yoga menanyakan kenapa tidak dicetak ulang lagi, sebaiknya dijawab pasar sudah jenuh.
Demikianlah sedikit catatan tambahan untuk Memori Jenderal Yoga. Semoga ada manfaat dan berkah-Nya. Aamiin. ( https://bukusahabatwiwoho.wordpress.com/2015/10/30/memori-jenderal-yoga-kilas-balik-berbagai-peristiwa-nasional/