Minggu, 28 September 2014

Kotagede (5) : Pendopo Rumah di Kotagede Menghadap ke Selatan



Semua Pendapa Menghadap ke Selatan

Singasari, Majapahit, Surabaya, Demak, Semarang, Pajang, Pleret dan Kerta adalah sejumlah kota atau bekas ibukota kerajaan di masa silam yang sempat mengukir sejarah, namun satu demi satu bangunan bersejarahnya yang berusia beberapa abad lenyap tanpa bekas terkubur zaman. Bahkan sisa-sisa tumpukan batunya saja sekarang sudah nyaris tidak bisa ditemukan. Kalau bukan dihancurkan oleh waktu, adalah oleh amukan lawan politiknya. Semarang misalkan, pada tahun 1540- an telah merupakan kota pelabuhan, kota dagang sekaligus kota industri yang mendapat tugas dari Sultan Demak untuk dalam jangka waktu 5 tahun membangun 1000 armada kapal perang masingmasing berkapasitas 400 pasukan. Sebelumnya pada awal abad ke-16, Semarang telah berhasil membangun 100 kapal perang yang kemudian dikirim ke Malaka untuk menyerbu Portugis. Tentu hanya sebuah kota besar yang mampu membangun armada perang sebanyak 400.000 pasukan. Namun akhirnya potensi dan cita-cita besar tersebut kandas karena pada tahun 1546, Semarang dibumihanguskan Arya Penangsang dari Jipang.

Demikian pula Surabaya di abad ke-17, menurut sejarawan Belanda, Dr. H.J. de Graaf, telah memiliki tembok benteng sepanjang 30 km, yang sisi luarnya dikelilingi parit. Diantara tembok dan parit berdiri tanggul yang kuat. Pada setiap setengah jarak tembakan meriam terdapat benteng-benteng kecil berbentuk bujursangkar seperti halnya di Negeri Cina, dan tiap-tiap benteng mempunyai 10 sampai 12 meriam. Selanjutnya pada setiap jarak sejauh seperempat jam perjalanan ada sebuah pintu gerbang berbentuk sama dengan pintu-pintu di Eropa, dengan penjagaan kuat yang terdiri dari 15 sampai 20 orang.

Jika kota-kota besar tadi lenyap di telan zaman, tidak demikian halnya dengan Kotagede. Di samping tata kota, sisa benteng, pasar dan kompleks Makam, Kotagede juga masih memiliki lebih dari 100 rumah adat Jawa yang berusia tua. Menurut Ketua Yayasan Pusat Studi, Dokumentasi dan Pengembangan Budaya Kotagede, Achmad Charris Zubair, pada tahun 1985, masih berdiri kokoh sebanyak 178 rumah kuno buatan antara tahun 1600 dan 1930. Tetapi tujuh tahun kemudian, menyusut tinggal sekitar 150-an. Rumah-rumah itu tersebar di kelurahan Jagalan, Kampung Alun-alun, Prenggan, Basen dan Purbayan.

Dari hasil kajiannya ada 3 tahapan bangunan Kotagede. Pertama, yang dibangun pada periode Kerajaan Mataram (tahun 1577-1630), yang berupa bangunan Jawa dengan corak Hindu. Kedua, periode setelah tidak jadi ibukota Mataram (1630-1900-an), dimana corak Islam seperti ukiran kaligrafi Arab dan musholla atau langgar semakin banyak. Ketiga, Periode pertumbuhan ekonomi yang amat pesat antara 1920 sampai 1930-an, dimana banyak bangunanbangunan bertata ruang Jawa dengan pengaruh gaya Eropa klasik yang juga cukup kuat, yang kemudian disebut bergaya Indis. Sebagai contoh adalah Restoran Omah Duwur dan Gedung Pertemuan Proyodranan, keduanya di jalan Mondorakan. Mengenai bentuk, ada 5 golongan bentuk rumah adat Jawa yaitu bentuk joglo, limasan, masjid/tajug, kampung dan panggang pe. Tapi sebagian besar rumah adat Jawa di Kotagede adalah joglo dan sebagian besar lagi limasan atau kombinasi joglo dan limasan.

Tata ruang rumah adat Jawa Mataram yang lengkap terdiri dari pendapa joglo (ruang atau bangunan yang terbuka), pringgitan (bangunan penghubung yang disiapkan untuk pertunjukan wayang kulit atau ringgit), dalem ageng (rumah induk, biasanya terdiri dari tiga kamar, salah satu diantaranya dijadikan sebagai musholla atau kamar meditasi), gandok (bangunan di sisi kiri dan kanan, memanjang dari depan ke belakang yang disiapkan untuk kamar tidur anggota keluarga dan tamu), dapur, paling belakang kamar mandi dan WC.

Rumah-rumah adat tersebut pada umumnya menggunakan bahan bangunan kayu jati yang diukir indah. Luas dan besar bangunan serta keindahan ukirannya, menunjukkan status sosial pemiliknya. Pada rumah-rumah Indis, sebagian bahan kayu jati misalkan tiang dan dinding, telah diganti dengan tembok yang diberi kaca mozaik warna-warni, sedangkan untuk lantai digunakan keramik impor dari Eropa.

Ada dua persyaratan unit bangunan adat di Kotagede. Pertama, tidak boleh tinggi dan bertingkat sehingga penghuninya berada pada ketinggian di atas makam para pendiri Kotagede. Kedua, bangunan pendapa harus menghadap ke selatan. Menurut budayawan Kotagede, Muhammad Natsier, ini dulu dimaksudkan sebagai symbol penghormatan terhadap penguasa alam gaib pendamping Panembahan Senopati, yaitu Ratu Laut Selatan. Persyaratan itu dipatuhi dengan baik oleh masyarakat.





Minggu, 21 September 2014

Kotagede (4): Konsep Town House Abad XVII.

Kotagede, Town House Abad XVII.


Tiga hari di Kotagede ternyata serasa belum puas, sehingga tatkala ada tugas ke Yogyakarta akhir Juli 2002


, selama beberapa jam kami menyempatkan diri kembali mengunjunginya. Hal menarik yang mengundang kami berulang kali melihatnya adalah kompleks perumahan Kotagede Lama, yang secara fisik tidak banyak berubah dibanding apa yang dituliskan van Mook tahun 1926. Seperti pada malam pertama itu, selesai shalat Maghrib kami langsung menuju Kampung Jagalan melalui pintu gerbang utara Kompleks Makam. Apa yang kami saksikan sungguh seperti apa yang dia tulis kecuali warung-warung kaki lima yang sudah tidak berada di lorong-lorong, melainkan pindah di sekeliling pasar atau sepanjang jalan-jalan besar. Cobalah resapkan kenangan van Mook ini : “Lorong-lorong, terutama di bagian kota sebelah barat berdekatan dengan pasar, mempunyai sifat yang sangat elok, dengan belokan serta sudut-sudut yang tak terduga dan seringkali indah-indah; lorong-lorong itu berkelok-kelok diantara deretan tembok yang setengah usang, adakalanya terputus oleh gapura kecil atau relung, tempat tukang warung berjualan di atas tikar
kajang atau anyaman bambu yang dibentangkan di lorong; pada malam hari diterangi dengan eloknya oleh sebuah lentera, sehingga kita dapat berkhayal berada dalam kota kecil kuno di Eropa Selatan, jika tidak sekali-sekali ada orang Jawa berpakaian adat Jawa lewat di situ dalam kegelapan senja.”

Begitulah. Keluar dari kungkungan tembok makam, kami berada diantara tiga lorong. Di depan kami tergantung dua macam rambu-rambu, satu meminta kendaraan agar berjalan pelan karena banyak anak-anak, yang satu lagi meminta mematikan mesin di malam hari. Lorong utama selebar tiga meter, lurus menuju jalan Mondorakan, sedangkan dua lainnya yang ke perkampungan selebar kurang dari satu depa (bentangan tangan). Di kiri kanan lorong utama terdapat banyak lagi lorong-lorong kecil, yang seringkali mengagetkan karena tiba-tiba mendadak seperti jalan buntu, menabrak tembok atau pintu. Tapi ternyata kemudian lorong ini juga berbelok ke kiri atau kanan. Sungguh bagaikan 1000 lorong labirin yang berhubungan satu sama lain. Lorong-lorong tersebut berada diantara dua tembok setinggi sekitar 2,5-3 M. Tembok-tembok itu memiliki beberapa gapura atau relung berpintu kayu. Tatkala melihat beberapa pintu terbuka, Krakatau melongok dan meminta ijin para penghuninya untuk melihat-lihat keindahan rumahnya, yang pada umumnya disambut dengan sangat ramah. Betul-betul menakjubkan. Dari relung-relung kecil itu tidak jarang kita menyaksikan suatu halaman luas, kadang-kadang bagaikan model kompleks perumahan town house di Jakarta, terdapat beberapa rumah milik satu keluarga besar. Yang lebih istimewa, di balik relung-relung tadi acapkali kita menjumpai rumah-rumah adat Jawa dengan pendopo joglo dari abad 17-19.

Di kampung Jagalan ini pula ada satu kawasan yang sering dikunjungi para wisatawan, yang dikenal sebagai “between two gates”, yang semula merupakan komplek keluarga terdiri dari beberapa rumah adat. Eloknya tata letak rumah-rumah tersebut seragam dan berderet rapi sehingga area penghubung antara bagian pendopo dan pringgitan membentang sambung menyambung menjadi sebuah jalan kecil, yang pada kedua ujungnya (timur dan barat) kemudian diberi pintu gerbang. Di siang hari kedua pintu gerbang ini dibuka dan menjadi lalu lintas umum, namun di malam hari ditutup dan kembali menjadi kawasan pribadi. Sayang sekali beberapa
rumah yang dibangun sekitar tahun 1820-an itu, telah direnovasi menyimpang dari arsitektur aslinya.

Rabu, 17 September 2014

Kotagede (3): Kompleks Tertua Dibangun Abad ke 16



Kompleks Paling Tua

Kompleks bangunan paling tua dan merupakan landmark Kotagede adalah Kompleks Makam (termasuk di dalamnya Masjid Agung), dengan pintu gerbang utama di sisi timur. Kompleks ini terdiri dari delapan bagian yang masing-masing dipisahkan oleh tembok bata merah tinggi dengan pintu penghubung berupa gapuragapura bercorak Hindu Jawa. Bagian pertama adalah halaman pintu masuk depan di sisi timur, dimana terdapat sepasang pohon beringin yang satu diantaranya diperkirakan berumur lebih dari enam abad. Berderet di jalan utama kompleks terdapat bangunan perumahan tempat tinggal para abdi dalem juru kunci makam. Deretan sebelah utara adalah perumahan abdi dalem atau punggawa dari Keraton Kasunanan Surakarta, sedangkan di sebelah selatan dari Keraton Kasultanan Yogyakarta. Kita dapat membedakan abdi dalem tersebut dari pakaian adat Jawanya, antara lain blangkon atau penutup kepalanya. Pada blangkon abdi dalam
Yogya terdapat mondolan atau bulatan seperti kepalan tangan di bagian belakang kepala.

Bagian kedua adalah Masjid Agung atau Masjid Besar. Bagian ketiga adalah bangsal penerimaan tamu yang ingin berziarah ke makam atau ke sendang pemandian. Bagian ini berada di sebelah selatan masjid. Sebelum masuk ke bagian ketiga pengunjung melewati tembok pelindung yang disebut kelir. Pada kelir ini terdapat prasasti yang menyebutkan tahun pembangunan makam: Jimawal 1509 (AD.1588) sampai Be 1528 (AD 1607).

Bagian keempat berupa sepasang bangsal
tunggu sekaligus untuk ganti pakaian. Di sini pengunjung yang ingin berziarah ke makam harus berganti pakaian adat Jawa. Bagi yang tidak membawa bisa menyewa sekalian bisa juga minta tolong dipakaikan oleh para abdi dalem juru kunci di sini. Adapun bagian kelima adalah makam pendiri Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati serta para kerabatnya.

Tiga bagian yang terakhir merupakan kompleks pemandian yang disebut Sendang Siliran, berisi satu mata air, dua kolam dan dua tempat mandi terpisah untuk laki-laki dan wanita.

Tepat sebagaimana digambarkan oleh van Mook dan Nakamura, keseluruhan kompleks dan makam masih tetap mengesankan suasana hening, suci dan keramat, jauh berbeda dengan hiruk pikuk pasar dan jalanan Kotagede.





Senin, 15 September 2014

Mari Berdoa Menghadapi Para Politisi Munafik dan Zalim



Mari berdoa menghadapi para politisi munafik dan zalim.

Selamat malam sahabat-sahabatku para patriot bangsa "NusantaraRaya". Dewasa ini kita dibombardir dengan berita plus info-info situasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin memprihatinkan. Negara dan bangsa besar ini oleh para politisi selama 16 tahun terakhir telah dijadikan bahan permainan dan kelinci percobaan.

UUD 1945 yang dianggap sebagai penyebab timbulnya rezim otoriter Orde Baru, diobrak-abrik menjadi Undang-Undang Dasar yang sangat liberal, dengan berbagai Undang-Undang turunannya yang sangat neo liberal, membuka pintu lebar-lebar disertai gelaran karpet merah buat kapitalisme global. Sekarang tokoh-tokoh yang tetap sama, dengan orang-orang partainya yang juga masih duduk di kabinet yang menjalankan UUD serta berbagai UU neolib tersebut, berteriak lantang mengecam kebijakan pro neolib yang dibuat dan dipraktekkannya sendiri. Sebutan apa yang cocok bagi mereka kalau bukan munafik dan zalim? Kaum munafik yang zalim itu kini sedang mencoba membuat permainan baru atas negeri kita.

Maka malam hari ini, 15 September 2014,  ijinkan saya mengajak kembali kita semua berdoa untuk keselamatan bangsa, negara, diri dan keluarga kita dengan cara/agama/kepercayaan kita masing-masing. Bagi yang Islam saya mengajak untuk sering memanjatkan shalawat yang dulu dikumandangkan oleh ulama-lama sufi Irak dan sekitarnya tatkala Irak diluluhlantakan dan dikuasai tentara Tartar yamg sangat bengis lagi zalim  delapan abad silam, yaitu:

Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad, wa asyghilizh zhaalimien bizh zhaalimien (2X), wa akhrijna min bainihim saalimien, wa'ala aalihi washahbihi ajma'ien.
(Semoga rahmat dan berkah dicurahkan kpd Nabi Muhammad Saw, ya Allah, adu dombalah orang-orang zalim dengan sesama orang zalim, dan keluarkanlah kami dari mereka dalam keadaan selamat, semoga rahmat dan berkah Allah dicurahkan kepada keluarga dan para pengikut setia Rasulullah Saw."

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَأَشْغِلِ الظَّالِمِينَ بِالظَّالِمِينَ 2x.  وَأَخْرِجْنَا مِنْ بَيْنِهِمْ سَالِمِينَ وَعلَى الِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِي
Aamiin.