Jumat, 29 Desember 2017

Soeharto dan Yoga Sugomo Juga Pernah “Melawan” Perintah Atasa

Sejarah Pergolakan TNI

http://www.teropongsenayan.com/77524-pergolakan-politik-soekarno-pecat-jenderal-nasution


Tulisan Bung Hatta Taliwang di grup WA Peduli Negara 1, Jumat 22 Desember 2017
(Pergolakan Politik, Soekarno Pecat Jenderal Nasution Teropong Senayan Jumat, 22 Des 2017 - 18:41:38 WIB) yang berjudul “Presiden Soekarno Memecat Jendral AH Nasution. Jenderal Nasution Melawan Hingga Terjadi Pergolakan Politik Besar, “ sangat menarik sebagai fakta sejarah di Indonesia, khususnya di kalangan TNI.
 
Sesuai janji saya untuk melengkapi daftar “perlawanan” tersebut, berikut ini saya sampaikan dua contoh “perlawanan” lain, yang saya ketahui dan sudah saya terbitkan dalam “Memori Jenderal Yoga.”  Allahumma aamiin akan segera terbit kembali edisi revisi yang lebih lengkap lagi.
Buku tersebut memaparkan kisah “perlawanan” Soeharto dan Yoga Sugomo dalam melakukan “perlawanan” atau penolakan terhadap perintah dan kebijakan atasan. Penolakan pertama terjadi menjelang pertengahan tahun 1956, tatkala bangsa Indonesia sedang menghadapi bahaya konflik horizontal dengan kebangkitan dan menguatnya kembali  Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ditunjukkan dalam Pemilu Pertama tahun 1955 di satu pihak, serta pecahnya pemberontakan DII/TII (Darul Islam Indonesia/Tentara Islam Indonesia khususnya Pemberontakan Kartosuwiryo di lain pihak
.
Dalam situasi seperti itu, Pimpinan Angkatan Darat bermaksud menugaskan Kolonel Bambang Supeno untuk menjadi Panglima Teritorium IV (Kodam) Diponegoro, Jawa Tengah. Hal ini ditolak oleh perwira-perwira TT –IV yang dimotori oleh Asisten Intelijen(Asisten I) Yoga Sugama bersama Dr. Soehardi (Kepala Kesehatan), Munadi (Asisten V), Suwarno (Asisten IV) dan Suwito Haryoko (Asisten II), yang kemudian menggalang Komandan-Komandan Resimen seperti Sudarmo Djojowiguno, Suryo Sumpeno, Surono dan Pranoto . Mereka kemudian membuat surat pernyataan  yang harus disampaikan dan diperjuangkan oleh Yoga dan Suryo Sumpeno ke Pimpinan AD di Jakarta. Keberatan mereka akhirnya diterima dan disetujui, dan selanjutnya ditunjuk Kepala Staf TT-IV Letkol Soeharto untuk menjadi Komandan Teritorium Diponegoro.

Penolakan kedua berlangsung beberapa gelombang, bersamaan waktunya dengan peristiwa “perlawanan” Jenderal Nasution pada hari-hari dan bulan-bulan pertama terjadinya Gerakan 30 September tahun 1965. Gelombang pertama penolakan terjadi pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965, ketika Pangkostrad Mayjen Soeharto menerima surat dari Presiden Soekarno yang dibawa oleh Ajudan Presiden Kolonel Marinir Bambang Widjanarko. Pada saat itu di Kostrad sedang berlangsung rapat yang dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution.

Isi surat antara lain berupa pemberitahuan bahwa Bung Karno dalam keadaan sehat walafiat dan tetap memegang pimpinan negara. ABRI langsung dipegang oleh Presiden dan tugas sehari-hari Angkatan Darat akan diserahkan kepada Mayjen Pranoto Reksosamodra. Presiden selaku Panglima Tertinggi ABRI memerintahkan agar pasukan-pasukan ditarik ke pos masing-masing. Boleh begerak hanya atas perintah.

Dalam situasi genting sore itu, sementara Jenderal Soeharto menerima Bambang Widjanarko, di ruang sebelah yang terbuka dengan suara lantang yang didengar oleh Mayjen Soeharto dan Bambang Widjanarko, Jenderal Nasution menggariskan kepada peserta rapat agar segera mengembalikan keamanan. Itu berarti operasi militer, yang langsung dilaksanakan oleh Pasukan RPKAD yang sudah berkumpul di halaman dan di jalan-jalan di depan Markas Kostrad, dengan merebut kembali RRI dan Gedung Telekomunikasi.

Para perwira senior yang berkumpul di Kostrad itu juga memutuskan “menunda” pelaksanaan perintah-perintah Presiden, dengan alasan:
1. Saat itu belum diketahui bagaimana nasib para perwira yang diculik.
2. Operasi pengejaran terhadap para penculik sedang dilaksanakan.
3. Kebiasaan sebelumnya, bila Panglima AD Letjen Ahmad Yani tidak berada di tempat, maka yang menggantikannya adalah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto, sebagai perwira tertua. Oleh karena itu untuk sementara pimpinan AD dipegang oleh Pangkostrad.
Mayjen Soeharto mengatakan kepada Bambang Widjanarko, “Sampaikan ke Bapak bahwa Jenderal TNI Pranoto tidak dapat menghadap. Untuk sementara pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh saya. Karena itu segala instruksi supaya disampaikan lewat saya.”  Mayjen Soeharto juga berpesan agar Bung Karno segera keluar dari Halim. ”Karena Halim akan segera diserbu oleh pasukan Kostrad dan RPKAD."

Sore keesokan harinya, yaitu tanggal 2 Oktober 1965, Mayjen Soeharto didampingi oleh Asisten Intelijen Kostrad Kolonel Yoga Sugomo dan seorang ajudan, berangkat ke Istana Bogor untuk menghadap Presiden Soekarno, dengan pengawalan sejumlah panser. Ketiga orang itu berpakain loreng dan menyandang pistol. Melewati Cibinong, pasukan Cakrabirawa mengawal perjalanan ke Bogor karena memang hanya pasukan pengawal presiden yang boleh masuk ke kompleks Istana Bogor.

Memasuki kompleks istana, mereka diminta melepas senjata, kemudian menanti di ruang tunggu. Hari itu, Presiden Soekarno memang sudah di Bogor setelah meninggalkan Halim pada 1 Oktober malam. Yoga dalam kesempatan itu juga membawa rekaman pengakuan angota pasukan G30S yang sudah berhasil ditangkap pada malam sebelumnya. Ternyata, Presiden Soekarno tidak bersedia mendengarkan hasil rekaman tersebut. Di ruang tunggu, hasil rekaman diputar dan didengarkan oleh Menlu/Waperdam Soebandrio dan Komandan Resimen Cakrabirawa Brigjen Sabur.

Pertemuan di Istana Bogor itu merupakan pertemuan pertama antara Presiden Soekarno yang secara resmi pada saat itu adalah Panglima Tertinggi sekaligus Pemimpin Besar Revolusi dengan Pangkostrad Mayjen Soeharto yang secara de facto menguasai kekuatan militer khususnya Angkatan Darat, yang dengan tegas sudah menyatakan akan menumpas Dewan Revolusi yang melakukan penculikan dan pembunuhan para Perwira Tinggi pada tanggal 1 Oktober dini hari. Sungguh ini adalah pertemuan yang menegangkan dalam suasana politik dan keamanan yang amat genting serta tidak menentu. Suasana yang tidak jelas siapa kawan siapa lawan.

Pertemuan antara kedua tokoh yang di satu pihak, yaitu Bung Karno, dikenal suka mengambil inisiatif, bicara terbuka, blak-blakan dan mengarahkan, dengan Pak Harto yang lebih banyak senyum tapi juga terkadang dingin, pendiam dan lebih suka mendengarkan pembicaraan orang lain serta jarang menyela pembicaraan. Bagi orang yang tidak mengenal secara baik kepribadiannya, sulit menafsirkan apakah pak Harto suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju dengan pendapat kita. Karena itu tidak jarang orang salah menilai pendapat dan sikap Pak Harto, terutama yang tidak memahami filosofi Jawa meskipun orang Jawa. Di dalam operasi intelijen khususnya di Indonesia, hal-hal seperti itu diatasi dengan mengulang menyebutkan dua tiga kali perintah operasi oleh pelaksana operasi demi memperoleh keyakinan dan penegasan dari pemberi tugas.

Bung Karno mengulang kembali apa yang sudah disampaikannya melalui Bambang Widjanarko mengenai keputusannya perihal kepemimpinan Angkatan Darat yang berada langsung di tangannya, serta menunjuk untuk sementara waktu Asisten III Angkatan Darat Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai pelaksana harian.

Dalam suasana yang demikian itu perang psikologi dan kewibawaan menentukan. Pak Harto dengan senyum dinginnya mengalihkan pembicaraan pada soal nasib para Jenderal yang diculik dan dibunuh, yang sampai saat itu belum jelas dan menegaskan akan menghancurkan siapa pun yang terlibat dalam penculikan termasuk Dewan Revolusi. Pangkostrad Jenderal Soeharto juga menyatakan tidak menentang pengangkatan Jenderal Pranoto, tetapi kembali mengemukakan keberatannya.

Menanggapi keberatan Jenderal Soeharto akhirnya Bung Karno mengambil jalan kompromi dengan menyatakan tetap mengangkat Jenderal Pranoto sebagai Pejabat Pimpinan Angkatan Darat, sementara Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Inilah detik-detik bersejarah yang menandakan kelahiran Pangkopkamtib, cara kompromi yang lazim di masyarakat Jawa, yang tidak secara tegas menyelesaikan masalah namun justru menambah masalah. Untuk pertama kali  dalam tubuh kemiliteran khususnya Angkatan Darat, ditunjuk dua pimpinan sekaligus. Tentu waktulah yang akan menunjukkan siapa yang sesungguhnya memimpin masa depan. Beberapa jam kemudian, Bung Karno merekam keputusan tersebut dan mengumumkan melalui RRI lewat tengah malam, pukul 01.30.

Gelombang “perlawanan” berikutnya terjadi beberapa hari kemudian.  Suatu malam datang ke Kostrad beberapa orang yang mengaku sebagai utusan Presiden. Mereka mencari Yoga Sugomo dan Ali Murtopo untuk diminta menghadap Presiden. Tuduhan yang mereka lontarkan adalah Kostrad akan menculik Dewi Soekarno. Memang ketika itu sedang ada suatu pendekatan guna mempertemukan Mayjen Soeharto dengan isteri Bung Karno tersebut di lapangan golf, demi memperoleh informasi tentang hari-hari menjalang G30S.

Kedatangan orang-orang tersebut  disampaikan kepada Pangkostrad , dan keputusan Panglima cukup tegas, “Ora usah mangkat (tidak usah berangkat)," kata Mayjen Soeharto.
Utusan tadi tidak puas dengan keputusan itu dan terus mendesak, sampai kemudian Yoga menegaskan, “Tidak. Kalau mau perang ya perang. Pokoknya saya tidak mau berangkat.” Akhirnya utusan itu meninggalkan Kostad yang penjagaannya sangat ketat.
Demikian sekelumit catatan tentang peristiwa-peristiwa yang menggambarkan dinamika hubungan antara TNI dan Presiden di masa lalu.(*) 
tag: #  Bagikan Berita ini :
48

Kamis, 28 Desember 2017

APBD BERMASALAH

Perbaiki dari Sistem Ketatanegaraan yang Amburadul

http://watyutink.com/opini/perbaiki-dari-sistem-ketatanegaraan-yang-amburadul

08 Dec 09:35:00
Kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan APBD, bahkan APBN, sudah menjadi rahasia umum. Salah satu di antaranya ditunjukkan dengan kesibukan-kesibukan luar biasa di bulan-bulan akhir tahun anggaran, antara November–Desember setiap tahun. Kesibukan yang tiada lain hanya untuk menghabiskan anggaran. Lantas manfaat apa bagi rakyat, dari kesibukan akhir tahun seperti itu? Nyaris tidak ada. Apa kelemahan itu tidak diketahui oleh Menteri Keuangan? Rasanya mustahil, kecuali memang sengaja tutup mata dan telinga.
Tetapi kerancuan cara berfikir, atau entah apa, tak sanggup kita mengungkapkannya. Pernyataan galau Menteri Keuangan yang kecewa dengan mutu pendidikan Indonesia yang kalah dari Vietnam tersebut saja, kita pun sudah pantas ikut galau. Betapa tidak. Sudah berjalan berapa tahunkah Negara mengalokasikan 20 persen anggarannya untuk pendidikan nasional? Mendidik bangsa bukan urusan setahun dua tahun anggaran, melainkan satu generasi, minimal 15 tahun jika dihitung sejak masuk sekolah dasar sampai jenjang Diploma III. Itupun bila anggarannya dipakai secara tepat guna dan tidak bocor. Maka mustahil pula mengharapkan hasil alokasi anggaran pendidikan hanya dalam bilangan di bawah sepuluh tahun dalam masyarakat korup dewasa ini.
Demikian pula mengharapkan Pemerintah Daerah beserta DPRDnya  di orde reformasi ini menyejahterakan rakyatnya melalui APBD, rasanya juga mustahil. Bagaimana mungkin kita mengharapkan buah yang enak dimakan dari pohon beracun? Mengharapkan makan mangga dari pohon jarak kepyar dan jarak pagar yang buahnya sangat beracun? Mengharapkan makan gethuk nan lezat dari ubi singkong karet atau buah sawo dari pohon upas yang bahkan getahnya saja sudah amat sangat mematikan? Jadi bagaimana mungkin mengharapkan aparat dan sistem berpemerintahan serta bernegara yang baik dari sistem ketatanegaraan yang amburadul seperti sekarang ini?
Dari kerusakan sistem ketatanegaraan, mustahil mengharapkan sesuatu yang baik atau thoyib. Begitulah seharusnya sikap tegas kita menghadapi sistem dasar ketatanegaraan kita, dalam hal ini Undang-Undang Dasar (UUD). UUD adalah bagaikan pohon kehidupan di mana seluruh denyut kehidupan bangsa dan negara tergantung kepadanya.
Kenyataannya, UUD Amandamen 2002 yang sekarang menjadi sumber segala produk hukum dan aturan berbangsa dan bernegara adalah juga pohon beracun, dari benih sampai buah, semuanya beracun. Dari pohon dan buah beracun, apa mungkin meharapkan buah yang lezat? Omong kosong. Dari penamaannya saja UUD 1945 Amandemen itu sudah manipulatif.
Sistem yang rusak akibat amandemen UUD 1945 telah  melahirkan bebagai UU dan peraturan yang memunculkan ancaman krisis moral yang belum pernah terjadi. Konstitusi yang  buruk pasti akan menghasilkan UU dan peraturan yang buruk misalkan:
Pertama, UU Penanaman Modal, mempermudah WNA menjadi WNI, mempermudah WNA memiliki properti, menggampangkan prosedur utang Luar Negeri, menyerahkan kawasan-kawasan dan proyek-proyek vital dan strategis kepada asing seperti di zaman VOC dulu, serta melonggarkan masuknya ribuan tenaga kerja asing, dan lain-lain.
Kedua, UU Kepartaian dan Pemilu yang buruk, menghasilkan partai-partai politik beracun dan buruk yang hanya akan dikuasai para pemodal dan rent seeker, pemburu rente yang menganut paham berkuasa dan kaya raya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.
Demikianlah mata rantainya, UUD yang buruk akan menghasilkan Pemilu buruk, selanjutnya DPR/DPRD serta Pemerintah dan Kepala Daerah yang buruk, akan menelurkan kebijakan yang buruk pula. Sistem kepartaian dan Pemilu/Pilkadal (Pemilu Kepala Daerah– Langsung) yang sangat berbiaya tinggi, menghasilkan Kepala Daerah dan DPRD yang harus berusaha keras mengembalikan investasi plus bunganya dalam pemilu yang berbiaya tinggi. Apakah mereka memikirkan rakyat? Itu nanti saja pada ritual demokrasi lima tahunan.
Oleh karena itu, siapapun dan partai manapun yang berkuasa  yang dihasilkan dari UUD yang buruk, tidak akan bisa mengubah keadaan karena  menggunakan pola dan sistem yang rusak. Dalam kerangka sistem ketatanegaraan yang buruk seperti itu, bagaimana mungkin kita mengharapkan para Kepala Daerah serta DPRD mengelola APBD bagi sebesar-besarnya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat? Rasanya mustahil. A bad system can destroy good people. (pso)

Menyoal Program Dana Desa

 http://watyutink.com/fokus/menyoal-program-dana-desa

Mari Kita Jaga Dana Desa, Dana Saya-Dana Kita Semua (Bagian 1)

Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola hidup kita.

28 Dec 16:00:00
Kekuatiran Menteri Keuangan Sri Mulyani dana desa gagal menurunkan angka kemiskinan dibanding laju kenaikan angka kemiskinan, sangat beralasan dan memang sudah terbukti, karena di samping setting sosial pedesaan yang butuh pendekatan berbeda, juga lantaran pemahaman akan makna geo-ekonomi, geo-politik dan geo-strategis secara nasional sangat lemah. Jadi bukan sekedar menabur uang ke pedesaan dan membangun infrastuktur khususnya jalan, sebab apalah artinya jalan apabila ekonomi rakyat tidak tumbuh.
Kita sering bicara tentang Perang Asimetris atau Perang Semesta Global yang tengah berlangsung dan menyerbu Negara-Negara Bangsa, namun hanya sebatas retorika, dan masih saja tidak peduli dengan perang moderen terdahsyat tersebut, yang bukan lagi ditentukan oleh benteng-benteng batu nan kokoh dan meriam, melainkan perang dalam segala bentuk, khususnya perang budaya dan gaya hidup yang mampu menembus masuk ke ruang-ruang pribadi di dalam rumahtangga setiap penduduk dunia, termasuk penduduk di pedesaan Indonesia.
Demi memenangkan peperangan itu, kekuatan kapitalis barat dan utara yang menguasai modal dan teknologi, terus berusaha menggelorakan pesona gaya hidup beserta produk-produk konsumtifnya, dengan akibat kerusakan tata nilai budi luhur dan  keagamaan, juga terkurasnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup. Masyarakat luas hanya dijadikan pasar dengan individu-individunya yang konsumtif, pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis. Boros serta mementingkan diri sendiri, sehingga menjadikan individu-individu yang hidup secara defisit seperti halnya negeri kita yang senantiasa defisit dalam neraca pembiayaan dan perdagangan luar negeri.
Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor. Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik semen, rokok dan toko-toko kelontong dan bahan pokok, juga dikuasai oleh modal asing atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di sekitarnya tetap miskin.
Sesungguhnya gagasan mengalirkan uang ke pedesaan dengan program dana desa itu sangat mulia dan akan tepat dan berdayaguna apabila dilakukan dalam setting sosial pedesaan yang berada dalam suatu strategi besar nasional yang dilandasi pada tiga kekuatan peta bumi yakni geo-ekonomi, geo-politik dan geo-strategis yang baik.
Sebagai contoh di bidang energi, Guru Besar ITB Prof.Dr.Teuku Abdullah Sanny dalam tulisannya di Republika 14 Oktober 2014, sudah mengusulkan 7 (tujuh) langkah strategi kebijakan yang berbasis tiga potensi peta bumi tersebut, antara lain Pemerintah harus dapat segera membuat rencana strategis energi berbasis nonmigas serta mengubah kebijakan yang bersifat sentralistik ke pola regional sesuai karakteristik alam masing-masing.
Strategi kebijakan seperti itu akan meningkatkan daya guna tepat dan mendekatkan serta melibatkan peran serta masyarakat di berbagai daerah dalam memenuhi kebutuhan energi bagi dirinya sendiri. Kita harus bisa mendayagunakan secara optimal apa-apa yang kita miliki, termasuk mengolah potensi alam seperti sampah, air, matahari dan angin menjadi sumber energi sebagaimana dikemukakan oleh Prof.Dr. Teuku Abdullah Sanny tadi. Dalam hal pemanfaatan sampah saja, penalar telah mempraktekkan dengan mengolahnya menjadi pupuk dan briket untuk bahan bakar. Di beberapa negara Eropa, sampah makanan dan dapur dikumpulkan tersendiri untuk diolah menjadi sumber energi. (pso)

Mari Kita Jaga Dana Desa, Dana Saya-Dana Kita Semua (Bagian 2)

Bisakah kita membangun etos "setiap jengkal tanah setiap saat menghasilkan"?

28 Dec 16:00:00
Di bidang pertanian, kita adalah negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan air laut dan matahari tropis nan melimpah-ruah, tiga syarat utama pembuatan industri garam. Ironisnya kita justru mengimpor garam dari negara-negara sub tropis yang tiga persyaratan utamanya justru jauh di bawah kita. Siapa yang diuntungkan? Sudah pasti bukan rakyat tapi pedagang dan importir garam, yang jaringan mata rantainya selalu menyalahkan musim hujan yang tidak mendukung industri garam. Padahal di kampung petani garam di Sedayu, Jawa Timur, sejumlah penduduk sudah berhasil dengan sukses mengembangkan rumah piramid garam yang memungkinkan memproduksi garam sepanjang tahun tanpa terpengaruh musim hujan.
Dalam budaya ekonomi, kita harus bisa mengobarkan perang terhadap sikap hidup yang konsumtif dan boros, dengan membudayakan sikap hidup hemat, sederhana dan menabung. Kita harus menggalang etos dan budaya industri secara hakikat dalam makna yang luas yakni pola pikir, sikap hidup dan perilaku untuk mendayagunakan sumber daya alam, ketrampilan, peralatan dan ketekunan kerja dalam suatu mata rantai produksi yang luas, berkesinambungan serta mengutamakan nilai tambah, dan bukan dalam arti sempit sebagaimana kita kenal selama ini, yang dibatasi hanya semata-mata sebagai suatu proses pabrikasi.
Dalam memaknai geo-ekonomi di zamrud khatulistiwa yang secara potensial subur makmur ini misalkan, bagaimana kita ditantang untuk membangun etos “setiap jengkal tanah, setiap saat menghasilkan”. Sebagai contoh, Gerakan OVOP (One Village One Product) yang selama ini sudah digulirkan oleh Prof.Dr.Gunawan Sumodiningrat dan Universitas Gajah Mada, sungguh tepat dan bisa menjadi contoh model pembangunan yang mengabdi pada rakyat dan komunitas, yang produktif berkesinambungan, mendayagunakan keunggulan lokal, melestarikan eko sistem dan melakukan konservasi.
Etos dan budaya industri serta semangat OVOP itu harus dikembangkan dalam sistem kebersamaan dan kekeluargaan yang kita kenal sebagai gotongroyong,  sehingga mampu menggetarkan setiap pori-pori kehidupan anak bangsa. Gerakan OVOP dengan sentuhan akhir kepariwisataan, sekaligus juga akan dapat menarik banyak wisatawan dan menjadi gerakan dari desa membangun Indonesia. Yogya dan sekitarnya misalkan, memiliki banyak produk dan keunggulan lokal yang bisa menjadi unggulan serta percontohan Gerakan OVOP, antara lain salak pondoh, geplak, tiwul, kerajinan kulit, keramik dan aneka seni Jawa. Demikian pula potensi di berbagai wilayah di Indonesia.
Budaya industri dalam arti luas yang menjiwai Gerakan OVOP, mendorong masyarakat di tingkat bawah untuk hidup produktif dengan mendayagunakan segenap potensi yang dimiliki secara berkesinambungan. Budaya ekonomi dan industri dalam kerangka strategi besar nasional yang bertumpu pada keunggulan tiga potensi utama peta bumi Indonesia, harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program dana desa. Jika tidak, maka jangan berharap kemiskinan di pedesaan akan berkurang, bahkan terus bertambah bersama meningkatnya para aparat desa yang terlilit kasus penyalahgunaan dana desa.
Kita semua harus ikut menjaga Dana Desa, yang antara lain bersumber dari Pajak Penjualan yang dipungut 10 persen, misalkan dari gula, kopi, air mineral yang kita minum sebagai wedang kopi, serta  listrik atau gas yang memanaskan airnya. Jadi ratusan triliuun rupiah Dana Desa yang ditaburkan ke pedesaan itu, bukan hanya dananya Menteri Keuangan, melainkan dana dari saya, dari anda dan kita semua. (pso)

Minggu, 24 Desember 2017

WEDHATAMA : KITAB TENTANG KEUTAMAAN




Kajian & Latihan Seni Mocopat Seri 5, Sabtu Pahing, 5 Bakda Mulud 1951 ( 23 Desember 2017).

Keutamaan atau keluhuran hidup, menjadi tujuan utama masyarakat Jawa tempo dulu. Ukuran keutamaan bukanlah harta benda, mobil berapa dan merek apa serta rumahnya di mana saja. Membicarakan tentang harta benda apalagi bertanya atau pamer, bahkan dianggap tabu dan tidak sopan. Keutamaan seseorang dinilai dari budi pekerti yang luhur dan cita-cita hidupnya, serta setinggi apa masyarakat  terutama di sekelilingnya menghormati dengan sepenuh takzim. Tak jarang menjadi tempat bertanya dan sering diminta doa restunya.

Pengetahuan dan ajaran tentang keutamaan hidup, diajarkan turun-temurun  atau dari orang tua ke anak secara lisan. Sejalan dengan perkembangan sastra Jawa yang mencapai puncak keemasan pada abad ke 19, lahirlah sejumlah karya sastra yang berisi ajaran dan filosofi kehidupan.  Dua diantaranya yang sangat popular adalah Serat atau Kitab Wulangreh dan Kitab Wedhatama.
Wulang artinya pitutur atau ajaran, sedangkan reh berarti jalan atau cara mencapai sesuatu. Dalam hal ini adalah ajaran untuk mencapai hidup yang sempurna. Kitab Wulangreh selesai disusun oleh Raja Kasunanan Surakarta Pakubuwana IV (1768 – 1820) pada tahun 1808. Sedangkan Wedhatama disusun oleh Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara IV (1809 – 1881). Wedha artinya pengetahuan dan tama berasal dari kata utama yang berarti keutamaan atau keluhuran. Dengan demikian makna kedua kitab tersebut pada hakikatnya sama, yakni pelajaran tentang mewujudkan kehidupan yang baik, yang sarat dengan kandungan-kandungan filosofis, moral, spiritual dan budi pekerti. 

Wedhatama disusun dalam 100 bait tembang macapat, yang terdiri dari tembang Pangkur sebagai pembuka sebanyak 14 bait, Sinom 18 bait, Pocung 15 bait, Gambuh  35 bait dan ditutup dengan Kinanthi 18 bait. Berikut beberapa contoh, sedangkan bait-bait yang lain insya Allah kita bahas di lain kesempatan:

Tembang Pangkur bait 1 dan 2.
Mingkar-mingkuring angkara
akarana  karenan mardi siwi
sinawung resmining kidung
sinuba sinukarta
mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
kang tumrap neng tanah Jawa
agama ageming aji.

Jinejer neng Wedhatama
mrih tan kemba kembenganing  pambudi
mangka nadyan tuwa pikun
yen tan mikani rasa
yekti sepi asepa lir sepah samun
samangsane pakumpulan
gonyak-ganyuk nglilingsemi.

Artinya:

Menghindarkan diri dari angkara (perilaku buruk, jahat)
karena hendak mendidik anak (dan murid)
yang tersirat dalam keindahan kidung
dihias sehingga indah syairnya
demi menjiwai hakikat ilmu luhur
yang berlaku di tanah Jawa
agama sebagai pakaian kehidupan yang mulia.

Diuraikan dalam Wedhatama
agar tidak kekurangan pegangan budi
padahal  meski tua renta
apabila tidak memahami perasaan
sungguh bagaikan sepah (ampas) makanan yang sudah tak ada rasanya
tatkala di dalam pertemuan
sering canggung memalukan.

Dua bait pembuka tersebut menjelaskan manusia harus  menghindarkan dari dari perbuatan angkara (murka), demi mendidik generasi muda, yang dikemas dalam sebuah tembang dengan syair-syair yang indah. Tembang yang penuh dengan hakikat ilmu luhur yang menjiwai kehidupan orang Jawa, bagaikan agama-agami ageming aji. Yakni pakaian kehidupan yang membuat diri yang memakainya menjadi berharga. Pengetahuan itu dituangkan dalam Wedhatama, agar hidup kita tidak kekurangan budi (baik). Karena begitulah kenyataan dalam kehidupan. Ada saja meski orang sudah tua renta, yang jika tidak bisa memahami budi dan perasaan, sungguh akan bagaikan ampas makanan yang tidak ada rasanya, jiwanya hampa, yang akan nampak di pertemuan-pertemuan, tindak-tindak dan pekataannya memalukan.

Di dalam Serat Wedhatama ini ada bait-bait yang sangat populer yang sering ditembangkan dalam irama Sinom oleh kelompok-kelompok karawitan dan penggemar seni mocopat, yaitu bait 15 sampai dengan 20 sebagai berikut:

Bait 15.

Nulada laku utama
tumraping wong tanah Jawi
wong agung ing Ngeksigondo
Panembahan Senopati
kapati amarsudi
sudaning hawa lan nepsu
pinesu tapa brata
tanapi ing siyang ratri
amamangun karyenak tyasing sasama.

Artinya:

Contohlah perilaku terbaik
bagi masyarakat Jawa
tokoh mulia dari Kerajaan Mataram
Panembahan Senopati
orang yang sangat tekun menempa diri
mengurangi hawa nafsu
dengan menjalani tapabrata
siang maupun malam
membangun kebahagiaan hati sesama.

Bait 16.

Samangane pasamuan
mamangun marta martani
sinambi ing saben mangsa
kala-kalaning ngasepi
lalana teki-teki
nggayuh geyonganing kayun
kayungyun eninging tyas
sanityasa pinrihatin
puguh panggah cegah dhahar lawan nendra.

Artinya

Dalam setiap pertemuan
membangun kebahagiaan bersama
secara teratur  memerlukan
pergi menyepi (uzlah)
berkelana ke tempat-tempat sunyi
menggalang cita-cita (membangun cipta)
menguatkan rahsa (nurani/kalbu)
senantiasa prihatin
berpegang teguh mencegah makan dan tidur.
  
Bait 17.

Saben mendra saking wisma
lelana laladan sepi
ngingsep sepuhing sopana
mrih pana pranaweng kapti
tis-tising tyas marsudi
mardawaning budya tulus
mesu reh kasudarman
neng tepining jalanidhi
sruning brata kataman wahyu dyatmika

Artinya.

Setiap pergi dari rumah
berkelana ke tempat sepi
menyerap (menghisap) energi keutamaan
agar jelas tujuan hidup (cipta)
meneguhkan rahsa (nurani/kalbu)
mengokohkan ketulusan budi
memperdalam ajaran dalam berdarma (berbakti pada sesama)
sampai di pinggir samudera
sehingga pada akhirnya memperoleh wahyu keutamaan.

Bait 18.

Wikan wengkoning samodra
kederan wus den ideri
kinemat kamot ing driya
rinegem sagegem dadi
dumadya angratoni
nenggih Kanjeng Ratu Kidul
ndedel nggayuh nggegana
umara marak maripih
sor prabawa lan Wong Agung Ngeksiganda.

Artinya.

Paham keluasaan samudera
semua (jagat raya) sudah dikitari
diserap dalam inderanya
digenggam sekali genggam
sehingga menjadi penguasa jagat raya
sampai kemudian Penguasa Alam Gaib Kanjeng Ratu Kidul melesat ke angkasa,
menghadap mengendap-endap
menghamba karena kalah wibawa dengan Orang Agung dari Mataram.

Bait 19.

Dahat denira aminta
sinupeket pangkat kanthi
jroning alam palimunan
ing pasaban saben sasi
sumanggem anyanggemi
ing karsa kang wus tinamtu
pamrihe mung aminta
supangate teki-teki
nora ketang teken janggut suku jaja.

Artinya.

Memohon dengan sangat
agar direngkuh jadi pengikut
dalam alam gaib
yang menghadap di kala sunyi
berjanji menyanggupi
membantu upaya (karsa) yang telah dicipta (dirancang)
kehendaknya hanya mengharap
restu (ijin) dari sang pertapa
meski harus menjadikan jangut sebagi tongkat dan dada menjadi kaki.

Bait 20.

Prajanjine abipraya
saturun-turun wuri
mangkono trahing awirya
yen amasah mesu budi
dumadya glis dumugi
iya ing sakarsanipun
wong Agung Ngeksiganda
nugrahane prapteng mangkin
trah tumerah darahe padha wibawa.

Artinya.

Berjanji mempersembahkan hidupnya demi kelestarian jagat raya
beserta anak keturunan di kemudian hari
demikian itu tekad keturunan ksatria (manusia utama)
dalam mengasah kesempurnaan budi
agar cepat tercapai
apa yang diinginkan
orang Agung dari Mataram
anugrah pun tiba
semua keturunannya berwibawa.

Bait 15 sampai 20 ini bait yang sesungguhnya memerlukan renungan khusus yang hening, mengingat sebagian membahas masalah gaib, yang tidak semua orang percaya.  Dan jika ada yang percaya pun belum tentu sama pemahamannya. Salah mempelajari ilmu gaib, alih-alih memperoleh ilmu hakikat, malah hidup kita justru bisa tersesat. Namun tidak berarti kita tidak bisa mempelajari Wedhatama kapan dan di mana saja, karena bait-bait tersebut juga memuat pengetahuan yang terang benderang bagi kacamata awam yang mau berpikir.

Wedhatama mengajak kita meneladani kehidupan pendiri kerajaan Mataram Islam, yaitu Panembahan Senopati. Ia tekun mengasah jiwa raganya (rahsa), menyatu dengan alam semesta, mengendalikan hawa nafsu (karsa) dan bercita-cita mewujudkan kebahagiaan (cipta)  bagi sesamanya, bagi sesama umat Tuhan (rahsa).

Ada dua versi pemahaman bait ke 19. Disamping versi terjemahan sesuai kata dan kalimat sebagaimana di atas, ada versi lain yang disebut versi hakekat yang kurang lebih bermakna sebagai berikut: “ Karena kuatnya keinginan untuk berbakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka meskipun sangat berat, bahkan menjadikan dagu sebagai tongkat dan dada sebagai kaki untuk berjalan mencapainya, ia terus prihatin, bertirakat, memohon ridho-Nya, agar bisa berperilaku, bertindak-tanduk yang benar dan suci seusai dengan kehendak-Nya.”

Sebagai bait penutup dalam kajian seri ini, marilah kita hayati bait ke 33 dalam tembang Pocung yang terjemahannya sudah sangat gamblang, maknanya sebagai berikut:

Ngelmu iku
kalakone kanthi laku
lekase lawan kas
tegese kas nyantosani
setya budya pangekese dur angkara.

Artinya:

Ngelmu itu
terwujudnya  atau hanya bisa dicapai dengan amal perbuatan
diawali dengan kemauan atau tekad
artinya tekad yang menguatkan
budidaya yang teguh akan menghancurkan angkara murka.

Demikianlah sahabatku, semua ilmu, semua ajaran kebaikan itu hanya akan terwujud dan bermakna, apabila dipraktekkan serta diamalkan dalam perilaku dan kehidupan nyata kita. Apalah artinya ilmu, jika itu hanya berada di alam pikiran, dan paling jauh berhenti di ujung lidah Maka hanya akan seperti peringatan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, “Bagaikan keledai memanggul sekeranjang buku, keledai yang tidak memahami sama sekali makna dan hakekat ilmu yang dipanggulnya, apalagi mengamalkannya.” Semoga kita dijauhkan dari gambaran buruk tersebut, dan sebaliknya senantiasa memperoleh inayah dan hidayah-Nya. Aamiin. *** (B.Wiwoho
Paguyuban Suluk Nusantara - Depok Mulya I. Kajian & Latihan Seni Mocopat Seri 5, Sabtu Pahing, 5 Bakda Mulud 1951 ( 23 Desember 2017).