Rabu, 30 Mei 2012

BENCANA DI INDONESIA DALAM KACAMATA ISLAM KEJAWEN

Bencana di Indonesia dalam Kacamata Islam Kejawen




Raja atau Sultan dalam filosofi Jawa adalah wakil atau utusan Gusti Allah. Oleh karena itu raja-raja Jawa selalu memiliki gelar “Khalifatullah ing tanah Jawi” (wakil Allah di tanah Jawa). Sebagai wakil Gusti Allah, Raja mempunyai tugas “memayu hayuning bawono,” yaitu mensyukuri, menjaga dan melestarikan anugerah keindahan serta keharmonisan alam raya.

Sebagai pelestari dan penjaga keharmonisan alam raya, maka Raja Jawa bukan hanya mengemban amanah untuk mensejahterakan manusia saja, tapi juga semua makhluk Allah, yang tiada lain adalah alam raya dan seisinya. Ini sejalan dengan kaidah ilmu fiqih yang menyatakan bahwa alam raya itu berubah, dan semua yang berubah itu adalah makhluk.

Islam mengajarkan, semua yang ada di langit dan di bumi bertasbih, bersujud dan memuji Allah Swt. Pohon, tumbuh-tumbuhan dan hewan tunduk kepadaNya. Guruh, bebatuan, angin, air laut, semua bertasbih dan memuji Allah Sang Maha Pencipta. Semua itu diciptakan dengan berbagai tujuan, fungsi dan peran masing-masing dalam suatu keharmonisan alam raya. Sedangkan semua fungsi dan peran mereka dengan seizin Allah Swt, diatur oleh malaikat, dicatat baik-baik, sampai-sampai tidak ada selembar daun pun yang jatuh yang tidak diketahui oleh Allah Sang Maha Sutradara.

Karena mengemban amanah yang sedemikian besar, maka kalau ingin sukses, seorang Raja Jawa harus bisa memadukan cipta-rasa dan karsanya untuk bisa berkomunikasi secara baik dengan semua makhluk termasuk makhluk gaib antara lain roh halus penguasa Laut Selatan (Ratu Kidul), roh halus penguasa Gunung Merapi serta Gunung Lawu dll.

Demikianlah, dalam persepsi masyarakat Jawa, seorang pemimpin atau Raja harus bisa mengayomi dan diterima bukan hanya oleh rakyatnya yang berupa manusia, tapi juga oleh semua makhluk alam raya tanah Jawa, ya langitnya, ya buminya, ya makhluk gaibnya. Persepsi seperti ini kuat tertanam di benak orang Jawa baik yang beraliran kejawen, maupun Jawa – Islam yang mempelajari kisah-kisah umat beberapa nabi di dalam Al-Qur’an, yang diazab oleh Allah Swt dengan perantaraan berbagai bencana alam dan wabah penyakit.


Anda boleh percaya atau tidak

Di samping percaya bahwa semua isi alam raya termasuk makhluk gaib adalah makhluk sekaligus balatentara Gusti Allah, orang Jawa juga percaya pada petunjuk Allah berupa isyarat-isyarat kehidupan. Isyarat kehidupan bagi orang Islam Jawa juga dianggap bagian dari ayat-ayat kauniah, yang di dalam Islam memang dianjurkan untuk dikaji dan dipahami.

Isyarat-isyarat kehidupan itu dalam keseharian diterjemahkan dalam cara pandang terhadap sesuatu yang disebut “gotak-gatik-gatuk,” diutak atik ternyata cocok. Misalkan, Menteri Penerangan Kabinet Pak Harto, yaitu Pak Harmoko, dianggap akronim dari Hari-hari Omong Kosong (versi Pak Harmoko, Hari-hari Omong Komunikasi). Pak Habibie yang menjabat Menteri Riset & Teknologi plus sejumlah jabatan dalan industri-industri strategis, dimaknai “Habis Bikin Bingung”, mau diapain produksinya. Sedangkan pesawat produksinya yang diberi nama Tetuko, diartikan Sing Teko Ora Tuku-tuku, Sing Tuku Ora Teko-teko (Yang Datang Tak Kunjung Membeli, Yang Membeli Tak Kunjung Datang).

Contoh lain lagi adalah peristiwa pelantikan Presiden dalam Sidang Umum MPR. Yang pertama Maret 1998, sewaktu Ketua MPR/DPR Harmoko mengetukkan palu pimpinan sidang untuk menutup acara pelantikan Presiden Soeharto, ternyata palunya patah. Waktu itu beberapa orang tua langsung mengambil kesimpulan, Pak Harto tidak akan bisa menyelesaikan masa jabatannya dengan baik.

Demikian pula sewaktu selesai dilantik, Presiden Gus Dur, kaki kanannya berjalan melangkah ke atas meja, maka itu dianggap sebagai isyarat bahwa keadaan akan “amburadul”.

Dalam lima tahun terakhir ini, Indonesia dilanda berbagai musibah dan bencana yang bertubi-tubi nyaris tiada henti. Terhadap musibah dan bencana tersebut, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. K.H. Ali Yafie dalam tausyiah “Ramadhan Menggugah Semangat Proklamasi” yang disampaikan pada tanggal 12 Oktober 2005, secara tegas telah menyatakan sebagai peringatan dan hukuman kepada kita (Penerbit PT. Bina Rena Pariwara).
Bagi sebagian masyarakat, tanda-tanda peringatan (dan juga hukuman) bisa digotak-gatik-gatuk dari berbagai isyarat datangnya bencana antara lain gempa bumi sebagai berikut :
  1. Gempa di Tual, Maluku, tanggal  24/10-2004 (QS 24/ An-Nuur ayat 10) pada pukul 20.31 (QS 20/ Thaahaa : 31, tentang ajakan mensyukuri pertolongan Allah dan bertobat)
  2. Gempa di Nabire – Papua, 26/11-2004 pukul 09.25 (QS 26/ Asy Syua’raa:11 dan QS 9/ At-Taubah :25, tentang peringatan kepada kaum Fir’aun dan orang-orang yang sombong)
  3. Gempa dan Tsunami Aceh, pada 26/12-2004 pukul 07.59 (QS 26/Asy Syu’araa : 12  dan QS 7/ Al-A’raaf : 59, tentang ancaman nabi Nuh)
  4. Gempa Yogyakarta dan ledakan Lumpur Lapindo, 27/05-2006 Jam 05.53 (QS 27/ An-Nahl : 5 dan QS 5/ Al-Maidah : 53, tentang orang-orang yang memperoleh seburuk-buruk siksa dan terhapusnya segala amal menjadi orang – orang yang merugi)
  5. Gempa Sumatera Barat, 06/03-2007 (QS 6/ Al-An’am : 3, tentang kekuasaan Allah Swt untuk mengetahui apa saja yang kita lakukan)
  6. Gempa Bengkulu, 12/09-2007 (QS 12/ Yusuf : 9, tentang persekutuan jahat saudara-saudara Nabi Yusuf).
  7. Gempa Bengkulu, 13/09-2007 jam 07.40 (QS 13/ Ar-Ra’du : 9 dan QS 7/         Al-A’raaf : 40, tentang kekuasaan Tuhan mengetahui segala hal termasuk yang tersembunyi, serta balasan terhadap orang-orang yang sombong, berdosa dan mendustakan ayat-ayat Allah Swt)
  8. Gempa Sulawesi, 13/09-2007 jam 17.48 (QS 13/ Ar-Ra’du : 9, idem di atas,  dan QS 17/ Al-Israa : 48, tentang peringatan Tuhan terhadap orang-orang dzolim)
  9. Gempa Bengkulu, 22/09-2009 (QS 22/Al-Hajj : 9, tentang azab untuk orang-orang yang sombong)
  10. Gempa Yogyakarta, Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu & Sumatera Barat, 09/08-2007 (QS 9/At-Taubah : 8, tentang orang-orang fasik)
  11. Beberapa kali gempa di berbagai tanah air termasuk Bengkulu 17/08-2009 (QS 17/Al-Israa : 8, yaitu peringatan tentang rahmat untuk orang-orang yang taubat dan azab bagi yang durhaka)
  12. Gempa Pantai Selatan Jawa Barat, 02/09-2009 (QS 2/ Al-Baqarah : 9, tentang orang-orang yang hendak menipu Allah dan orang-orang beriman).
  13. Gempa Bengkulu, 17/09-2009 jam 06.46 (QS 17/ Al-Israa : 9, yaitu pemberitahuan dan peringatan agar mengikuti petunjuk Allah dan QS 6/                  Al-An’am :46, tentang berbagai tanda dan peringatan Allah beserta hukumannya)
  14. Gempa Bali, 19/09-2009 jam 06.06 (QS 19/ Maryam : 9, tentang betapa mudah Allah menjalankan kuasanya dan QS 6/ Al-An’am : 6, tentang banyaknya umat yang dibinasakan Allah karena dosa-dosanya.
  15. Gempa Sumatera Barat 30/09-2009 jam 17.16 (QS 30/ Ar-Ruum : 9, tentang orang-orang yang menganiaya diri sendiri dan QS 17/ Al-Israa : 16, tentang azab Allah akibat perbuatan orang-orang yang durhaka dan bermewah-mewahan, dengan menghancurkan negerinya sehancur-hancurnya.
  16. Gempa Sumatera Barat susulan, 30/09-2009 jam 17.38 (QS 17/ Al-Israa : 38 tentang kejahatan yang dibenci Allah karena melanggar larangan-larangan-Nya.
  17. Gempa Jambi, 01/10-2009 jam 08.52 (QS 8/ Al-Anfaal : 52, tentang siksaan Allah yang sangat keras terhadap orang-orang yang ingkar dan berdosa sebagaimana ditimpakan terhadap Fir’aun)

Begitulah persepsi orang Islam – Jawa tentang bencana, gotak-gatik-gatuk, sikap alam atau makhluk-makhluk Allah terhadap ulah manusia. Tentu semua itu tidak bisa ditumpahkan sepenuhnya kepada Raja, sekarang Presiden, karena menurut pujangga sekaligus ulama kasyaf Ronggowarsito dalam Serat Kalatida mengenai salah satu tanda-tanda Jaman Edan (Zaman Gila) sbb :
Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
malah sangkin andadra
rubeda kang angribedi
beda-beda hardane wong sanagara

Terjemahannya adalah:
Raja (pemimpin)nya Raja utama
Patih (orang kedua)nya Patih istimewa (linuwih)
Suasana hati para menterinya makmur sejahtera
para punggawanya pun baik-baik
mekipun demikian pemerintahannya
tidak berdaya menangkal bencana
bahkan semakin menjadi-jadi
malapetaka nan merintangi
karena angkara orang se negara berbeda-beda.

Jadi, tanpa mengurangi beban dan tanggung jawab para pemimpin, karena memang begitulah sepatutnya, kita semua juga harus bertanggung jawab.

Maasyaa Allah, laaquwwata  illaa billaah.

Jakarta, 06 Oktober 2009

B. Wiwoho
Penulis buku “Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan,”
www.islamjawa.wordpress.com

Kamis, 24 Mei 2012

CARA PRESIDEN SOEHARTO MEREKRUT PARA MENTERINYA: Mengenang 14 th Reformasi



(Pengantar: tepat 14 tahun yang lalu, 21 Mei 1998, tanpa diduga oleh siapa pun, Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Guna mengenang peristiwa tersebut, dengan ini saya persembahkan  sebuah tulisan tentang salah satu hal dari Pak Harto, sebagai bahan renungan dan iktibar bagi kita semua, bangsa Indonesia. Semoga)



 MENGGALI  kenangan lama tentang Pak Harto ternyata tidaklah mudah. Bukan  karena lupa, tapi justru karena terlalu banyak hal yang menarik untuk ditulis, sementara  saya harus memilih salah satu topik.

Kesan pertama tatkala mulai meliput kegiatan Kepresidenan menjelang akhir 1972 adalah, Pak Harto itu orangnya tenang, berwibawa dengan wajah yang senantiasa menyungging senyuman. Dalam berkomunikasi dengan para menteri dan pembantunya yang lain, juga dengan para tamu, beliau pandai mendengar. Tidak mudah menjadi pendengar yang baik, lebih-lebih  bagi seorang penguasa. Tapi Pak Harto tidak demikian. Dengan air muka yang teduh serta ekspresi yang stabil, beliau sabar mendengarkan  ucapan ataupun  keterangan lawan bicaranya, dan jarang menyela apalagi memotong pembicaraan orang lain. Posisi dan sikap tubuhnya selalu santun, bahkan belum pernah sekalipun saya melihatnya mengangkat dan kemudian menyilangkan satu kaki di atas kaki lainnya, sebagaimana layaknya orang yang merasa dirinya hebat.

Sebagai seorang Kepala Negara sekaligus Presiden, beliau tampil bersahaja, sederhana apa adanya,  tidak banyak basa-basi  serta  tidak mudah mengumbar janji. Dalam berpakaian di depan umum, tidak jarang hanya mengenakan baju safari, batik atau tenun ikat dari bahan katun biasa yang murah,  bukan sutera yang halus dan mahal. Bahkan beberapa kali saya melihatnya mengenakan batik cap dari bahan sutera tiruan.  Meskipun demikian juga tidak mengenakan kemeja biasa apalagi baju kaos.

Kesantunan yang seperti itu juga sangat berkesan bagi mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Prof.K.H.Ali Yafie, yang mengemukakan hal itu kepada saya dalam satu mobil menuju Lapangan Udara Halim Perdanakusuma guna melepas keberangkatan jenazah Pak Harto ke Solo. "Dua puluh tahun saya mengenal Pak Harto, tapi baik dalam pertemuan-pertemuan formal maupun informal tidak pernah melihatnya mengangkat kakinya." Sikap seperti itu menurut pak Kyai nampaknya sederhana, namun dalam dan luas maknanya. Menunjukkan kepribadian yang kokoh kuat, sabar dan tenang, pandai mengendalikan diri, rendah hati dan menghargai orang lain serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Sebuah modal dasar yang besar dalam seni kepemimpinan dan berkomunikasi.

Dengan kepribadian yang demikian, meskipun pendidikan formalnya hanya sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama, Pak Harto mengelola negeri besar ini selama 32 tahun. Dengan kepribadian yang seperti itu pula beliau mencermati apa dan siapa tokoh-tokoh Indonesia, bagaikan seorang analis laboratorium meneliti sesuatu zat di bawah mikroskop, dan kemudian memilih satu demi satu untuk menjadi anggota timnya memimpin Negeri Zamrud Khatulistiwa ini.

Cara Pak Harto merekrut para pembantunya tidak heboh-hiruk pikuk berlarut-larut.
Sebagai mantan wartawan yang pernah bertugas di Istana dan mengenal sangat dekat karena tugas –tugasnya:  antara lain tokoh-tokoh  Pimpinan Operasi Khusus (OPSUS) Ali Murtopo (alm), Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Yoga Sugomo (alm), pemegang rekor jabatan menteri lebih dari 30 tahun, alm Radius Prawiro dan Menko Ekuin/Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro (alm), saya sering memperoleh bocoran catatan sebagian daftar 300-an tokoh-tokoh nasional dan daerah yang dibuat sendiri oleh Pak Harto, yang sewaktu-waktu dapat  direkrut untuk mengemban tugas membantu Presiden. Dari waktu ke waktu daftar itu, mungkin lebih tepat disebut oret-oretan atau seperti catatan daftar belanja,  selalu tersedia dan  senantiasa dinamis-diperbarui.

Pada awal-awal masa Pemerintahannya, terutama untuk bidang-bidang politik dan keamanan, Pak Harto mengenal sendiri secara langsung tokoh-tokoh nasional maupun daerah, khususnya teman-teman seperjuangannya, sehingga daftar tersebut dapat dengan mudah beliau susun sendiri. Seiring dengan waktu dan kesibukan, beberapa orang kepercayaan mensuplai informasi. Pak Harto mencermati serta mendalami informasi tersebut dan juga dari media massa,  kemudian menyaring berlapis-lapis. Jika suatu saat beliau membutuhkan, beliau menugaskan  Opsus/BAKIN, untuk mengecek dengan cepat dan sangat rahasia dalam hitungan hari, tanpa hiruk-pikuk,  informasi tentang seseorang tokoh yang akan direkrut, misalkan tentang siapa teman tidur-sekasurnya (isteri/suami), siapa  sedulur-sesumur (saudara dekat), siapa teman bergaulnya, apa saja hobbynya, bagaimana riwayat perjuangannya terutama rasa setiakawan-loyalitas kepada pimpinan dan senior, bagaimana sikap hidup dan kepribadiannya terutama kejujuran  dan kapasitas pribadinya. Bagaimana pandangan hidup dan rekam jejaknya terhadap harta, tahta dan wanita/pria. Beliau ingin betul – betul mengenal secara mendalam dan yakin mengenai orang-orang yang akan berada di dekatnya untuk membantu mengelola negara.

Sejalan dengan bertambahnya usia, kawan seperjuangan-segenerasi Pak Harto makin sedikit, banyak yang mendahului kepangkuan Ilahi. Bersamaan dengan itu, pada pertengahan 1985 hubungan Pak Harto dengan pak Yoga yang sudah berlangsung akrab semenjak tahun 1950-an, “membeku”. Jika biasanya hampir setiap Jumat malam selama sekitar 11 tahun mereka rutin bertemu melakukan evaluasi dan membahas perkiraan keadaan,  semenjak itu tidak lagi berlanjut. Pak Yoga yang sangat kesal dan prihatin,  mengajak saya menenangkan diri ke Jepang hampir selama 2 minggu.

Dalam suatu pertemuan rutin mingguan Pak Yoga menyampaikan pandangannya kepada Pak Harto antara lain: (1). Pak Harto yang sudah akan mencapai usia 67 pada Pemilihan Umum tahun 1988 dan sudah menjadi Kepala Negara selama 22 tahun, tentu akan sampai pada tahap jenuh dan lelah. (2) Periode kepemimpinan 1983 – 1988 menurut Pak Yoga adalah periode puncak keemasan kepemimpinan Pak Harto, yang sesudah itu dikuatirkan akan mulai melemah. (3). Bisnis keluarga dan putera-puterinya yang terus membesar bisa menjadi sumber kecemburuan sosial dan sasaran tembak. (4). Sumber dan jaringan informasi serta rekrutmen pak Harto yang secara alamiah semakin menyempit disebabkan kesenjangan generasi. Di lain  pihak kesenjangan generasi juga akan mengganggu komunikasi. Karena itulah pak Yoga menyarankan agar pak Harto dengan jiwa besar legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada tahun 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan kader peralihan generasi 45, dan siapapun kader yang ditunjuk,  Pak Yoga akan mengamankannya.

Saran pak Yoga tersebut tidak ditanggapi oleh Pak Harto dan ditolak oleh dua orang  pejabat penting lainnya melalui suatu perdebatan yang cukup menegangkan. Sementara  Pak Harto hanya diam saja tidak mengambil sikap, Ibu Tien Suharto yang diam-diam mengamati, melintas di ruang pertemuan seraya cenderung mendukung Pak Yoga.

Kembali pada cara Pak Harto memilih pembantu-pembantunya, Pak Ali Murtopo pernah menceritakan kepada saya, Pak Harto bukan hanya mengamati rekam jejak yang bersangkutan dalam jangka panjang, tapi juga menggunakan feeling, mata batin dan bisikan nuraninya. Kadang-kadang beliau juga meminta pendapat atau second opinion kepada seseorang atas seseorang. Hal inilah yang oleh orang-orang yang tidak suka terhadap Pak Harto dibilang Pak Harto menggunakan dukun., termasuk dianggap dukun adalah  Asisten Pribadi Presiden  Sudjono Humardhani (alm). Menanggapi isyu tersebut, Pak Sudjono pernah komentar, “Ngawur, mana mungkin Pak Harto berdukun ke saya. Ilmu dan kekuatan batin Pak Harto itu lebih hebat dari saya dan para dukun”.

Tentang itu, Pak Ali Murtopo pernah bercerita, pada suatu malam di awal Orde Baru, Pak Harto – Ali Murtopo – Sudjono Humardhani sedang duduk-duduk bertiga. Tiba-tiba Pak Harto mengeluarkan sebuah cicin berhiaskan batu permata dan seutas benang, yang kemudian dimasukkan ke dalam cincin dan ujung-ujungnya saling diikatkan sehingga membentuk kalung. Beliau meminta Pak Ali bergantian dengan Pak Sudjono memegang ujung benang dengan posisi cincin sebagai bandul. Ujung siku dari tangan yang memegang kalung menempel di meja, sedangkan tangan ditegakkan ke atas. Mereka berdua  diminta berkonsentrasi menggerakkan serta memutar cincin, tanpa boleh tangannya bergerak sedikitpun. Hasilnya, Pak Sudjono bisa menggerakkan pelan-pelan, Pak Ali bergerak sedikit lebih kencang, sedangkan Pak Harto, luar biasa, cincin bisa bergerak ke kiri, ke kanan bahkan berputar.

Menurut Pak Ali Murtopo, Pak Harto memiliki feeling, memiliki mata batin yang kuat terhadap seseorang. Feeling tersebut digunakan untuk bertanya pada dirinya sendiri, apakah Pak Harto dan seseorang yang akan dipilih menjadi pembantunya memiliki kecocokan satu sama lain. Apakah seseorang tadi bakal memiliki loyalitas serta setiakawan yang tinggi atau tidak,  menghasilkan sinergi yang baik atau tidak.

Berdasarkan laporan intelijen dan feeling, yang semuanya diproses secara tertutup, Pak Harto mengambil kata akhir serta memutuskan sendiri pilihannya. Terkait keputusan tersebut Pak Yoga pernah bercerita kepada saya, sarannya agar Pak Harto tidak mengangkat seseorang menjadi Menteri ditolak. Di kemudian hari, Menteri ini termasuk dalam kelompok Sebelas  Menteri yang tidak loyal lagi kepada Pak Harto. Mereka menyatakan mengundurkan diri dari jajaran Kabinet yang baru berumur 70 hari alias keberatan mendukung Pak Harto lagi. Surat pengunduran diri sebelas Menteri pada Rabu malam 20 Mei 1998 itu,  bersama sejumlah masalah lain, mendorong watak keras Pak Harto keluar, “ora dadi Presiden yo ra pateken (tidak jadi Presiden ya tidak akan kena penyakit patek, maksudnya ya tidak apa-apa, tidak akan rugi)”, sehingga keesokan harinya beliau mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden.  

Ada suatu ajaran sikap keras  yang ditanamkan pada anak-anak Jawa tempo dulu, untuk menolak hal-hal yang bersifat duniawi jika hal tersebut sudah menyentuh harga diri. Tahap yang paling lunak adalah ungkapan “tidak pateken” tadi. Lebih keras lagi adalah, tetap bergeming, tidak berubah sedikit pun  karena sudah terlanjur sakit hati walau mau ditebus, mau dibeli ataupun mau diobati dengan uang emas sekeranjang. Dan yang lebih fatal adalah jika sudah marah besar, maka orang yang melukai hatinya akan dilawan meskipun berisiko “pecahing dada wutahing ludira (dada pecah dan darah tumpah)”. Bahkan sangat mengerikan bila sampai tahap menghadapi lawan dengan sikap, “tak tumpes sak cindil abange (saya tumpas seluruh anak keturunannya, termasuk bayi yang  masih merah)”. Naudzubillah.

Pak Yoga juga pernah memberikan catatan terhadap seorang Calon Wakil Presiden, bahkan meminta saya membantu mempertemukan dengan seorang Jenderal Purnawirawan yang saya kenal baik, agar mau memberikan kesaksian atas masa lalu Calon Wakil Presiden tersebut. Apa jawaban Pak Harto kepada Pak Yoga mengenai dua orang dalam waktu yang berbeda tadi? Kalimatnya pendek dan sama persis, “ Saya tahu, tapi orang kan bisa berubah. Dan saya yang akan tanggungjawab.” 

Meskipun sarannya ditolak, Pak Yoga menghormati keputusan Pak Harto, karena sebagai seorang staf, kewajibannya hanyalah menyampaikan pendapat. Sedangkan keputusan akhir ada di pimpinan, dalam hal ini Pak Harto. Ia menghargai sikap Pak Harto yang “lembah manah” atau pemaaf, yang masih bisa memberikan kepercayaan kepada seseorang yang pernah berbuat salah atau pun berbeda sikap, sedangkan dirinya berpegang teguh pada peribahasa, “sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya”. Memang ada sedikit “ganjelan” di hati, sedikit kekecewaan, karena pada saat itu Pak Harto tidak membuka ruang dialog. Padahal  apa yang disampaikan, telah dikaji secara obyektif berdasarkan analisis psikologi intelijen yang dipelajarinya sewaktu menjadi taruna Akademi Militer di Jepang tahun 1942 – 1945  dan pendidikan di lembaga intelijen sangat bergengsi di dunia M-16  Inggris tahun 1949 – 1950. Namun mau bagaimana lagi, Pak Harto telah menggariskan otoritasnya selaku pimpinan, bahkan dengan menegaskan akan bertangganggungjawab.

Demikianlah, sesudah memperoleh  masukan yang lengkap, Pak Harto memutuskan sendiri secara diam-diam tanpa ada yang tahu pasti, kecuali sekedar menduga-duga. Tidak seperti perusahaan merekrut calon karyawan yang menerapkan sistem “fit and proper test”  terbuka, calon-calon anggota Kabinet yang akan diangkat dan telah diamati kapasitas serta  rekam jejaknya secara mendalam,  beliau telpon sendiri secara langsung,  atau dipanggil menghadap ke rumah kediaman di Jalan Cendana 8, Jakarta Pusat, untuk diberitahu serta diminta kesediaannya membantu memimpin bangsa dan negara, bersama-sama mengelola Pemerintahan. Kepada yang bersangkutan dipesankan agar tidak memberitahukan hal itu kepada siapa pun termasuk anak isteri/suami, sampai saatnya nanti pengumuman Kabinet.

Bagi  kami wartawan-wartawan yang meliput kegiatan Kepresidenan, cara tersebut menjadi tantangan tersendiri. Kami harus bisa mengendus dengan tepat. Agar begitu Kabinet diumumkan, yang biasanya berlangsung malam hari di Istana Merdeka, kita bisa langsung sekaligus menurunkan foto serta menulis apa-siapa dan riwayat perjuangan, minimal  riwayat hidup resmi para anggota Kabinet. Pada masa itu belum ada internet seperti sekarang, yang bisa menjadi sumber informasi hampir mengenai apa saja. Oleh karena itu kami tidak boleh kehilangan akal dalam mengorek informasi. Sumber informasi pertama adalah adalah orang-orang dekat Pak Harto yang berpotensi dimintai pendapat oleh beliau. Sumber kedua, adalah orang-orang yang sehari-hari  berada di sekeliling pak Harto, yang mengetahui siapa-siapa saja yang pada hari-hari menjelang pengumuman Kabinet ditelpon atau dipanggil Pak Harto. Ada juga yang tekun memantau siapa-siapa tamu yang datang ke Cendana., meskipun yang bersangkutan menolak memberikan keterangan. Berdasarkan informasi yang pada umumnya hanya sepenggal-sepenggal  tadi , kami berdiskusi dan kemudian mereka-reka susunan Kabinet, bagaikan orang menyusun puzzle mozaik. Hasilnya, lebih dari 90 persen betul, bahkan tidak jarang 100 persen.

Betapa penting orang-orang di sekeliling pemimpin, diakui oleh para tokoh dunia dari masa ke masa.  Entah Pak Harto  pernah mempelajari filosofi Khong Hu Chu,  Aristoteles, nasihat kepemimpinan Nabi Muhammad dan Al Ghazali atau tidak, tapi jejak langkah kepemimpinannya mencerminkan hal-hal yang diajarkan tokoh-tokoh dunia tersebut. Khong Hu Chu misalkan, mengajarkan sikap hidup yang paling mulia sekaligus menjadi kunci sukses pertama dalam kehidupan adalah loyalitas. Di mana pun dan kepada siapa pun kita bekerja,  kita harus loyal.

Kanjeng Nabi Muhammad menyatakan, “Apabila Allah berkenan untuk munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memperuntukkan baginya menteri yang jujur, yang bila ia lupa, maka menteri itu akan mengingatkannya, dan bila ia ingat maka akan membantunya. Tetapi apabila Allah berkehendak selain itu, maka Allah akan menyediakan baginya menteri yang jahat, yang bila Sang Pemimpin lupa, maka sang menteri tidak mengingatkan, dan bila ingat tidak membantunya.”

Tentang kepemimpinan, filsuf Islam terkemuka, Al Ghazali menulis panjang lebar dalam bukunya “Nasihat Untuk Penguasa”.  Dalam hal para pembantu , Al Ghazali mendukung pendapat filsuf Yunani, Aristoteles yang menyatakan: “ Sebaik-baik penguasa adalah orang yang pandangannya tajam bak burung rajawali, sedangkan orang-orang yang berada di sampingnya  memiliki kecerdasan serupa, bagaikan banyak  burung  rajawali, bukan seumpama bangkai.”

Dalam konteks ini, Al Ghazali menggariskan 5 kewajiban seorang Pemimpin yaitu:
1.Menjauhkan orang-orang bodoh dari pemerintahannya.
2.Membangun negeri, merekrut orang-orang cerdas dan potensial.
3.Menghargai orang tua dan orang  bijak.
4.Melakukan uji coba dan meningkatkan kemajuan Negara dengan melakukan penertiban serta pembersihan terhadap segala tindak kejahatan.
5.Taat pada aturan serta Undang-Undang dan jangan sekehendak hati.

Seorang pemimpin, tulisnya lagi, harus menghindari 3 hal yang sangat berbahaya karena mudah menipunya yaitu, kekuasaan, kekuatan dan kesenangan akan pendapat serta pengetahuaannya sendiri. Akan hal ini. Si jelita yang gagah berani, Antigone puteri Oedipus dalam Mitologi Yunani juga menyatakan dalam kecamannya  terhadap Kreon, sang penguasa Tebes: “ Kelemahan seorang tiran, melakukan apa saja yang dipikirnya cocok tanpa banyak mendengar pikiran rakyatnya”.

Dari sepenggal kisah ini, insya Allah kita bisa mengambil iktibar, menarik pelajaran yang berharga. Pertama, terlepas dari kekurangan dan kelemahannya sebagai manusia, Pak Harto adalah orang besar yang pernah memimpin Indonesia, tumbuh menjadi negara kepulauan yang disegani oleh para pemimpin dunia khususnya Asia Tenggara. Pada dasa warsa I kepemimpinannya, beliau didampingi orang-orang muda yang bagaikan burung-burung rajawalinya Aristoteles, yang pada umumnya dikenalnya secara pribadi dengan baik. Mereka memiliki kapasitas yang sepadan dengan tugas dan tanggungjawabnya, berani pasang badan untuk Pak Harto serta bukan sekedar Asal Bapak Senang. Pada dasa warsa II, tim  rajawali itu makin berpengalaman dan masih memiliki stamina yang memadai.

Kedua, Pak Harto juga orang yang hebat dan kuat. Tapi sekuat-kuat orang, suatu saat akan lemah juga. Sekuat-kuat penguasa, pasti memiliki kelemahan.  Sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat jatuh juga. Hal yang sangat sederhana ini dalam kenyataannya sering dilupakan para penguasa dunia, termasuk Pak Harto.

Ketiga, setiap masa, setiap generasi memiliki pemimpinnya sendiri. Setiap masa dan setiap generasi memiliki ukuran nilai sendiri-sendiri. Karena itu janganlah pernah merasa kita bisa menjadi pemimpin pada semua masa,pada semua generasi. Janganlah pernah merasa tidak akan ada orang yang bisa menggantikan kita, sebab tidak akan ada pesta yang tidak berakhir. Naik tahta dan turun tahta, panas dan dingin, gelap dan terang adalah kodrat kehidupan yang bagaikan dua sisi dari satu keping uang logam.  Sebagaimana filosofi Jawa yang sering dikutip Pak Harta dalam berbagai dialog, “ Aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa lan ngrumangsani (jangan merasa bisa, tapi hendaknya bisa merasakan dan tahu diri)”. Karena itu sebagaimana pula nasihat orang-orang bijak, kuasailah cara turun sebelum kita mendaki ke puncak. Jangan menunggu setelah kita di puncak, karena memegang kekuasaan itu ibarat menunggang harimau, yang jika tidak hati-hati dan tidak berkah akan menerkam kita. Sementara itu siapkanlah kader-kader pengganti  yang lebih baik dari kita, sebab seorang pemimpin yang sungguh-sungguh berhasil, dinilai pula dari keberhasilannya mendidik penerusnya. 

Pak Harto telah mendahului kita menghadap Sang Khalik. Namun masih ada lagi sepenggal dialog yang amat menggetarkan perasaan kita, sebagaimana diceritakan Ustadz saya, Buya Kyai Haji Endang Bukhari Ukasyah dari Sumedang. Tatkala Pak Harto masih menjabat sebagai Presiden, beliau pernah mengirim utusan menemui Buya di pesantren, memohon Buya untuk berkenan silaturahim ke Cendana. Karena memegang kaidah keulamaan, Buya menolak undangan tersebut. Undangan kedua diterima dan dipenuhi sesudah Pak Harto lengser. Dalam kesempatan itu Pak Harto menyatakan, “ Pak Kyai, saya tidak minta macam-macam. Saya sudah ikhlas menerima keadaan, menerima ini semua. Saya hanya minta, tolong bantu doakan saya agar saya tabah dan kuat memikul ini semua”.
Subhanallah. Semoga Pak Harto memperoleh derajat yang mulia di sisiNYA. Aamiin.


Beji, 21 Mei 2012.












Sabtu, 12 Mei 2012

OPERASI WOYLA, RESENSI BUKU MAJALAH TEMPO

  • Woyle tanpa imran

    OPERASI WOYLA Oleh: B. Wiwoho Penerbit: PT Menara Gading Nusantara Jakarta 1981, 318 halaman. BISA dimengerti, bila pembajakan pesawat terbang Garuda Woyla akhir Maret 1981 menjadi sasaran banyak penulis dan penerbit. Peristiwanya memenuhi berbagai unsur cerita yang baik kekerasan, ketegangan, dan drama yang diakhiri dengan suatu operasi militer yang gemilang. Namun satu hal tampaknya belum mendapat penelitian cukup: peristiwa itu juga mengungkapkan adanya suatu gerakan sempalan--kelompok pemuda diyimpin seorang "imam", yang bersedia melakukan apa pun demi keyakinan. Dibanding banyak "buku kilat" yang diterbitkan menyusul pembajakan Woyla ini, tulisan B. Wiwoho memiliki kelebihan. Ia tidak cuma mencomot, mengutip, menyarikan dan menjahit berbagai tulisan di media massa. Wiwoho melakukan rekonstruksi, wawancara langsung, menelaah rekaman pembicaraan, mengamati film dokumentasi serta menyimak dokumen serta laporan. Hasilnya dituangkan dalam suatu news feature. Gaya penulisan semacam ini, yang juga dilakukan Bondan Winarno dalam bukunya Tampomas II, membuatnya menarik. Yang terasa mengganjal: Wiwoho menyebut bukunya dokumen sejarah. Judul bukunya juga diembel-embeli dengan "kisah nyata". Predikat ini memiliki konsekuensi: penulisnya harus berhati-hati menjaga jangan sampai penuturannya menggelincir keluar dari kebenaran. Di sini Wiwoho kurang berhasil. Ia memang mewawancarai -- secara mendalam--para pelaku utama dalam peristiwa itu. Beberapa di antaranya, seperti Kepala Bakin enderal Yoga Sugomo dan Dubes Rl di Muangthai Letjen Hasnan Habib, malah lebih dari cukup. Namun ia tidak (atau tidak berhasil) mewawancarai tokoh seperti Laksamana Sudomo dan Letjen Benny Moerdani, dua orang yang berperan penting dalam peristiwa. Patut diketahui, beberapa jam setelah pembajakan terjadi, Departemen Hankam -- dengan persetujuan Presiden--mengambil-alih masalah dan menugaskan Benny sebagai project-officer untuk menangani masalah di bawah koordinasi Wapangab Sudomo. Wiwoho tampaknya juga kurang menyaring informasi yang dikumpulkannya serta kurang mencoba mencari bahan pembanding. Terasa ada sesuatu yang timpang ada sumber yang mendapat porsi berlebihan, yang bisa disalahartikan sebagai "pesan sponsor". Banyak sumber yang memang sulit ditembus wartawan, namun bahan yang berat sebelah juga bisa mengakibatkan kesimpulan yang salah. Seperti disebutkan dalam Prakata, Wiwoho menulis dengan misi moral ingin secara tidak langsung mengajar masyarakat --terutama generasi'mudanya--budi pekerti, kematangan hidup dan hakekat serta arti jiwa kesatria. Itu sebabnya bukunya cukup sarat dengan berbagai tamsil yang hampir semuanya dipetik dari tokoh Yoga Sugomo dan Hasnan Habib Ini patut dipuji --asal contoh-contoh yang diambil tak berlebihan. Usaha mulia yang dilakukan Wiwoho terkadang terasa menggampangkan dan menimbulkan pertanyaan. Dalam upayanya untuk menjelaskan "beda nenek moyang kita dari nenek moyang Presiden Ronald Reagan" misalnya, ia menyebut buah khayalan nenek moyang kita yang "tetap diwariskan sebagai khayal"--sementara khayal nenek moyang bangsanya Reagan mewariskan sikap logis dan tekanan pada hubungan sebab akibat (hlm. 110). Yang tidak ditemui dalam karya ini adalah yang dijanjikan dalam kulit buku: latar-belakang peristiwa. Wiwoho menulis secara mendalam dan menarik mengenai beberapa fase penting dari peristiwa pembajakan. Tapi tidak menjawab banyak pertanyaan. Antara lain: apa sebenarnya gerakan Imran itu. Apa tujuannya. Mengapa membajak pesawat terbang. Padahal bahan-bahan mengenai ini sebenarnya tidak sulit diperoleh, karena sebulan setelah pembajakan Menhankam Jenderal Jusuf dan Pangkopkamtib banyak mengungkap. Penulisan imajinatif Wiwoho juga bisa dipersoalkan. Sebagai 'kisah nyata' dan 'dokumen sejarah', caranya menggabarkan apa yang ada di benak almarhum Kapten Pilot Herman Rante terasa berlebihan, mengaburkan batas antara fakta dan imajinasi. Ketergesa-gesaannya menulis kelihatan juga di akhir buku: epilog pembajakan diringkasnya dalam Appendix 1, yang sebetulnya pantas dikembangkan menjadi satu bab tersendiri . Yang menolong buku ini adalah penceritaannya yang enak. Beberapa kawan seniman bahkan menganggap buku ini lebih enak dibaca dibanding beberapa novel "lulusan" Dewan Kesenian Jakarta sekalipun. Sayang gambar sampulnya jauh dari selera seni. Juga foto-foto di dalamnya--yang tentu lebih bagus bila tidak sekedar reproduksi dari media massa, melainkan didapat langsung aslinya dari penerbit masing-masing. Susanto Pudjomartono

    "Nikmati tulisan lengkap artikel ini pada versi cetak dan versi digital majalah Tempo" Silahkan hubungi customer service kami untuk berlangganan edisi cetak di 021-5360409 ext 9. Silahkan hubungi Pusat Data Analisa Tempo untuk mendapatkan versi arsip dalam bentuk PDF, di 021-7255624 ext 486
    Download versi digitalnya :
    1. iPad : melalui aplikasi Tempo Media Apps. Klik disini
    2. Samsung Galaxy Tab melalui aplikasi Samsung E Reader. Klik disini
    3. Huawei Ideos S7 melalui aplikasi XL-Baca. Klik disini

    Terima Kasih.

Kumpulan posting2 pendek: GLOBALISASI GELOMBANG II.

Inovasi mesin uap, kapal uap, baling2 kapal, telegraf dan pembukaan terusan Suez, menjadi dasar bagi Era Globalisasi Gelombang I, yg kemudian melahirkan KAPITALISME - LIBERALISME yang menyerbu Nusantara pd abad 19. Teknologi informasi di akhir abad 20, juga telah menjadi dasar bagi Era Globalisasi Gelombang II yang melahirkan Neo Liberalisme, yang juga menggempur Indonesia dewasa ini. Kita harus belajar dr sejarah, dan bangkit membangun kejayaan. Aamiin.

Kumpulan posting2 pendek ttg berbagai hal: SWASEMBADA ENERGI.

Pada awal Pelita I sebelum kita memiliki banyak PLTU/PLTA besar2 seperti sekarang, desa-desa yang memiliki sumber + aliran2 sungai kecil membangun sendiri dan swasembada litsrik (mikro hydro). Setelah kita bisa membangun pembangkit2 berkapasitas Mega Watt, kearifan2 lokal dr mikro hydro tsb diterlantarkan. Kita tak pandai bersyukur. Banyak potensi sumber energi lokal (air, matahari, gas  termasuk gas buang dalam pengeboran2 minyak dll) yg bisa didayagunakan, diabaikan begitu saja. Memang menggerakkan swadaya masyarakat, tidak menghasilkan komisi bagi para kroni. Naudzubillah.

Kumpulan posting2 pendek ttg berbagai hal: OTOMOTIF.

Bambang Wiwoho di FB: Pada paruh kedua dasawarsa 70-an , alhamdulillah saya terlibat sebagai Wakil Ketua Tim Ad Hoc Industri Otomotif Nasional. Rekomendasinya antara lain mengusulkan: 1).agar Pemerintah membentuk Dewan Otomotif (disetujui Ketuanya Dr.Ir.,Rahardi Ramlan dengan anggota al. Ir.Giri Suseno, Ir.Sharin Sargo danIr.Tabiat).2). Membuat disain kebijakan menuju Industri Otomotif Nasional. 3). Mengembangkan industri moulding dan pembuatan mesin. 4). Mengelompokkan dan menciutkan merek2 mobil yang beredar di Indonesia, sehingga masing2 kelompok dapat mencapai skala ekonomi minimal untuk membangun industri mesin otomotifnya di Indonesia. 5). Membuat disain komponen2 mobil yang bersifat interchangeability, shgg mendorong tumbuhnya industri2 komponen dalam negeri yang kuat. Apa lacur? diobrak-abrik para rent seeker yang menguasai negeri yang kaya ini. Masya Allah.

Sabtu, 05 Mei 2012

SEDULUR PAPAT, LIMA PANCER.




Judul di atas seringkali ditanyakan oleh sahabat-sahabat fesbuker, sama halnya dengan arti tasawuf dan tarekat. Tapi sungguh tidak mudah mengulas makna “Sedulur papat, lima pancer” atau empat saudara kita ditambah  yang kelima yang berhubungan lurus dan langsung. Nah, baru menterjemahkannya saja sudah sulit mencari padanan katanya, supaya menghasilkan arti yang tepat.

Istilah “sedulur papat, lima pancer” sampai sekarang diketahui bersumber dari Suluk Kidung Kawedar atau disebut pula Kidung Sarira Ayu, bait ke 41 – 42. Suluk ini diyakini masyarakat sebagai karya Sunan Kalijaga (sekitar abad 15 – 16), yang berupa tembang-tembang tamzil. Ada empat  hal yang  agak menyulitkan penafsiran dan pemahaman tembang tersebut. Pertama, karena berupa tembang tamzil, uraiannya pendek-pendek dan penuh dengan tamzil atau pun perumpamaan, tanpa ada penjelasan sebagaimana tulisan prosa.

Kedua, suluk-suluk periode itu termasuk Kidung Kawedar, menggunakan gaya bahasa peralihan dari Jawa Kuno ke Jawa Madya (Pertengahan) yang berbeda dengan gaya bahasa Jawa sekarang, apalagi bahasa Indonesia. Ketiga, suluk yang dimaksudkan sebagai dakwah ini, menyusup secara halus ke dalam adat-budaya dan agama masyarakat yang masih menganut agama Syiwa (Hindu) - Budha, dengan harapan Islam dapat masuk dan berkembang tanpa harus menimbulkan gejolak besar di masyarakat. Akibatnya istilah serta nilai- nilai keislaman bercampur-baur dengan istilah dan nilai-nilai Syiwa-Budha- Kejawen.

Keempat, suluk yang berupa kidung yang diciptakan para Wali pada masa Kesultanan Demak, merupakan bagian dari ilmu tasawuf, sehingga guna memahami hakikatnya, tidak bisa hanya berdasarkan kata serta kalimat yang tersurat semata, apalagi sepotong-sepotong, melainkan harus menyelami makna yang tersirat dari keseluruhan isi kidung sebagai suatu kesatuan.

Lantaran berupa tembang tamzil, maka kemudian banyak orang yang mencoba menafsirkannya, tentu saja dengan versi masing-masing tergantung latar belakang pengetahuan dan kehidupannya.
Sebelum melangkah lebih jauh, marilah terlebih dulu kita kutip dua bait kidung yang mengulas masalah “sedulur papat, lima pancer” ini, sebagai berikut:

Bait 41.

Ana kidung akadang premati,
among tuwuh ing kawasanira,
nganakaken saciptane,
kakang kawah punika,
kang rumeksa ing ngawak mami,
anekakaken sedya,
ing kawasanipun,
adhi ari-ari ika, kang mayungi ing laku kawasaneki,
anekakaken pangarah.

Terjemahan bebasnya:

Ada kidung berteman dengan kehati-hatian,
bertugas mengatur kehidupan,
mewujudkan apa yang dikehendaki,
itulah dia Kanda Ketuban (kakang kawah),
yang menjaga diriku,
memenuhi kehendakku,
merupakan kewenangannya,
Adinda Ari-Ari ( adi atau dinda plasenta),
berwenang menaungi segala perbuatan, 
memberikan arahan.

Bait 42.

Ponang getih ing rina wengi,
ngrewangi Allah kang kuwasa,
andadekaken karsane,
puser kawasanipun,
nguyu-uyu sabawa mami,
nuruti ing panedha,
kawasanireki,
jangkep kadangingsun papat,
kalimane pancer wus dadi sawiji,
tunggal sawujuding wang.

Terjemahan bebasnya:

Adapun darah, siang malam bertugas,
membantu Gusti Allah Yang Maha Kuasa,
mewujudkan keinginan,
sedangkan tentang  pusar (tali pusar),
memperhatikan setiap gerak-gerikku,
memenuhi permohonan,
itulah kewenangannya,
lengkap sudah empat saudaraku,
yang kelima, yang lurus langsung, sudah menjadi satu,
menyatu dalam wujudku.

Demikianlah saudaraku, bersumber dari kidung tersebut selanjutnya muncul berbagai penafsiran beserta amalan-amalannya. Saya mencatat selama ini ada lima penafsiran yakni, pertama, penafsiran fisik ragawi persis sebagaimana yang disebut dalam kidung. Artinya, “sedulur papat, lima pancer” yaitu ketuban,  ari-ari, darah (yang tumpah atau keluar menyertai kelahiran kita) dan tali pusar, sedangkan yang kelima adalah ruh yang menyatu di diri kita. Keempat saudara-- ketuban, ari-ari (plasenta), darah dan tali pusar -- setia mendampingi dan menyertai kita semasa bayi, baik tatkala masih di dalam perut maupun sewaktu lahir ke dunia. Meskipun sesudah kita lahir secara fisik keempat saudara itu sudah tidak berguna lagi, sesungguhnya secara spiritual tidaklah demikian. Mereka tetap mendampingi kita dengan kemampuan dan kewenangan seperti  diuraikan tadi. Sebagaimana layaknya sebuah hubungan, mereka akan setia membantu kita apabila kita juga senantiasa peduli terhadapnya.

Penafsiran versi kedua yaitu berupa empat macam nafsu yang berada di dalam diri manusia, yaitu (1). Nafsu supiyah, berhubungan dengan masalah kesenangan, yang jika tidak dikendalikan akan menyesatkan jalan hidup kita. (2).Nafsu amarah yang berkaitan dengan emosi. Jika tidak dikendalikan, ia sangat berbahaya karena akan mengarahkan manusia kepada perbuatan dan perilaku yang keji dan rendah. (3). Nafsu aluamah, yaitu nafsu yang sudah mengenal baik dan buruk. (4) Nafsu mutmainah, yaitu nafsu yang telah menguasai keimanan (mungkin lebih tepat nafsu yang telah dikendalikan oleh keimanan), yang membawa sang pemilik menjadi berjiwa tenang, ridho dan tawakal. Sedangkan saudara yang kelima (5)  yaitu hati nurani.

Penafsiran versi ketiga adalah empat unsur atau anasir alam yang membentuk jasad manusia, yaitu tanah, air, api dan angin. Sedangkan unsur yang kelima adalah diri dan jiwa manusia itu sendiri.

Penafsiran keempat, yaitu cipta, rasa, karsa, karya dan jati diri manusia. Hal itu disimbolkan dengan tokoh-tokoh dalam cerita wayang. Cipta disimbolkan sebagai tokoh Semar, rasa sebagai tokoh Gareng, karsa sebagai Petruk, karya sebagai Bagong dan jati diri manusia sebagai tokoh ksatria,  antara lain Arjuna.

Penafsiran kelima yaitu 4 (empat) malaikat yang menjaga setiap orang. Malaikat Jibril menjaga keimanan, malaikat Izrail menjaga kita agar senantiasa berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk, malaikat Israfil menerangi qalbu kita dan malaikat Mikail mencukupi kebutuhan hidup kita sehari-hari. Sedangkan yang kelima adalah Sang Guru Sejati yang tiada lain adalah Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Penafsiran versi kelima ini merunut  ajaran Sunan Kalijaga sendiri sebagaimana diuraikan dalam Kidung Kawedar, khususnya bait ke 28 dan 29. Bait tersebut menuturkan adanya keempat malaikat tadi beserta tugasnya dalam menjaga setiap manusia.

Saudaraku, mungkin masih ada lagi penafsiran yang lain. Tapi yang sudah saya  ketahui baru lima itu tadi. Sementara saya sendiri memberikan catatan atas tafsir kelima. Saya cenderung memilih tafsir ini tapi malaikatnya bukan Jibril, Izrail, Israfil dan Mikail, melainkan  malaikat Hafazhah atau malaikat Penjaga sesuai firman Gusti Allah dalam   Al Qur’an Surat Ar-Ra’ad ayat 11 dan Surat Al Infithar ayat 10 – 12, tentang adanya malaikat-malaikat yang menjaga dan memelihara  manusia secara bergiliran.
Dalam Tafsir Al Azhar mengenai  Surat Ar-Ra’ad ayat 11, Buya Hamka menulis giliran tugas malaikat-malaikat tersebut sesuai hadis adalah pada waktu subuh dan sehabis waktu asar. Dalam suatu riwayat yang lain (namun saya belum menemukan sumber rujukan yang sahih, kecuali dalam kisah-kisah), diceritakan jumlah malaikat Hafazhah yang menjaga dan memelihara kita sebanyak 5 (lima) orang. Dua bertugas di siang hari, dua di malam hari dan yang satu lagi tidak pernah berpisah dengan diri kita.

Mengenai malaikat ini, Kanjeng Nabi Muhammad Saw dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, bersabda: “ Tidak seorang pun dari  antara kamu, melainkan telah diwakilkan untuknya temannya dari jin dan temannya dari malaikat. Para Sahabat bertanya: ‘ Engkau juga ya Rasulullah?’ Beliau menjawab:  ‘Aku juga! Tetapi Allah selalu menolongku atasnya, maka tidaklah dia menyuruhkan kepadaku melainkan yang baik-baik’”.

Kepedulian yang bagaimana dan apa yang harus kita lakukan agar malaikat “sedulur” kita, menjaga kita dengan sebaik-baiknya? Buya Hamka menjelaskan dengan mengingatkan Surat Az-Zukhruf ayat 36, yaitu “Barangsiapa yang berpaling dari mengingat Allah Yang Maha Pengasih, niscaya Kami sertakan setan sebagai temannya (yang selalu menyertainya).” Maka menurut Buya, selama zikir kita kepada Allah masih kuat dan ibadah masih teguh, pengawalan dari malaikatlah yang bertambah banyak, dan jika kita lalai dari jalan Tuhan, datanglah teman dari iblis, jin dan setan.

Selain itu, pada hemat penulis,  janganlah lupa sewaktu membaca salam diakhir salat, untuk bermurah hati dengan meniatkan menyedekahkan salam yang pada hakekatnya adalah doa, di samping kepada makhluk-makhluk Allah yang nampak mata, juga kepada yang tak nampak mata termasuk para malaikat penjaga kita.

Demikianlah, beberapa penafsiran terhadap “Sedulur Papat, Lima Pancer”. Mana yang paling tepat, yang paling benar? Hanya Gusti Allah Yang Maha Tahu.
Subhanallah.


Beji,11 April 2012.

SULUK SUNAN KALIJAGA YANG POPULER SAMPAI SEKARANG.




 Dari sekian banyak Suluk-Suluk Demak, yaitu suluk-suluk yang dibuat pada masa Kerajaan Islam Pertama, Demak Bintoro, ada satu suluk yang sampai sekarang masih populer dan banyak didendangkan masyarakat Jawa, yaitu sebuah suluk yang dipercaya sebagai ciptaan Sunan Kalijaga. Suluk ini dikenal dengan tiga nama, yakni (1). Serat atau Surat atau Kitab Kidungan Kawedar, (2) Kidung Sarira Ayu, sesuai dengan bunyi teks dalam bait ketiga, (3) Kidung Rumeksa Ing Wengi, sesuai bunyi teks diawal Surat, sebagaimana kita lazim menyebut Surat Al Ikhlas dengan nama Surat Qulhu atau Surat Al Insyiraah dengan Surat Alam nasyrah. Ada pun saya sendiri sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di daerah Pantai Utara Jawa Tengah, sudah terbiasa menyebut Kidung Kawedar.

Suluk  ini merupakan kidung yang sangat populer bagi grup-grup karawitan atau seni gamelan Jawa, dan lebih khusus lagi bagi grup-grup tembang Jawa (macapatan), tidak peduli apatah anggota  grup muslim atau bukan. Kidung ini dahulu sangat dipercaya sebagai mantera penolak bala sekaligus membentuk diri agar menjadi manusia yang dikasihi Gusti Allah, yaitu manusia yang memiliki jiwa yang mulia.  Untuk menghayati kandungan suluk dan sukses mencapai maqam yang seperti itu, dahulu kala kita harus melakukan puasa mutih, yaitu tirakat atau berpantang segala macam makanan kecuali nasi putih, air putih dan buah-buahan segar selama 40 hari – 40 malam tanpa jeda. Di tengah malam selama periode tirakat, kita diwajibkan mendendangkan Suluk secara lembut sambil meresapi maknanya, selanjutnya dianjurkan tidur namun harus bangun kembali di waktu subuh guna menjalankan salat Subuh.

Sebagai murid Sunan Bonang yang menjadi inti gerakan dakwah Islam Abangan, yang berdakwah secara halus tanpa menimbulkan gejolak sosial, menyusup dalam adat budaya masyarakat Jawa waktu itu, suluk dan berbagai ajaran Sunan Kalijaga, menanamkan  pemahaman keislaman, keesaan serta kekuasaan Gusti Allah, para malaikat, para nabi serta  keluarga dan sahabat Kanjeng Nabi Muhammad, yang tentu saja bercampur dengan nilai-nilai adat budaya lama termasuk agama Syiwa (Hindu) – Budha. Oleh sebab itu dalam memahaminya kita tidak boleh menelan mentah-mentah kalimat demi kalimat setiap  ajarannya, melainkan harus pandai memilah-milah, bahkan harus berusaha melakukan pencerahan sebagaimana yang diharapkan oleh beliau-beliau para Kanjeng Sunan. (lihat tulisan: “TONGGAK-TONGGAK AWAL TASAWUF JAWA”).

Bagi para pecinta seni budaya yang pada umumnya berperasaan lembut,  Suluk Kidung Kawedar yang didendangkan dengan irama tembang Dandanggula, terdengar dan terasa sangat meditatif dan kontemplatif. Lebih-lebih bila didendangkan di keheningan malam.
Sayang sekali pada bulan Februari 2012 yang lalu, tatkala saya memenuhi undangan haul atau peringatan wafat seorang ulama di Demak, kerinduan saya untuk mendengarkan berbagai aneka tembang dakwah para Wali di daerah asalnya itu, tidak terpenuhi. Dalam peringatan  yang digelar hampir sehari-semalam itu, bahkan dalam acara sholawatan yang berlangsung lebih dari dua jam non stop – medley – yang terdengar adalah irama musik padang pasir yang gemuruh, dengan tembang-tembang sholawat yang sepenuhnya berbahasa Arab (sebagian sudah popular di acara-acara televisi), kecuali empat lagu pujian, satu diantaranya Syi’iran Hadrotus Gus Dur (Gus Dur, mantan Presiden RI).

Ironis sekali, tatkala dewasa ini para mubalig Islam kurang mempedulikan lagi tembang-tembang, media dan sarana dakwah para Wali pendahulu, saudara kita kaum nasrani justru melestarikan serta memanfaatkannya. Beberapa waktu yang lalu ketika melayat seorang anggota keluarga yang wafat di Yogyakarta, dari pengeras suara saya mendengar sayup-sayup irama-irama tembang dakwah ciptaan para Wali tersebut, dengan teks puji-pujian sesuai agama nasrani. Masya Allah.

Kidung Kawedar terdiri dari 45 (empat puluh lima) bait. Berikut ini saya kutipkan 3 (tiga) bait dalam bahasa Jawa dan terjemahan bebasnya sebagai berikut:

Bait 1:

Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputa ing lara,
luputa bilahi kabeh,
jim setan datan purun,
paneluhan tan ana wani,
miwah penggawe ala,
guna ning wong luput,
geni temahan tirta,
maling adoh tan wani ngarah ing mami,
tuju duduk pan sirna.

Artinya:

Ada tembang pujian menjaga di kala malam,
membuat kita selamat dan jauh dari segala penyakit,
terbebas dari segala mara bahaya,
jin dan setan tidak berani,
guna-guna atau teluh tidak mempan,
juga perbuatan buruk,
dari orang-orang jahat,
api menjadi dingin bagaikan air,
pencuri menjauh tiada yang berani mengincar saya,
segala mara bahaya sirna.

Bait 3:

Pagupakaning warak sakalir,
yen winaca ing segara asat,
temahan rahayu kabeh,
sarwo sarira ayu,
ingideran ing widodari,
rineksa malaekat,
sakathahing rosul,
pan dadyo sarira tunggal,
ati Adam utekku Baginda Esis,
pangucapku ya Musa.

Artinya:

Di tempat badak berkubang,
maupun jika dibaca di lautan bisa membuat air laut surut,
membuat kita semua selamat sejahtera,
diri kita menjadi serba cantik (elok),
di kelilingi para bidadari,
dijaga oleh para malaikat,
dan semua  rasul,
pada hakekatnya sudah menyatu dalam diri kita,
di hati kita ada Nabi Adam, di otak kita ada Baginda Sis,
jika berucap bagaikan ucapan Nabi Musa.

Bait 4:

Napasku Nabi Ngisa linuwih.
Nabi Yakub pamiyarsaning wang,
Yusup ing rupaku mangke,
Nabi Dawud swaraku,
Jeng Suleman kasekten mami,
Nabi Ibrahim nyawa,
Idris ing rambutku,
Bagendha Ali kulit ing wang,
Getih daging Abubakar Ngumar Singgih,
Balung Bagendha Ngusman.

Artinya:

Nafasku Nabi Isa,
Pendengaranku Nabi Yakub,
Wajahku Nabi Yusuf,
Nabi Dawud suaraku,
Kesaktianku Nabi Suleman,
Nabi Ibrahim nyawaku,
Nabi Idris dalam rambutku,
Baginda (Khalifah) Ali kulitku,
Darah – daging, Khalifah Abubakar dan Umar,
Tulangku Khalifah Usman.

Demikianlah saudaraku,  tulisan pendek tentang Suluk Kidung Kawedar atau Kidung Sarira Ayu, yang pada hemat saya mengandung tiga makna utama. Pertama, kidung yang penuh dengan tamzil dan perumpamaan ini, memperkenalkan Islam secara bertahap. Kedua, merupakan jalan untuk menyatu dengan Gusti Allah, Sang Guru Sejati. Ketiga, bisa menjadi wahana untuk senantiasa mengingat dan menyatu dengan  Gusti Alah (dzikrullah), antara lain dengan membiasakan mendendangkannya di tengah malam serta kapan saja mengikuti setiap tarikan nafas kita.
Semoga.
Subhanallah.


(Beji, 10 April 2012).