Selasa, 27 Januari 2015

DI ZAMAN EDAN INI, APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?




Banyak orang yang berpendapat, sekarang ini kita sedang hidup di zaman edan sebagaimana yang digambarkan oleh ulama pujangga Keraton Surakarta,  Ranggawarsita (Ronggowarsito) abad XIX. Zaman di mana tata nilai jungkir balik. Tata nilai buruk merajalela mengalahkan tata nilai yang baik.
Mari kita segarkan sebentar ingatan kita tentang zaman edan karya Ranggawarsita yang lahir tahun 1802 M tersebut melalui dua bait tembang puisinya ini:

Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada.

Terjemahan bebasnya:
“Mengalami zaman edan, betapa susah mengambil sikap, ikut edan tidak tahan, bila tidak ikut (edan), tidak akan kebagian apa-apa, akhirnya kelaparan, tapi atas kehendak Allah, seberuntung apa pun yang lupa (edan), masih lebih beruntung yang ingat dan waspada.”

Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Parandene tan dadi
Paliyasing kalabendu
Malah sangkin andadra
Rubeda kang angribedi
Beda-beda hardane wong sanagara.

Terjemahan bebasnya:
“ Raja (pemimpin)nya Raja utama, patih (orang kedua)nya patih istimewa, para pejabatnya hidup makmur, punggawanya baik-baik, meskipun demikian pemerintahannya, tidak berdaya menangkal bencana, bahkan semakin menjadi-jadi, malapetaka nan merintangi, karena angkara dan kehendak orang di seluruh negeri berbeda-beda.”

Jauh sebelum Ranggawarsita lahir, wali kasyaf Sunan Kalijaga yang hidup di abad XV – XVI (diperkirakan lahir sekitar tahun 1450M), telah menduga akan datangnya zaman edan tersebut, dengan mengajarkan sebuah tembang yang sekarang sering didendangkan para dalang wayang kulit untuk menggambarkan situasi “goro-goro” atau kekacauan, sebagai berikut:

Ooooooo…….
Kali ilang kedunge
Pasar ilang kumandange
Wong wadon ilang wirange
Wong lanang ilang wibawane
Wong jujur tambah kojur
Wong clutak tambah galak
Oooooooo…….

Terjemahan bebasnya:
“ Sungai sudah tidak berlubuk (karena kerusakan alam), pasar sudah kehilangan gaungnya (karena sistem ekonomi sudah berubah sehingga rakyat hidup susah), kaum perempuan sudah tidak punya malu (karena rusak moralnya), para pria hilang kewibawaannya,  orang jujur justru celaka, orang serakah semakin menjadi-jadi (karena budi baik dikalahkan oleh kejahatan, ketidakadilan merajalela, tatanan hukum kacau balau).”

Para sahabat, silahkan anda menilai sendiri secara jujur, apakah keadaan sekarang ini sesuai dengan yang digambarkan baik oleh Sunan Kalijaga maupun Ranggawarsita atau tidak? Jika memang betul demikian keadaannya. Mari kita berusaha mengikuti petuah Kanjeng Sunan tersebut sebagai berikut:

Ooooooo……
Mulo enggal-enggalo topo lelono
Njajah deso milangkori
Goleko wisik soko Hyang Widhi/Illahi….

Terjemahan bebasnya:
“ Maka segeralah pergi bertapa dengan cara berkelana ke desa-desa (daerah-daerah), melewati tak terhitung pintu rumah, seraya mencari petunjuk atau hidayah dari Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Esa.”

Berdasarkan petuah tadi, di tempo dulu banyak para santri di daerah Pantai Utara Jawa, berdakwah secara lembut, bijak dan bil hikmah dari rumah ke rumah, dari desa ke desa, terutama untuk menyemai serta menumbuhkembangkan akhlakul kharimah, akhlak nan mulia. Dan dengan niat itu pulalah wahai sahabatku, ijankan sahaya mengetuk pintu hati anda, assalaamualaikum wa rahmatullah wabarakatuh, salam sejahtera dan bahagia penuh berkah dan hidayahNYA. Aamiin.

Sabtu, 24 Januari 2015

ULAMA-ULAMA TASAWUF MENGISLAMKAN JAWA : Tafsir Suluk Kidung Rumekso Ing Wengi Sunan Kalijaga (15)



Ulama-Ulama Tasawuf
Mengislamkan Jawa

Bait 38 :

Ana peksi mangku bumi langit,
manuk iku endah warnanira,
sagara erob wastane,
uripe manuk iku,
amimbuhi ing jagad iki,
warnanipun sekawan,
sikile wawolu,
kulite iku sarengat,
getihipun tarekat ingkang sejati,
ototipun hakekat.

Artinya :

Ada burung memangku bumi langit,
burung itu indah rupanya,
bergelar laut pasang,
kehidupan burung tersebut,
melengkapi jagad raya,
memiliki empat warna,
berkaki delapan,
kulitnya adalah syariat,
darahnya tarekat sejati,
ototnya adalah hakikat.

Bait 39 :

Dagingipun makripat sejati,
cucukipun sejatining sadat,
eledan tokid wastane,
ana dene kang manuk,
pupusuhe supiyah nenggih,
amperune amarah,
mutmainah jantung,
luamah waduke ika,
manuk iku anyawa papat winilis,
nenggih manuk punika.

Artinya :

Dagingnya makrifat sejati,
sesungguhnya paruhnya adalah syahadat,
lidahnya disebut tauhid,
ada pun sang burung,
berhati nafsu supiyah,
empedunya nafsu amarah,
jantungnya mutmainah,
perutnya aluamah,
burung itu bernyawa empat,
demikianlah perihal burung tersebut.

Bait 40 :

Uninipun Jabaril singgih,
socanipun puniku kumala,
anetra wulan srengenge,
napas nurani iku,
grananipun tursina nenggih,
angaub soring aras,
karna kalihipun,
ing gunung arpat punika,
uluwiyah ing lohkalam wastaneki,
ing gunung manikmaya.

Artinya :

Wahyu yang disampaikan malaikat Jibril,
matanya berkilauan,
bermata rembulan dan mentari,
nafasnya itu nurani,
berhidung bukit tursina,
bernaung dalam sentuhan kelembutan,
telinganya dua,
berada di gunung arafah,
uluhiyyah di dalam kitab lauh mahfuzh qalam,
di gunung manikmaya.

Benang merah kandungan isi Kidung Kawedar ini, secara jelas menunjukkan sebagai kidung dakwah mengenai agama Islam, dan lebih khusus lagi tentang tasawuf. Oleh karena itu dalam memahaminya kita harus berpedoman pada Al Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas atau kesepakatan serta penjelasan para ulama, agar kita tidak menjadi bingung dan kemudian tersesat.

Kecuali itu, mengingat dakwah Islam di pulau Jawa juga dilakukan secara menyusup dan melapisi agama serta kepercayaan yang sudah lebih dulu ada selapis demi selapis, maka kita pun harus memahami situasi, agama, kepercayaan serta adat istiadat yang berlaku pada saat itu. Hal seperti ini juga dilakukan oleh para penafsir Al Qur’an dan hadis. Mereka pun harus memahami latar belakang mengapa sesuatu ayat dan sesuatu hadis diturunkan.

Dengan memahami latar belakang keadaan yang meliputi berbagai aspek tersebut, kita akan bisa mengetahui apa saja yang merupakan substansi atau pokok ajaran dan apa saja yang sekedar merupakan ilustrasi, mana yang merupakan selubung sementara, mana yang disusupi bahkan mana yang dimanfaatkan. Semua itu muncul pada bait 38 sampai dengan 40 ini, sehingga apabila tidak cermat dalam memilah-milah, kita bisa bingung sendiri. Sementara itu kandungan pokok ajarannya juga terbilang banyak, saling isi saling silang dalam tiga bait.

Secara umum, mula-mula agama Islam diibaratkan sebagai burung yang memangku bumi dan langit, kemudian anatomi burung tersebut diuraikan dan masing-masing diberi padanan hal-hal yang perlu dipahami di dalam Islam terutama yang berkaitan dengan ilmu tasawuf. Selanjutnya diberi ilustrasi dari gambaran alam raya serta tapak-tapak sejarah dan alam di kawasan Timur Tengah yaitu bukit Tursina dan gunung Arafah, dipadu dengan kiasan alam dari legenda wayang khas Jawa yakni gunung Manikmaya.

Pokok-pokok ajaran yang dikemukakan dalam ketiga bait ini ialah empat warna dan delapan kaki dalam Islam, syariat, tarekat, hakikat, makrifat, syahadat, tauhid serta empat macam nafsu yaitu supiyah, amarah, mutmainah dan aluamah. Kemudian ada empat nyawa dan tauhid uluhiyyah. Begitu pula halnya dengan bukit Tursina atau bukit Sinai yang disebut dalam Surat At Tiin, dan gunung Arafah dengan padang Arafahnya yang menjadi pusat area dari puncak ibadah haji. Sungguh merupakan tiga bait nan sarat makna.

Istilah empat warna dan delapan kaki dalam Islam, sesungguhnya tidak lazim. Selama ini yang kita kenal dan wajib kita pahami adalah Lima Rukun  Islam dan Enam Rukun Iman. Rukun Islam terdiri dari syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu. Sedangkan rukun iman yaitu percaya kepada Allah swt, percaya kepada malaikat, percaya kepada kitab-kitabNya, percaya pada rasul-rasul, percaya pada hari kiamat dan percaya pada qada dan qadar, yaitu takdir baik dan buruk.

Kesulitan dalam memahami tamzil-tamzil Kidung Kawedar adalah karena tidak ada catatan-catatan tertulis lain pada masanya, terutama yang menjelaskan tentang tamzil tersebut. Memang di masyarakat dijumpai beberapa penafsiran, namun jika kita harus menggunakan rujukan Al Qur’an, hadis, ijma dan qiyas, maka kita harus berani menyatakan bahwa beberapa penafsiran yang ada tidak diketemukan acuannya.

Mengenai pemahaman empat warna ataulah empat hal penting, penafsir mencoba mencari dari berbagai ajaran tasawuf, hal-hal apa yang diuraikan yang terdiri atas empat hal. Secara umum para ulama tasawuf menyebutkan ada empat kaidah utama dalam tauhid atau keesaan Allah yaitu: Pertama, mengakui Allah swt. sebagai pencipta dan pengatur segala urusan. Kedua, berdoa dan menggantungkan segala urusan hanya kepada Allah. Ketiga, mengakui Nabi Muhammad sebagai Rasulullah. Keempat, senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Empat hal penting lain diuraikan oleh Imam Al Ghazali dalam kitab Tauhidullah perihal rukun akidah yaitu: (1) Dzat Allah. (2).Sifat Allah. (3). Perbuatan Allah. (4).Firman-firman Rasulullah saw.

Sementara itu dalam kitab Minhajul ‘Abidin, Al Ghazali menekankan empat keharusan manusia yakni: (1). Harus mempunyai ilmu yang bermanfaat. (2). Harus mempunyai amal. (3). Harus mempunyai ikhlas. (4) Harus mempunyai khouf. Sebagai contoh, hendaknya setiap manusia memiliki ilmu yang berguna. Ilmu itu harus diamalkan demi kemaslahatan sesamanya yang dilakukan secara ikhlas, disertai perasaan takut dan berhati-hati, namun penuh harap agar ilmu yang diamalkan itu bisa diterima sebagai bekal ibadah dan amal saleh. Kenapa harus dengan khouf, rasa takut dan berhati-hati? Rasa takut dan dan berhati-hati itu diperlukan agar kita tidak gegabah, tidak ujub dan riya dalam kehidupan termasuk dalam beramal.

Perihal delapan kaki juga tidak ditemukan secara khusus. Tetapi apabila kita mencoba memahami makna kaki sebagai anggota tubuh untuk berpijak dan berjalan di bumi, kita bisa menyimpulkan tamzil tersebut sebagai bukti tindakan dan amalan.

Hal pokok dalam dalam Islam adalah iman atau keyakinan. Di dalam Al Qur’an, pada umumnya kata iman tidak disebutkan berdiri sendiri, melainkan dirangkaikan dengan amal saleh. Sebagai contoh Surat An Nuur ayat 55, “Allah telah berfirman menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh di antara kamu, sungguh Dia akan menjadikan mereka sebagai pemimpin di muka bumi…….”.

Iman kepada Allah swt. dan amal saleh, keduanya nampak berbeda tapi sesungguhnya satu. Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar mengemukakan, iman bagaikan pelita yang memberi cahaya dalam hati, menyinar cahaya itu keluar dan dapatlah petunjuk, sehingga nyatalah apa yang dikerjakan, yaitu amal saleh.

Perkara iman itu yang tahu hanya diri kita dengan Allah. Tapi bila iman direkatkan dengan amal saleh, maka iman itu membumi dan menjadi perbuatan yang bermanfaat lagi disenangi banyak orang. Sementara itu banyak orang beramal, tapi tidak timbul dari iman. Maka bercampuraduklah yang haq dengan yang batil. Namun bila iman dan amal saleh bersatu padu, amal saleh timbul dari iman, dan iman menimbulkan amal saleh, maka kepada orang yang memiliki kedua hal itu, Gusti Allah menjanjikan akan memberikan warisan kekuasaan di permukaan bumi. Kendali bumi akan diserahkan ke tangan mereka, sebagaimana Surat An Nuur di atas.

Berdasarkan pemahaman mengenai iman dan amal saleh itu, penafsir berpendapat yang dimaksud dengan delapan kaki adalah perwujudan keimanan dalam bentuk perbuatan, yang berpedoman pada Al Qur’an dan hadis. Pedoman itu selama ini bisa kita temukan dalam berbagai kitab kumpulan hadis dan kitab fikih, yang bila kita kelompokkan terdiri dari delapan bagian. Pertama, masalah keimanan itu sendiri. Kedua, ketaatan dalam menjalankan perintah Allah dan Rasulullah termasuk meneladani perilakunya. Ketiga, shalat, doa dan zikir. Keempat, puasa. Kelima, zakat. Keenam, haji. Ketujuh, hukum-hukum dan aturan. Kedelapan, adab dan pergaulan bermasyarakat.

Angka empat kembali kita temukan pada bait 39 yang menyebutkan burung tersebut memiliki empat nyawa. Mungkinkah ini sebagaimana yang dimaksud oleh Imam Al Ghazali dalam kitab Raudhatut Thalibien wa ‘Umdatus Saalikien, yang juga diakui oleh sejumlah ulama lain, yaitu empat komponen penting yang mempengaruhi kehidupan manusia yang terdiri dari ruh, nafsu, kalbu dan akal.

Tentu kita tidak dapat memperoleh kepastian karena sudah tidak bisa bertanya langsung kepada sang penggubah, Sunan Kalijaga. Kita hanya bisa mencoba memaknainya dengan mencari rujukan yang sesuai, dan selanjutnya waallahualam, hanya Gusti Allah Yang Maha Tahulah yang mengetahui kebenarannya.

Dari memahami bait demi bait Kidung Kawedar dan berbagai suluk dakwah yang ada, kita bisa mengetahui dalam berdakwah para Wali tidak langsung mengajarkan ibadah mahdah seperti shalat, puasa dan haji, melainkan memperkenalkan serta mengajarkan terlebih dulu sejarah para nabi, malaikat dan olah batin yang biasa dilakukan oleh para penganut tasawuf. Bahkan syahadat dan tauhid juga baru disinggung setelah syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Tak pelak lagi, jejak langkah dan tonggak-tonggak penyebaran agama Islam di pulau Jawa, nampak jelas menunjukkan jejak langkah para ulama tasawuf.

Syahadat dan tauhid  di dalam Islam adalah dua ungkapan yang menyatu. Syahadat berasal dari kata syahida atau persaksian, sedangkan tauhid adalah pengakuan keyakinan akan keesaan Tuhan dengan segala kekuasaan dan sifatnya. Seseorang sudah boleh disebut atau diberi label Islam, apabila sudah mengakui, dalam bahasa umum mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu syahadat tauhid yang berbunyi: “Asyhadu al-laa ilaaha illallaah (saya bersaksi bahwa tiada sesembahan selain Allah)”, serta syahadat rasul: “wa asyhadu anna Muhammadar rasuulullaah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul atau utusan Allah)”.

Namun demikian, jika diibaratkan kehidupan sekarang ini, pengucapan syahadat itu bagaikan bendera dari sesuatu kapal. Di dalam dunia pelayaran, kita menjumpai banyak kapal-kapal dagang antar benua yang menggunakan bendera negara-negara Amerika Latin dan Afrika Barat, misalkan Liberia. Ini berarti status hukum kepemilikan kapal tersebut adalah mengikuti hukum negara Liberia. Apakah pemilik yang sesungguhnya terutama para awak kapalnya adalah bangsa Liberia? Belum tentu. Begitu pula orang yang sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, belum otomatis perilaku serta iman dan amal salehnya sesuai dengan tuntunan Islam. Oleh sebab itulah, seseorang yang sudah meneguhkan keimanannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, harus pula menindaklanjuti dengan melaksanakan rukun iman dan rukun islam lainya, beserta berbagai perbuatan dan amal saleh yang diajarkan di dalam Al Qur’an dan hadis Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Mengenai kalimat uluhiyah di dalam kitab lauh mahfuzh qalam yang merupakan baris kesembilan, selama ini Islam meyakini tiga jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah (dalam bait 39 disebut uluwiyah) dan tauhid asma’ wash-shifat. Tauhid rububiyah adalah meyakini kekuasaan Allah dalam menciptakan serta mengatur alam semesta dan dunia akhirat. Tauhid uluhiyyah mengakui Allah sebagai sesembahan yang harus senantiasa dipatuhi, sedangkan tahud asma’ wash-shifat meyakini berbagai nama dan sifat Allah yang mulia.

Pokok bahasan lain yang cukup penting dalam bait 39 adalah empat macam nafsu yang ditamzilkan sebagai bagian dalam tubuh. Empat nafsu yang berada dalam diri manusia yaitu: (1) Nafsu supiyah, berhubungan dengan masalah kesenangan, yang jika tidak dikendalikan akan menyesatkan jalan hidup kita. (2). Nafsu amarah yang berkaitan dengan emosi. Jika tidak dikendalikan, ia sangat berbahaya karena akan mengarahkan manusia kepada perbuatan dan perilaku yang keji dan rendah. (3). Nafsu aluamah, yaitu nafsu yang sudah mengenal baik dan buruk. (4). Nafsu mutmainah, yaitu nafsu yang telah dikendalikan oleh keimanan, yang membawa sang pemilik menjadi berjiwa tenang, ridho dan tawakal.

Bait 38 yang menyebut masalah syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, sangat menarik dan merupakan pokok bahasan ilmu tasawuf. Pelajaran tasawuf banyak pula diungkapkan dalam suluk-suluk lain. Bahkan guru Sunan Kalijaga yaitu Sunan Bonang, menggubah sejumlah suluk yang secara gamblang mengajarkan tasawuf.

Makna tasawuf adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah dengan tiga inti ajaran pokok yakni bulat hati kepada Allah, tekun ibadah dan berpaling dari godaan pesona dunia atau tidak cenderung pada kemewahan dan pesona dunia. Sedangkan suluk juga berarti cara untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah swt. mengikuti tuntunan jalan tasawuf.

Salah satu suluk Sunan Bonang yang terkenal dan kental ajaran tasawufnya adalah Suluk Wujil, sebagaimana contoh tiga bait berikut:

Oleh karena itu, Wujil, kenali dirimu
kenali dirimu yang sejati
ingkari benda
agar nafsumu tidur terlena
dia yang mengenal diri
nafsunya akan terkendali
dan terlindungi dari jalan
sesat dan kebingungan
kenal diri tahu kelemahan diri
selalu awas terhadap tindak tanduknya (bait 22).

Bila kau mengenal dirimu
kau akan mengenal Tuhanmu
orang yang mengenal Tuhan
bicara tidak sembarangan
ada yang menempuh jalan panjang
dan penuh kesukaran
sebelum akhirnya menemukan dirinya
dia tak pernah membiarkan dirinya
sesat di jalan kesalahan
jalan yang ditempuhnya benar (bait 23).

Orang berilmu
beribadah tanpa kenal waktu
seluruh gerak hidupnya
ialah beribadah
diamnya bicaranya
dan tindak tanduknya
malahan getaran bulu roma tubuhnya
seluruh anggota badannya
digerakkan untuk beribadah
inilah kemauan murni (bait 39).

Bait-bait tersebut memang tidak secara khusus menyebut kata tasawuf, tapi kandungan maknanya, merupakan salah satu pokok bahasan sekaligus amalan tasawuf.

Pokok bahasan tasawuf kecuali dituangkan dalam Suluk Wujil, oleh Mpu Syiwamurti yang kemudian disempurnakan oleh Sunan Bonang, juga diungkapkan dalam Serat Dewaruci.  Serat atau Kitab Suluk selanjutnya yang juga membahas tasawuf, banyak ditulis pada masa keemasan budaya sastra Mataram – Surakarta misalkan Ngelmu Mistik Terapan dan Serat Wulangreh oleh Raja Pakubuwana IV (1768 – 1820), Serat Centini oleh Pakubuwana V (1785 – 1823), Hidayat Jati oleh Ranggawarsita (1802 – 1873), Serat Wedhatama oleh Mangkunegara IV (1809 – 1881) dan Suluk Ling-Lung oleh Iman Anom (1884).

Dalam buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan (halaman 118 – 122) penafsir telah membahas masalah tasawuf dengan syariat, tarekat, hakikat dan makrifatnya, terutama yang banyak dianut oleh masyarakat Jawa. Serat Centini misalkan, mengajarkan penghayatan  batin dalam senantiasa mengingat Allah yang disebut sebagai shalat daim. Hal itu diajarkan oleh Syeh Amongraga kepada isterinya Niken Tambangraras, yakni dengan jalan melakukan zikir khususnya zikir kalbu yang tiada putus, secara terus-menerus mengingat Gusti Allah menyertai tarikan nafas, dan dilatih sesuai kata hati.

Dengan shalat daim maka seluruh kehidupan kita mulai dari kalbu, pikiran sampai dengan perbuatan akan selalu mengingat Gusti Allah dengan semua sifat, kebesaran, kemuliaan, kekuasaan, perintah dan larangan-Nya. Bagi orang yang sudah bisa mengamalkan shalat daim, segenap pikiran dan perbuatannya akan selalu diniatkan sebagai bekal ibadah serta dilaksanakan sesuai dengan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Contoh yang sederhana adalah makan, yang diniatkan sebagai ibadah, yaitu agar badan sehat dan kuat, selanjutnya dengan kesehatan dan kekuatannya ia berkarya bagi sebesar-besarnya kemaslahatan umat. Karena diniatkan sebagai ibadah, maka cara memperoleh rejeki dan makanan, jenis makanan dan cara berkaryanya pun harus mengikuti aturan-aturan yang sudah digariskan Allah swt. dan Rasulullah saw.

Shalat dalam bahasa Jawa adalah sembahyang, dari asal kata menyembah Hyang atau Tuhan. Serat Wedhatama bait 48 sampai dengan 72 membagi  sembahyang dalam empat tingkat. Pertama sembah raga. Kedua sembah cipta atau sembah kalbu. Ketiga sembah jiwa dan keempat sembah rahsa.

Sembah raga merupakan langkah awal dari keseluruhan tingkatan sembahyang. Ibarat jenjang kepegawaian ia masih dalam tingkat magang, dengan tujuan melatih mendekatkan diri ke Gusti Allah. Sembah raga bersuci dengan air dan melaksanakan shalat lima waktu. Sembah raga juga dapat diartikan ibadah kepada Gusti Allah secara fisik dan lahiriah, secara tampak mata, secara syariat.

Sembah cipta atau sembah kalbu adalah ibadah batin yang jauh lebih sulit dibanding ibadah lahir. Orang baru dapat dikatakan bisa melakukan sembah cipta jika kalbunya suci. Ia senantiasa ikhlas, rendah hati dan tidak sombong, tidak minta dipuji serta dihormati pengikut-pengikutnya. Tidak ujub dan riya. Agar dapat melakukan sembah cipta, kita harus dapat mengendalikan hawa nafsu. Karena bersifat batin, maka cara bersucinya tidak dengan air, melainkan dengan hasrat yang luhur. Orang yang sudah bisa melaksanakan sembah kalbu akan dapat melihat sajatining urip, makna kehidupan yang sesungguhnya, sebagaimana yang digariskan Gusti Allah. Dengan demikian selanjutnya akan dapat menemukan jalan atau tarekat menuju dan menyatu dengan kehendak Pangeran Yang Maha Agung.

Sembah yang ketiga yaitu sembah jiwa adalah hakikat dari segala macam sembahyang. Tidak semua orang mampu melakukan ini. Orang yang dapat melaksanakan sembahyang ketiga ini, jiwanya senantiasa mampu mengendalikan raga, cipta atau kalbu dan hasrat atau karsanya. Agar dapat mengendalikan, maka jiwa yang bersangkutan harus suci bersih dan selalu eling, berzikir baik batin, lisan maupun perbuatan pikiran dan jasmaninya. Semuanya senantiasa tertuju kepada Tuhan. Ia tidak menuntut dan membutuhkan apa-apa bagi dirinya sendiri, karena sudah merasa cukup puas dengan segala dan apa pun yang telah dikaruniakan Gusti Allah kepadanya. Ia malu untuk meminta sesuatu bagi dirinya sendiri kecuali ridho Allah.

Akan halnya sembah rahsa atau makrifat, merupakan penyembahan dari inti rasa sejati, yaitu rasa batin yang tak berwujud, yang hanya dapat kita lakukan bila kita sudah sungguh-sungguh mengenal dan menyatu dengan kehendak Allah. Inti rasa sejati itu sama dengan atma atau juga inti dari jiwa. Karena jiwanya sudah suci maka tidak ada lagi tirai yang menghalangi antara inti jiwa dengan Gusti Allah Yang Maha Agung.

Sembah raga itu sama dengan tingkatan syariat. Sembah cipta adalah tarekat. Sembah jiwa itu hakikat, sedangkan sembah rahsa adalah makrifat. Namun ada sebagian orang yang menyederhanakan menjadi: “Orang harus bisa mengolah dan mengendalikan cipta, rasa dan karsa, sementara raga tidak terlalu penting lagi.” Kemudian ada yang karena sudah merasa mencapai tingkat makrifat, maka syariat ditinggalkan. Padahal para ahli tasawuf telah mengibaratkan, syariat yang berisi hukum-hukum peribadatan adalah kapal atau kendaraan. Kapal ini tidak berarti apa-apa jika ia berada di daratan. Tetapi begitu berada di lautan, di atas air laut, ia bisa berlayar sehingga menjadi memiliki makna. Itulah tarekat.  Meskipun demikian, apa guna sebuah kapal dengan lautannya bila tak ada tujuan yang hendak dicapai. Tujuan itu adalah mutiara kehidupan atau hakikat. Di lain pihak, bagaimana mungkin kita mencapai tujuan atau makrifat jika tanpa kendaraan dan jalan untuk mencapainya. Apa pula artinya cipta, rasa dan karsa apabila tiada raga yang mewadahinya. Semuanya saling terkait, memerlukan serta melengkapi satu sama lain, dan tidak boleh ada yang ditinggalkan atau pun diabaikan.

Itulah wahai para sahabat, tamzil dan uraian singkat mengenai syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Semoga kita bisa menghayati serta mengamalkannya.

Alhamdulillaah, Allaahumma aamiin.