Senin, 29 November 2021

BUKU MEMBACA NUSANTARA DARI AFRIKA TENTANG CAKRANINGRAT IV UNTUK GUBERNUR JAWA TIMUR.

 


Bersama Bang Hariman Siregar (baju putih) dan kawan-kawan, Rabu 24 November 2021, saya  dijamu makan siang di Gedung Grahadi oleh Gubernur Jawa Timur Ibu Khofifah Indar Parawansa.

Dalam kesempatan itu kami menyerahkan buku:

1) Riwayat perjuangan aktivis Hariman Siregar: "MENJADI BENIH PERLAWANAN RAKYAT: HARIMAN SIREGAR, MALARI 74 DAN DEMOKRASI INDONESIA" Ed: Arief Zulkifli

2) MEMBACA NUSANTARA DARI AFRIKA, MENELUSURI JEJAK PEJUANG YANG TERBUANG, oleh B.Wiwoho

Buku MEMBACA NUSANTARA DARI AFRIKA ini berisi laporan perjalanan menelusuri jejak ribuan pejuang Nusantara yang menentang penjajahan Belanda yang menggunakan dalih bisnis, sehingga dibuang ke Afrika Selatan. Di antara mereka terdapat tokoh dari Jawa Timur, tepatnya Madura yang kemudian menjadi sumber inspirasi dan penguat semangat perjuangan Nelson Mandela. Tokoh tsb adalah Pangeran Cakraningrat IV.

 


Nelson Mandela menyebut Pangeran Cakraningrat IV sebagai sumber inspirasi saat putus asa karena ditahan selama 18 tahun di pulau Robben, pulau di mana Cakraningrat juga ditahan sampai wafatnya. Dalam pidatonya yang berjudul Renewal and Renaissance di Pusat Studi Islam Unversitas Oxford, Inggris, Nelson Mandela senang mengenakan baju baju batik Indonesia apabila tampil di depan publik, menyebut tahanan politik pertama  di pulau Robben, Cakraningrat, sebagai Bapak Pembangunan Islam di Afrika Selatan dan sebagai satu dari sejumlah pemimpin yang dibuang lantaran melawan penguasa colonial di Asia Tenggara (halaman 34 - 35).

 


Yang luar biasa pula, di wilayah Cape Town itu, masyarakat muslim setemat membangun dan merawat 26 makam yang dikeramatkan di 24 lokasi. Dari jumlah sebanyak itu, 14 di antaranya dipastikan berasal dari Nusantara (yang tersebar di 13 lokasi), sedangkan 9 lagi tidak jelas, namun diduga juga dari Nusantara, mengingat statusnya sebagai budak atau tawanan Balanda, yang tiba pada periode kekuasan VOC. Sisanya dari Irak (1 makam), Yaman (1 makam) dan satu lagi dari India.

Ribuan tawanan dan budak dari tanah air kita, dicabut dari akar kehidupannya. Sebagian besar dari mereka turun dari kapal-kapal dagang VOC di Cape Town dalam keadaan terbelenggu. Di antara mereka terdapat ratusan pejuang, ulama, raja atau pangeran yang diasingkan karena mengobarkan perlawanan terhadap VOC, yang berusaha menguasa tanah tumpah darahanya dengan dalih bisnis. Mereka berasal dari berbagai daerah dan kerajaan di Nusantara  antara lain Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Banten, Betawi, Cirebon, Semarang, Surakarata, Madura, Sumbawa, Tambora, Timor, Maluku, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.

Sementara masyarakat Afrika Selatan sangat menghormati mereka, bagaimana dengan kita? Terhadap Pangeran Cajraningrat IV misalkan, khususnya masyarakat Jatim dan lebih khusus Madura? Juga masyarakat-masyarakat dan pemerintah daerah di mana para pejuang itu berasal? Tidore? Sumbawa dan lain-lain?

Semoga buku ini bisa menggugah kesadaran kita semua dalam menghadapi globalisasi dengan kapitalisme globalnya, sebagaimana diharapkan oleh 3 tokoh yang memberikan sambutan atas buku ini yaitu Jenderal Widjojo Soejono, Letjen Sayidiman Suryohadiprojo dan Parni Hadi? Semoga para pejuang tersebut dengan ridho, rahmat dan berkah Gusti Allah Yang Maha Kuasa, bisa menjadi sumber inspirasi dan mengobarkan semangat perjuangan kita segenap putera-puteri Nusantara, mengatasi cengkeraman kapitalisme global dan bangsa-bangsa asing. Amin.

Selasa, 16 November 2021

PROSES MASUKNYA ISLAM KE TANAH JAWA

 

PROSES MASUKNYA ISLAM KE TANAH JAWA

Tidak seperti di jazirah Arab dan sebagian Eropa, agama Islam masuk ke Nusantara dengan menghindari pedang dan darah, menghindari kekerasan. Dengan hidayah Gusti Allah Yang Maha Kuasa, para ulama berdakwah menggunakan media kebudayaan. Prinsip tidak ada paksaan dalam agama (Al-Baqarah: 256) dan serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik (An-Nahl : 125), menjiwai metode dakwah pada saat itu. 

Kedua ayat di atas, ditambah Surat Yunus : 99 yang berbunyi, “Seandainya Tuhanmu menghendaki tentu berimanlah seluruh orang di muka bumi ini tanpa kecuali. Apakah engkau akan memaksa semua umat manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman?”, mendorong Wali Songo di Jawa menciptakan simbol dakwah kura-kura yang dalam bahasa Jawa disebut bulus, dimaksudkan sebagai akronim mlebune sarana alus, masuk secara halus tanpa paksaan. Dengan hikmah dan kebijaksanaan.

Ulama-ulama abad permulaan Islam di Nusantara, dengan hebat dan berani telah melakukan interpretasi dan transformasi ruh Islam ke dalam bahasa dan budaya lokal, membentuk peradaban baru, peradaban suku-suku bangsa di Nusantara khususnya Jawa yang bernafaskan Islam. Cara yang hampir sama ternyata juga dilakukan oleh para ulama dan juru dakwah di Cina, yang mengajarkan Islam dengan mengambil terminologi-terminologi yang lazim digunakan dalam ajaran-ajaran agama Tao dan Khonghucu. Lebih lanjut klik: https://panjimasyarakat.com/2021/11/16/proses-masuknya-islam-ke-tanah-jawa/