Kamis, 20 Oktober 2016

Ulama dan Penguasa



Ulama dan Penguasa
      Minggu ini sedang terjadi perbincangan yang sangat menarik perihal keulamaan. Berikut ini kami muat ulang tulisan tentang Ulama dan Penguasa, yang sudah kami terbitkan 5 tahun yang di berbagai blog dan facebook, disertai doa semoga ulama-ulama Indonesia termasuk pada golongan ulama-ulama hujjah dan atau ulama-ulama hajjaj, dan bukan ulama-ulama mahjuj lagi juhala. Aamiin.

Beberapa sahabat fesbuker bertanya sekaligus meminta pendapat tentang hubungan antara ulama dan umaro (penguasa), dan lebih khusus lagi mengenai pernyataan serta kedatangan sejumlah pemuka agama atau ulama ke Istana Negara hari Senin, 17 Januari 2011. Saya tidak ingin menjawab secara langsung, tapi saya kutipkan saja pandangan guru besar kita Al Ghazali tentang ulama. 

Pandangan Al Ghazali ini banyak dibahas dalam kitabnya yang sangat termasyhur, dan saya yakin sudah dihafal di luar kepala oleh para ulama kita, yaitu kitab Al-Tibbr Al-Masbuk fi Nasihat Al Muluk (Nasihat Bagi Penguasa). 

Al Ghazali membagi ulama dalam tiga golongan. Pertama, ulama hujjah, yaitu ahli ilmu agama yang mengutamakan perintah Tuhan, dan bekerja menurut jalan yang benar. Kedua, ulama hajjaj, yaitu ahli ilmu agama yang berjuang menegakkan agama Tuhan, berdiri di baris terdepan memimpin umat mempertahankan politik keadilan, bagaikan bintang terang yang menyinari jalan dan memimpin perjuangan. Ketiga, ulama mahjuj, yaitu ulama yang menghambakan diri pada duniawi, menjadi budak kaum penguasa yang menjalankan politik kezaliman. 

Para pemikir Islam klasik jauh-jauh hari sudah menyadari dan mengingatkan, bahwa ulama yang paling buruk adalah ulama yang datang ke penguasa, kecuali untuk memperingatkan dan menegur Sang Penguasa. Oleh karena itu pula pada hematnya, ulama harus tegak menjaga fungsinya sebagai pemegang amanah Allah, penjaga waris Nabi-Nabi dan penegak politik keadilan. Para ulama dan cendekiawan harus bersikap waspada dan jangan menundukkan diri pada politik kezaliman, bahkan jika dianggap perlu harus mengambil sikap uzlah, menjauhkan diri dari segala soal yang berbau politik kekuasaan. 

Berkenaan dengan ulama dan keulamaan, cendekiawan Prof.Dr.Nurcholis Madjid (dalam K.H.Ali Yafie, Jati Diri Tempaan Fiqih), mengajak kita memahami pandangan Abu Hayyan sebagaimana dikutip Ibn Taimiyah dalam kitabnya yang tersohor Majmu al- Fatawa, yang juga menyatakan ada tiga macam. Pertama, ulama yang berilmu tentang Allah dan tentang ajaran Allah. Kedua, yang berilmu tentang Allah tapi tidak berilmu tentang ajaran Allah. Ketiga, ulama yang berilmu tentang ajaran Allah tapi tidak berilmu tentang Allah. Seorang ulama yang berilmu tentang Allah, akan senantiasa takut kepada-Nya, sedangkan yang berilmu tentang ajaran Allah akan senantiasa mengetahui batas-batas dan kewajibannya. 

Jadi menurut isyarat Abu Hayyan, selalu ada kemungkinan tampilnya seorang “ulama bodoh”, suatu ungkapan yang mengesankan kontradiksi terminologi, tapi
benar-benar ada dalam kenyataan. Yaitu seorang ulama yang tidak merasa takut di hadapan Allah, dan tidak mencerminkan kualitas keulamaan. Lebih buruk lagi, menurut tokoh yang akrab dipanggil Cak Nur ini, ialah “ulama jahat” sebagaimana istilah yang juga digunakan oleh Al-Ghazali, sesuai peringatan Ali bin Abi Thalib sebagai berikut: “Akan datang pada umat manusia zaman ketika dari Islam tinggal hanya namanya, dan dari Al-Qur’an tinggal hanya hurufnya. Mereka beramai-ramai ke masjid, namun bangunan itu kosong dari ingat kepada Allah. Sejahat-jahat warga zaman itu ialah para ulama mereka. Dari para ulama itulah keluar fitnah, dan kepada mereka pulalah fitnah itu menimpa kembali; yaitu, mereka berilmu namun tidak melakukan amal sesuai dengan keharusan adanya ilmu mereka itu.” ( dalam Tafsir Al-Qurthubiy atas surat Ali  Imran ayat 159). 

Menutup uraiannya tentang ulama dan keulamaan, Cak Nur dengan penuh keprihatinan mengajak kita berdoa, semoga kita tidak mengalami zaman seperti diperingatkan oleh Ali bin Abi Thalib tersebut, yaitu zaman tampilnya “ulama bodoh atau ulama juhala”, yang menjadi sumber fitnah dan bencana bagi masyarakat, karena di antara kita yang menyandang gelar kehormatan sebagai ulama hanya menginginkan hidup enak dan senang, seringkali disertai kemewahan, dan tidak bersedia berkorban dengan menempuh hidup tabah dan bersahaja, tidak pula bersedia melakukan pengingkaran terhadap diri sendiri (zuhud, self denial) demi kebahagiaan hakiki dan abadi yang meliputi semua, tidak hanya untuk diri pribadi. 

Sahabatku, peranan kepemimpinan dalam Islam sungguh sangat menentukan kehidupan bermasyarakat, karena watak dan perangai masyarakat merupakan buah atau hasil dari watak dan perangai pemimpin-pemimpinnya. Rusak rakyat karena rusak penguasa, dan rusak penguasa karena rusak ulamanya. Semua itu membenarkan kesimpulan bahwa pemimpin adalah teladan, sehingga teladan yang baik akan memberikan hasil yang baik, dan demikian pula sebaliknya. Semoga kita senantiasa dianugerahi para pemimpin dan ulama-ulama yang amanah, yang beriman dan beramal saleh.
Aamiin.

Kamis, 13 Oktober 2016

Karim Oei & Masjid Lautze, RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA dan KETURUNAN TIONGHOA : Peluncuran Buku.

Karim Oei & Masjid Lautze, RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA dan KETURUNAN TIONGHOA : Peluncuran Buku.

.Alhamdulillah, buku Yayasan H.Karim Oei & Masjid Lautze : Rumah Bagi Muslim, Indonesia dan Keturunan Tionghoa telah diluncurkan  pada hari Selasa 4 Oktober 2016 di Gedung PP Muihammadiyah Jakarta, oleh tiga lembaga yaitu PP Muhammadiyah, Centre for Dialogue And Cooperation Among Civilisations dan Yayasan H.Karim Oei. Berikut foto-foto dan beberapa klipping media  dari banyak tulisan yang memberitakan peluncuran buku tersebut:
  1. Din: Hubungan Muslim dan Etnis Tionghoa Sudah Berlangsung Berabad-abad‎  Selasa, 04 Okt 2016 – 16:54:45 WIBAlfian Risfil Auton, TEROPONGSENAYAN
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Yayasan Karim Oei (YHKO) dan Masjid Lautze baru saja melucurkan buku berjudul ‘Rumah Bagi Muslim, Indonesia dan Keturunan Tionghoa’ di Gedung Pusat Muhammadiyah Jakarta, Selasa (4/10/2016) sore.

Prof. Din Syamsuddin Pembina YHKO yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, bahwa buku ini menjelaskan tentang muslim dan etnis Tionghoa yang patut diketahui oleh masyarakat Indonesia.
“Buku ini hadir dalam isu sara yang ada di masyarakat, buku ini menjadi bukti bahwa hubungan antara muslim dan etnis Tionghoa sudah berlangsung berabad-abad,” ujar Din disela-sela peluncuran buku berjudul; Rumah Bagi Muslim, Indonesia dan Keturunan Tionghoa’ di gedung dakwah Muhammadi‎yah.

Selain itu, mantan ketum Muhammadiyah ini berpendapat bahwa peluncuran buku ini adalah tepat waktu karena menjelang Pilkada DKI yang berpotensi memunculkan isu SARA dikalangan masyarakat.
“Semoga dengan adanya buku ini, masyarakat bisa lebih paham dan sadar bahwa hubungan antara Islam dengan Tionghoa dan Tionghoa dengan Islam itu sendiri dapat dipahami,” katanya.
Sementara itu Ketua Badan Pembina Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) Prof. Ali Yafie mengatakan dalam sambutannya bahwa, YHKO senantiasa hadir ditengah-tengah pusaran dua kutub perbedaan yaitu peran dan pengarus etnis Tionghoa yang sering menjadi pelampiasan kemarahan.
“Yayasan Karim Oei berhasil membuktikan bahwa nilai-nilai Islam dan Cina adalah selaras dan saling melengkapi. Dalam kaitan itu ini menjadi penting untuk mengembalikan jati diri bangsa Indonesia yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap,” ujarnya.

YHKO didirikan pada tahun 1991 demi mewujudkan persatuan dan keharmonisan nasional antara lain dengan mengantisipasi dan mengatasi kesenjangan sosial ekonomi yang menajam serta dominasi kekuasaan ekonomi yang berbau SARA.
Berkat YHKO, ada 1.500 etnis Tionghoa yang masuk Islam, selain itu YHKO juga melaksanakan program pembaruan bisnis dengan ‘rumah’ yang nyaman bagi segenap anak bangsa khususnya umat Islam. (icl)

 2). Prof Ali Yafie: Nilai-‎nilai Islam dan Cina Sejatinya SelarasRabu, 05 Okt 2016 – 07:29:57 WIBAlfian Risfil Auton, TEROPONGSENAYAN

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Ditengah kembali merebaknya isu SARA jelang Pilkada DKI 2017, sesepuh dan tokoh bangsa,‎ Prof KH Ali Yafie angkat bicara.
Menurutnya, proses pembaruan etnis Cina yang selama ini diupayakan masih merupakan sebuah ‘pekerjaan rumah’ yang belum selesai.‎

Etnis Cina, kata Rais ‘Aam PBNU periode 1991 – 1992 itu, masih sering menjadi sasaran pelampiasan kemarahan masyarakat pribumi, dimana sentimen rasial menjadi sumbu pemicunya.‎
“Terlepas dari kondisi tersebut, kita patut berterimakasih kepada Yayasan Karim Oei (YHKO) yang perlahan-lahan berhasil mengubah pandangan masyarakat umum, bahwa etnis Cina merupakan komunitas yang terpisah‎ oleh tembok kokoh yang tidak bisa disatukan karena perbedaan latar belakang budaya yang begitu kental,” kata Ali dalam sebuah diskusi dan peluncuran buku berjudul; ‘Rumah Bagi Muslim, Indonesia dan Keturunan Tionghoa’, di kantor pusat Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/10/2016)
.
Yayasan Karim Oei (YHKO) ‎merupakan sebuah perkumpulan yang sengaja dibentuk dengan nam yang kental dengan nuansa Islam, Indonesia dan Cina sekaligus.
Tujuannya, untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan banga melalui pembaruan bisnis dan agama, terutama Agam mayoritas masyarakat yaitu Islam.
Ali yang tak lain adalah Ketua Badan Pembina YHKO ini menjelaskan, kini Yayasan tersebut melalui berbagai aktivitasnya, berhasil membuktikan bahwa nilai-‎nilai Islam dan Cina sejatinya adalah selaras dan saling melengkapi.
“Ini merupakan kerja keras dan cerdas untuk menerobos tembok pemisah antara pribumi dan etnis Cina, sehingga proses pembaruan menjadi lebih nyata. Bukan sekedar menjadi pemanis kata atau menjadi dagangan politik semata,” tegas Ketua MUI periode 1990 – 2000 itu.
“Dalam kaitan itulah, kehadiran buku ini (Rumah Bagi Muslim, Indonesia dan Keturunan Tionghoa), menjadi sangat penting untuk memberikan sumbangan pemikiran yang menginspirasi gerakan untuk mengembalikan jati diri bangsa Indonesia yang bersendikan‎ ketuhanan YME, dan kemanusiaan yang adil dan beradab,” pesan Ali yang juga mantan rektor IAIN Ujung Pandang. (icl)

3. Berbaurnya Islam dan Etnis Tionghoa di Indonesia .
Selasa 04 Oct 2016, 15:45 WIB Rini Friastuti – detikNews

Jakarta – Yayasan H. Karim Oei (YHKO) dan Masjid Lautze menerbitkan sebuah buku berjudul Rumah Bagi Muslim, Indonesia dan Keturunan Tionghoa. Buku setebal 420 halaman ini menceritakan sejarah perjuangan kesetaraan sosial dan pembauran etnis Tionghoa dengan bangsa Indonesia.

Diluncurkan di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/10/2016), buku ini diolah dari berbagai artikel, pidato, guntingan berita media massa, catatan sekretariat serta foto dokumentasi kegiatan YHKO, mengenai latar belakang, maksud dan tujuan pendirian YHKO.
Dalam sambutannya, sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan buku ini memiliki peranan penting untuk memahami perkembangan Islam di Indonesia tak terlepas dari dukungan bangsa Tionghoa.
“Dalam konteks etnis dan ras, kita melihat sejarah kedekatan bangsa Indonesia dan Tionghoa. Bahkan untuk perkembangan Islam di awal tidak terlepas dari dukungan bangsa China,” ujar Abdul dalam pidato sambutannya.

Dia mengatakan diskusi yang nantinya muncul dalam peluncuran buku ini dapat menjadi pemersatu, sehingga tak ada lagi batas antara satu etnis dengan etnis yang lain karena bangsa Indonesia lahir dari kesatuan.
“Diskusi ini merupakan komitmen kita bersama, sekat itu tidak boleh dibangun dalam perbedaan etnis, tapi unity, kesatuan,” ujarnya.

Din Syamsuddin dalam pidato pembukaannya mengatakan figur Karim Oei, pendiri YHKO bukanlah orang asing di tubuh Muhammadiyah. Dia pernah menjadi konsul Muhammadiyah di Bengkulu, bahkan bersahabat dengan Buya Hamka, tokoh Muslim Indonesia.
Dia juga menceritakan secara singkat hubungan erat yang terjadi antara Islam dan Tiongkok yang sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Bahkan sudah terdeteksi pada abad ke-2 Hijriyah, di mana pasukan Islam di bawah pimpinan Khalifah Umar bin Khattab melakukan ekspansi Islam hingga merambah ke tanah Tiongkok.

“Sehingga di Guangzhou itu ada sebuah bukit dan menjadi sebuah cagar budaya, di sana ada makam Saad bin Abi Waqash, dan ada prasasti serta masjid. Itulah kira-kira kontak Islam dengan Tiongkok, apalagi pada perdagangan jalur sutera, Makkah itu menjadi jalur transit, sehingga nabi dan sahabatnya mengetahui ketinggian peradaban China sebelum peradaban Islam dan Yunani,” jelas Din.
Din berpesan kepada warga Tionghoa di Indonesia untuk tak menganggap Islam sebagai agama asing, dan jangan pula umat Islam menganggap etnis Tionghoa sebagai orang lain. Khususnya dalam kehidupan berpolitik dan demokrasi, di mana isu SARA kembali dimunculkan beberapa oknum.
“Saya menyimpan kekhawatiran dengan dinamika kehidupan nasional termasuk proses demokrasi, agaknya mengemuka kembali sentimen seperti itu antara kedua belah pihak, maka harus dicari jalan keluar. Karena kalau tidak dimanage maka akan menjadi bom waktu sehingga memerlukan kearifan kita semua,” pesan Din.

“Saya ingin menggalang gerakan orang cerdas dan waras menghadapi ekspresi bahkan eksploitasi sentimen primordialisme yang mungkin di ranah politik wajar saja. Apalagi jika keadaan seperti sekarang ini, mudah-mudahan, saya tidak bermaksud mendramatisasi, tapi inilah keprihatinan saya merajut komunikasi ini, bukan hanya dengan etnis Tionghoa, jangan sampai terganggu,” sambung Din.

Pembauran antara etnis Tionghoa dan Muslim Indonesia jangan sampai terusik dengan kekerasan yang terjadi di bidang ekonomi yang berhimpit dengan kepentingan negara. Sentimen-sentimen yang muncul harus dirajut dengan kebersamaan, sehingga tak ada lagi pembeda antara umat Muslim, Indonesia, dan keturunan Tionghoa.
“Ini bakal terganggu apabila ada capital violence, kekerasan pemodal, kekerasan dana, apalagi capital violence itu berhimpitan dengan state violence. Maka sentimen ini belum sembuh betul, jadi ini yang kita rajut, dan buku ini hadir tepat waktu untuk merajut kebersamaan itu,” tutupnya.
(rni/Hbb)

  4. Yayasan Karim Oei Wujudkan Keselarasan Berbagai Nilai Islam dan China
Kamis, 6 Oktober 2016 | 10:45

Halloapakabar.com, Jakarta – Yayasan Karim Oei melalui berbagai aktivitasnya berhasil membuktikan bahwa nilai-nilai islam dan China adalah selaras dan saling melengkapi. Guna menguatkan hakikat itu, Yayasan Karim Oei bersama Muhammadiyah meluncurkan buku berjudul Rumah Bagi Muslim Indonesia dan Keturunan Indonesia.

Prof. KH. Ali Yafie Ketua Yayasan Karim Oei mengatakan ini adalah buah sebuah kerja keras dan cerdas untuk menerobos tembok pemisah antar etnis dalam memeluk agama. “Buku ini menjadi sangat penting untuk memberikan sumbangan pemikiran dan sekaligus mengispirasi gerakan untuk mengembalikan jati diri bangsa Indonesia,” ucap Azmi di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.

Menimpali , Dr. Abdul Mu’ti Sekertaris Umum PP Muhammadiyah menegaskan buku ini sangat menarik untuk dibedah karena mengandung nilai lintas etnis dalam beragama islam. “Muhammadiyah cocok dirangkul karena merupakan organisasi lintas etnis dan ras,” ucap Mu’ti.
Mu’ti mengatakan islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan budaya dan perkembangan etnis Tionghoa, seperti Laksamana Cheng Ho seorang pemeluk islam yang pernah mendarat di Indonesia. “Sekat-sekat rasial yang menyudutkan etnis China sudah tidak relevan lagi untuk dibicarakan pada masa kini dan masa mendatang. Semua etnis di Indonesia telah terikat oleh Bhineka Tunggal Ika,” tegas Mu’ti

Dalam peluncuran buku itu, sejumlah tokoh NU, Muhammadiyah, Al-Wasliyah, HMI, KAHMI, Al-Irsyad dan LSM hadir pada tanggal (9/4/1991) mendirikan yayasan Haji Karim Oei Tjeng Hien didirikan pada tanggal (9/4/1991) yang selanjutnya disingkat Yayasan Karim Oei (YHKO) sebuah nama  yang kental dengan nuansa Islam dan Cina.

Alasan utama pendirian yayas tersebut, adalah untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa melalui pembauran  bisnis dan agama, terutama agama mayoritas masyarakat yaitu Islam. Para pendiri meyakini, memperkuat kehidupan sosial ekonomi masyarakat pribumi juga harus dilaksanakan secara sistemis dan keberpihakan yang nyata.

Menurutnya, kuat dan sehat, karena pribumi yang kuat akan menjadi kunci utama bagi pembangunan, tiga dalam satu yaitu satu wadah, satu gerakan, satu perjuangan. Kini telah dua puluh lima tahun usia YHKO, telah banyak kegiatan yang dilaksanakan, dan lebih dari seribu lima ratus orang yang telah di Islamkan.

YHKO juga bertekad, akan selalu memperjuangkan agar Yayasan ini menjadi rumah yang nyaman bagi segenap anak bangsa terutama bagi WNI keturunan Cina, dan lebih khusus lagi yang beragama Islam, agar menjadi muslimin dan muslimat yang taat, nasionalis sejati yang sukses dalam kehidupan sosial dan ekonominya.

“Demi ikut mewujudkan persatuan dan keharmonisan nasional antara lain dengan mengantisipasi dan mengatasi kesenjangan sosial ekonomi yang menajam, serta dominasi kekuasaan yang berbasis ekonomi yang diwarnai dengan perbedaan SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan),” jelasnya.
Sementara itu, peluncuran Buku yang di laksanakan itu, merangkum berbagai artikel, pidato, guntingan berita media massa, catatan sekretariat serta foto-foto dokumentasi kegiatan YHKO. Dua orang anggota badan pembina YHKO yaitu Prof. KH. Ali Yafie dan Prof. DR. M. Din Syamsuddin juga menulis kata sambutan dalam buku tersebut.

Menurut Prof. KH.Ali Yafie, proses pembauran Etnis Cina yang selama ini diupayakan masih merupakan sebuah pekerjaan rumah yang belum selesai, tapi setidaknya yayasan Karim Oey senantiasa hadir di tengah-tengah pusaran dan berusaha mendekatkan dua kutub perbedaan yaitu peran dan pengaruh etnis Cina yang begitu menonjol terhadap penguasaan ekonomi.

“Selain itu, etnis Cina juga sering menjadi pelampiasan kemarahan masyarakat dimana sentimen rasial menjadi sumbu pemicunya. Yayasan Karim Oey melalui berbagai aktifitasnya berhasil membuktikan bahwa nilai-nilai Islam dan Cina adalah selaras dan saling melengkapi,” ungkapnya.
Sedangkan Prof. Dr. Din Syamsuddin berpendapat, bahwa pembauran adalah interaksi dua pihak yang dianggap berseberangan, masing-masing mewarisi trauma psikologis dari sejarah panjang bahkan sejak era penjajahan, dan masing- masing menyandang stereotipe negatif terhadap lainnya.
“Antusipasinya adalah harus mengambil bentuk integrasi, penyatuan, atau persenyawaan. Pembauranyakni berbaurnya dua komunitas (khususnya komunitas etnik Tionghoa berbaur atau membaur dengan komunitas etnik lainnya) baik secara lahiriyah maupun batiniah,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, pengamat Sosial Politik asal Universitas Hasanuddin, Makassar, Imran Hanafi menegaskan perlunya keselarasan antara ummat dan suku di Indonesia. “Oleh karenanya keberadaan Yayasan Karim Oey (YHKO) menjadi penting dalam mensinergikan poros transkultural sebagai pilar dimensi Ukhuwah Wathoniyah,” pungkasnya. (fri/rdp).