Selasa, 18 Mei 2021

RESENSI BUKU ORANG JAWA MENCARI GUSTI ALLAH: Roh Islam dalam Budaya Jawa

 Membaca buku ini cukup menyenangkan. Kita seperti dituntun untuk bersama penulis “menapaki jalan” yang walaupun sudah pernah kita lalui, membaca atau mendengar beberapa informasi dari sumber lain. Terasa berbeda.

Oleh THREES EMIR

16 Mei 2021 09:10 WIB

 


Buku yang diberi komentar sejumlah tokoh ini berupaya menggambarkan bagaimana agama Islam masuk ke Indonesia, khususnya Jawa. Sebagian isi buku ini berasal dari buku B Wiwoho terdahulu, Pengembaraan Orang Jawa di Lorong Kehidupan (2009). Ditambahkan, meskipun banyak cerita dari keadaan masa lalu masyarakat Jawa, buku ini bukanlah buku sejarah dalam arti karya ilmiah, melainkan kumpulan catatan pemikiran dari kehidupan spiritual penulis, yang dituliskan seperti apa adanya.

Islam Abangan

Sejak lama, dalam masyarakat Jawa dikenal istilah ”Islam Abangan” dan  ”Islam Putihan”. Mereka yang dapat terbuka menerima ajaran-ajaran Islam yang dikemas dengan adat istiadat atau kebudayaan Jawa disebut kelompok "Islam Abangan".

Adapun mereka yang berpegang pada pandangan bahwa ajaran-ajaran Islam harus disyiarkan sebagaimana "aslinya" disebut kelompok "Islam Putihan". Segala adat istiadat yang tidak sesuai dengan "ajaran asli", menurut mereka, harus langsung dibuang agar di kemudian hari tidak timbul salah paham yang membingungkan. Islam harus diajarkan secara murni dan bersih dari segala tata nilai budaya lokal atau adat istiadat yang mengotorinya, bagaikan kain putih yang harus bersih dari segala kotoran (hlm 35-36).

Tetapi pendapat itu dipatahkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang khawatir dakwah akan gagal apabila memaksakan kehendak tanpa memahami kondisi sasaran dakwahnya. Penjelasan ini akhirnya bisa diterima oleh para wali golongan Islam Putihan yang pada akhirnya ikut memberikan sumbangan berarti dalam pengembangan kebudayan Jawa yang bernapaskan Islam.

Lalu lahirlah tembang-tembang ”Dhandhanggulo” (Sunan Kalijaga), ”Asmaradana” dan ”Pucung” (Sunan Giri), ”Durno” (Sunan Bonang), ”Maskumambang” dan ”Wijil” (Sunan Kudus), ”Sinom” dan ”Kinanti” (Sunan Muria), sedangkan ”Pangkur” diciptakan oleh Sunan Drajat.

Peresensi, tertarik mengulas metode dakwah yang dilakukan para wali yang berdakwah di Pulau Jawa di antara masyarakat Hindu-Budha dan Syiwa-Budha yang telah memiliki tradisi budaya yang mapan, bisa dipahami pengajarannya disusupkan sampai menjiwai kepercayaan tersebut.

Sebagai contoh kepercayaan memberi sesaji kepada dewi penguasa pertanian, yaitu Dewi Sri. Kebiasaan ini terus berlanjut dengan sebutan sedekah bumi atau zakat dan infak hasil bumi yang dibagikan kepada masyarakat.

Masyarakat yang bangga dengan peradabannya yang maju seperti itulah yang dihadapi Wali Songo atau Wali Sembilan dalam menyebarkan agama Islam di Jawa. Para feodal dan pemuka masyarakat Jawa berpendapat tidak ada kelebihan orang Arab atas orang Jawa. Sejalan dengan bunyi sebuah hadis, para ulama menyetujui pandangan tersebut, dan melengkapi dengan ajaran bahwa tidak ada kelebihan orang kulit hitam atas orang kulit putih dan sebaliknya, kecuali takwa. Kita semua diturunkan dari Adam dan Adam adalah debu (hlm 118).

B Wiwoho memuji para ulama (yang disebutnya sebagai komunikator hebat) yang memasukkan roh Islam dalam kehidupan masyarakat dengan tidak membuat syariat-syariat baru, tetapi dengan memanfaatkan tradisi dan acara-acara yang sudah ada.

Prosesi yang mengiringi perjalanan kehidupan manusia sejak lahir sampai kematian tetap dipertahankan dengan diberi roh Islam. Bukankah itu bagian dari adat dan bukan syariat. Masyarakat sudah terbiasa dengan selametan ”selapanan” usia bayi, ”sunatan”, tiga, tujuh, empat puluh hari hingga seribu hari peringatan orang meninggal. Sesaji hanya diubah niatnya menjadi sedekah. Masih banyak yang disebut oleh penulis, antara lain dimasukinya juga roh Islam dalam wayang, simbol tarekat dalam arsitektur mesjid dan lain-lain

Sungguh membaca buku ini membuat banyak kenangan masa kecil muncul (untuk yang dilahirkan dalam keluarga Jawa yang penuh dengan tradisi), namun yang lebih penting adalah pembaca mendapat gambaran bagaimana dahulu para Wali Sanga menyebarkan agama Islam dengan penuh kesantunan.

Bagi saya, kalimat yang menarik dari penulis (antara lain) adalah: ”Dalam berdakwah mereka menghindari kata-kata kotor, ancaman dan gambaran-gambaran yang menyeramkan. Tidak ada nuansa pedang dan darah. Tidak ada gambaran siksa kubur dan api neraka seperti sinetron televisi di awal abad 21. ..”

Sebagai catatan, kalau boleh saya usul akan lebih baik jika Bab XIII Tafsir Wirid Hidayat Jati, yang di buku ini letaknya sebelum Komentar-Komentar ditempatkan di depan, setelah Pengantar (hlm 11). Agar membantu pembaca mendapat bekal wawasan untuk memasuki bagian demi bagian buku ini. Lebih lengkap, klik: Roh Islam Dalam Budaya Jawa

https://www.kompas.id/baca/buku/2021/05/16/roh-islam-dalam-budaya-jawa/