Sabtu, 25 Agustus 2018

WIRID HIHAYAT JATI (2): ADONAN TASAWUF, MARTABAT TUJUH dan KEJAWEN


Dalam banyak tulisan mengenai penyebaran Islam di Pulau Jawa, baik yang di blog, media massa maupun buku- buku Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan, Memaknai Kehidupan, Bertasawuf di Zaman Edan dan  Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, saya sering menyinggung dua hal, yaitu perihal ruh dan pertemuan Islam dengan peradaban Jawa.
 
Soal ruh, dalam buku Memaknai Kehidupan dari halaman 18 sampai 28 misalkan, saya awali dengan mengutip  firman Allah untuk menjadi pegangan supaya kita tidak menyeruak ke sana-sini tanpa manfaat, yaitu Surat Al-Isra’ ayat 85: “Dan mereka  bertanya kepada engkau perihal ruh. Katakanlah, ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah diberikan kepada kamu ilmu mengenainya melainkan sedikit.”

Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar yang enak dibaca menuturkan, ada satu riwayat yang diterima dari Ibnu Abbas bahwa ruh yang dimaksud tadi adalah malaikat. Memang ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menyebut ruh itu sebagai malaikat (Al Qadar, 97:4 dan An Naba’, 73:38). Tetapi sebagian besar ahli ta’wil menyatakan ruh yang ditanyakan dalam ayat tersebut adalah ruh yang ada dalam tubuh manusia, yang merupakan suatu perkara besar yang ilmu manusia tidaklah sampai kepadanya. Tuhan hanya memberikan ilmu yang sekelumit supaya manusia insyaf bahwa tidaklah kita mempunyai upaya untuk mengetahui hakikat diri kita sendiri, usahkan mengetahui hakikat orang lain, apatah lagi Tuhan. Demikian Buya Hamka.

Beberapa ayat Qur’an lainnya yang juga menjelaskan soal ruh antara lain:
·        Al-Araaf (7:172) tentang perjanjian Allah Swt dengan ruh.
·        As-Sajdah (32:9) tentang peniupan ruh ke dalam janin manusia.
·        Az-Zumar (39:42) tentang pemeliharaan ruh oleh Tuhan.
·        Al-Jumu’ah (62:7-8) tentang kematian.

Dari ayat-ayat di atas kita dapat merumuskan sebuah uraian tentang ruh sebagai berikut: “Allah meniupkan ruh ciptaan-Nya ke dalam tubuh manusia ketika masih dalam kandungan. Allah mengambil kesaksian atau membuat perjanjian dengan ruh tersebut tentang keesaan Allah, dan Allah mengilhami jiwa tersebut dengan kefasiqan, dan Allah mengujinya dengan kebaikan dan keburukan; dan tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.

Allah memegang jiwa atau ruh manusia  tatkala tidur dan ketika mati. Dan apabila Allah mengambil nyawa atau ruh seseorang, tak seorang pun yang dapat mengembalikan pada tempatnya. Pada hari kiamat jiwa manusia  akan mengetahui apa yang diperbuatnya sewaktu di dunia dan Allah akan menyempurnakan pahala-Nya sesuai dengan amalnya sendiri-sendiri, tidaklah dirugikan sedikit pun dan tidak pula dianiaya.” (Klasifikasi Kandungan Al Qur’an, Choiruddin Hadiri, SP, Gema Insani Press, 1999).

Kita semua sependapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu ruh dan tubuh. Tetapi mengenai ruh dan jiwa sulit dipisahkan dan dibedakan. Meskipun demikian, sebagian pengikut tasawuf membedakan ruh dengan jiwa. Sebab jiwa itu merupakan perpaduan antara ruh dengan tubuh, dengan jasad lahir. Jadi jiwa adalah kesatuan ruh dengan jasad (Nihayah al-‘Alam, DR.M.Mutawalli Asy-Sya’rawi, terjemahan Indonesia, Rahasia Allah- di Balik Hakikat Alam Semesta, Pustaka Hidayah 1994).

Perihal pertemuan serta interaksi antara Islam dan peradaban Jawa, saya gambarkan berlangsung secara damai dan indah dengan melalui pendekatan budaya. Nilai-nilai Islami menyusup masuk ke dalam budaya dan adat istiadat Jawa, menggeser setapak demi setapak, membungkus selapis demi selapis semakin tebal bagaikan kulit bawang.

Islam masuk ke Jawa dengan menghindari pedang dan darah, menghindari kekerasan. Prinsip tidak ada paksaan dalam agama (Al-Baqarah: 256) dan serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik (An-Nahl: 125) menjiwai metode dakwah pada saat itu. Ulama-ulama abad permulaan Islam di Jawa, dengan hebat  dan berani telah melakukan interpretasi dan transformasi ruh Islam ke dalam bahasa dan budaya Jawa, membentuk peradaban baru, peradaban Jawa yang bernafaskan Islam.

Para ulama melakukan revolusi kebudayaan yang menyeluruh. Segenap sendi kehidupan masyarakat disusupi ruh Islam. Secara sadar mereka tidak membuat syariat-syariat baru, melainkan memanfaatkan dan mendayagunakan tradisi serta agenda kegiatan masyarakat yang sudah ada. Suatu metode komunikasi massa yang hebat, yang bahkan para ahli komunikasi massa modern banyak yang kurang memahami dan tidak memanfaatkan secara baik.

Prosesi-prosesi terutama yang mengiringi perjalanan kehidupan manusia dari semenjak lahir sampai meninggal tetap dipertahankan dengan diberi ruh Islam, dan dijadikan sebagai sekedar adat serta tradisi, dan bukan syariat. Sesaji-sesaji diubah niat, maksud dan tujuannya menjadi sedekah. Peristiwa-peristiwa yang bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan orang banyak didorong dan dimanfaatkan sebagai wahana dakwah dan silaturahmi. Kesenian-kesenian asli dikembangkan sehingga lahirlah wayang kulit nan indah dengan lakon-lakon khas yang Islami. Demikian pula gamelan, perangkatnya dilengkapi dan diciptakan gending-gending serta irama baru, yakni tembang mocopat nan indah khas Jawa sebagaimana kita kenal sampai sekarang.

Peluang Multi Tafsir.

Namun demikian semua itu tidak terjadi seketika dan langsung sempurna. Perlu waktu dan ada juga kekurangan-kekurangan yang harus disempurnakan sambil jalan, yang disebabkan antara lain oleh dua hal. Pertama, sikap kehati-hatian sehingga proses dakwah berlangsung menyusup halus, menggeser setapak demi setapak dan membungkus selapis demi selapis. Kedua, budaya dan media tulis apalagi cetak belum berkembang seperti sekarang, sehingga materi dakwah banyak yang dibawa serta diungkapkan secara lesan dan dikenal sebagai budaya tutur.  Materi dakwah pada umumnya disampaikan dari mulut ke mulut secara berantai dan turun-temurun, dengan akibat bisa berkurang atau bertambah dari aslinya.

Kedua hal itu membuka peluang timbulnya multi tafsir terutama pada masalah-masalah yang dianggap masih kurang lengkap oleh masyarakat Jawa yang sudah berperadaban cukup tinggi, yang pada saat itu sudah memiliki pengetahuan tentang kepercayaan dan agama lain khususnya Syiwa-Buddha. Materi ajaran yang banyak mengundang munculnya aneka penafsiran antara lain adalah yang bersinggungan dengan kehidupan spiritual dan meditasi, masalah ruh, ketuhanan dan rincian hidup, kebetulan semua itu ada di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, terutama mulai dari Wejangan Kedua sampai dengan Kedelapan.

Aneka tafsir, metode gothak-gathik-gathuk ala Jawa dan spekulasi yang bersifat kebatinan, mistik, spiritual bahkan klenik juga menimpa sejumlah ajaran yang di bagian pertama seri tulisan ini saya sebut dengan serat dan suluk. Uniknya, tafsir mistis dan klenik sesuai syahwat politik partisan, berkembang pula di zaman milenia sekarang ini, yang tidak jarang pengutipannya menyimpang dari teks asli.

Di dalam Wirid Hidayat Jati, uraian dan anatomi tentang ruh dan Tuhan serta hubungan rahasia antara Tuhan dan hamba-Nya, berbalut dengan ajaran Martabat Tujuh dan Wahdatul Wujud atau Manunggaling Kawulo-Gusti. Akan tetapi, dalam dunia tasawuf, pemahaman mengenai Manunggaling Kawulo-Gusti itu pun bisa berbeda satu sama lain.  Bahkan sejumlah ulama menganggap Wahdatul Wujud sebagai ajaran sesat dan kafir.

Oleh karena itu supaya kita tidak tersesat dalam menafsirkan suluk dan serat-serat dakwah, saya senantiasa mengingatkan agar berpegang teguh pada Al Qur’an dan hadis. Anatomi dan rincian tentang ruh dan Tuhan misalkan, dengan jelas Al Qur’an dan hadis telah menjelaskan serta memberikan batasan-batasan, mengapa kita harus memerincinya keluar dari batasan-batasan tersebut? Dan apa gunanya setelah memerinci? Berdebat dan merasa paling tahu? 

Di dalam  Wirid Hidayat Jati, Wejangan Kedua sudah mulai menggambarkan rincian ciptaan manusia yang mengikuti ajaran Martabat Tujuh, yang dimulai dari Pohon Keyakinan Sajaratulyakin, Nur Muhammad sampai Dinding Kijab. Ajaran Martabat Tujuh diulang kembali dalam Wejangan Keenam, dengan menggambarkan alam akadiat (ahadiyat) alam wahdat, alam wakidiyat, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan insan kamil.

Faham Manunggaling Kawulo-Gusti yang menyatakan segala wujud pada dasarnya adalah dari satu, yaitu Allah Ta’ala, bersumber dari Abu Abdullah Husain bin Mansur yang kemudian lebih dikenal sebagai Al Hallaj, lahir tahun 858, tapi ada versi 866, dan wafat tahun 922 M. 

Menurut Al Hallaj, Allah adalah hakikat alam, termasuk makhluk. Alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal, yaitu Tuhan Seru Sekalian Alam. Karena itu Tuhan bersabda, mendengar, melihat dan berbuat  dengan meminjam tubuh dan anggota badan manusia. Tuhan terhisap dan immanent dalam diri manusia. Lahir batin Allah telah berada pada manusia (Dr.Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, UI-Press 1988, halaman 293).

Al Hallaj yang di Jawa digambarkan sebagai Syeh Siti Jenar, mengilhami Ibu Arabi yang lahir di Spanyol tahun 1165 dan wafat 1240, yang mengembangkan ajaran Wahdatul Wujud menjadi Martabat Tujuh. Dalam Fusus al-Hikam yang ditulis pada tahun1229 M, Ibnu Arabi mengajarkan Pantheisme, yakni seluruh kosmos adalah Tuhan,  terjadinya alam semesta dan keinsankamilan.

Faham Wahdatul Wujud dan Martabat Tujuh itu selanjutnya menyebar ke Gujarat – India yang oleh Muhammad Ibnu Fadhillah (hidup  di awal abad ke 17), dituangkan ke dalam kitab Al-Tuhfah al Mursalah ila Ruhin-Nabi, sebagai sarana  penelaahan  tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Pada hematnya, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali, menampakkan dalam wajah batin, melalui tujuh martabat atau tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segenap isinya.

Pada hemat saya, konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam semesta melalui tajjali Tuhan sebanyak tujuh tingkatan tidak  secara langsung bersumber dari Al Qur’an dan hadis, melainkan sebagai ikhtiar dan buah pikir manusia. Bisa saja orang berpendapat apakah bukan tidak mungkin itu bersumber dari ayat-ayat mutasyabihat yaitu ayat yang samar-samar? Atau mungkin juga ayat-ayat kauniyah, yaitu ayat atau petunjuk Gusti Allah melalui tanda-tanda alam dan kehidupan di sekitar kita? Ya silahkan saja yang berpendapat seperti itu. Namun Islam sebagaimana juga Wejangan Pertama Wirid Hidayat Jati telah mengajarkan proses dan hubungan Tuhan dengan makhluknya secara tegas sebagai Allah Yang Mahahidup  Dengan Sendiri-Nya, lagi Mahasuci.

Dari anak benua India, faham Martabat Tujuh masuk ke Samudera Pasai dan selanjutnya ke Jawa, sehingga menjelang akhir abad ke 17 di Tegal sudah ada gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa.

Manunggaling Kawulo-Gusti Versi Sunan Bonang.

Mengenai versi lain faham Manunggaling Kawulo-Gusti, kitab Al Hikam yang tersohor yang menjadi pegangan sebagian pesantren di Nusantara (karya Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary: 1259 – 1310M) mengajarkan, apabila jiwa manusia  suci dari segala kekeruhan yang datang dari alam lahiriah, maka naiklah jiwa tersebut ke alam jabarut, yaitu alam yang dihuni para malaikat. Dalam keadaan begitu, tidak ada dinding penghalang antara sang jiwa dan Sang Pencipta. Di mata orang yang memiliki jiwa seperti itu, alam raya tampak begitu kecil, bagaikan  sebutir biji sawi. Alam atau jagat raya yang tertangkap oleh pancainderanya menjadi jagat kecil, sedangkan dirinya menjadi  jagat besar. Maka berlangsunglah  apa yang disebut manunggaling kawulo-Gusti, manusia menyatu dengan Tuhannya, dalam arti jiwa manusia mampu mengendalikan segala nafsu dan keinginannya , sehingga menyatu dengan kehendak Allah. Mampu melaksanakan dengan baik tugas-tugasnya  selaku wakil dan utusan Allah di muka bumi.

Pemahaman manunggaling kawulo – Gusti yang seperti itu pula yang diajarkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga di Jawa. Orang yang mampu manunggal dengan Sang Pencipta, mengalami apa yang disebut fana fillah. Orang tersebut tidak punya kehendak pribadi karena kehendaknya telah diselaraskan, menyatu dengan kehendak dan sifat-sifat Gusti Allah. Banyak mursyid atau guru tasawuf yang berpendapat, suasana fana fillah, yakni tenggelamnya kesadaran manusia terhisap ke dalam lautan serba Tuhan, adalah puncak mistik para salik, penempuh jalan Tuhan, yang hanya dapat dialami beberapa saat saja.

Sunan Bonang dalam Suluk Gentur atau Suluk Bentur, yang diperjelas dan saling melengkapi dengan karya-karyanya yang lain seperti Gita Suluk Lastri, Suluk Khalifah, Suluk Jebeng dan terutama Suluk Wujil, mentamzilkan suasana penyatuan atau manunggal itu bagai garam jatuh ke laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang dalam kekosongan atau suwung. Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana, tidak lantas tercerap ke dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap adalah kesadaran akan keberadaan wujud jasmaninya (Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Bagian I – 6).

Dengan gambaran di atas, lantas bagaimana kita menyikapi dan mempelajari Wirid Hidayat Jati serta kitab atau serat-serat sejenisnya? Jawabnya adalah dengan penuh rasa syukur, jiwa besar tetapi kritis. Kita bersyukur dan berterimakasih bisa memperoleh anugerah mempelajari ajaran-ajaran ulama dan pujangga besar masa lalu, karena tidak mungkin ada masa sekarang dan masa depan tanpa melalui masa lalu.  Dalam kaitan ini, para penganut tasawuf sering diajarkan untuk mendoakan tokoh yang ilmu serta ajarannya hendak kita tekuni dan hayati, minimal membacakan Al Fatihah. Tetapi sebagaimana nasihat orangtua sekaligus guru kita Puang Kyai Prof. Ali Yafie kepada penulis adalah:  “Apa yang sudah dilakukan oleh para Wali penyebar Islam di Nusantara khususnya di Jawa, sangatlah luar biasa dan tepat pada masanya, sehingga sekarang mayoritas penduduk kita memeluk Islam dan menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Memang jangan berharap sekaligus sempurna. Kewajiban kita dan generasi-generasi mendatang untuk menyempurnakan, menutup lubang-lubang yang ada, memperbaiki kekurangan dan kelemahannya, serta mengemasnya kembali sesuai tuntutan zaman.”

Sementara itu kita pun harus kritis, tidak menelan mentah-mentah semua ajaran orang lain meski berasal dari yang dikenal sebagai ulama. Ini tidak berarti kita tidak menghormati yang bersangkutan, melainkan sebuah sikap kehati-hatian. Kita ambil yang sudah jelas, yang sudah pasti baik dan benar sesuai Al Qur’an dan hadis, dan kita sisihkan dulu yang meragukan apalagi yang tidak sesuai tanpa harus mengecilkan apalagi menyalahkan yang bersangkutan, karena memang tidak ada manusia yang sempurna termasuk diri kita. Yang baik kita ambil dan yang buruk kita buang, yang meragukan kita pendam dulu, dengan penuh rasa syukur dan terimakasih. Di dalam kehidupan, tidak jarang kita memperoleh gagasan yang bagus dan luar biasa hebat, yang justru timbul setelah melihat gagasan atau karya yang salah dari orang lain. Maka sudah sepatutnya pula kita berterimakasih kepada orang lain tadi.

Sebagai penutup seri ini marilah kita pahami ajaran Al Ghazali (1058 – 1111M) dalam  Raudhatut Thalibien wa ‘Umdatus Saalikien atau Raudah, Taman Jiwa Kaum Sufi  yang menggambarkan hadis riwayat Abu Hurairah sebagai berikut: “Suasana penyatuan antara sang hamba dengan Sang Pencipta tercapai tatkala zat sang hamba mencapai tahap fana. Sifatnya telah sirna dan kefanaannya lebur dalam keabadian-Nya. Maka, bagi sang hamba bisa berlaku, ‘dengan diri-Ku ia mendengar dan dengan diri-Ku ia melihat.’ Jadilah Dia yang melimpahkan kewalian sang hamba dan menjadi kekasih sang hamba. Jika sang hamba berkata, maka akan berkata dengan zikir-zikir-Nya. Jika memandang akan memandang dengan cahaya-cahaya-Nya. Jika bergerak maka akan bergerak dengan kekuasaan-Nya. Jika memukul maka akan memukul dengan limpahan keperkasaan-Nya."

Segala puji bagi Gusti Allah, Kang Urip (yang Mahahidup), Kang Gawe Urip (yang menghidupkan hamba-hamba-Nya) dan Kang Nguripi (yang mengatur kehidupan hamba-hamba-Nya). Yaa Rahman, Yaa Rahiim, Ya Hayyu, Ya Qayyuum.

Suluk Hamemayu Hayuning Bawono, Beji – Depok, Ahad/Minggu Legi, 7 Dzulhijjah 1439-H atau 7 Besar 1951-S atau 19 Agustus 2018-M.




Rabu, 01 Agustus 2018

Wirid Hidayat Jati (1): Dzikir Orang Jawa Tempo Dulu: Keutamaan Memahami Dzat Allah.


Bismillahirrahmanirrahim.
 
Di masa lalu, pada umumnya orang-orang Jawa yang beragama Islam mengenal ajaran berdzikir yang bersumber dari Wirid Hidayat Jati, yaitu sebuah kitab atau serat, yang dihimpun oleh ulama pujangga Karaton Surakarta, R.Ngabehi Ranggawarsita (1802 – 1873M).

Wirid menurut Ensiklopedia Islam (penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta) adalah bacaan-bacaan zikir, doa atau amalan-amalan lain yang dibiasakan membaca atau mengamalkannya terutama setelah salat, namun bisa juga kapan saja setiap saat. Wirid bisa dilakukan secara jahri atau terucap dengan suara, maupun secara sirr atau hanya di dalam hati tanpa suara.

Bagi orang Jawa penganut tasawuf, wirid bukanlah sekedar bacaan doa, namun juga berarti mengingat serta memikirkan Gusti Allah secara sekaligus.
Ranggawarsita yang tersohor pandai membaca keadaan jauh ke masa depan itu, menghimpun ajaran-ajaran wirid dari para ulama terdahulu khususnya yang dikenal sebagai Wali Sanga (sembilan ulama kekasih Gusti Allah) dari abad 15 – 16. Wiridan-wiridan tersebut disampaikan secara turun-temurun, dari wali senior ke yunior atau anak muridnya, ke para raja dan bangsawan serta ulama dari masa ke masa, mulai dari masa Kesultanan Demak, Pajang, Mataram sampai Keraton Surakarta, pada umumnya secara lesan. Pada tahun 1779 Saka (Jawa) atau 1850M, Ranggawarsita menghimpun serta menuliskannya dalam huruf dan bahasa Jawa dengan judul Serat Wirid Hidayat Jati atau Kitab Wirid Petunjuk Sejati.

Serat Wirid Hidayat Jati berisi delapan wejangan atau ajaran yaitu (1) Ilham Adanya Dat, (2) Uraian Wahana Dat, (3) Gelaran Keadaan Dat, (4) Pembuka Tata Mahligai di Dalam Baitul Makmur, (5) Pembuka Tata Mahligai di Dalam Baitul Mukaram, (6) Pembuka Tata Mahligai di Dalam Baitul Mukadas, (7) Penetap Kesentaosaan Iman, (8) Sasahidan atau Persaksian.
Kata Dat adalah pengucapan sebagaimana kebiasaan orang Jawa tempo dulu untuk kata Dzat.

Kali ini mari kita kaji bersama wejangan atau ajaran pertama yaitu Ilham atau Bisikan Tentang Adanya Dzat, dalam hal ini adalah Dzat Allah.
 
Wejangan 1: Wisikan Ananing Dat

“Wejangan punika dipun wastani wisikan ananing Dat, awit dening pamejanganipun ing talingan kiwa, wiyosipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang wiwitan, nukilan saking warahing kitab Hidayat Khkakik, amratelakaken  wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci datheng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah makaten jarwanipun:

‘Sajatine ora ana apa-apa; awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji; kang ana dhingin iku Ingsun; ora ana
Pangeran Nanging Ingsun;  sajatine Kang Maha Suci anglimputi ing sipat Ingsun, anartani ing asman-Ingsun, amratandhani ing apngal-Ingsun.’ ”

Artinya :
Ajaran 1 : Ilham atau Bisikan Tentang Adanya Dzat.

“Wejangan ini disebut ilham atau bisikan tentang adanya dzat, karena oleh yang menyampaikannya dibisikkan di telinga kiri, isinya disebutkan di dalam dalil ilmu (penulis: yang dimaksud dalil adalah ayat suci Al Qur’an) yang pertama, kutipan dari ajaran kitab Hidayatul Khakaik, menjelaskan wahyu Tuhan yang Mahasuci kepada Kanjeng Nabi Muhammad  Rasulullah, demikian terjemahannya:

‘Sesungguhnya tidak ada apa pun; sebab tatkala masih berupa angkasa belum ada satu apa pun; yang ada mula-mula adalah Aku, tiada Tuhan selain Aku; sesungguhnya  Yang Mahasuci meliputi sifat-Ku, menyertai Nama-Ku, menunjukkan kepada perbuatan-Ku.’ ”

Inti wejangan dari wirid ini adalah yang diketik dalam huruf miring, sedangkan kalimat sebelumnya adalah kata pengantar. Di dalam sejumlah serat atau kitab dakwah Jawa, juga disebut kitab atau serat  suluk, kadang-kadang ditemukan nama kitab dari bahasa Arab yang ditulis dengan ejaan Jawa. Dalam Wirid Hidayat Jati ini misalkan Hidayat Khakaik (Hidayatul Haqaiq) dan Dakaik kalkaik ( Daqaiq al-Haqaiq), namun kutipan-kutipan kalimatnya seringkali tidak dicantumkan secara utuh, melainkan lebih sekedar inti sarinya. Untuk itu penulis menyarankan agar kita cukup arif memahaminya. Hal itu bisa dimaklumi karena pada zaman itu, berbagai ajaran dan karya sastra di masyarakat Jawa lebih pada sastra tutur dan belum sastra tulis, sehingga berbagai ajaran disampaikan secara tutur atau lesan secara berantai, dari mulut ke mulut, termasuk ajaran-ajaran agama Islam.

Intisari wejangan pertama Wirid Hidayat Jati pun demikian pula halnya. Susunan kalimat dalam wejangan ini menggambarkan firman Gusti Allah, tentang diri dan sifat-Nya, yang mestinya bersumber dari Al Qur’an. Karena kitab ini adalah juga kitab pelajaran tentang tasawuf, maka marilah kita pelajari dan selami wejangan ini dengan pendekatan hakikat atau substantif, dan bukan dengan pendekatan bacaan ilmiah yang harus akurat dalam hal sumber referensi.

Lantas bagaimana orang-orang tua Jawa atau penghayat tasawuf tempo dulu memahami dan menghayati wirid ini? Wejangan pertama ini memberitahu kita “tentang alam semesta yang semula tidak ada, semuanya masih sunyi dan hampa (awang-uwung), yang paling dahulu ada adalah Aku (Allah). Tiada apa dan siapa pun, bahkan tiada Tuhan selain Aku (Allah). Jadi tidak ada sesuatu pun yang mendahului adanya Aku (Allah). Inilah yang disebut dalam ajaran agama Islam sebagai qidam (terdahulu  atau tidak ada yang mendahului), dan sifat-Ku Yang Mahasuci adalah sumber dari segala sesuatu.” Apa yang kemudian harus kita hayati dari pemahaman tersebut? Allah Yang Maha Hidup Dengan Sendiri-Nya, lagi Mahasuci.
  
Wejangan 2: Wahananing Dat

“Wejangan punika dipun wastani Wedharan Wahananing Dat, awit dene pamejanganipun amarah urut-urutan  dumadining Dat, sipat, wahananipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping kalih, nukilan saking sarahing kitab Dakaikalkaik. Amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah. Karaos ing dalem rahsa makaten jarwinipun:

Sajatine Ingsun dat Kang Amurba Amisesa kang kawasa anitahake sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing kodrat Ingsun. Ing kono wus kanyatan pratandhaning apngal-Ingsun kang minangka bebukaning iradat-Ingsun.  Kang dhingin Ingsun anitahaken kayu aran Sajaratulyakin tumuwuh ing sajroning alam ngadam-makdum ajali abadi. Nuli cahya aran Nur Muhammad, nuli kaca aran Mirhatul-kayai, nuli nyawa aran Roh Ilapi, nuli damar aran Kandil, nuli sesotya aran darah, nuli dhindhing jalal aran kijab. Iku kang minangka warananing kalarat-Ingsun.’ ”

Artinya:
Ajaran ke 2: Tentang Wahana atau Sarana Dzat

“Wejangan ini dinamakan Uraian Wahana Dat, karena menjabarkan urut-urutan terjadi Dat, sifat dan wahananya seperti yang disebut dalam dalil-dalil ilmu yang kedua, kutipan dari kitab Dakaikalkaik, menjelaskan wahyu Tuhan Yang Mahasuci kepada Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, yang bisa dirasakan di dalam rahsa (bisa berarti inti nurani dan bisa juga berarti rahasia), sebagaimana berikut:

‘Sesungguhnya Aku Dzat Yang Makakuasa, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu, jadi seketika, sempurna atas kodrat-Ku. Di situ menunjukkan pertanda perbuatan-Ku, yang merupakan pembuka iradat-Ku. Yang pertama Aku ciptakan pohon Sajaratulyakin (pohon kepercayaan atau keyakinan), tumbuh di dalam alam keabadian (atau kelanggengan). Kemudian cahaya bernama Nur Muhammad (cahaya yang terpuji). Selanjutnya kaca Mirhatul-hayai ( kaca untuk bercermin supaya punya rasa malu). Kemudian pelita bernama Kandil (cahaya dalam cahaya :An-Nur/24:35). Kemudian permata bernama Darah. Kemudian dinding agung bernama hijab, yang merupakan  dinding kehadirat-Ku.’ ”

Dalam praktek belajar, murid atau salik atau seseorang yang sedang belajar tasawuf, dianjurkan untuk mempelajari Wejangan kedua ini dengan bimbingan guru, agar tidak terjebak dan berkutat pada uraian-uraian tentang kodrat dan iradat Allah seperti halnya pohon sajaratulyakin sampai dengan darah dan dinding hijab, melainkan cukup dipahami seperlunya.

Adapun yang harus kita hayati dari pemahaman wejangan ini ialah Gusti Allah yang Mahakuasa menciptakan dan menjadikan sesuatu, terutama menghidupkan kita

Wejangan 3 : Gelaran Kahananing Dat.

“Wejangan punika dipun wastani gelaran kahananing Dat, awit dening pemejanganipun ambabar ingkang dados kanyataan anasiring dat sipat, inggih punika nalika Pangeran Kang Mahasuci karsa amujudaken sipatipun. Gumelar kahananipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping tiga, nukilan saking kitab Bayan Humirat mupakat kaliyan kitab Bayan Alip, kitab Madinil Asror, kitab Madinil Malum, inggih punika bangsanipun  kitab tasawup sadaya. Sami amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Mahasuci dhateng Kanjeng Nabi Rasulullah karaos ing dalem rahsa. Makaten jarwanipun:

‘Sajatining manungsa iku rahsaningsun, lan Ingsun iki rahsaning manungsa. Karana Ingsun anitahaken Adam, asal saka anasir patang prakara: (1) bumi, (2) geni, (3) angin, (4) banyu. Iku kang dadi kawujudaning Sipatingsun. Ing kono Ingsun panjingi mud’ah limang prakara: (1) nur, (2) rahsa, (3) roh, (4) napsu, (5) budi. Iya iku minangka warananing wajah-Ingsun Kang Mahasuci.’ “

Artinya:
Ajaran ke 3 : Uraian Keadaan Dzat

Wejangan ini dinamakan gelar (uraian)  keadaan Dzat, karena menjabarkan unsur-unsur sifat, yakni tatkala Allah Yang Mahasuci hendak mewujudkan sifatnya. Uraian keadaan Dzat tersebut ada di dalam dalil ilmu yang ketiga, kutipan dari kitab Bayan Humirat sejalan dengan kitab Madinil Asror dan kitab Madinil Malum, yaitu jenis-jenis kitab tasawuf. Semuanya menjelaskan wahyu Tuhan Yang Mahasuci kepada Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah yang terasa di dalam rahsa. Begini uraiannya:

‘Sesungguhnya manusia itu adalah rahasia-Ku. Dan Aku ini rahasia manusia. Sebab aku menciptakan Adam yang berasal dari unsur empat hal: (1) bumi (atau tanah), (2) api, (3) angin, (4) air. Itu adalah perwujudan dari sifat-sifat-Ku. Di situ  Aku memasukkan intisari lima hal : (1) nur, (2) rahsa, (3) roh, (4) nafsu, (5) budi. Itu semua merupakan dinding Wajah-Ku Yang Mahasuci.’ “

Seperti halnya Wejangan ke 2, Wejangan ke 3 ini juga harus dipahami dan dihayati dengan bimbingan seorang mursyid, seorang guru yang sepadan. Namun secara garis besar kita bisa memahami, pertama, rahasia hubungan timbal balik antara Gusti Allah dan manusia khususnya diri seseorang dan lebih khusus lagi diri kita. Kedua, Gusti Allah sangat berkuasa menciptakan manusia yang berasal dari empat unsur dengan sifat-sifat dasar tanah, api, angin dan air. Ketiga, Gusti Allah memasukkan sehingga menyatu pada diri manusia lima intisari kehidupan yang bisa menggerakkan kehidupan yakni nur, rahsa, roh, nafsu dan budi.

Berbeda dengan kelima unsur tersebut (yang bersumber dari tiga kitab yang disebut sebelumnya) , sejumlah ulama menyebut tiga komponen diri yaitu akal atau cipta, qalbu atau rahsa dan nafsu atau karsa (lihat B.Wiwoho dalam buku-buku 1.Memaknai Kehidupan, 2.Bertasawuf di Zaman Edan, dan (3) Islam Mencintai Nusantara, Jalan Dakwah Sunan Kalijaga). Ketiga komponen diri itu akan kita jumpai apabila kita mengaji Wejangan Wirid Hidayat Jati ke 4 sampai 6.

Demikianlah Gusti Allah adalah Yang Mahahidup (urip) yang menghidupkan hamba-hamba dan makhluk-Nya (kang gawe urip), serta yang memberikan bekal, sarana, jalan dan mengatur kehidupan  hamba-hamba-Nya, kepada kita (kang nguripi). Keyakinan akan ketiga hal tentang hidup ini harus kita tanamkan secara kuat pada diri kita membentuk sikap dan perilaku yang tawakal (berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah dalam segala hal) dan tawadhu (rendah hati).

Maka manusia hidup harus rendah hati, jangan sombong, jangan angkuh dan jangan takabur, karena hidup dan kehidupan atau jalan hidup kita itu sangat tergantung pada Yang Mahahidup. Kita sungguh tidak tahu kapan dan bagaimana Yang Mahahidup akan menghentikan hidup kita.
Dengan mengutip ajaran Kanjeng Nabi Muhammad dan gurunya, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa kehidupan kita ini sesungguhnya hanya terdiri dari tiga tarikan nafas saja. Satu tarikan telah lewat membawa amal perbuatan yang dikerjakan tatkala menarik nafas itu. Satu nafas sedang dijalankan, dan satu nafas lagi belum tahu apakah kita bisa melakukan karena kemungkinan datangnya ajal saat sedang bernafas yang kedua tadi. Jika demikian halnya maka secara hakikat, sesungguhnya hanya satu tarikan nafas saja yang kita miliki, bukan jam, bukan hari. Umur kita secara hakikat hanyalah satu tarikan nafas.

Betapa luar biasa kekuasaan Dzat Allah tersebut, sehingga dalam banyak doa dan sabdanya, Kanjeng Nabi Muhammad sering mengawali dengan kalimat antara lain: “ Demi Dzat yang jiwaku senantiasa dalam genggaman-Nya”, atau “Demi Dzat yang membolak-balikkan hati”, atau “Demi Dzat yang Maha Pengasih” dan lain-lain. Semuanya menggambarkan betapa seluruh nasib, kehidupan dan jiwa raga kita senantiasa di dalam genggaman kekuasan Gusti Allah.

Oleh sebab itu maka kita harus senantiasa berserah diri sekaligus bergantung kepada Yang Menghidupkan dan Menghidupi kita, dengan usaha atau ikhtiar yang sesuai dengan aturan-aturan dari Yang Mahahidup, senantiasa berdoa memohon perkenan, perlindungan dan pertolongan-Nya, serta meniatkannya demi bekal ibadah dan amal saleh. Yang Mahahidup dengan kuasa dan kehendak-Nya akan menghidupi serta mengatur kehidupan kita. Dalam rangka itu kita diijinkan membulatkan cipta dan karsa kita, mengungkapkan cita-cita dan keinginan kepada-Nya. Sesudah itu selanjutnya, berserah diri akan kuasa dan kehendak-Nya.

Demi menggalang penghayatan yang seperti itu, kita dianjurkan untuk membiasakan pada setiap saat dalam berbagai keadaan dan di mana pun berada, berdzikir menyebut setidaknya dua asma Allah yakni Yaa Hayyu Yaa Qayyuum  (Yang Mahahidup – Yang Mahaberdiri Dengan Sendiri-Nya), dengan segenap pemahaman, keyakinan dan penghayatan sebagaimana uraian di atas. Yakinilah, “hasbunallah wa nikmal wakil, cukuplah Allah yang menjadi penolong kami”. Inilah maqam mulia yang diidamkan para salik, yang bersuluk mengenal Gusti Allah dengan sebenar-benarnya mengenal. Allahumma aamiin. (B.Wiwoho).

Suluk Hamemayu
(Hamemayu Hayuning Bawono).

Bahan Ngaji Suluk di Sanggar Suluk Nusantara, Beji – Depok, Minggu Kliwon 29 Juli 2018 atau 16 Dulkangidah 1951 Saka atau 15 Dzulqaidah 1439H.