Kamis, 30 Oktober 2014

Tafsir Kidung "Rumekso Ing Wengi" Sunan Kalijaga (2) : ORANG JAWA MULAI MEMPELAJARI SEJARAH PARA NABI, SAHABAT dan KELUARGANYA.



Bait 4 :
Napasku Nabi Ngisa linuwih,
Nabi Yakuub pamiyarsaning wang,
Yusup ing rupaku mangke,
Nabi Dawud swaraku,
Jeng Suleman kasekten mami,
Nabi Ibrahim nyawa,
Idris ing rambutku,
Bagendhali kuliting wang,
getih daging Abubakar Ngumar singgih,
balung Bagendha Ngusman.

Artinya:

Nabi Isa dengan kelebihannya merasuk dalam napasku,
Nabi Yakob di pendengaranku,
Yusuf ke wajahku,
Nabi Dawud suaraku,
Kanjeng Nabi Suleman kesaktianku,
Nabi Ibrahim nyawaku,
Idris rambutku,
Baginda Ali kulitku,
Abubakar dan Umar sebagai panutan menjadi darah daging,
tulang Baginda Usman.

Bait 5 :

Sungsum ingsun Patimah linuwih,
kang minangka rahayuning angga (ada versi lain: Siti Aminah rahyuning angga),  
Ayub minangka ususe, 
Nabi Nuh ing jejantung,
Nabi Yunus ing otot mami,
netraku ya Muhammad, panduluku Rasul,
pinayungan Adam sarak,
sampun pepak sakathahing para Nabi,
dadya sarira tunggal.

Artinya:

Fatimah dengan segala kelebihannya merasuk dalam sumsumku,
sebagai keselamatan diri (versi lain: Siti Aminah menjadi keselamatan diri),
Ayub sebagai usus,
Nabi Nuh berada di jantung,
Nabi Yunus di urat saya,
mataku adalah Muhammad,
pandanganku Rasul, dinaungi syariat Adam,
sudah lengkap semua Nabi,
menyatu dalam diriku.

Dalam tafsir sebelumnya telah kita bahas, Sunan Kalijaga mulai memperkenalkan istilah dan nama-nama baru kepada masyarakat, yaitu malaikat, rasul, Adam, Sis dan Musa. Pengenalan istilah, tokoh dan sejarah Islam tersebut dilanjutkan dalam bait keempat dan kelima, dengan sekaligus menjelaskan hikmah dan karomahnya di dalam diri manusia, apabila kita mempercayai dan mampu menghayatinya.

Dalam kedua bait tersebut, kata linuwih dipakai untuk mengakhiri baris pertama. Linuwih arti sebenarnya adalah kemampuan lebih atau di atas rata-rata orang pada umumnya, atau bisa juga berarti utama. Namun demikian  tidak berarti Nabi Isa (Ngisa) dan Fatimah, puteri Kanjeng Nabi Muhammad lebih utama dibanding tokoh-tokoh yang disebut di bawahnya termasuk Nabi Muhammad Saw. sendiri, melainkan sekedar sebagai daya tarik serta untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam membuat puisi Jawa yang berupa tembang macapat itu.

Kidung Kawedar adalah sebuah kidung pujian dalam bentuk puisi Jawa, yang cara mengungkapkannya dilakukan dengan menyanyi yang disebut sebagai macapat, dalam irama Dhandanggula. Macapat sebagai metrum atau irama puisi Jawa, berasal dari kata maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu cara membacanya berirama dalam setiap empat suku kata.

Di beberapa daerah di Indonesia, dengan nama lain macapat juga ditemukan dalam kebudayaan Bali, Madura, Sunda, Palembang dan Banjarmasin. Kapan sesungguhnya macapat itu mulai ada di daerah-daerah tersebut, khususnya di pulau Jawa, belum ada kata sepakat di antara para peneliti. Poerbotjaraka dan Zoetmulder (sumber Wikipedia, diunduh Sabtu  20 Septemeber 2014), memperkirakan sudah ada semenjak sebelum masa Kerajaan Majapahit, namun pada waktu itu kalah dengan tembang Kakawin yang bermetrum India.

Setelah kekuasaan Majapahit memudar dan agama Islam mulai menyebar, Sunan Bonang yang diikuti para Wali lainnya, melakukan dakwah dengan cara menciptakan tembang-tembang macapat dalam berbagai irama yang baku, ada yang bernuansa kontemplatif meditatif, ada yang menggelora mengobarkan semangat, ada yang bernuansa dimabok asmara dan ada pula yang jenaka. Masing-masing irama memiliki aturan baku antara lain setiap pupuh atau bait terdiri dari sejumlah baris atau gatra tertentu, setiap baris terdiri dari sejumlah suku kata dan pada suku kata terakhir dicirikan dengan sesuatu huruf hidup tertentu. 

Irama Dhandanggula yang dipakai dalam Kidung Kawedar ini misalkan, dicirikan dalam setiap bait harus terdiri 10 (sepuluh) baris. Baris atau gatra I terdiri dari 10 suku kata (guru wilangan) dengan suku kata terakhir (guru lagu) yang memiliki huruf hidup i. Baris II terdiri dari 10 suku kata dengan suku kata terakhir memiliki huruf hidup a. Gatra III terdiri dari 8 guru wilangan dengan guru lagu e, dibaca seperti kita membaca nama kota Ende atau benua  Eropa. Gatra IV terdiri dari 7 guru wilangan dengan guru lagu u. Gatra V terdiri dari 9 guru wilangan dengan guru lagu i. Gatra VI terdiri dari 7 guru wilangan dengan guru lagu a. Gatra VII terdiri dari 6 guru wilangan dengan guru lagu u. Gatra VIII terdiri dari 8 guru wilangan dengan guru lagu a. Gatra IX terdiri dari 12 guru wilangan dengan guru lagu i, dan gatra terakhir atau yang X, terdiri dari 7 guru wilangan dengan guru lagu a.

Guna memperindah serta menyesuaikan dengan aturan baku jumlah suku kata dalam sesuatu baris, seorang pengarang seringkali harus menggabungkan dua kata menjadi satu atau mencari padanannya. Contohnya adalah bait keempat di atas,  baris ke 8 tertulis Bagendhali kuliting wang. Bagendhali adalah gabungan dua kata Bagendha atau baginda dan Ali, maksudnya adalah Khalifah Ali bin Abu Thalib. Tapi karena baris tersebut harus terdiri dari 8 suku kata, maka Bagendha Ali, digabung menjadi Bagendhali. Baris kedelapan ini terjemahannya adalah Baginda Ali menjadi kulit saya. Juga penggabungan Abubakar Ngumar, adalah untuk Khalifah Abubakar dan Khalifah Umar, guna memenuhi ketentuan guru wilangan sebanyak 12. Contoh lain lagi akan ditemukan di bait 6 baris ke 9 yaitu kata-kata  kinarya dus, adalah singkatan dari kinarya adus.

Masih di baris kedelapan, ada sejumlah sinonim untuk kata saya  dalam bahasa Jawa, antara lain ingsun, aku, mami dan wang. Tetapi mengingat guru lagu atau huruf hidup pada suku kata terkahir baris tersebut adalah a, maka dipilihlah kata wang yang kurang lazim dipakai sehari-hari dibanding kata ingsun, aku dan mami.

Menterjemahkan apalagi menafsirkan karya sastra puisi Jawa abad XV – XVI, meskipun oleh orang Jawa seperti penulis, ternyata tidak sesederhana yang semula saya bayangkan. Karena masa itu adalah masa peralihan besar kebudayaan yang ditandai dengan hidup bersamanya tiga bahasa Jawa, yaitu akhir dari Jawa Kuno, Jawa Tengahan dan awal dari Jawa Baru. Bahasa Jawa Baru yang masih berlaku sekarang pun sudah banyak berbeda dengan yang berlaku pada masa kanak-kanak saya tahun 1950-an. Sudah banyak kata-kata dan istilah Jawa Baru yang hilang digantikan oleh kata dan istilah bahasa daerah lain bahkan istilah bahasa asing. Apalagi kata-kata Jawa Kuno dan Jawa Tengahan, banyak yang tidak dimengerti oleh masyarakat sekarang.

Akan halnya kata linuwih untuk Nabi Ngisa (Isa) dan Patimah (Fatimah) serta singgih untuk Abubakar Ngumar (Abubakar dan Umar), tidaklah menggambarkan kelebihan dari keempatnya dibanding yang lain. Penambahan kata linuwih dan singgih dimaksudkan untuk memenuhi unsur guru wilangan dan guru lagu pada ke dua baris kalimat yang bersangkutan. Sedangkan penulisan Ngisa dan Patimah untuk Nabi Isa dan Fatimah, puteri Rasulullah Saw, serta Ngumar untuk Khalifah Umar, adalah kelaziman pengucapan pada masyarakat Jawa pada saat itu, bahkan di beberapa kalangan masyarakat masih berlangsung sampai sekarang. Seperti bila mereka mengucapkan Patekah untuk Fatihah, ngarokhmanirokhim untuk arrahmaanirrahiim.

Demikanlah, Sunan Kalijaga menceriterakan tentang sejarah Islam dan para nabi sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an, serta para sahabat dan keluarga Kanjeng Nabi Muhammad. Nama-nama mereka disebutkan seraya mengikuti pola pikir orang Jawa yang menyenangi cerita wayang, terutama tentang tokoh-tokoh sakti yang manjing, merasuk menyatu dalam jiwa raga seorang tokoh wayang yang lain, sehingga tokoh yang dirasuki menjadi sakti mandraguna.

Para Nabi dengan keutamaan masing-masing mulai dari Nabi Adam, Nabi Ibrahim yang merupakan bapak dari para nabi agama samawi, agama langit dan pencetus monoteisme, sampai ke Nabi Muhammad dan para sahabat serta keluarganya,  diperkenalkan melalui suatu tembang Dhandanggula yang indah memukau, kontemplatif meditatif bagai sebuah mantera sakti.

Bisa dibayangkan, pasti banyak pertanyaan dari masyarakat tentang hal-hal baru tersebut. Jika selama ini mereka hanya mengenal para dewa dan roh gaib sebagai sesembahan mereka, dengan Kidung Kawedar mereka diperkenalkan kepada sesembahan baru, yang tunggal lagi maha kuasa, yang para utusannya saja sudah sakti luar biasa.

Namun demikian, Kanjeng Sunan Kalijaga tidak langsung mengecam dan membuang nilai-nilai agama dan kepercayaan lama masyarakat, terutama yang sudah menjadi kebiasaan hidup sehari-hari. Beliau menyusupkan nilai-nilai baru ke dalam agama, kepercayaan, tatacara dan adat kebiasaan hidup yang sudah ada sebelumnya. Nilai-nilai lama, dibungkus selapis demi selapis, digeser sedikit demi sedikit. Dengan metode dakwah yang seperti itulah maka Nusantara khususnya pulau Jawa diislamkan, sehingga sekarang menjadi negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia.

Subhanallaah walhamdulillaah.

Senin, 27 Oktober 2014

Tafsir Kidung "Rumeksa Ing Wengi" Sunan Kalijaga (1): SULUK SEBAGAI MANTERA PENOLAK BALA

Beberapa waktu yang lalu, kita sudah membahas suluk-suluk awal abad ke 15 sampai dengan abad ke 16, yang merupakan suluk-suluk pembuka dakwah Islam. Suluk-suluk yang dikenal sebagai Suluk-Suluk Demak tersebut menjadi tonggak-tonggak awal tasawuf Jawa, dan menggambarkan era peralihan dari kepercayaan Syiwa Buddha ke Islam.

Kata suluk, berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti cara atau jalan. Tapi bisa juga berarti kelakuan atau tingkah laku. Dalam tasawuf, suluk berarti jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah Swt. Menurut buku Ensiklopedi Islam yang diterbitkan PT.Ichtiar Baru Van Hoeve – Jakarta, istilah suluk digunakan untuk suatu kegiatan tertentu oleh seseorang agar ia dapat mencapai suatu ihwal (keadaan mental) atau makam tertentu.

Para ulama yang dimotori oleh Walisanga yang berdakwah pada abad XV – XVI, mengenalkan agama Islam antara lain dengan cara menembang, bersenandung merdu aneka irama, mulai dari irama ceria yang ditujukan sebagai pengiring permainan anak-anak, irama menggelora pengobar semangat sampai irama sentimental menyertai ajaran-ajaran menyongsong kematian ke alam kelanggengan di haribaan Ilahi. Ajaran tembang-tembang islami itu diberi nama Suluk, sesuai tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa.

Mengenai era dan proses peralihan dari Syiwa Buddha ke Islam, sejumlah pengamat ada yang menyebut sebagai akulturisasi dan sebagian yang lain menyebut sinkretisme Islam – Jawa, yang bagaikan sebuah bawang, terdiri dari lapisan demi lapisan kulit. Agama dan kepercayaan lama, tidak dibuang, melainkan dibungkus pelan-pelan, selapis demi selapis bagaikan lapisan kulit bawang.

Dua suluk Demak yang paling kental nuansa peralihannya adalah suluk yang dipercaya sebagai karya Sunan Kalijaga, yakni Singgah-Singgah dan Kidung Kawedar (lihat tulisan kami: 1. Tonggak-tonggak Awal Tasawuf Jawa; 2.Suluk Sunan Kalijaga Yang Populer Sampai Sekarang; 3. Singgah-Singgah, Suluk Bernuansa Magis; 4. Sedulur Papat Lima Pancer).

Mulai seri ini, kita akan membahas lebih mendalam dan insya Allah lengkap, Suluk Kidung Kawedar yang terdiri dari 46 bait. Setiap seri akan mengulas sekitar dua sampai empat bait. Bagi para sahabat yang berminat membaca tulisan-tulisan sebelumnya, terutama tentang suluk-suluk Jawa, bisa membuka blog kami http://islamjawa.worpress.com atau langsung bertanya ke “eyang Google” dengan menuliskan beberapa kata kunci atau menuliskan judulnya ditambah nama tasawuf jawa atau b.wiwoho.

Kidung Kawedar dikenal memiliki berapa nama lain yaitu Kidung Sarira Ayu, sesuai dengan bunyi teks dalam bait ketiga, dan Kidung Rumekso Ing Wengi, sesuai bunyi teks di awal Kidung, sebagaimana kita lazim menyebut Surat Al Ikhlas dengan nama Surat Qulhu atau Surat Al Insyiraah dengan sebutan Surat Alam Nasyrah.

Dalam membahas bait demi bait, bagi yang bisa menembang macapat, silahkan dilakukan seraya mendendangkan dengan tembang Dhandanggula.

Bait 1:
Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputa ing lara,
luputa bilahi kabeh,
jim setan datan purun,
paneluhan tan ana wani,
miwah penggawe ala,
guna ning wong luput,
geni temahan tirta,
maling adoh tan wani ngarah ing mami,
tuju duduk pan sirna.

Artinya:
Ada tembang pujian menjaga di kala malam,
membuat kita selamat dan jauh dari segala penyakit,
terbebas dari segala mara bahaya,
jin dan setan tidak berani,
guna-guna atau teluh tidak mempan,
juga perbuatan buruk,
dari orang-orang jahat,
api menjadi dingin bagaikan air,
pencuri menjauh tiada yang berani mengincar saya,
segala mara bahaya sirna.

Bait 2:
Sakehing lara pan samya bali,
sakeh ama pan samya mirunda,
welas asih pandulune,
sakehing braja luput,
kadi kapuk tiba neng wesi,
sakehing weisa tawa,
sato galak lulut,
kayu aeng lemah sangar,
songing landak guwaning wong lemah miring,
myang pakiponing merak.

Artinya:
Segala jenis penyakit akan kembali,
semua jenis hama menyingkir,
matanya memancarkan kasih sayang,
semua senjata atau ajian tidak ada yang bisa mengenainya,
bagai kapuk yang jatuh ke besi,
segenap racun menjadi tawar,
binatang-binatang buas menjadi jinak,
pepohonan yang aneh (karena penuh daya magis) dan tanah angker,
sarang landak goa tempat tinggal tanah miring,
serta sarang tempat burung merak mendekam.

Bait 3:
Pagupakaning warak sakalir,
yen winaca ing segara asat,
temahan rahayu kabeh,
sarwo sarira ayu,
ingideran ing widodari,
rineksa malaekat,
sakathahing rosul,
pan dadyo sarira tunggal,
ati Adam utekku Baginda Esis,
pangucapku ya Musa.

Artinya:
Di tempat badak berkubang,
maupun jika dibaca di lautan bisa membuat air laut surut,
membuat kita semua selamat sejahtera,
diri kita menjadi serba cantik (elok),
di kelilingi para bidadari,
dijaga oleh para malaikat,
dan semua rasul,
pada hakekatnya sudah menyatu dalam diri kita,
di hati kita ada Nabi Adam, di otak kita ada Baginda Sis,
jika berucap bagaikan ucapan Nabi Musa.

Sampai sekarang sebagian masyarakat Indonesia termasuk suku Jawa, masih percaya dan menyenangi hal-hal gaib. Secara sederhana hal itu bisa dilihat dari bertahannya kehadiran sejumlah media massa seperti majalah, tabloid bahkan acara-acara televisi yang menayangkan hal-hal gaib. Lebih-lebih lagi suasana kehidupan masa kecil saya di daerah Pantura (Pantai Utara) Jawa Tengah – Jawa Timur periode 1950 – 1960-an.

Hampir setiap hari pembicaraan kami kanak-kanak, tidak pernah tanpa bicara masalah makhluk halus, kesaktian dan kanuragan, Gusti Allah serta masalah-masalah gaib dan supranatural. Ada saja yang dibicarakan mengenai sepak terjang belasan jenis makhluk halus. Ada yang disebut gendruwo, wewe, banaspati, jrangkong, hantu pocong, glundung pecengis, lampor, sundel bolong dan lain-lain.

Setiap pohon beringin atau pohon-pohon besar berusia puluhan bahkan ratusan tahun serta tempat-tempat angker yang belum disentuh dan diolah manusia, dipercaya dihuni makhluk halus. Padahal pohon dan tempat seperti itu pada masa itu banyak sekali dan hampir ada di setiap pekarangan rumah. Penduduk masih jarang dan hunian tidak sepadat sekarang. Jarak satu rumah dengan yang lain lebar-lebar. Kebun dan halaman rumah luas-luas, bisa ribuan meter persegi sehingga banyak yang belum terolah dan menjadi semak belukar atau berupa rumpun bambu. Demikian pula pepohonannya yang tumbuh alami dari biji, berbatang besar-besar lagi tinggi, jauh lebih besar dari pelukan pemiliknya.

Sementara listrik belum masuk desa, belum ada radio, televisi, apalagi telpon. Jalan-jalan desa masih berupa jalan tanah dan jumlah mobil di setiap kabupaten bisa dihitung dengan jari. Jadi bisa dibayangkan, sunyi sepinya suasana sehari-hari, lebih-lebih bila hari sudah mulai gelap.

Di tengah kesunyian itulah kami bermain aneka permainan tradisional termasuk permainan mengundang ruh halus yang disebut jaelangkung dan jaelangsih. Kami juga harus belajar silat untuk bekal membela diri jika bepergian, mempelajari ilmu kesaktian dan kanuragan, tenaga dalam serta berbagai olah batin agar bisa selamat lagi berjaya dalam kehidupan.

Itu adalah gambaran suasana pertengahan abad XX. Bisa dibayangkan betapa lebih sunyi dan seramnya suasana abad XV – XVI dengan hutan belantara di mana-mana, suasana serta kehidupan di zaman peralihan dari Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak, tatkala agama Islam baru mulai disebarkan ke penduduk Jawa yang menganut agama Syiwa-Buddha dan percaya bahkan banyak yang memuja ruh-ruh halus. Maka topik pembicaraan apa yang paling menarik untuk disampaikan jikalau bukan tentang bagaimana menghadapi godaan makhluk halus, menangkal ilmu hitam, memperoleh kesaktian serta menundukkan kawasan-kawasan angker dan keramat demi kesejahteraan hidup.

Dengan daya tarik itulah Sunan Kalijaga memulai Suluk Kidung Kawedar sebagaimana 3 (tiga) bait di atas. Kanjeng Sunan Kali, demikian panggilan kehormatan beliau, langsung menawarkan mantera pelindung kehidupan, yang mampu menjaga siapa yang membaca dan yang mempercayainya dari segala marabahaya, serta bisa membuat hidup menjadi sejahtara.

Bait pertama menggambarkan kehebatan tembang pujian, yang enak didengar namun sekaligus sakti mandera guna, yang menjaga kita di malam hari, yang melindungi kita dari segala macam penyakit dan hal-hal buruk, melindungi dari gangguan jin dan setan, menangkal ilmu hitam dan segala hal yang buruk yang mau mencelakai kita, sampai-sampai diibaratkan bisa mengubah api yang panas menjadi air nan sejuk bila menghampiri kita, seperti kisah Kanjeng Nabi Ibrahim ketika dibakar. Demikian pula para pencuri menjauh, tidak ada yang berani mengganggu hak milik kita.

Bait kedua masih menggambarkan kehebatan kidung mantera ini. Hama dan penyakit menyingkir, karena siapa pun makhluk Allah yang melihat kita menjadi iba dan menaruh kasih sayang. Pun segala ilmu kesaktian, tiada yang bisa mencelakai kita, lantaran akan bagai kapuk yang sangat ringan lagi lembut, jatuh ke atas besi yang keras lagi kuat. Semua racun menjadi tawar, semua binatang buas menjadi jinak. Segala jenis tumbuh-tumbuhan, pohon, kayu, tanah sangar atau angker serta sarang-sarang binatang yang dilindungi aura gaib, tiada perlu ditakuti lagi.

Bait ketiga masih diawali dengan pameran kekuatan sang kidung yang luar biasa bak bisa membuat air lautan menjadi asat atau mengering, yang dilanjutkan dengan iming-iming, pesona gambaran kehidupan serba nyaman dan selamat sejahtera. Kepada masyarakat Jawa yang percaya akan adanya para dewa dengan para bidadarinya, Sunan Kalijaga mulai memasukkan daya tarik dan istilah-istilah baru secara lepas-lepas, yakni butir-butir ajaran Islam.

Siapa yang percaya kidung ini, kehidupannya akan dikelilingi oleh para bidadari, akan dijaga oleh para malaikat dan rosul yang bahkan telah menyatu pada diri kita. Nabi Adam akan manjing, merasuk ke dalam batin kita. Nabi Sis berada di otak sedangkan Nabi Musa di tuturkata kita. Malaikat, rasul, Adam, Sis dan Musa adalah hal-hal baru bagi orang-orang Jawa baik yang animis, mempercayai ruh leluhur, makhluk gaib mau pun yang Syiwa-Buddha. Hal-hal baru itulah yang sesungguhnya menjadi inti kekuatan kidung mantera pujian ini.

Subhanallaah.

Sabtu, 11 Oktober 2014

Kotagede (7) : Dilema dan Masa Depan Kotagede.



Dilema dan Masa Depan Kotagede.

Sebagaimana daerah-daerah yang memiliki potensi wisata dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang tinggi, masa depan Kotagede menghadapi dilema, sementara itu baik pemerintah pusat maupun daerah seperti kehabisan akal, terlanjur manja dengan hasil boom kayu, batubara, kelapa sawit, minyak dan gas bumi serta hutang luar negeri. Padahal potensi wisata Nusantara sebagai penghasil devisa sangat besar. Namun untuk untuk mengubah potensi menjadi  sumber kesejahteraan masyarakat dan penghasil devisa yang senyatanya,  dibutuhkan budi dan daya yang tinggi.

Sementara itu perjalanan peradaban dan perkembangan jumlah penduduk yang pesat, bagaikan raksasa yang rakus, siap memangsa apa saja. Demikianlah, Kotagede sekarang cenderung menjadi kampung padat yang sebagaima



na lazimnya, cenderung menuju kumuh serta  rawan kebakaran. Bersyukur, dewasa ini ada kelompok-kelompok masyarakat yang menyadari kecenderungan tersebut dan tengah berusaha mengatasinya.

Kehidupan Kotagede yang orisinal harus dipertahankan, namun masyarakatnya harus pandai dan cepat menata diri mengantisipasi perkembangan zaman. Kuncinya adalah bagaimana menyongsong masa depan yang terus berubah, tanpa merusak masa lalu. Rumah-rumah adat yang kosong misalkan, alangkah indahnya bila difungsikan sebagai rumah-rumah penginapan dan rumah makan yang dapat membawa para tamunya bernostalgia ke Kotagede masa silam, periode demi periode. Merasa hidup dan bersenang-senang dalam suasana masa lalu yang unik dan berbeda dengan zaman globalisasi yang hingar bingar sekarang ini. Tentu membutuhkan sedikit sentuhan baru terutama di bagian-bagian kamar tidur dan kamar mandi, agar nyaman bagi para turis.

Setidaknya, suatu kawasan tertentu bisa dikembalikan bagaikan suasana kehidupan tempo dulu, misalkan pada suasana tahun 1926, tatakala Hubertus Johannes van Mook muda mengunjungi Kotagede. Tanpa bunyi bising dan asap kendaraan bermotor, kecuali derap tapak kaki kuda. Orang-orang yang tinggal dan masuk ke kawasan tersebut wajib  mengenakan busana adat. Di beberapa tempat ada penjual makanan khas seperti  kue kipo, sate sapi, sate klathak, wedang ronde dan lain-lain yang disajikan dalam angkring-angkring pikulan. Para wisatawan juga bisa belajar kesenian Jawa serta ikut belajar membuat kerajinan perak. Semuanya di tata dalam kemasan Kotagede Tempo Dulu.


Kawasan nostalgia seperti itu insya Allah akan mengundang para wisatawan mancanegara maupun nusantara untuk betah berlama-lama di Kotagede, dan itu berarti pengembangan sosial ekonomi berkelanjutan yang berdampak luas pada penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat. Semoga.

B. Wiwoho


Sabtu, 04 Oktober 2014

Kotagede (6): Orang Kotagede Tidak Boleh Meninggalkan Kejawaannya






Kotagede memang menarik sebagai bahan kajian sejarah, terutama mengapa bisa tetap bertahan dan tidak lenyap ditelan zaman. Peralihan kekuasaan secara alami, dan perpindahan ibokota kerajaan secara damai, mungkin merupakan penyebab utamanya. Kedua, peralihan fungsi dari pusat kekuasaan menjadi pusat perdagangan, pusat kebudayaan dan pusat pemujaan rohani. Ketiga, adanya ketentuan di masa lalu yang menetapkan keturunan Eropa dan Timur Asing tidak boleh bermukim di Kotagede, menyebabkan masyarakat Kotagede relatif homogen, karena menjadi kota hanya untuk orang Jawa. Pasca kemerdekaan, ketentuan hanya untuk orang Jawa ini meluas kepada orang Indonesia pribumi muslim. Apakah keadaan seperti itu masih bertahan sampai sekarang, sulit menjawabnya. Beberapa rumah adat yang indah-indah dalam kenyataannya telah berpindah tangan. Siapakah yang dapat menjamin pembeli yang sebenarnya sungguh-sunguh pribumi muslim, apalagi Jawa?

Penyebab keempat seperti dikemukakan cendekiawan muda Charris Zubair, ada paradoksalitas gerakan di Kotagede yang dipegang teguh, yaitu orang Islam Kotagede tidak boleh meninggalkan Kejawaannya, sedangkan orang Jawa harus Islam.

Tetapi apa yang saya kemukakan ini hanyalah pandangan sepintas seorang wartawan, bukan sejarawan. Lebih lanjut, penyebab-penyebab tadi membuat Kotagede menapaki perjalanan sejarahnya tahap demi tahap. Dari semula hanya merupakan sebuah hutan yang bernama Mentaok, berubah menjadi ibukota kerajaan Dinasti Mataram II atau Kerajaan Islam Mataram. Dinasti Mataram I adalah Kerajaan Hindu-Budha yang meninggalkan berbagai candi megah di sekitar Yogyakarta.

Periode berikutnya adalah puncak kekuasaan Mataram, tatkala Sultan Agung naik tahta tahun 1613. Segera ia memindahkan ibukota kerajaan ke Kerta, sekitar 7 km dari Kotagede. Selanjutnya Kotagede justru tumbuh menjadi pusat kegiatan ekonomi termasuk industri kerajinan. Pada periode inilah mulai berdiri rumah-rumah adat para pengusaha.

Masa perang Diponegoro di Yogyakarta tahun 1825-1830, Belanda mencegah memperluas peperangan dengan Keraton Kasunanan Surakarta dengan menetapkan Kotagede sebagai daerah aman. Ini mendorong sejumlah besar pengrajin dan  pedagang, juga sebagian pengikut Pangeran Diponegoro, pindah dari Yogya ke Kotagede. Bersamaan dengan itu di Jawa berkembang perkebunan-perkebunan besar antara lain tebu, juga transportasi kereta api. Sementara itu jumlah penduduk Jawa diperkirakan meningkat empat kali lipat. Akibatnya Kotagede tumbuh semakin semarak. Dalam periode panjang sampai dengan awal abad 20, banyak dibangun rumah-rumah baru, diantaranya yang dikenal sebagai kawasan “Between two gates”.

Periode awal 1900-an sampai menjelang revolusi kemerdekaan, Kotagede telah menjadi pusat industri dan perdagangan kain katun, batik, perak, emas dan intan yang terbesar di Hindia Belanda (Indonesia di masa penjajahan). Dalam periode ini ada sekelompok masyarakat yang hidup secara eksklusif dan memiliki semangat kewirausahaan tinggi, yang disebut sebagai orangorang Kalang, memperoleh keuntungan besar dari moneterisasi ekonomi pedesaan dan peningkatan transportasi. Mereka membangun puluhan rumah mewah bergaya Eropa serta hidup mewah secara mencolok sehingga menimbulkan kecemburuan sosial. Apa lacur, begitu pecah revolusi kemerdekaan, banyak dari rumah dan kekayaan mereka yang dijarah masyarakat.

Pasca kemerdekaan, banyak usaha-usaha lama yang terputus karena anak-anak muda masuk ke perguruan tinggi, kemudian mencari pekerjaan sebagai dosen atau pegawai negeri. Menurut pengamatan M. Natsier, pada dasawarsa 1980-an ketika lapangan pekerjaan mulai susah, banyak diantara anak-anak muda Kotagede yang kembali terjun ke bisnis. Inilah generasi pengusaha baru yang kini kembali mengangkat pamor Kotagede, khususnya sebagai pusat kerajinan perak. Namun demikian, industri batik dan kerajinan penyu serta tembaga terlanjur hilang, sedangkan kerajinan tanduk tinggal dua pengrajin.