Selasa, 06 November 2018

Wirid Hidayat Jati (3): Mencari Hakikat Dalam Adonan Aneka Faham


Sebelum kita menukik lebih tajam, masuk lebih jauh lagi dalam mempelajari Wirid Hidayat Jati, marilah kita renungkan dan segarkan beberapa hal yang telah kita bahas dalam dua kajian sebelumnya.

Pertama, ada dua pendekatan yang bisa kita lakukan untuk mengaji Serat Wirit Hidayat Jati, selanjutnya saya singkat WHJ, yakni pendekatan hakikat dan pendekatan kajian ilmiah yang berbasis konseptualisasi, operasionalisasi dan observasi dengan dukungan kepustakaan yang kuat.
Pendekatan hakikat mengikuti kaidah-kaidah tasawuf yang terdiri dari tiga pokok ajaran: (1) bulat hati kepada Gusti Allah, (2) tekun ibadah, (3) berpaling dari godaan pesona dunia atau tidak cenderung pada kemewahan dan pesona dunia. Satu hal lagi yang juga sering menjadi pegangan para salik atau pembelajar tasawuf adalah pengalaman dan testimoni dari guru pembimbing atau mursyidnya. Sebagai contoh adalah  tambahan kata Gusti di depan asma Allah, yang akan kita bahas dalam wejangan WHJ selanjutnya tentang Sasahidan atau Syahadat, insya Allah.

Kita telah sepakat, dalam majelis Ngaji Suluk ini memilih pendekatan hakikat yang substantif, namun juga tidak sama sekali meninggalkan  referensi kepustakaan. Sebagai contoh, disamping kita wajib memegang teguh dan mendasarkan kajian pada Al Qur’an dan hadis, juga perlu melihat ajaran-ajaran para Wali Songo yang dijadikan sumber ajaran dari WHJ, khususnya guru serta pemuka para wali yakni Sunan Bonang dan muridnya, yaitu Sunan Kalijaga. Dari Sunan Bonang kita bisa mempelajari karya-karyanya seperti Suluk Gentur atau Suluk Bentur, Gita Suluk Lastri, Suluk Khalifah, Suluk Jebeng dan terutama Suluk Wujil. Sedangkan dari Sunan Kalijaga kita bisa mempelajari Suluk Kidung Kawedar dan Suluk Singgah-Singgah.
                                                                                                     
Berdasarkan susunan kalimatnya, serat atau karya-karya sastra tasawuf Jawa, dibedakan dalam dua jenis, yakni sastra suluk yang disajikan dalam bentuk tembang mocopat nan puitis, serta sastra wirid yang berupa prosa. Secara maknawi, sebetulnya keduanya disebut sastra suluk yang berarti karya sastra untuk membimbing pembacanya menapaki jalan menuju Tuhan.
Sebagai prosa, WHJ dengan mudah bisa mencantumkan sumber-sumber referensi ajarannya yaitu Hidayat Khakaik (Hidayatul Haqaiq), Dakaik Kalkaik (Daqaiq al-Haqaiq), Bayan Alip, Madinil Asror dan Madinil Malum. Sedangkan sastra suluk yang puitis berupa tembang mocopat tidak demikian halnya. Namun dari isinya kita bisa mengetahui misalkan, kesamaan faham ajaran dari suluk-suluk Sunan Bonang  dengan berbagai ajaran Imam Al Ghazali dan Al-Hikamnya Imam Athaillah Askandary.

Secara lebih khusus pula, dalam mengaji WHJ seyogyanya juga mengaji karya-karya pengarangnya (Ranggawarsita) yang sejenis atau membahas masalah yang kuranglebih sama, seperti Suluk Saloka Jiwa, Suluk Pamoring Kawula  Gusti dan Suluk Sukma Lelana, serta Serat Paramayoga dan Serat Jitapsara. Bagi yang kesulitan membaca dan mengartikan naskah-naskah aslinya, bisa membaca pendapat Prof.Dr.Simuh dalam buku Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita (penerbit UI-Press 1988).

Kedua, dalam banyak tulisan saya mengenai penyebaran Islam di Pulau Jawa, baik yang di blog, media massa maupun buku-buku, ada dua hal yang sering saya singgung yaitu perihal ruh dan pertemuan Islam dengan peradaban Jawa.

Agar tidak menyeruak ke sana-sini tanpa manafaat, apalagi berdebat tanpa putus, saya mengajak berpegang pada Surat Al-Isra’ ayat 85: “Dan mereka bertanya kepada engkau tentang ruh. Katakanlah, ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah diberikan kepada kamu ilmu mengenainya melainkan sedikit.”
Beberapa ayat Qur’an lainnya yang juga menjelaskan soal ruh adalah :
                                                                                                 
Al-Araaf (7:172) tentang perjanjian Allah Swt dengan ruh.
·        As-Sajdah (32:9) tentang peniupan ruh ke dalam janin manusia.
·        Az-Zumar (39:42) tentang pemeliharaan ruh oleh Tuhan.
·        Al-Jumu’ah (62:7-8) tentang kematian.

Dari ayat-ayat di atas kita dapat merumuskan sebuah uraian tentang ruh sebagai berikut: “Allah meniupkan ruh ciptaan-Nya ke dalam tubuh manusia ketika masih dalam kandungan. Allah mengambil kesaksian atau membuat perjanjian dengan ruh tersebut tentang keesaan Allah, dan Allah mengilhami jiwa tersebut dengan kefasiqan, dan Allah mengujinya dengan kebaikan dan keburukan; dan tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Allah memegang jiwa atau ruh manusia  tatkala tidur dan ketika mati. Dan apabila Allah mengambil nyawa atau ruh seseorang, tak seorang pun yang dapat mengembalikan pada tempatnya. Pada hari kiamat jiwa manusia  akan mengetahui apa yang diperbuatnya sewaktu di dunia dan Allah akan menyempurnakan pahala-Nya sesuai dengan amalnya sendiri-sendiri, tidaklah dirugikan sedikit pun dan tidak pula dianiaya.”

Kita semua sependapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu ruh dan tubuh. Tetapi mengenai ruh dan jiwa sulit dipisahkan dan dibedakan. Meskipun demikian, sebagian pengikut tasawuf membedakan ruh dengan jiwa. Sebab jiwa itu merupakan perpaduan antara ruh dengan tubuh, dengan jasad lahir. Jadi jiwa adalah kesatuan ruh dengan jasad.

Perihal pertemuan serta interaksi antara Islam dan peradaban Jawa, saya gambarkan berlangsung secara damai dan indah dengan melalui pendekatan budaya. Nilai-nilai Islami menyusup masuk ke dalam budaya dan adat istiadat Jawa, menggeser setapak demi setapak, membungkus selapis demi selapis semakin tebal bagaikan kulit bawang.

Ulama-ulama abad permulaan Islam di Jawa, dengan hebat  dan berani telah melakukan interpretasi dan transformasi ruh Islam ke dalam bahasa dan budaya Jawa, membentuk peradaban baru, peradaban Jawa yang bernafaskan Islam.

Para ulama melakukan revolusi kebudayaan yang menyeluruh. Segenap sendi kehidupan masyarakat disusupi ruh Islam. Secara sadar mereka tidak membuat syariat-syariat baru, melainkan memanfaatkan dan mendayagunakan tradisi serta agenda kegiatan masyarakat yang sudah ada. Suatu metode komunikasi massa yang hebat, yang bahkan para ahli komunikasi massa modern banyak yang kurang memahami dan tidak memanfaatkan secara baik.

Prosesi-prosesi terutama yang mengiringi perjalanan kehidupan manusia dari semenjak lahir sampai meninggal tetap dipertahankan dengan diberi ruh Islam, dan dijadikan sebagai sekedar adat serta tradisi, dan bukan syariat. Sesaji-sesaji diubah niat, maksud dan tujuannya menjadi sedekah. Peristiwa-peristiwa yang bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan orang banyak didorong dan dimanfaatkan sebagai wahana dakwah dan silaturahmi. Kesenian-kesenian asli dikembangkan sehingga lahirlah wayang kulit nan indah dengan lakon-lakon khas yang Islami. Demikian pula gamelan, perangkatnya dilengkapi dan diciptakan gending-gending serta irama baru, yakni tembang mocopat nan indah khas Jawa sebagaimana kita kenal sampai sekarang.

Tentu tidak semuanya menjadi sempurna, apalagi jika ditinjau dari kondisi sekarang. Misalkan saja campur aduk antara Dewa-Dewa dalam agama Hindu dengan manusia bahkan Nabi, serta antara manusia dengan tokoh wayang yang merupakan ciptaan manusia, kecuali nanti terbukti apa yang diduga oleh penulis Swis Erich von Daniken yang menyatakan bahwa perang Baratayudha itu sesungguhnya ada.

Peluang Multi Tafsir.

Namun demikian semua itu tidak terjadi seketika dan langsung sempurna.
Perlu waktu dan ada juga kekurangan-kekurangan yang harus disempurnakan sambil jalan, yang disebabkan antara lain oleh dua hal. Pertama, sikap kehati-hatian sehingga proses dakwah berlangsung menyusup halus, menggeser setapak demi setapak dan membungkus selapis demi selapis. Kedua, budaya dan media tulis apalagi cetak belum berkembang seperti sekarang, sehingga materi dakwah banyak yang dibawa serta diungkapkan secara lesan dan dikenal sebagai budaya tutur.  Materi dakwah pada umumnya disampaikan dari mulut ke mulut secara berantai dan turun-temurun, dengan akibat bisa berkurang atau bertambah dari aslinya.
 
Kedua hal itu membuka peluang timbulnya multi tafsir terutama pada masalah-masalah yang samar dan dianggap masih kurang lengkap oleh masyarakat Jawa yang sudah berperadaban cukup tinggi, yang pada saat itu sudah memiliki pengetahuan tentang kepercayaan dan agama lain khususnya Syiwa-Buddha. Materi ajaran yang banyak mengundang munculnya aneka penafsiran antara lain adalah yang bersinggungan dengan kehidupan spiritual dan meditasi, masalah ruh, ketuhanan dan rincian hidup, kebetulan semua itu ada di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, terutama mulai dari Wejangan Kedua sampai dengan Kedelapan.

Aneka tafsir, metode gothak-gathik-gathuk ala Jawa dan spekulasi yang bersifat kebatinan, mistik, spiritual bahkan klenik juga terjadi di sejumlah ajaran yang diuraikan dalam berbagai serat dan suluk. Uniknya, tafsir mistis dan klenik sesuai syahwat politik partisan, berkembang pula di zaman milenia sekarang ini, yang tidak jarang pengutipannya menyimpang dari teks asli.
Akan halnya masalah-masalah yang samar, Prof Simuh mengutip pendapat ahli sejarah dan kebudayaan Prof.Poerbatjaraka sebagai berikut : “ Rupa-rupanya sudah menjadi adat dalam golongan klenik (ilmu kebatinan). Kaum klenik itu jika bersua dengan ‘kitab klenik’ yang samar-samar artinya malahan dianggap sangat indah dan murni. Bagi orang yang bukan ahli klenik, apalagi orang yang suka akan hal-hal yang nyata dan terang, apabila membaca kitab yang demikian, maka kesallah hatinya.”
 
Menurut Prof Simuh, dalam WHJ juga banyak istilah dan ungkapan yang samar ditafsirkan dengan pengertian yang menyimpang. Misalkan :”ajaran Islam yang tafsirannya sengaja disesuaikan dengan pemahaman secara kejawen. Dalam Wirid Hidayat Jati diterangkan, ‘iya sajatine kang aran Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun.” (halaman 31 – 32).

Ketiga, satu pemahaman hakikat yang disepakati oleh para penganut tasawuf Jawa, baik yang mengikuti faham manunggaling kawula Gusti versi al Halaj (dan Syeh Siti Jenar) maupun yang bukan, yaitu Gusti Allah Yang Maha Suci itu adalah Maha Hidup (Urip), yang menghidupkan hamba-hamba dan makhlukNya (Kang Gawe Urip), serta yang mengatur kehidupan hamba-hambaNYa (Kang Nguripi). Keyakinan akan ketiga hal tentang hidup ini harus ditanamkan secara kuat pada diri kita, membentuk sikap dan perilaku yang tawakal (berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah dalam segala hal) dan tawadhu (rendah hati).

Maka manusia hidup harus rendah hati, jangan sombong, jangan angkuh dan jangan takabur, karena hidup dan kehidupan atau jalan hidup kita itu sangat tergantung pada Yang Mahahidup. Kita sungguh tidak tahu kapan dan bagaimana Yang Mahahidup akan menghentikan hidup kita; kapan hendak mencabut semua milik mulai dari kesehatan yang kita banggakan, kepandaian yang kita sombongkan, harta benda serta kekuasaan yang kita pamerkan dan sebagainya. Semua bisa terjadi dan berlangsung dalam sekejab.

Betapa luar biasa kekuasaan Dzat Allah tersebut, sehingga dalam banyak doa dan sabdanya, Kanjeng Nabi Muhammad sering mengawali dengan kalimat seperti: “ Demi Dzat yang jiwaku senantiasa dalam genggaman-Nya”, atau “Demi Dzat yang membolak-balikkan hati”, atau "Demi Dzat yang Maha Pengasih” dan lain-lain. Semuanya menggambarkan betapa seluruh nasib, kehidupan dan jiwa raga kita senantiasa di dalam genggaman kekuasan Gusti Allah.

Oleh sebab itu maka kita harus senantiasa berserah diri sekaligus bergantung kepada Yang Menghidupkan dan Menghidupi kita, dengan usaha atau ikhtiar yang sesuai dengan aturan-aturan dari Yang Mahahidup, senantiasa berdoa memohon perkenan, perlindungan dan pertolongan-Nya, serta meniatkannya demi bekal ibadah dan amal saleh. Yang Mahahidup dengan kuasa dan kehendak-Nya akan menghidupi serta mengatur kehidupan kita sesuai persepsi atau persangkaan kita kepada-Nya. Dalam rangka itu kita diijinkan membulatkan cipta dan karsa kita, mengungkapkan cita-cita dan keinginan kepada-Nya. Sesudah itu selanjutnya, berserah diri akan kuasa dan kehendak-Nya.

Demi menggalang penghayatan yang seperti itu, kita dianjurkan untuk membiasakan pada setiap saat dalam berbagai keadaan dan di mana pun berada, berzikir menyebut setidaknya dua asma Allah yakni Yaa Hayyu Yaa Qayyuum  (Yang Mahahidup – Yang Mahaberdiri Dengan Sendiri-Nya), dengan segenap pemahaman, keyakinan dan penghayatan sebagaimana uraian di atas. Yakinilah, “hasbunallah wa nikmal wakil,” cukuplah Allah yang menjadi penolong kita. Inilah maqam mulia yang diidamkan para salik, yang bersuluk mengenal Gusti Allah dengan sebenar-benarnya mengenal. Allahumma aamiin.

Keempat, seperti halnya mengaji sastra suluk dan serat wirid lainnya, mengaji serat WHJ sama dengan mempelajari tasawuf. Oleh sebab itu  sebelum mempelajari lebih dalam khususnya yang ingin memahami dan mengamalkan hakikatnya, hendaklah terlebih dulu mempelajari dasar-dasar serta pemahaman yang baku dan berlaku umum tentang tasawuf dan tarekat antara lain maknanya, adab pergaulannya, pengertian tentang uzlah, zuhud, wara, berzikir, mengatasi berbagai penyakit hati, takhali, tahalli dan tajali.

Belajar tasawuf menurut Prof K.H.Ali Yafie (buku Bertaswuf di Zaman Edan), bagaikan masuk ke rumah sakit atau masuk ke salon kecantikan jiwa. Bila diibaratkan masuk ke rumah sakit, seorang salik, bagaikan      
pasien yang  harus terlebih dulu melakukan pemeriksaan menyeluruh atau check-up. Dalam bahasa tasawuf ini disebut tahliil al-qalb atau tahliil an-nafs. Setelah itu ditentukan terapinya yang disebut  dawaa’ al-qalb atau dawaa’ amraadhh al-qalb. Proses terapi ini disebut pelatihan atau riyaadah antara lain berpuasa dan melakukan wirid, yakni melatih berzikir secara istiqomah.

Jika diibaratkan masuk ke  salon kecantikan, maka kita mengenal tahapan awal yang berupa pembersihkan wajah dari berbagai kotoran termasuk debu-debu kehidupan. Sesudah bersih, tahap berikutnya adalah membuat pondasi tata rias, baru sesudah itu dilakukan tata rias seperti bedak, celak mata, merapikan alis dan bulu mata, bayangan hidung, pemerah bibir dan lain sebagainya.

Tahap awal lazim disebut takhalli atau pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela. Tahap kedua disebut  tahalli atau mengisi kembali dengan sifat-sifat terpuji. Hasil kedua tahapan ini adalah tajalli, yaitu manusia baru dengan wajah batin yang indah dan sempurna, yang mampu meresapi rasa ketuhanan dan memiliki sifat, moral serta perilaku mulai sebagaimana diajarkan dalam asmaul husna. Apakah kita sudah menjalaninya, atau sudah siapkah kita menjalaninya?

Kelima, untuk mempelajari tasawuf ataupun ilmu batin, termasuk halnya WHJ ini, Ranggawarsita dalam Suluk Pamoring Kawula-Gusti  berpesan melalui tembang Dandanggula bait 7, 8 dan 9 bahwa seorang murid harus sabar, tekun, tidak boleh terburu-buru apalagi sangat bernafsu untuk segera bisa berhasil.

Selanjutnya dalam bait-bait yang lain, Ranggawarsita berpesan kepada guru agar dalam menyampaikan ajaran, berikanlah semua yang kita ketahui, namun harus secara bertahap, sesuai dengan tingkatan murid masing-masing. Sedangkan kepada para murid hendaknya berlatih pula bertapa dalam tujuh jenis dan tingkatan. Mempelajari ilmu batin haruslah dengan tatacara yang tepat, sebab apabila tidak kita justru bisa tersesat ke alam para demit dan jin. Naudzubillah.
                                                                                                   
Semoga dengan ridho, rahmat dan berhkahNya, kita dimasukkan ke dalam golongan hamba-hambaNya yang mengenalNya, dengan sebenar-benarnya mengenal. Aamiin.

(B.Wiwoho).

Suluk Hamemayu
(Hamemayu Hayuning Bawono).

Bahan Ngaji Suluk di Sanggar Suluk Nusantara, Beji – Depok, Minggu Legi 28 Oktober 2018 atau 18 Sapar 1952 Saka atau 18 Safar 1440H.
                                                             

















                                                                                                    .9.