Jumat, 19 Oktober 2012

MENANAM POHON SAMADENGAN SEDEKAH SEPANJANG ZAMAN


Terhadap tumbuh-tumbuhan, cobalah hitung berapa banyak yang telah Anda makan, yang Anda konsumsi? Berapa puluh pohon telah ditebang untuk membangun rumah dan kantor Anda? Untuk hotel dan restoran yang pernah Anda singgahi? Di lain pihak bandingkan seberapa banyak pohon yang telah Anda ta¬nam, jangan-jangan sebatang pohon

pun belum pernah.
 
K.H. Abdurrahman Arroisi, mengisahkan dalam buku “30 Kisah Teladan”, tentang keprihatinan seorang sufi, Ibrahim bin Adham, terhadap kerusakan yang terjadi di muka bumi dan lautan akibat ulah manusia yang tidak bertanggungjawab.
Sang Wali terpana dengan Surat An-Nahl (16:112), “Dan Allah memberikan gambaran tentang sebuah negeri yang tadinya aman tenteram. Rezeki datang melimpah dari segala jurusan. Akan tetapi, mereka kemudian menganiaya kurnia Allah itu. Maka ditimpa¬kan atas mereka selubung kelaparan dan ketakutan sebagai akibat perbuatan mereka sendiri.”
 
Semenjak gaung firman Allah ini bergema di dadanya, Sang Wali yang pada mulanya adalah seorag raja, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan berkebun. Ia berakrab-akrab dengan alam, sebab bila alam tidak disantuni dengan penuh kearifan, pasti akan menyebabkan timbulnya ketimpangan dan kebinasaan. Oleh karena itu dengan dalih apa pun, merusak dan menyia-nyiakan alam adalah kelaliman yang sangat dikutuk.
 
Sehubungan dengan itu, menjelang keberangkatan tentaranya menuju perang Mu’tah, Baginda Rasul berpesan antara lain, “Janganlah mengganggu penduduk yang tidak bersalah, lindungilah kaum wanita, jangan mem¬bunuh anak-anak dan orang sakit. Jangan membong¬kar atau merusak rumah-rumah penduduk atau bangunan-bangunan umum, jangan merusak mata pencaharian rakyat musuh, dan jangan pula merusak buah-buahan, dedaunan serta hasil pertanian, jangan menebang pohon kurma atau kayu-kayuan dan pohon-pohon lain.”
Kanjeng Nabi juga pernah bersabda, “Andaikata hari kiamat besok pagi tiba, sedangkan di tanganmu tergenggam sebutir bibit kurma, apakah yang harus kamu lakukan? Membuangnya sia-sia karena putus asa? Tidak. Kamu teruskan menanam bibit kurma itu, sebab bagaimanapun, bagimu telah tersedia pahala untuk menanamnya.”
 
Muslim meriwayatkan beberapa hadis yang menyatakan bahwa seseorang yang menanam pohon atau tumbuh-tumbuhan akan terus memperoleh pahala sedekah, setiap ada makhluk, baik manusia maupun binatang yang memakan sesuatu dari tumbuh-tumbuhan atau pohon tersebut.
 
Demikian wahai anak-anakku, tumbuh-tumbuhan sebagai makhluk Tuhan juga harus kita sayangi. Janganlah kita menebang atau mencabutnya sesuka hati, lebih-lebih sampai menyebabkan kemusnahan. Sebab pasti ada tujuan dan manfaat mengapa Gusti Allah menciptakannya. Jika sekarang kita belum mengetahui kemanfaatan sesuatu makhluk, itu lantaran ilmu pengetahuan kita yang belum mampu menjangkaunya.
Apabila kita ingin mengkonsumsi sesuatu jenis tumbuh-tumbuhan marilah kita imbangi dengan upaya untuk menanamnya, paling sedikit membantu pengembangan budidayanya. Sedangkan pohon-pohon besar yang ditebang untuk bahan bangunan rumah tinggal kita, marilah kita berupaya keras menanam penggantinya. Insya Allah kita telah ikut menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta. Alhamdulillah.

Rabu, 17 Oktober 2012

MANTERA SASAHIDAN DALAM TASAWUF JAWA


Seorang teman bertanya tentang sasahidan yang diajarkan oleh guru spiritualnya yang berasal dari Jawa Tengah, yang dipercaya dan diyakininya sebagai mantera sakti. Mengapa demikian?
Kata sasahidan berasal dari bahasa Arab “syahida atau syahadat”, yang berarti kesaksian atau pengakuan iman. Jadi sebagaimana yang kita pahami selama ini, sasahidan atau syahadat adalah ikrar yang menunjukkan bukti bahwa orang yang mengucapkan kesaksian tersebut telah beriman atau menjadi mukmin. Bagi orang Islam Jawa tempo dulu, dua kalimat syahadat sering disebut Kalimasada (kalimat syahadat), atau juga Sasahidan Taukid dan Sasahidan Rasul. Sasahidan Taukid, ada juga yang mengucapkan Tokid yaitu “Asyhadu an-laa ilaaha illallaah (saya bersaksi bahwa tiada sesembahan – yang haq – selain Allah)”. Sedangkan Sasahidan Rasul yaitu, “Wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah (dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.

Kata sasahidan juga sering dipakai untuk mengawali wirid sifat 20 (dua puluh) Gusti Allah, sebagai penegasan pengakuan keimanan atas keduapuluh sifat tersebut. Misalkan, “Asyhadu Allah kang tanpa wiwitan, tanpa wekasan, urip tan kena pati ( Aku bersaksi bahwa Allah tidak bermula dan tidak berakhir, lagi hidup kekal selamanya)”.

Dalam perkembangannya, setelah ulama sekaligus pujangga Keraton Kasunanan Surakarta yang tersohor, R.Ngabehi Ranggawarsita (lahir 15 Maret 1802 dan wafat 24 Desember 1873) menulis kitab atau serat “Wirid Hidayat Jati”, muncul sebuah ajaran Sasahidan ajaran Syekh Siti Jenar. Dari kitab Wirid Hidayat Jati ini pula, lahir ajaran untuk tidak menyebut atau pun memanggil asma Tuhan dengan Allah saja, tetapi dianjurkan dengan menambah gelar yang amat sangat terhormat yaitu Gusti, sehingga menjadi Gusti Allah.
Syekh Siti Jenar yang misterius dan legendaris ini dipercaya mengajarkan Wirid Sasahidan yang terkenal sampai sekarang, yang pada umumnya diajarkan secara lisan dari mulut ke mulut oleh para guru spiritual, kebatinan atau pun penganut tasawuf Jawa aliran Syekh Siti Jenar. Padahal siapa sesungguhnya Syekh Siti Jenar, tidak ada bukti sejarah yang kuat yang menyebutkan. Bahkan apakah benar itu ajaran Syekh Siti Jenar ataukah Ranggawarsita? Ataukah pujangga-pujangga penulis kisahnya pada empat abad kemudian? Waallahualam.

Kisah tentangnya, pun ajaran-ajarannya, ditulis sekitar tiga atau empat abad kemudian. Beliau konon berkiprah pada masa kejayaan Wali Songo dan Kesultanan Demak pada awal abad ke 15, namun kisahnya baru ditulis dalam “Serat Centini” (periode 1814 – 1823), kitab “Wirid Hidayat Jati” sebagaimana di atas dan dalam “Serat Siti Jenar” pada abad ke 19.

Wirid Sasahidan yang merupakan inti sari ajarannya tersebut adalah sebagai berikut:
Ingsun anekseni ing datingsun dhewe
Satuhune ora ono pangeran among ingsun
Lan nekseni satuhune Muhammad iku utusaningsun
Iya sejatine kang aran Allah iku badaningsun
Rasul iku rahsaningsun
Muhammad iku cahyaningsun
Iya ingsun kang urip tan kena ing pati
Iya ingsun kang eling tak kena lali
Iya ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati
Iya ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji
Iya ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerti
Byar
Sampurna padhang terawangan
Ora kerasa apa-apa
Ora ana katon apa-apa
Mung ingsun kang nglimputi ing alam kabeh
Kalawan kodratingsun.

Artinya:
Aku bersaksi di hadapan Dzat-ku sendiri
Sesungguhnya tiada tuhan selain Aku
Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku
Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku
Rasul itu rasa-Ku
Muhammad itu cahaya-Ku
Akulah yang hidup tidak terkena kematian
Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa
Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala keadaan
Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengawasan-Ku
Akulah yang maha kuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian
Byar
Sempurna terang benderang
Tidak terasa apa-apa
Tidak kelihatan apa-apa
Hanya aku yang meliputi seluruh alam
Dengan kodrat-Ku

Di samping Wirid Sasahidan tadi, sering pula kita menjumpai wiridan syahadat atau sasahidan yang lain, misalkan “Syahadat Sakarat Wiwitane Pati (Syahadat Sakarat Permulaan Kematian)”. Syahadat ini dianjurkan untuk jadi bacaan wirid bagi orang-orang yang mendekati ajal, atau orang-orang yang sudah bisa melihat akan akhir hayatnya, yang berbunyi:
“Ashadu ananingsun,
anuduhake marga kang padhang,
kang urip tan kena ing pati,
mulya tan kawoworan,
eling tan kena lali,
iya rasa iya rasulullah,
sirna manjing sarira ening,
sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine,
angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.

Artinya:
Aku bersaksi tentang keberadaanku,
yang menunjukkan ke jalan yang terang,
yang hidup dan tidak akan mati (kekal abadi),
yang mulia dan tidak ternodai,
yang senantiasa ingat dan tidak memiliki sifat lupa,
iya rasa ini ya Rasulullah,
hilang masuk meresap ke badan yang hening,
hilang menyatu dengan keabadian menguasai perbuatan baiknya,
angan-angannya senantiasa menghadap Sang Pangeran (Gusti Allah)”.

Tak kalah menarik dari sasahidan ala Jawa Tengahan, di daerah yang konon banyak disebut sebagai daerah asal Syekh Siti Jenar, yaitu Cirebon juga tercipta berbagai Syahadat, antara lain Syahadat Gunung Jati dan Syahadat Urip. Syahadat Cirebon – Gunung Jati misalkan:
Niat ingsun syahadat cirebon,
lir gua gunung jati,
cameti astana popoh,
penggotekan petaunan,
murup mancur cahyane Allah,
rat jagat urip innsun,
ngadeg aken Cirebon kersane Pangeran
lailaha ilallah muhammadurrasulullah,

Sedangkan Syahadat Urip berbunyi:
Asyhadu urip tan kena ing pati,
ilaha raga tan kena ing lara,
illallah wit tanpa wiwitan,
dzat les dzat les tanpa wekasan,
sahadat jati tegang pati,
sahadat kagawa mati,
les pangeran tandana ,
kari yahu tanda sawiji,
kalbu putih tanpa dzat les,
pangeran muliya kang putih ratna gumilang
numawa rasa mulya menter putih,
rat kerat.

Jika Syahadat Gunung Jati menggambarkan tentang niat, tekad dan semangat sekaligus doa untuk mendirikan Kesultanan Cirebon yang dilimpahi nur ilahi serta ditutup dengan dua kalimat syahadat, maka Syahadat Urip merupakan inti sari dari gabungan Wirid Sasahidan dan Syahadat Sakarat Wiwitane Pati.

Kelima contoh Sasahidan tadi, yaitu tiga versi Surakarta dan dua versi Cirebon, menunjukkan adanya berbagai jenis persaksian. Ada kesaksian tentang sifat-sifat Gusti Allah, ada tentang “manunggaling kawulo – Gusti (wahdatul wujud atau penyatuan hamba dengan Allah)”, ada tentang niat dan doa untuk mendirikan Cirebon (Kesultanan) dan ada pula tentang penguatan tauhid sebagai persiapan menghadapi kematian. Namun dari sekian banyak sasahidan, yang paling terkenal karena disamping digunakan sebagai judul wiridan, juga merupakan inti ajaran wahdatul wujud dari Syekh Siti Jenar, yaitu Wirid Sasahidan tersebut. Hanya saja, banyak pro kontra tentang makna dan hakekat wirid ini. Bahkan di antara sesama penganut tasawuf. Sedangkan sasahidan yang lain sudah mulai dilupakan.

Mengenai pertanyaan apakah berbagai sasahidan itu, khususnya sasahidan Sifat Dua Puluh, benar merupakan mantera sakti? Terpulang kepada kita, sebagaimana kita juga selama ini menyikapi serta meyakini berbagai bacaan wirid atau zikir yang lazim diamalkan, misalkan wiridan asmaul husna.
Semoga berkenan.
Subhanallah walhamdulillah.

Beji, 25 September 2012.

KENAPA HARUS RIDHO MENGHADAPI MUSIBAH



Siapakah yang tidak was-was, yang tidak susah lagi gundah gulana, jika menghadapi hal-hal yang tidak sejalan dengan hati dan perasaannya ?
Siapakah yang tidak resah gelisah dan terguncang hatinya, bila ditimpa malapetaka ? Mengalami bala, bencana dan musibah sebagamana pengertian awam selama ini ?.
Musibah seperti sudah pernah kita bahas sebel

umnya, berasal dari kata ashaaba yang berarti sesuatu yang kita alami, apakah itu baik atau buruk. Namun sudah menjadi kelaziman sehari-hari, kata musibah itu hanya dipakai untuk kejadian yang buruk atau yang sulit-sulit saja. Sedangkan yang baik tidak disebut musibah. Padahal dalam surat An Nisaa Ayat 79 disebutkan “Maa ashaabka min hasanatin fa minnallah. Wamaa ashaabaka min sayyi’atin fa min nafsik”. Maknanya, yang kamu alami sehingga menimbulkan dampak kesenangan dalam hidup, itu harus kamu sadari, bahwa itu dari Allah. Tapi apa yang kamu alami yang berdampak atau mengakibatkan kesulitan bagi kamu, cobalah terlebih dahulu periksa diri kamu. Bahasa gaulnya, yang baik dari Allah, yang buruk karena ulah kita sendiri.
Musibah dalam pengertian kejadian buruk sering disebut pula kesulitan, bala, cobaan atau ujian Tuhan. Adapun jenis-jenisnya antara lain sakit, kematian, bencana, kecelakaan, tertipu, rugi, pailit, miskin, kehilangan harta benda, kehilangan pekerjaan, belum kunjung punya suami - isteri atau anak, dijahati-difitnah-disyiriki orang lain, anak kita nakal dan sebagainya.
Semuanya tidak mengenakkan hati dan perasaan. Bahkan tidak jarang karenanya langit sudah bagaikan mau runtuh. Dunia serasa hendak kiamat. Atau memang kiamat kecil, kata sementara orang. Orang yang di dera duka nestapa seperti itu, kehilangan sanak saudara tercinta karena meninggal dunia misalkan, bisa meraung-raung, menangis meratapi jenazahnya. Sampai pernah terjadi, Sayidina Ali menegor sahabatnya yang berbuat seperti itu, “Ketahuilah, betapapun takdir akan tetap berlaku. Kalau engkau ridho akan takdir ini engkau akan mendapatkan ampunan dan pahala, sebaliknya jika engkau tidak ridho maka takdir tetap berlaku dan engkau malah mendapatkan dosa”. (Imam Al Ghazali dalam Minhajul ‘Abidin).
Bila kita renungkan dalam-dalam nasehat tersebut, demikian pula berbagai hadis tentang menghadapi musibah dan kematian, memang sungguh keterlaluan jika kita tidak ridho. Semua yang selama ini kita klaim sebagai milik kita termasuk sanak saudara, sesungguhnya adalah milik Gusti Allah yang dititipkan dengan sepenuh amanah kepada kita. Nah ini sang Pemilik mengambil kembali hak-Nya kok kita tidak rela ? Berani benar kita memprotes Nya dengan menangis meratap meraung-raung ? Toh yang sudah diambil oleh Sang Pemilik tak mungkin kita minta lagi. Yang sudah mati tak mungkin hidup kembali.
Tetapi, apakah kita sungguh-sungguh tidak dibenarkan menangis menghadapi musibah buruk seperti kematian, khilangan dan kehancuran ? Menangisi jenazah dengan tidak meratapinya, dibolehkan sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Mas’ud Al Anshari dan Qarazhah bin Ka’ab yang berkata, “Rasulullah saw membolehkan kami menangis ketika ditimpa musibah asalkan tidak disertai dengan ratapan “ (HR Ibnu Abi Syaibah dan Thabrani).
Dalam riwayat-riwayat lain dikisahkan, Rasulullah pun mencucurkan air mata tatkala memangku puteranya yang sedang menghadapi sakaratul maut. Air mata yang seperti itu menurut beliau adalah rahmat yang dijadikan di dalam hati hamba-hamba-Nya yang suka berbelas kasih kepada sesamanya.
Lantas sikap yang bagaimana yang sebaiknya kita lakukan, jika Gusti Allah mengambil kembali “titipan” Nya dari kita ? Ridho seperti yang diajarkan Sayidina Ali itulah yang terbaik. Segala sesuatu ini sesungguhnya adalah milik Allah dan kepada Allah pula akan kembali. Oleh karena itu meskipun kita tercekat menghadapi bala, malapetaka dan musibah, meski hati kita pilu bagai tersayat sembilu lantaran yang kita cintai diambil-Nya, kita tetap harus ridho, dan tentu saja boleh seraya berdoa memohon gantinya yang lebih baik lagi, sejalan dengan nasihat Nabi Khidir As. pada saat Rasulullah Saw wafat;
“Sesungguhnya Allah telah menyediakan balasan pada setiap musibah, pengganti pada setiap yang hilang, dan khalifah pada setiap yang tiada. Maka kembalikanlah segalanya kepada Allah dan berharaplah kepada Nya. Allah telah mempersiapkan segalanya untuk kalian dan ketahuilah bahwasannya yang ditimpa musibah adalah orang yang tidak terpaksa”. (kesaksian Abu Bakar, riwayat Baihaqi dari Anas bin Malik).
Beji 01 Oktober 2012