Minggu, 17 Juni 2018

BUKU MEMAKNAI KEHIDUPAN OLEH B.WIWOHO

                                     
                                   



PENGANTAR PROF.K.H.ALI YAFIE :
Bismillahirrahmanirrahim.

Adalah suatu kepentingan utama bagi kita semua yang sedang menikmati kehidupan di muka bumi untuk berupaya memahami  hakekat dan watak kehidupan itu yang penuh misteri.
Dalam hubungan ini maka kehadiran buku “MEMAKNAI KEHIDUPAN” dapat membantu para pembaca yang budiman untuk mengenal apa itu kehidupan dan bagaimana wataknya.

Penulis buku ini berbicara kepada orang-orang dekat yang dicintainya mengisahkan perjalanan hidupnya sendiri dan banyak penyelaman hidup yang sudah dijalaninya, di mana sepanjang perjalanan itu ia mampu belajar dengan baik dari pengalaman yang banyak itu, lalu berupaya lewat buku ini melimpahkan pengalaman berharga itu kepada orang-orang yang dicintainya dan diharap dapat belajar dari kehidupan yang sedang dijalaninya masing-masing.

Penuturan dan pengungkapan sebagaimana yang dilakukan dalam buku ini adalah suatu metode pendidikan yang sejumlah orang-orang besar tokoh dunia yang terkenal pernah melakukannya seperti Imam AlGhazali r.a dalam bukunya Al Munqidz Minadhalal.

Saya menghargai upaya seperti ini. Satu hal yang saya sambut secara khusus dalam buku ini ialah pembicaraan  tentang posisi  dan status manusia dalam kehidupannya di muka bumi, karena ternyata tidak sedikit jumlahnya manusia hidup dalam keadaan TIDAK TAU DIRI.
Oleh karenanya maka ia pun TIDAK TAHU MENEMPATKAN DIRI dan selanjutnya TAK TAU MEMBAWA DIRI dalam pergaulan ramai d tengah masyarakat. Perilaku seperti itulah yang banyak memicu konflik hubungan pribadi  maupun dalam hubungan kelompok sampai kepada kehidupan antar bangsa.

Masalah kunci dalam hal tersebut  di atas ialah posisi dan status manusia selaku KHALIFAH FIL ARDH. Statusnya  sangat terhormat dan ia mendapatkan  kepercayaan  dan penghargaan dari sang Pencipta Allah Swt untuk mengemban AMANAH untuk mengelola BUMI tempat huniannya, memelihara dan memberdayakannya untuk dapat dinikmati bersama secara benar dan adil dalam suasana damai dan bersahabat. Yang Maha Pencipta, karena kasih sayangnya kepada manusia  selaku makhluk-Nya yang daif penuh kelemahan dan keterbatasan, maka Ia menganugerahkan kepadanya petunjuk jalan yang dapat membimbing manusia ini meniti dan menata hidupnya di dunia dan dapat berkelanjutan menyeberang ke alam keabadian di hari Akhir.

Suatu nur hidayat yang telah membimbing penulis buku ini sangatlah bermanfaat bagi para pembaca yang budiman. Semoga isi buku ini menjadi amal jariah yang terus-menerus akan menambah khazanah amal saleh dari penulisnya dan memperoleh nilai abadi yang indah di sisi Yang Maha Pengasih dan Penyayang Allah Swt.
Jakarta, 25 Jumadil Akhir 1427 (21 Jul i2006).
ALI YAFIE.

 

























Senin, 04 Juni 2018

KIDUNG KAWEDAR SUNAN KALIJAGA KAJI ASAL DAN TUJUAN MANUSIA.


Jakarta, NU Onlne
Dalam konsep tauhid Islam khas orang Jawa dikenal istilah sangkan paraning dumadi. Konsep ini berkaitan dengan kesatuan asal dan tujuan dari penciptaan manusia dan alam semesta yang hulu dan muaranya adalah Tuhan.

Sangkan paraning dumadi menjelaskan bahwa semuanya berasal dari adi kodrati yaitu Tuhan,” kata Ki Teguh Slamet Wahyudi pada Gema Ramadhan Ngaji Suluk-suluk Sunan Kalijaga, di Sanggar Suluk Nusantara, Perumahan Depok Mulya 1, Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/5).

Ia menganalogikan, masyarakat Indonesia pada akhir Ramadhan banyak yang melakukan mudik atau pulang kampung. Hal itu dilakukan karena di kampung halaman mereka memiliki sanak saudara dan orang tua yang ingin dikunjungi. Pemudik bersilaturahim kepada yang masih hidup, dan berziarah kepada yang telah meninggal dunia. 

“Pulang kampung menjadi aktivitas setiap tahun, sebuah ilustrasi yang pada akhirnya kita akan pulang ke asal kita, yaitu Tuhan,” lanjut doktor pada bidang Matematika ini.

Dalam pemahaman orang Jawa, sangkan paran dumadi terkait dengan tiga hal, yakni asal alam semesta, tujuan manusia, dan pencipatan manusia. Ketiganya tergambar pada Serat Kawedar karangan Sunan Kalijaga, meski tidak secara ekspilisit dan tidak terlalu banyak tujuan hidup itu dijelaskan.

Pada bait sepuluh disebutkan Ana kidung rekeki Hartati/sapa weruh reke araning wang/duk ingsun ana ing ngare/miwah duk aneng gunung/ki Samurta lan Ki Samurti/ngalih aran ping tiga/arta daya engsun/araning duk jejaka/Ki Hartati mengko ariningsun ngalih/sapa wruh araning wang// Ada kidung bernama Hartati/siapa yang tahu itu adalah namaku/tatkala aku masih tinggal di ngarai/dan ketika tinggal di gunung/Ki Samurta dan Ki Samurti/berganti nama tiga kali/aku adalah arta daya/namaku tatkala masih perjaka/kelak namaku berganti Ki Hartati/Siapa yang tahu namaku.

Bait sepuluh di atas dimaknai sebagai ilustrasi hubungan Tuhan dan manusia saat masih di alam ruh. Ruh manusia yang berasal dari ruh ilahi ini memiliki kekuatan arta daya (kebijaksanaan, batin, dan welas asih) yang kemudian berada di rahim seorang ibu.

Lalu pada bait sebelas diungkapkan Sapa weruh tembang tepus kaki/sasat weruh reke arta daya/tunggal pancer ing uripe/sapa weruh ing panuju/sasat sugih pagere wesi/rineksa wong sajagad/kang angidung iku/lamun dipunapalena/kidung iku den tutug padha sawengi/adoh panggawe ala// Siapa yang tahu bunga tepus/tentu tahu yang dimaksud dengan arta daya/yang menyatu dengan kehidupannya/siapa yang tahu tujuan hidup/berarti kaya dan dipagari besi/dijaga orang sejagat/yang melantunkan kidung itu/bila dibaca dilafalkan dalam semalam/jauh dari perbuatan buruk. 

Bait sebelas berisi ajaran kepada manusia untuk memahami diri dan tujuan hidupnya. Kekuatan arta daya yang dimiliki manusia mendorong tepo seliro (toleransi). Manusia yang tahu tujuan perjalanan hidupnya akan dilindungi Tuhan seperti halnya rumah yang berpagar besi.

“Di dalam kidung ini disebutkan keutamaan, jika  manusia mengenali jati diri akan mencapai keinginan seperti disayang oleh Tuhan, digambarka dengan kehidupan seperti rumah yang berpagar besi. Pada zaman itu rumah berpagar besi adalah rumah keturunan bangsawan,” papar Ki Teguh.

Ia mencermati manusia terdiri dari aspek jasmani dan rohani. Tubuh yan meninggal akan hancur. Adapun jiwa akan kembali kepada Sang Pencipta. "Di dalam Al-Qur'an disebutkan manusia tercipta dari saripati tanah. Ketika kita makan minum dari hasil bumi kita paham maknanya. Air itu akan menjadi komposisi sel telur menyatu dengan proses perkembangan bayi di dalam rahim. Ini menjadi kata kunci dalam sangkan paran dumadi. Maka itu dapat menggambarkan asal usul dan tujuan hidup manusia yaitu Tuhan," urainya.

Agar dapat kembali kepada Tuhan sebagaimana fitrahnya, manusia harus mengendalikan napsu dengan menempa diri seperti berpuasa. Lelaku ini dijalankan untuk menempa ruhani, agar napsu badani tidak dominan. 

Suluk Kawedar Sunan Kalijaga terdiri dari 46 bait. Suluk ini dinyanyikan dengan tembang atau nada Dandanggula, salah satu jenis tembang macapat dalam sastra Jawa.

Ngaji Suluk Sunan Kalijaga menjadi salah satu agenda Gema Ramadhan yang diadakan oleh Sanggar Suluk Nusantara. Kegiatan ini diawali Sabtu (19/5) dengan materi Penghayatan Surat Al Fatihah, Surat Al Ikhlas, Al Falaq dan Annas dengan pemateri Ki Abdulazis Basyarudin. Berikutnya Pengantar Umum Suluk Kidung Kawedar oleh Ki Bambang Wiwoho, Kamis (24/5).

Pada pekan depan Kamis (31/5) diagendakan materi Jagat Kecil Jagat Besar oleh Ki Mustaqim Abdul Manan, Ajaran Hakikat Kepemimpinan dari Tembang Gundul-gundul Pacul oleh Ki Ageng Lanang (M Jasin), Sabtu (2/6). Sebagai penghujung kegiatan, Kamis (7/6) dihadirkan Keutamaan Ayat Qursi dan Shalat Daim dengan pemapar Ki Abdul Azisi Basyaudin. Pada setiap pertemuan peserta juga diajak nembang (menyanyikan) suluk-suluk yang dikaji.

Seperti diketahui salah satu media yang efektif mengenalkan Islam adalah dengan pendekatan budaya dan seni. Hal itu seperti diakukan oleh Walisongo. Pada harlah NU ke-92 bulan April lalu juga digelar wayang kulit dengan lakon Jamus Kalimasada. Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan NU menekankan penyatuan budaya dengan Islam, dan tidak memisah-misahkannya. Budaya yang baik yang dapat menunjang ajaran Islam, harus dipertahankan, bahkan dikembangkan. (Kendi Setiawan)
http://www.nu.or.id/post/read/91005/kidung-kawedar-sunan-kalijaga-bahas-asal-dan-tujuan-manusia

NGAJI GUNDUL-GUNDUL PACUL DI SULUK NUSANTARA


Ngaji Suluk-Suluk Sunan Kalijaga di Suluk Nusantara membahas Kepemimpinan yang benar yang dinyanyikan dalam salah satunya Suluk Sunan Kalijaga melalui lagu dolanan Gundul-Gundul Pacul agar tertanam karakter kepemimpinan dari sejak anak-anak.....
Selanjutnya lagu Gundu-Gundul Pacul ini digunakan sebagai dasar panduan Metode Dallang media belajar senang, mudah, sederhana dalam baca, tulis dan memahami Al Qur'an oleh Saudara H Muhamad Yasin MD, dengan pola bertutur dan bercerita untuk mengasah otak dan pikiran (daya cipta) dengan bernyanyi untuk mengasah rasa dan hati (daya rasa) untuk diwujudkan dalam gerakan nyata (daya karsa) sesuai, sejajar, searah kehendakNya.....
Semoga memberi hikmah berkah berlimpah..... merdekaaa...! ( dari Facebook : Ki Ageng Lanang)

Sanggar Suluk Nusantara Ngaji Manunggaling Kawulo Gusti




SwaraSenayan.com – Di bulan Ramadhan tahun ini, Sanggar Suluk Nusantara menyelenggarakan pengajian ala suluk-suluk Sunan Kalijaga. Pengajian dengan pendekatan budaya ini diiringi irama gamelan dan lantunan tembang-tembang macapat dari materi yang dibahas serta shalawat Sunan Kalijaga dari Suluk Singgah-singgah. 

Pada ngaji sesi IV menghadirkan topik “Jagat Gede – Jagat Kecil dan Manunggaling Kawula Gusti” yang dibawakan oleh Ki Mustaqim Abdul Manan dengan moderatot Ki B.Wiwoho (penulis buku-buku antara lain : Islam Mencintai Nusantara, Jalan Dakwah Sunan Kalijaga dan  Bertasawuf di Zaman Edan) didamping Ki Abdul Aziz Basyaruddin, Ki Murjoko, Ki Noerrochman pada hari Kamis 31 Mei 2018 (15 Ramadhan 1439 H) bertempat di Perumahan Depok Mulya I, Beji kota Depok.
Dalam tasawuf, manusia digambarkan terdiri dari dua unsur, yaitu roh dan tubuh. Dari kinerja antara roh dan tubuh tersebut menghasilkan apa yang kita sebut dengan jiwa.

Secara biologis asal mula kejadian manusia diciptakan dari tanah merah yang berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia. Sehingga jasad manusia tidak kekal dan akan membusuk kembali ke tanah. Selebihnya adalah roh Allah, yang setelah kemusnahan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian (kekal).
“Kehidupan yang kekal abadi setelah kematian ragawi inilah sebagai konsep tujuan hidup,” papar Ki Mustaqim.

Manusia diciptakan Tuhan semata-mata untuk beribadah kepada Sang Pencipta. Roh manusia ketika ditiupkan Tuhan masih sangat suci bagaikan cahaya kebiruan yang jernih, bening, suci tak bernoda.
Namun, ketika mengembara di alam fana dunia ini nafsunya yang menyenangi pesona dunia menjadi racun yang menyebar dalam kehidupannya. Bisa atau racun itu dapat bermanfaat bagi kehidupan atau sebaliknya, kehidupan yang semula tenang juga bisa berubah menjadi racun.
Jiwa manusia ini, apabila suci dari segala kekeruhan yang datang dari alam lahiriah, maka naiklah kedudukan dan status jiwa tersebut ke alam malaikat jabarut, yaitu alam yang dihuni para malaikat dan roh suci.

Dalam kondisi tersebut tidak ada dinding penghalang antara sang jiwa dan Sang Pencipta. Di mata orang yang  memiliki jiwa seperti itu, alam raya ini tampak begitu kecil bagaikan sebutir biji sawi. Alam atau jagat raya yang tertangkap oleh panca inderanya menjadi jagat kecil, sedangkan dirinya menjadi jagat besar.

Adanya pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara makhluk dengan Dzat Pencipta (Sang Khaliq) inilah yang lebih populer dengan sebutan manunggaling kawula Gusti, manusia menyatu dengan Tuhannya, dalam arti jiwa manusia mampu mengendalikan segala nafsu dan keinginannya, sehingga menyatu dengan kehendak Allah
.
“Ketika manusia telah mampu menjalankan tugasnya secara paripurna dengan baik sebagai khalifatul fil ‘ardh atau wakil dan utusan Allah di muka bumi, maka Allah akan mengganjarnya di alam keabadian, kekal di sisi Nya,” papar Ki Mustaqim.

Manunggalingnya merupakan persatuan Dzat sifat, roh bersatu dengan Dzat sifat Tuhan dalam gelombang energi dan frekuensi yang sama. Inilah prinsip kemanunggalan tentang manunggaling kawula Gusti yang diumpamakan “wiji wonten salebeting wit.”
Dalam Suluk Guntur, Sunan Bonang membuat tamsil, garam jatuh ke laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana, tidak lantas tercerap kedalam Wujud Mutlak. Yang lenyap adalah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.

Pencapaian tertinggi seorang salik adalah fana ruh idafi yaitu keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir. Disini ia mencapai makrifat dengan kesadaran intuitif yang menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal.
Allah adalah satu-satunya yang wajib disembah. Dia tidak tampak dan tidak berbentuk. Tidak terlihat oleh mata. Sedangkan alam semesta dan segala isinya merupakan cerminan dari wujud Allah yang tampak. Seseorang bisa meyakini adanya Allah karena ia melihat pancaran wujud Nya melalui jagad raya ini.

Allah tidak berawal dan berakhir, memiliki sifat langgeng, tak mengalami perubahan sedikit pun. Allah berada di mana-nana, bukan ini dan bukan itu. Dia berbeda dengan segala wujud barang baru yang ada di dunia.

Dalam aliran kebatinan dan kejawen, keadaan kemustahilan itu adalah “tan kena kinayangapa”, tidak tergambarkan atau tidak dapat disepertikan. Jadi hakikat Tuhan adalah kekosongan yang tak terbayangkan, tetapi memiliki energi yang luar biasa,  sehingga mampu mengatur kehidupan serta keserasian alam raya.

Energi yang luar biasa itu memancar dan masuk ke dalam makhluk-makhluk hidup. Pada manusia, energi itu adalah cahaya kehidupan atau atman atau roh atau jiwa.  Hubungan sumber asal energi dengan roh dikiaskan sebagai Brahman dengan atman atau matahari dengan cahaya-cahayanya yang memancar menerangi serta menghidupi alam raya dan makhluk-makhluknya. *SS
(https://www.swarasenayan.com/sanggar-suluk-nusantara-ngaji-manunggaling-kawulo-gusti/)