Minggu, 31 Juli 2011

BANGUN PARADIGMA BARU TTG BENUA MARITIM INDONESIA RAYA

Indonesia Raya yang juga dikenal sebagai Nusantara, sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai Benua Maritim dibanding Negara Kepulauan. Mengapa? Karena luas wilayah Indonesia sebesar 8,7juta KM2 terdiri dari 2/3 (dua pertiga) atau 5,8 juta KM2 berupa perairan dan 1/3 (sepertiga) atau 2,9 juta KM2 daratan, dengan garis pantai sepanjang 95.181 KM.

Bandingkan dengan China yang luas perairannya hanya 268.746 KM2 dengan garis pantai 14.500KM, Thailand dengan luas perairan 2.052KM2 dan garis pantai 3.219KM serta Vietnam dengan luas perairan 4.311 dan garis pantai 3.444KM.

Dengan perubahan paradigma, maka kita tidak lagi memandang pulau-pulau kecil kita sebagai pulau-pulau terpencil ataupun terluar, melainkan sebagai pulau-pulau terdepan, karena memang merupakan latar depan negeri kita. Untuk itu kita harus menjadikan pulau-pulau tersebut menjadi tonggak-tonggak pagar halaman rumah kita, dari suatu PAGAR LAUT raksasa, yang merupakan kawasan pusat pembangunan kelautan terpadu. Sedangkan daratan-daratan perbatasan juga harus kita bangun menjadi kawasan-kawasan pusat pembangunan baru, yang kita beri nama BENTENG PERDIKAN.

Batalyon-batalyon yang mencerminkan kebhinekatunggalikaan, yang memiliki Sumber Daya Manusia yang handal dengan keahlian multi disiplin, disiapkan untuk membangun kedua jenis kawasan pertumbuhan baru tadi. Pembangunan kawasan-kawasan pusat pertumbuhan itu harus ditangani dengan kehendak politik yang tinggi, serta dirancang dan dilaksanakan secara sistematis-sistemis, terpadu dan menyeluruh.

BAGAIMANA MENURUT ANDA? MARI KITA DISKUSIKAN BERSAMA.

Beji, 30/10/2010.

SBY, AKANKAH MENUNGGU MUKJIZAT?

Hari-hari belakangan ini, banyak orang khususnya para politisi yang berpendapat, Presiden SBY harus cepat membenahi “Koalisi Partai Pemerintah” mumpung masa tugasnya masih tiga setengah tahun.Pernyataan tersebut bisa benar tapi juga bisa salah. Benar jika melihat kalender Pemilu lima tahunan. Tapi salah jika melihat realita keadaan dan politik.

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, kami telah mengingatkan, sesungguhnyalah masa pemerintahan Presiden SBY yang efektif dalam masa jabatan II, tidak lebih dari tiga tahun. Memasuki tahun ke-4, mitra-mitra koalisinya sudah akan mulai bermanuver menghadapi Pemilu dan Pilpres 2014, sehingga Pemerintahannya menjadi kurang efektif.

Dengan memahami kemungkinan yang seperti itu, Presiden SBY diharapkan bekerja all-out dalam dua setengah tahun pertama masa jabatan yang kedua, dan bukan sekedar berwacana serta pamer rapat melulu, apalagi masih berusaha membangun citra melalui opera-opera sabun.


Sayang sekali, kenyataannya justru lebih buruk lagi.. Dalam tahun pertama ia hanya disibukkan oleh “Kasus Century”, disusul berbagai bencana alam. Memasuki tahun kedua, ia menjadi sangat dipusingkan oleh kasus mafia hukum, aneka kegagalan sektor produksi dalam negeri, bahkan untuk produk-produk yang rasanya mustahil itu bisa terjadi seperti cabe, garam, ikan teri dan ikan kembung. Juga tidak kalah memusingkan adalah pernyataan orang-orang kalangan dalamnya, yang tidak memiliki fatsun bahkan empati terhadap keadaan, khususnya penderitaan rakyat, seperti Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan Ketua DPR Marzuki Ali. Lebih memusingkan lagi adalah gonjang-ganjing kasus Hak Angket Pajak yang berbuntut pada ketidak-kompakan Setgab Koalisi.

Kini SBY dengan Partai Demokratnya sedang menghadapi buah simalakama dengan sikap dua mitra koalisinya yaitu Golkar dan PKS yang mbalelo. Memang nampaknya SBY dapat pengganti dari PDIP dan Gerindra. Tapi benarkah ini akan menolong keadaan?

Marilah kita coba melihat potensi sumber daya serta basis akar rumput partai-partai yang ada. Yang paling kuat basis dan militansi akar rumputnya adalah PDIP dan PKS. Sedangkan Golkar kuat di sumberdaya tapi lemah di akar rumput. Namun demikian semenjak Megawati menjadi Presiden, perpecahan demi perpecahan dalam PDIP justru terjadi, sementara itu ketidakpuasan “wong cilik” sebagai basis massa merebak, karena setelah berkuasa, ternyata lupa juga pada “wong ciliknya”.

Massa PKS memang belum meluas, dan sebagaimana juga partai-partai lainnya yang lahir di era reformasi, menunjukkan kelemahan-kelemahan yang menonjol khususnya keberpihakannya terhadap nasib rakyat kecil, ketergantungannya pada figure, kesan eksklusif serta ke-Indonesiaannya yang dianggap kurang.

Tetapi dibanding partai-partai lainnya, nampaknyha PKS cepat menyadari kelemahan-kelemahan tsb, dan dengan menejemen organisasinya yang bagus, sedang mencoba berbenah. Jika bisa meningkatkan kepeduliannya terhadap nasib sebagian besar rakyat (tentu saja yang sebagian besar itu adalah muslim) yang hidup semakin sengsara dalam sepuluh tahun terakhir ini, juga bisa menghapus kesan eksklusif serta mengkokohkan ke-Indonesiannya secara lebih baik dan nyata, lebih bisa mengedepankan ruh atau api Islamnya dibanding sekedar penampilan fisik, bukan tidak mungkin PKS bisa menjadi partai besar dalam Pemilu 2014.

Bagaimana dengan Gerindra? Meskipun belum dijabarkan secara detail, Gerindra memiliki konsep ekonomi kerakyatan yang lebih jelas dibanding partai lain. Namun sayang sekali, Gerindra mengesankan lebih sebagai partainya Prabowo dibanding partai massa rakyat yang terorganisasi secara baik. Demikian pula keberpihakannya kepada petani tatkala memimpin Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, juga tidak membekas.

Setelah menyimak analisa kekuatan-kelemahan-ancaman​ dan peluang partai-partai, tak pelak lagi SBY tengah menghadapi buah simalakama, dimakan ibu mati – tak dimakan bapak mati. Di tengah kehidupan rakyat yang semakin memburuk, sementara di lain pihak gaya hidup sebagian keluarga Pegawai Negeri dan para elite semakin mewah menyolok, keluarnya – jika berani – Golkar dan PKS dari Setgab Koalisi, justru akan menguntungkan kedua partai tsb.

Jika ingin selamat dan dikenang sebagai Pemimpin Indonesia yang dihormati dan dikagumi, tiada cara lain bagi SBY kecuali berani bertindak sebagai seorang “hero”, yang berani bertempur jika perlu sendirian melawan musuh-musuh rakyat yang ganas. Berani dan sanggup menghadapi kenyataan bajunya kotor dan kumal, rambutnya tak selalu kelimis lagi, badannya luka berdarah-darah. Berani menyingkirkan segala puji sanjung yang menyesatkan. Sanggupkah? Atau kita menunggu mukjizat saja? Semoga.
(B.Wiwoho/ 04.03.2011).

OMONG KOSONG, BASMI KORUPSI TANPA UU PEMBUKTIAN TERBALIK

Rasa keadilan masyarakat terus semakin terusik dengan terkuaknya berbagai praktek korupsi berjamaah, baik di tingkat Daerah maupun Pusat, khususnya di kalangan aparat penegak hukum dan lembaga legislatif. Sementara itu Peringkat Index Korupsi Indonesia terus memburuk. Jika  pada tahun 2006 peringkat Indonesia 130 atau sama dengan Papua Nugini, dan lebih buruk dibanding India (70), China (70), Srilanka (84), Philipina (121), maka tahun 2007 melonjak menjadi 143 dari 180 negara yang disurvai oleh Trasparency Internasional, mendekati, Masya Allah,  negara-negara yang sedang bergejolak seperti Afghanistan, Sudan, Haiti, Irak dan Myanmar.
Bahkan menurut Political & Economic Risk Consultancy (PERC), koran Sindo 9 Maret 2010, Indonesia merupakan negara terkorup di Asia Pasifik dengan index persepsi korupsi mencapai 9,07 dari skala 10, naik dari 8,32 di tahun 2009.

Rasa keadilan masyarakat juga semakin terlukai mengikuti sidang-sidang kasus Gayus dan kasus mark-up alat-alat kesehatan yang kini tengah berlangsung. Pemanfaatan uang-uang pajak dari rakyat, termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang tidak adil karena terus dilaksanakan meskipun bersifat "pukul-rata", ditelan hanya oleh segelintir orang sementara hak-hak rakyat yang lebih dari 230 juta jiwa, jauh lebih kecil dibanding segelintir koruptor tadi.

Dalam sidang mark-up alat-alat kesehatan yang juga melibatkan sejumlah anggota DPR, terungkap penggelembungan harga terjadi lebih dari 120 %, baca: LEBIH DARI SERATUS DUA PULUH PERSEN, yaitu dari yang semestinya hanya Rp.7,7 milyar (tujuh milyar tujuh ratus juta rupiah), menjadi Rp.17,18 milyar( tujuhbelas milyar seratus delapanpuluh juta rupiah). Ala maaak.

Dalam sdang Gayus, si pegawai rendahan Gayus dengan santainya hari Rabu kemarin (8/12.2010) mengaku
menerima sekitar Rp.35 milyar dari 3 perusahaan. Padahal diduga ia menangani lebih dari 140 perusahaan. Hadiah-hadian seperti itu, menurutnya wajar bagi pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Masya Allah.

Ironisnya, peristiwa-perisiwa bejat ini terjadi di negeri yang bersendikan etika dan moral keagamaan kuat. Bahkan tak kurang dari Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa haram terhadap korupsi, sedangkan dua ormas Islam terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah juga menyatakan koruptor itu kafir. Seruan mulia ini, Rabu 8/12.2010 kembali dikumandangkan oleh hampir semua tokoh agama di Indonesia, dengan menyatakan SERUAN PERLAWANAN.

Seyogyanyalah, seruan tersebut diikuti dengan penyebarluasan petunjuk-petunjuk teknis dan pelaksanaan bagi umat dan organisasi umat masing-masing, misalnya bagaimana menyikapi pemberian-pemberian zakat, infaq, sedekah, sumbangan, amplop dan sejenisnya dari orang-orang yang patut diduga sebagai koruptor. Misalkan, pegawai negeri/TNI-Polri yang gajinya tak lebih dari Rp.10 juta sebulan (hal ini harus menjadi pengetahuan umum), tanpa punya bisnis yang lain, tapi bisa punya rumah dan mobil mewah pribadi, punya apartemen, menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan  biaya sediri, keluarganya mondar-mandir liburan ke luar negeri dan lain sebagainya.

Di lain pihak semua kekuatan rakyat yang jelas-jelas sudah dizolimi oleh sebagian birokrat bejat tersebut, harus berani bersatu membangun dan mengembangkan mekanisme kontrol sosial yang kuat, antara lain menekan Pemerintah dan DPR untuk segera membuat Undang-Undang Pembuktian Terbalik Asal-Usul Harta Kekayaan, serta Undang-Undang Perlindungan Saksi Pelapor yang sungguh-sungguh. Tanpa ini, Seruan Perlawanan dan Gerakan Basmi ataupun Berantas Korupsi, hanyalah OMONG KOSONG BELAKA.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Adil, segera mengampuni serta menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman keruntuhan antara lain yang disebabkan oleh merajalelanya para koruptor dan keluarga serta kroni-kroninya. Alhamdulillah 3x, amin 3x.
Beji, 9 Desember 2010.