Rabu, 30 Desember 2015

MACHIAVELLI PUN TIDAK SUKA PEMIMPIN MENCLA-MENCLE : Seri Etika & Kepemimpinan (15)




Falsafah Huruf Jawa: ho no co ro ko.

Siapa pun pasti tidak suka dengan orang yang mencla-mencle, yang ucapannya mudah berubah, tidak bisa dijadikan pegangan dan tidak bisa dipercaya. Apalagi jika dia seorang pemimpin.  Sebab bila demikian halnya maka anak buah dan rakyatnya pasti bingung terombang-ambing. Oleh karena itu baik ajaran kepemimpinan Jawa mapun Islam melarang seseorang, lebih-lebih seorang pemimpin bersikap seperti itu. Bahkan guru besar “Tujuan Menghalalkan Cara” Niccolo Machiavelli juga tidak suka.
Dalam Bab 18 dari bukunya “ll Principe atau Sang Penguasa”, Niccolo Machiavelli mengajarkan seorang penguasa harus penuh perhitungan dan memegang teguh apa yang telah diputuskan. Baginya, seorang raja harus garang sekaligus licik dan penuh tipu daya seperti binatang. Untuk itu raja tidak harus setia memegang janji khususnya perjanjian internasional. 

Namun demikian dalam Bab 23 tentang cara menghadapi penjilat, ia mengajarkan bahwa mengenai apa-apa yang telah diputuskan, raja sama sekali jangan banyak omong lagi. Ia juga tidak boleh mengubah keputusannya, apabila keputusan itu diambil setelah dipertimbangkan dengan sematang-matangnya. Barangsiapa berbuat  selain itu, maka ia akan menjadi mangsa para penjilat, atau setiap saat ia mengubah keputusannya disebabkan perasaan yang berubah-ubah. Sikap dan perbuatannya yang mudah berubah itu akan menyebabkan ia dipandang rendah.

Perihal kecermatan, ketelitian, keteguhan hati dan konsistensi seorang pemimpin, kearifan Jawa mengajarkan melalui legenda terjadinya huruf Jawa sebagai berikut: “Ho no co ro ko, do to sa wo lo, po dho jo yo nyo, mo go bo tho ngo”. Makna susunan huruf itu mengisahkan tentang leluhur orang Jawa yaitu seorang pemuda bernama Aji Saka beserta dua orang pengawalnya, tiba di pulau Jawa yang pada dahulu kala dihuni oleh para raksasa pemakan manusia yang liar tidak beradab, yang dipimpin oleh Raja Dewata Cengkar.
Begitu mendarat, Aji Saka meminta seorang pengawalnya tinggal dan menunggu di satu tempat sambil menjaga sebuah pusaka dan perbekalannya, dengan pesan agar si pengawal, sebut saja Si A, menjaga dengan sepenuh jiwa raganya, serta tidak menyerahkan kepada siapa pun kecuali kepada Aji Saka sendiri. Disertai pengawal yang satunya lagi, sebut Si B,  Aji Saka mendatangi Dewata Cengkar untuk mengadu kesaktian, yang dimenangkan Aji Saka.

Setelah menguasai kerajaan para raksasa, Aji Saka memerlukan pusaka dan perbekalan yang ditinggalkan di tempat pendaratannya, guna menata dan membangunan masyarakat baru yang beradab. Untuk itu ia mengutus Si B mengambil pusaka dan perbekalan tadi dengan pesan jangan kembali menemuinya jika tidak berhasil. Syahdan setelah Si B bertemu Si A, masing-masing mengemukakan pesan Sang Pemimpin, yaityu Aji Saka. Si B menyampaikan ia diperintahkan untuk mengambil pusaka dan perbekalan, dan jangan kembali apabila tidak berhasil. Sementara Si A juga memegang teguh pesan Aji Saka agar tidak menyerahkan kepada siapa pun kecuali Aji Saka sendiri. Karena saling bersikukuh memegang teguh amanah, akibatnya mereka berdua berkelahi, sampai akhirnya sama-sama tewas.

Kabar tewasnya kedua pengikut setianya itu akhirnya diketahui oleh Aji Saka, yang kemudian sangat menyesali kecerobohannya. Guna mengenang penyesalannya dan demi menjadikannya pelajaran bagi generasi yang akan datang, maka Aji Saka menciptakan huruf Jawa, yang di susun dalam urutan ho no co ro ko  dan seterusnya tersebut. Dengan makna legenda yang tersirat dalam penciptaan huruf Jawa, Aji Saka ingin mengajarkan filosofi kepemimpinan dan pengabdian sekaligus kepada generasi masa depan.

Seorang pemimpin harus harus hati-hati dalam bertutur kata, bersikap, berperilaku dan dalam mengambil setiap kebijakan. Semuanya harus teliti, cermat, penuh perhitungan, selalu konsisten, taat azas dan tidak pernah meralat. Perkataan dan tindakan pemimpin harus satu dan sama, tidak boleh berbeda. Untuk jangan sampai meralat, maka sebelum mengambil keputusan harus penuh perhitungan dan kajian yang mendalam lagi menyeluruh. Seorang pemimpin juga harus bisa menggariskan kebijakan yang jelas yang bisa dipahami oleh semua staf dan punggawa Pemerintahannya, agar para staf dan aparat birokrasinya tidak membuat penafsiran sendiri-sendiri yang bisa berbeda satu sama lain. Apalagi sengaja mengadu domba anak buah.

Sebaliknya para anak buah pun harus setia kepada pimpinan, dan jangan segan-segan mengingatkan jika pemimpin lupa atau bersalah, karena betapa pun seorang pemimpin juga manusia yang tidak luput dari kesalahan. Namun demikian, dalam mengingatkan pimpinan, anak buah harus pandai menjaga kewibawaan sang pemimpin, dan jangan mempermalukan di depan umum.

Begitulah, meski berbeda dalam tata nilai, etika dan moralitas, namun ada satu persamaan antara seni kepemimpinan Jawa, Islami maupun ajaran Machiavelli yang penuh tipu muslihat, yakni keteguhan sikap dan konsistensi seorang pemimpin. Berikutnya: FALSAFAH KEPEMIMPINAN JAWA.

Selasa, 22 Desember 2015

TANDA-TANDA PEMIMPIN YANG MEMPEROLEH WAHYU: Seri Etika & Moral Kepemimpinan (14).





Kata “wahyu” memiliki makna yang beragam. Yang paling komprehensif dan sempurna dari seluruh makna tersebut adalah perpindahan pengetahuan kepada pikiran orang yang dituju secara cepat dan rahasia sedemikian sehingga tersembunyi dan tidak nampak bagi semua orang. 

Kata wahyu, secara etimologi  berasal dari bahasa Arab waḥā yang berarti memberi wangsit, mengungkap, atau memberi inspirasi. Dalam pemahaman sehari-hari, kata wahyu adalah kata benda, dengan bentuk kata kerja awha-yuhi, yang berarti pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat, terkadang dengan perkataan simbolik, terkadang dalam bentuk suara tanpa susunan, terkadang dengan isyarah anggota badan dan terkadang dengan tulisan.

Di dalam ajaran Islam, wahyu adalah qalam atau pengetahuan dari Allah, yang diturunkan kepada seluruh makhluk-Nya dengan perantara malaikat ataupun secara langsung. Sekalipun dalam al-Quran kata wahyu digunakan untuk selain para nabi, akan tetapi mayoritas kata wahyu tersebut ditujukan bagi para nabi. Sebagai contoh, Allah Swt berfirman dalam surah an-Nisa  ayat 163, "Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah berikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi kemudiannya, dan kami telah berikan wahyu pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub dan anak-anak cucunya. Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Daud."
Demikian pula dalam surah Yusuf ayat 3, "Dan kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukannya) adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui."
Begitu pun dalam surah al-An'am ayat 19 disebutkan, "Katakanlah siapakah yang lebih kuat persaksiannya? Katakan, Allah menjadi saksi antara aku dan kamu dan al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya Dia dengan aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran kepadanya." 

Berdasarkan itu maka sebagian besar ulama sepakat bahwa wahyu adalah petunjuk dari Gusti Allah yang diturunkan hanya kepada nabi dan rasul. Meskipun demikian Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalah at-Tauhid sebagai pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah melalui perantara ataupun tidak.

Bagi masyarakat Jawa kebanyakan, kata wahyu dimaknai sejalan dengan definisi Muhammad Abduh di atas, yaitu apa-apa yang dianggap sebagai petunjuk dan hadiah dari Gusti Allah, terutama yang menyangkut  pangkat dan kedudukan, misalkan wahyu kepemimpinan, wahyu keratuan, wahyu keprabon dan wahyu kepresidenan. Istilah wahyu kepemimpinan itu menjadi populer lantaran menjadi lakon atau judul dalam kisah pewayangan, yaitu ‘Wahyu Makutoromo”, yang mengkisahkan delapan ajaran kepemimpinan (hasta brata).

Begitulah, cerita wayang di Jawa banyak yang sudah berbeda dengan babon induknya di India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Wayang Jawa banyak mengalami akulturisasi dan oleh ulama-ulama yang disebut Walisongo, dimanfaatkan serta diisi dengan ajaran islami. Demikian pula dalam praktek hidup bermasyarakat. Raja atau Sultan atau Sunan, dalam gelar kehormatannya juga diberi tambahan Khalifatullah Ing Tanah Jawi. Ini sesungguhnya mengandung makna bahwa kepemimpinan itu bukan hadiah melainkan amanah untuk mengemban tugas selaku utusan Allah di muka bumi, khususnya di tanah Jawa. 

Sayangnya, hakikat amanah tersebut sering dilupakan dan berganti makna sebagai wahyu yang merupakan hadiah dan mandat yang tidak bisa diganggu gugat oleh orang lain, dan ironisnya, karena merasa sudah memperoleh mandat dari yang Maha Kuasa, maka ia boleh berbuat apa saja tanpa perlu merasa takut bisa dijatuhkan. Akhirnya menjadilah mereka pemimpin yang takabur dan lama-kelamaan menjadi tiran. Padahal amanah kepemimpinan dalam konsep kewahyuan, bisa juga oncat atau pergi meninggalkan yang bersangkutan, yakni apabila yang bersangkutan tidak menjalankan amanah kepemimpinannya. Hal ini dikisahkan dalam cerita “ Petruk Dadi Ratu, atau Petruk Menjadi Raja.”  Wahyu Keratuan kstaria Pandawa oncat setelah mereka tidak amanah, dan jatuh ke punakawan, rakyat jelata yaitu Petruk. Tapi lantaran Petruk juga tidak memiliki pengalaman, kemampuan dan wawasan keratuan, maka dengan wahyu itu ia berbuat seenaknya sehingga wahyunya pun oncat lagi, meninggalkan Petruk dan kembali ke para ksatria yang memang memiliki wawasan dan terlatih dalam kepemimpinan serta sudah menyadari kesalahannya (Hikmah Petruk Jadi Ratu: https://islamjawa.wordpress.com/2015/02/12/hikmah-petruk-jokowi-jadi-ratu/).

Dalam belasan tahun belakangan ini setelah Presiden Soeharto lengser keprabon, salah kaprah tentang wahyu tersebut muncul berkelindan dengan salat tahajud. Beberapa kali kita mendengar seorang tokoh masyarakat yang menceritakan doa yang dipanjatkan dan pentunjuk yang diperolehnya dalam salat tahajud, sehingga kemudian yang bersangkutan maju mencalonkan diri menjadi kandidat pemimpin.

Bagi yang mau merenungkan secara seksama, empat seri awal dalam tulisan Seri Etika & Kepemimpinan ini, sesungguhnya sudah dengan gamblang menunjukkan dan membedakan mana kekuasaan yang diperoleh dengan ambisi dan mana yang diperoleh semata-mata karena amanah. 

Pada seri (1) digambarkan kisah hikmah Lukman tentang bagaimana kita menyikapi amanah kekuasaan yang tanpa diminta, sementara pada alinea penutup seri (5) mengisyaratkan kekuasan yang diperoleh karena diminta, karena ambisi, yaitu: “Abah Thoyib dari Semengko, Mojokerto berpesan, ‘Jangan kamu berdoa meminta pesona dunia, meminta dijadikan kaya apalagi berambisi pada pangkat, jabatan dan kekuasaan. Sebab mungkin saja Gusti Allah mengabulkan, tapi jika seraya itu juga sekaligus memberimu banyak musuh serta mencabut keberkahan-Nya darimu, lantas apa nikmatnya?’ ” 

Jadi jelas, yang karena amanah apalagi wahyu itu datang sendiri tanpa diminta, sedangkan yang karena ambisi diraih dengan segala daya upaya termasuk doa atau memohon kepada Tuhan, ke dukun dan makhluk gaib dari tempat-tempat keramat, rekayasa dan lain-lain. Meskipun demikian, tidak jarang yang ambisius pun mengemas dengan mencitrakan dirinya sebagai memperoleh hidayah bahkan amanah kewahyuan.

Sebetulnya orang-orang arif bijak Jawa juga mengajarkan, bagaimana kita membedakan antara pemimpin yang memperoleh amanah kewahyuan dan yang bukan, dengan menggunakan bisikan nurani atau batin yang dikenal sebagai kesan pertama.

Sesungguhnya Gusti Allah telah membekali batin setiap hambaNya dengan ketajaman dalam melihat seseorang berupa kesan pertama tatkala baru pertama kali berjumpa atau melihatnya. Hanya sayang, kita sering tidak peka menangkap bisikan batin kita sendiri, dan kemudian berdalih dengan menyatakan tidak boleh berprasangka buruk. Padahal kesan pertama yang dibisikkan oleh batin kita bukanlah untuk berprasangka buruk kepada seseorang yang baru dikenal, melainkan untuk bersikap hati-hati, cermat, teliti dan waspada.

Demikianlah ketika saya mulai berkiprah sebagai wartawan Istana akhir 1972, orangtua saya mengajarkan hal tersebut seraya menambahkan, bagaimana kita menilai apakah Pemimpin Pemerintahan akan sukses atau tidak. “Pada saat pengumuman Kabinet, perhatikan wajah dan gerak-gerik para anggota kabinet itu, kemudian pejamkan matamu, singkirkan ambisi duniamu dan cobalah bicara dengan qalbumu. Apakah batin dan perasaan kita senang terhadap mereka, ada rasa ingin membantu secara ikhlas dan sukarela ataukah sebaliknya. Bila demikian halnya, maka bisa diyakini mereka akan sukses. Namun bila yang muncul perasaan sebaliknya, maka besar kemungkinan mereka tidak akan sukses.” 

Tentu tidak mudah mengukur potensi sukses seseorang atau sesuatu kepemimpinan dengan rasa batin, karena itu sangat subyektif dan tergantung kepekaan batin seseorang, serta kemampuan meredam pesona dunia saat berbicara dengan qalbunya. Tetapi ada dua tolok ukur. Satu tolok ukur diajarkan para leluhur Jawa, dan satu lagi diajarkan langsung oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sebagaimana sabdanya, “Apabila Allah berkenan untuk munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memberikan baginya para menteri yang jujur, yang jika lupa (atau salah), maka menteri itu akan mengingatkannya, dan bila ia ingat (atau benar) maka mereka akan membantunya. Sebaliknya, apabila Allah berkendak selain itu, maka Allah akan menyediakannya baginya menteri yang jahat, yang bila ia lupa (atau salah), maka mereka tidak mengingatkannya, dan bila ingat (benar) maka mereka tidak membantunya” (HR. Abu Daud).

Tolok ukur yang diajarkan leluhur Jawa yang pada hakikatnya merupakan kearifan  Nusantara, mengajarkan seorang pemimpin yang memperoleh amanah dari Gusti Allah tanpa meminta, memiliki tanda-tanda antara lain, (1) orangnya tawadhu, rendah hati dan sederhana bagaikan Prabu Puntadewa (https://islamjawa.wordpress.com/2014/04/22/pemimpin-ideal-versi-sunan-kalijaga/ dan https://islamjawa.wordpress.com/2013/04/11/suluk-tembang-dakwah-walisongo-3-lagu-gundul-gundul-pacul-bukti-kejenakaan-ulama/); (2) dicintai dan dihormati oleh sesamanya, didengar dan diikuti ucapannya; (3) karena ia dipilih oleh Gusti Allah dan bukan berkuasa karena kemauannya sendiri, maka segala urusannya dimudahkan dan dibantu Allah. Gusti Allah juga akan selalu membantu dia memenuhi kebutuhan rakyatnya, memberikan pertolongan dan menaklukkan musuh-musuhnya. Pemimpin yang memperoleh wahyu juga bagaikan menggenggam kunci perbendaharan bumi sehingga bumi tempatnya berpijak, bagaikan gudang pangan dan rejeki yang senantiasa terbuka lebar demi mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Maka berlakulah ungkapan sebagai berikut:

Negara panjang apunjung pasir wukir loh jinawi,
gemah ripah, toto tentren karto raharjo,
panjang dawa pocapane,
punjung luhur kawibawane,
tulus kang sarwo tinandur,
gemah ingkang alampah dagang layar

Terjemahan bebasnya:

Negara besar yang ternama yang dianugerahi kekayaan alam di lautan, di gunung dan buminya,
masyarakatnya tertata tertib hidup damai-tenteram, adil makmur sejahtera,
jadi contoh dan pembicaraan baik sampai jauh ke masa depan,
dihormati dan berwibawa,
apa saja yang ditanam (dan dikerjakan) tumbuh subur (terwujud),
daya beli rakyatnya tinggi (barang dagangan terasa murah),
perdagangan dan pelayarannya (lalu lintas dan perhubungan) berkah.

Nah begitulah saudaraku, kiat-kiat untuk membaca tanda-tanda apakah seseorang itu memperoleh amanah atau wahyu kepemimpinan atau bukan. Yang paling mudah adalah dengan mengunakan kedua tolok ukur tadi sekaligus. Hal ini sejalan dengan nasihat Luqman dalam tulisan seri (1), yakni karena Gusti Allah akan membantu dan melindungi orang yang dianugerahi amanah wahyu kepemimpinan, termasuk memudahkan segala urusannya serta memilihkan para pembantu (atau menteri) yang jujur, cakap, setia dan tulus. Bukan para pembantu yang bak burung pemakan bangkai yang selalu siap mematuk dan mengais bangkai-bangkai kesalahan pemimpinnya. Yang senantiasa mengincar bahkan membuat peluang kebijakan bagi kepentingan pribadinya. Silahkan mencoba mempraktekkan. Berikutnya: MACHIAVELLI PUN TIDAK SUKA PEMIMPIN YANG MENCLA-MENCLE.


Selasa, 15 Desember 2015

MENGGALANG KEARIFAN & PERADABAN NUSANTARA.




Ancaman Terhadap Peradaban dan Eksistensi Nusantara.

Gelombang Globalisasi yang berlangsung semenjak akhir abad ke 20, sebagai dampak berpadunya kekuatan modal dengan kemajuan ilmu-teknologi yang super canggih, adalah sebuah keniscayaan yang bisa berdampak positif maupun negatif. Namun demikian kecederungan besar yang terjadi adalah, Gelombang Globalisasi tersebut telah mengumandangkan musik jiwa yang menggalang alam pikiran manusia, untuk terpadu secara total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia melalui kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir. 

Dimensi rasionalitas yang ditata dalam tiga sistem utama yakni sistem pasar bebas, sistem sosial politik demokratis yang individualis dan sistem sosial budaya yang lepas bebas, sudah mulai kita rasakan dampaknya dengan berkembangnya sikap dan gaya hidup masyarakat yang hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan narsis.
Musik jiwa dimensi rasionalitas dengan 3 (tiga) paket sistem utama tersebut, menyerbu secara dahsyat negara-negara bangsa, dengan mengerahkan 17 (tujuhbelas) Divisi Perang yang menggempur setiap aspek kehidupan rakyat negara bangsa (Matriks Kapitalisme Global & Perang Semesta, terlampir di bawah).

Tiga Divisi Perang diantaranya menggempur secara langsung peradaban sesuatu bangsa termasuk Indonesia, terutama pada  aspek nasionalisme, sosial budaya, kearifan lokal, adat dan tradisi, agama serta spiritualisme. Dalam  hal nasionalisme, Gelombang Globalisasi berusaha melunturkan serta mendangkalkan nilai dan semangat nasionalisme sesuatu bangsa atau negara, mengobarkan separatisme dan disintegrasi, memecah-belah, menghancurkan militansi rakyat, menciptakan kesenjangan sosial ekonomi serta menyuburkan konflik horizontal dan vertikal.

Dlm aspek sosial budaya, Gelombang Globalisasi menggelorakan sex bebas dan sex sejenis, mengobarkan budaya hidup yang hedonistis-individualistis, pragamatis-materalitis dan narsistis, merusak dan menghancurkan bangunan tata nilai keluarga – kebersamaan – gotongroyong, merusak serta menghancurkan moral masyarakat, kebudayaan, adat, tradisi dan kearifan lokal,

Dalam aspek  agama dan spiritualisme, Gelombang Globalisasi mendangkalkan dan menghancurkan nilai-nilai moral spiritual dan kesalehan yang hakiki, melibas tradisi dan kearifan lokal yang memperkuat spiritualisme dan agama, menciptakan dan mengembangkan aliran-aliran sesat, mengembangkan sekularisme dan secara khusus melakukan deislamisasi terhadap pemeluk agama terbesar dan militan ini.

Gempuran dahsyat tersebut kini sudah bisa kita lihat pada pola pikir, perilaku, gaya hidup dan  bahkan peradaban masyarakat. Nampak jelas, masyarakat Indonesia kini  sedang mabok dalam alunan musik jiwa yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis. Kita mulai berubah menjadi masyarakat yang sangat egois, yang memuja diri sendiri, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya agar bisa “berkuasa dan kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.” Hidup kita menjadi boros, keras lagi mementingkan diri sendiri. Menjadikan kesalehan hanya sekedar sebagai formalitas.

Pola hidup masyarakat sedang berkembang pesat ke pola hidup yang sangat konsumtif berlebihan, serba mewah dan gemerlap, sehingga menjadikan negeri kita senantiasa defisit dalam neraca pembiayan dan perdagangan luar negerinya. Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor. Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik semen, rokok dan toko-toko kelontong dan bahan pokok, juga dikuasai oleh modal asing atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di sekitarnya tetap miskin. (http://bwiwoho.blogspot.co.id/2015/09/revolusi-mental-demi-mencegah.html , bahan seminar “Revolusi Mental Mewujudkan Ekonomi Berdikari, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unversitas Gajah Mada, 4 September 2015).


Revolusi Budaya Sebagai Keharusan.

Tata nilai kehidupan yang dibentuk oleh Kapitalisme Global tersebut, apabila tidak segera dihentikan dan diantisipasi, sudah pasti akan segera menghancurkan diri kita sendiri, bahkan meluluhlantakkan Indonesia sebagai negara bangsa. Hal itu sangat dimungkinkan sejalan dengan kekuatiran Prof.Dr.M.Sahari Besari, yang menyatakan sistem nilai serta struktur sosial masyarakat Indonesia ternyata tidak terkonstruksi untuk mengakomodasi, apalagi melawan, gelombang dahsyat globalisasi yang datang tanpa henti. (Teknologi di Nusantara, 40 Abad Hambatan Inovasi, M.Sahari Besari, Penerbit Salemba Teknika 2008, halaman 1).

Perubahan total atas tata nilai hedonis dan lain-lainnya tadi, bukanlah sekedar merupakan Revolusi Mental melainkan Revolusi Budaya, Revolusi Peradaban, yang sudah merupakan keharusan yang mendesak. Karena tata nilai hedonis dan sekutunya tersebut, pada hakikatnya adalah krisis moral bahkan krisis peradaban yang akan  membawa bangsa Indonesia masuk ke dalam pusaran krisis multidimensi yang besar, berat dan kompleks.

Karena kita tidak mungkin menghindar dari percaturan global, maka dengan membaca matriks terlampir tadi kita bisa menarik kesimpulan,  gempuran perang asymetris dengan alunan musik jiwanya masih akan terus berlangsung; oleh karena itu kita harus bergerak cepat, tepat dan  memadai. Jika tidak, maka  eksistensi kita sebagai negara bangsa di kawasan negeri maritim Nusantara Raya ini, yang terdiri lebih dari 300 etnis dengan ragam adat budaya masing-masing, yang tersebar di lebih 17.500 pulau akan sangat terancam.  

Salah satu potensi besar masyarakat yang bisa digalang untuk secepatnya melakukan pertahanan semesta menghadapi serbuan Divisi-Divisi Perang Globalisasi adalah masyarakat-masyarakat adat dan budaya dari lebih 300 etnis itu, termasuk Keraton-Keraton Nusantara.

Seluruh masyarakat adat dan budaya selaku pengemban amanah kearifan-kearifan lokal, harus segera bangun dari tidur lelapnya selama ini, bangkit kembali menggalang kekuatan bersama merajut kembali serta mengembangkan peradaban Nusantara Raya, untuk selanjutnya mewujudkan Nusantara Raya sebagai negeri maritim yang aman tenteram, adil makmur, sejahtera dan jaya sentosa. Para tokoh masyarakat harus bangkit menghidupkan kembali budaya serta kearifan-kearifan lokal suku-suku bangsa di Nusantara yang hidup rukun, damai, penuh toleransi, gotongroyong dan unggul dalam seni dan ketrampilan. Para ulama harus bisa membumikan ajaran dan kesalehan umatnya dalam berbagai kegiatan dan perilaku amal saleh, dan bukan hanya sekedar kesalehan formal.

Langkah pertama yang seyogyanya bisa segara dilakukan adalah menghimpun dan melakukan konsolidasi gerakan atas segenap potensi adat, tradisi, keraifan lokal dan budaya Nusantara Raya.

Himpunan gerakan ini harus bisa mewujudkan Nusantara Raya yang berlandaskan peradaban  negeri maritim yang aman tenteram, adil makmur, sejahtera dan jaya sentosa, yang dicirikan antara lain:

  1. Rakyatnya yang multi etnis, agama dan golongan hidup secara harmonis dalam suasana kebhinekatunggalikaan, yang juga berdiri sederajat secara harmonis dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam suatu tatanan dunia yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dan nilai-nilai kemanusiaan.
  2. Rakyatnya cerdas, berjatidiri, berbudaya dan berakhlak mulia.
  3. Tatanan masyarakatnya berkeadilan sosial dan berkeadilan hukum secara taat azas.
  4. Tatanan poilitiknya menjunjung tinggi sistem perwakilan dan permusyawaratan yang antara lain ditandai dengan terwakilinya suku/etnis, adat-budaya,  golongan dan agama yang ada di Nusantara Raya dalam lembaga legislatif dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  5. Pemerintahannya dikelola oleh birokrasi yang bersih, memiliki semangat pengabdian dan berdisiplin tinggi serta amanah.

Semoga Gusti Allah Yang Maha Kuasa meridhoi, merahmati dan memberkahi usaha dan gerakan kita ini. Alhamdulillah, aamiin. (B.WIWOHO).


Beji, Depok

*) Sumbangan pemikiran untuk Workshop Budaya “REVOLUSI BUDAYA KEMBALI KE AKAR NUSANTARA”,  di Yogyakarta 8 – 10 Desember 2015.


Lampiran:  KAPITALISME GLOBAL & PERANG SEMESTA.

Minggu, 13 Desember 2015

WAHYU DAN SENI KEPEMIMPINAN : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (13).




Seni kepemimpinan telah banyak diajarkan orang dari masa ke masa, mulai dari rangkaian mitologi Yunani yang amat terkenal, Tao dan Sun Tzu dari Cina, Nasihat Bagi Penguasa-nya Al Ghazali, Sang Penguasa-nya Niccolo Machiavelli, serta sejumlah ajaran Jawa seperti Hasta Brata, Raja Kapa-Kapa, Wulangreh dan Wedhatama, sampai ratusan mungkin ribuan buku-buku teks kepemimpinan abad 20 misalkan The Art of The Leader-nya William A.Cohen dan The Charismatic Leader-nya Jay A.Conger dan sebagainya. 

Dari berbagai buku dan riwayat hidup para pemimpin besar dunia, kita bisa mempelajari bahwa kemampuan kepemimpinan itu tidak jatuh dari langit, melainkan merupakan suatu proses panjang, tempaan keras dan jatuh bangun dalam kehidupan seseorang sebelum menjadi pemimpin. Bagaikan membuat senjata, sang pemimpin tidaklah diperoleh tiba-tiba langsung jadi dari bongkahan tanah, tetapi dikumpulkan dari sejumlah bijih logam, kemudian dibakar api sampai membara dan ditempa terus menerus, sambil sesekali dimasukkan ke dalam air, sampai terbentuk sebuah senjata andalan.

Dalam kamus kehidupan, mereka kenyang menghadapi ujian-ujian kehidupan, diterpa berbagai badai dahsyat serta gelombang pasang surut, sehingga dari waktu ke waktu kearifan, pengalaman dan kapasitasnya sebagai pemimpin semakin meningkat. Mereka terus menerus mengalami pengayaan hidup, dan bukanlah tipe orang yang selalu hidup senang bermanja-manja. Perjalanan dan pengayaan kemampuan  kepemimpinannya bisa diibaratkan lingkaran spiral, yang dimulai dari lingkaran paling luar yang paling besar, yang secara bertahap semakin masuk ke dalam menjadi lingkaran yang semakin mengecil, sampai kemudian menjadi inner circle atau lingkaran terdalam dan pada akhirnya menjadi ujung akhir lingkaran terdalam.

Sejarah dunia dan juga Indonesia mengajarkan, para pemimpin yang tidak mengalami tempaan mengikuti spiral kehidupan yang seperti itu, pada umumnya akan gagal. Mereka akan menjadi pemimpin boneka atau pemimpin yang hanya mengumbar pesona dunia, serakah, tamak, penuh curiga, licik dan kejam. Dalam sejarah Cina misalkan, banyak dijumpai kaisar-kaisar boneka. Sebagai contoh adalah Kaisar Xian atau Liu Xie (181 – 234) yang merupakan Kaisar terakhir dari Dinasti Han yang memerintah dari tahun 189 sampai 220. Contoh lain adalah Kaisar Puyi (1906 – 1967) yaitu Kaisar Cina terakhir yang kisahnya diangkat ke dalam film layar lebar yang amat terkenal yaitu film The Last Emperor. The Last Emperor versi Hongkong diproduksi tahun 1986 oleh sutradara Li Han-hsing, sedangkan versi Hollywood diproduksi tahun 1987 oleh sutradara Bernardo Bertolucci dan memenangkan penghargaan Academy Award.

Di Indonesia, baru-baru ini saya memperoleh kiriman catatan dari sahabat Agus Sunyoto (penulis buku Atlas Walisongo). Catatan itu sebetulnya untuk menunjukkan peristiwa kejatuhan sesuatu rezim yang ditandai dengan amuk atau amok massa, namun semuanya tidak terlepas dari perilaku dan kepemimpinan penguasanya.

Menurut mas Agus Sunyoto, pejabat serakah, rakus, tamak, dalam sejarah kekuasaan di Nusantara selalu jadi pemicu amok massa yang merusak-binasakan segalanya. Tahun 1400 Saka, Majapahit karam dalam lautan darah – yang ditandai sebagai sirna ilang kertaning bhumi. Tahun 1546 Demak karam dalam lautan darah bahkan bekas keratonnya pun hilang. Tahun 1579 Pangeran Banowo sah saking kedhaton Pajang, pergi meninggalkan keraton Pajang, mendirikan pesantren di Parakan. Tahun 1670 Amangkurat l lari ke Tegal dan wafat  di sana setelah Kotagede dijarah pemberontak. Selanjutnya sang pengganti, Amangkurat ll pindah ke Kartosuro. Tahun 1743 Kartosuro pun karam dalam kekisruhan akibat geger Pacinan. Deretan kerusuhan yg melibatkan amok massa terus jadi penanda pergantian rezim. Tahun 1942 saat Jepang masuk, pecah kasus "penggedoran" di Tangerang-Jakarta- Bekasi dengan korban 6000 org tewas. Tahun 1945 amok massa pecah di Surabaya, tentara Jepang yang ditawan di penjara militer Koblen, diseret massa untuk disembelih dan darahnya diminum rame-rame. Tahun 1965 saat Soekarno runtuh massa mengamuk menyerang PKI. Demikian pula amok massa yang terjadi pada saat kejatuhan rezim Orde Baru tahun 1998.

Yang cukup mengkuatirkan dan wajib diantisipasi adalah, Orde Baru tidak membangun sistem kaderisasi kepemimpinan secara terpola terencana dan membiarkan berjalan secara alami, sehingga kejatuhannya secara mendadak mematahkan pola alami spiral kepemimpinan. Akibatnya pola rekrutmennya berlangsung secara bebas sembarangan, sehingga siapa saja termasuk kaum marginal yang semula berada di lingkaran spiral terluar, bisa tiba-tiba saja masuk ke dalam spiral terdalam. 

Yang memprihatinkan dalam situasi seperti ini adalah munculnya kekuataan uang yang membajak sistem demokrasi yang sehat. Munculnya para pengusaha yang  sekaligus menjadi penguasa. Tujuan mereka berkuasa bukanlah untuk menjalankan fungsi kewahyuannya, fungsi menyejahterakan masyarakat dan mewujudkan rahmat bagi semesta alam, melainkan memang semata-mata untuk berkuasa dengan mengumbar nafsu pesona dunia yang tak kan pernah bisa terpuaskan.

Ciri-ciri penguasa yang tidak mengemban amanah kewahyuannya di samping ketidaktulusan dan ketidakikhlasan, antara lain adalah mereka gegabah dalam melakukan sesuatu,  tidak konsisten dan ucapannya tidak  bisa dipegang bahkan sering berbantahan satu sama lain. Padahal sebagaimana nasihat Al Ghazali di awal bukunya Nasihat Untuk Penguasa, seorang penguasa akan dapat mempertahankan kekuasaannya dengan baik dan bisa menyejahterakan rakyatnya, apabila ia tidak pernah melakukan sesuatu tanpa perhitungan dalam arti tidak gegabah,  selalu konsisten dan tak pernah meralat. 

Yang terakhir itu merupakan benang merah yang kuat dalam seni kepemimpinan Jawa, yaitu agar berwibawa, maka seorang penguasa atau raja harus memegang teguh Sabda Pandhita Ratu, tan kena wolak-walik. Artinya, seorang penguasa harus memegang teguh satu kata dan perbuatan. Ucapannya bagaikan ucapan seorang pendeta sakti nan manjur, yang segera menjadi kenyataan. Ludahnya ludah api yang sekali dilontarkan langsung mewujudkan keinginannya. Ucapannya istiqomah dan tidak mencla mencle. Tidak pagi tempe sore dele. Pagi sudah menjadi tempe, sore hari mentah kembali menjadi kedelai.  Ini juga sekaligus mengajarkan bahwa seorang pemimpin tidak boleh berkata atau bertindak semaunya sendiri, menggampangkan persoalan apalagi ngawur, karena dampaknya sangat luas bagi rakyat banyak yang tak berdosa.

Seorang pemimpin tertinggi dalam suatu negara atau kerajaan, dalam bahasa Jawa disebut Ratu, yang berasal dari kata rat yang berarti jagat atau alam raya. Seseorang bisa menjadi raja atau ratu menurut kepercayaan Jawa, karena ia memperoleh wahyu keratuan atau wahyu kedaton atau lebih tepatnya amanah selaku utusan Allah di jagad raya (khalifah fil ard), guna mewujudkan rahmat bagi alam semesta dan seisinya. Tempat tinggal seorang ratu disebut keraton atau kedaton yang berasal dari kata dzat sing katon, maksudnya tempat tinggal wakil dzat Allah yang kelihatan.

Karena mengemban tugas sebagai utusan dan wakil Gusti Allah di muka bumi, maka si penerima wahyu juga harus bisa mencerminkan berbagai sifat mulai Allah, meneladani Kanjeng Nabi Muhammad Saw. menjauhi perilaku tercela, meninggalkan ujub dan riya, jujur, adil serta sungguh-sungguh ikhlas dalam mengemban amanah mewujudkan rahmat bagi jagat raya seisinya. 

Seorang penerima wahyu juga harus memegang teguh sifat-sifat satria utama yaitu “Sumungkem ing Pangeran, bekti ing bapa biyung, welas asih ing sapada-pada. Berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta ing liyan, dosa lara diapura, dosa pati diuripi, kuat drajat kuat pangkat. Artinya, sujud dan taat kepada Gusti Allah, berbakti kepada ayah-bunda, belas kasih kepada sesamanya. Berbudi luhur yang diamalkan dalam kehidupan, bersikap adil dan menyejahterakan tanpa membeda-bedakan orang, memaafkan orang yang menyebabkan kita sakit (dalam arti luas termasuk menderita), memberikan hak hidup orang yang menyebabkan kematian (terutama kematian pada keluarga kita). Kuat mengemban derajat dan pangkat.” Jika tidak, maka wahyu kedaton bisa oncat atau pergi meninggalkannya, menjadi orang yang tidak kuat memikul derajat dan amanah, bahkan bukan tidak mungkin tercampakkan luluh lantak. Naudzubillah.

Semoga kita bangsa Indonesia khususnya para elit penguasa, diampuni dan dianugerahi kesadaran dan kemampuan untuk bisa menjadi pemimpin yang amanah dalam mengemban wahyu kepemimpinannya, yakni mewujudkan rahmat bagi semesta alam, khususnya dalam membasmi kezaliman, mewujudkan ketenteraman dan menegakkan keadilan serta menyejahterakan rakyat. Dan bukan pemimpin boneka yang jadi obyek permainan orang-orang di sekelilingnya nan zalim. Aamiin. Berikutnya : TANDA-TANDA PEMIMPIN YANG MEMPEROLEH WAHYU.

Minggu, 06 Desember 2015

PEMIMPIN, DILAHIRKAN ATAUKAH DARI PENDIDIKAN: Seri Etika & Moral Kepemimpinan (12).



Seni Hubungan Suami – Isteri ala Jawa Untuk Mempunyai Anak yang Berbakat Jadi Pemimpin.

Pokok bahasan yang menarik tentang kepemimpinan adalah seni kepemimpinan. Namun sebelum sampai ke hal tersebut, penulis ingin mengupas masalah yang selama ini banyak dipertanyakan orang di berbagai belahan bumi, yakni apakah seorang pemimpin itu dilahirkan artinya sudah bakat dari lahir, ataukah hasil dari suatu pendidikan. Apakah sepenuhnya sudah dipastikan oleh Tuhan ataukah masih ada ruang usaha bagi manusia?
Dalam kearifan lokal Jawa, sebagaimana diuraikan sejumlah kitab tua seperti Serat Centhini, Serat Nitimani, Serat Kawruh Sanggama dan Primbon KPH Cakraningrat, masalah seks dalam kaitan dan makna memahami serta mempersiapkan hubungan intim pria – wanita supaya bisa menurunkan anak yang baik, juga banyak dikupas. Salah satu hal yang menarik adalah nasihat bagaimana sepasang suami-isteri harus mempersiapkan diri menjelang berhubungan intim, dan apa yang harus dilakukannya pada saat sanggama, terutama apabila mengharapkan keturunan yang baik.

Secara hakikat, ajaran ini sama dengan ajaran di dalam Islam, yaitu hubungan intim tidak boleh dipaksakan, dilakukan dalam kondisi badan sehat, sebelumnya mandi dan gosok gigi atau bersih-bersih badan supaya aroma tubuhnya harum, serta dilangsungkan dalam suasana yang tenang dan nyaman. Selanjutnya berdoa atau salat hajat dua rekaat, memohon ijin dan pertolongan Gusti Allah, agar hubungan suami isteri yang akan dilakukan diridhoi, dirahmati dan diberkahi, diberi kekuatan lahir batin sehingga berlangsung harmonis, serta dijadikan sebagai bekal ibadah dan amal saleh. Doa yang paling terkenal yang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad adalah, ““Dengan Nama Allah, Ya Allah! Jauhkan kami dari syetan, dan jauhkan syetan agar tidak mengganggu apa (anak) yang Engkau rezekikan kepada kami” (HR. Bukhari dan Muslim)

Yang lebih penting lagi menurut ajaran kearifan Jawa, selama bersanggama hawa nafsu tidak boleh dibiarkan melesat lepas bebas tanpa kendali agar pada saat sedang mencapai orgasme, baik tatkala terjadi pada isteri atau pun  suami, masing-masing lebih utama jika bisa keduanya, mampu hening sejenak sembari berdoa di dalam hati,  agar benih yang dipancarkan bisa menjadi  anak yang soleh atau solehah dan sejumlah harapan baik lainnya bagi sang anak, termasuk menjadi pemimpin yang diberkahi Allah.
Suasana batin pasangan pria – wanita pada detik-detik saat tengah orgasme itulah yang diyakini akan menentukan watak anak yang lahir dari persetubuhan tadi. Apatah berwatak ksatria Pandawa seperti Puntadewa, Bima, Arjuna dan Kresna ataukah para Kurawa seperti Duryudana, Dursasana, Burisrawa dan Sengkuni bahkan Rahwana; berwatak Gajah Mada, Sunan Kalijaga, Bung Karno, ulama, seniman, pedagang ataukah Ken Arok, Damarwulan ataukah berandal ataukah koruptor?

Ibarat sebuah lukisan, suasana batin orang tua sewaktu mencapai puncak hubungan seksual sangat menentukan kualitas kain bahan lukisan. Apatah kain yang tipis menerawang, yang mudah robek ataukah yang tebal, kuat dan bersahabat dengan berbagai jenis cat. Adapun cat, corak, jenis dan gambar lukisan tergantung pada orangtua, guru dan masyarakat setelah sang anak lahir. Maka seperti suasana batin Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi yang lupa diri lantaran nafsu syahwatnya berkobar tanpa kendali menerjang pagar ayu atau kesusilaan, lahirlah raksasa perkasa nan angkara murka yakni Rahwana atau Dasamuka.

Di dalam legenda dan kepercayaan masyarakat Jawa, ada sejumlah tokoh besar yang lahir akibat hubungan gelap atau pun pemerkosaan. Orang yang melanggar kesusilaan dengan melakukan hubungan gelap, pada umumnya dikuasai dorongan nafsu, semangat dan tekad atau lebih tepat nekad dengan sangat kuat terutama pihak lekaki, meski tidak jarang juga pada kedua pelakunya, sehingga lahirlah anak yang memiliki semangat dan berani nekad. Lebih-lebih apabila setelah lahir, anak hasil kumpul kebo ini dibesarkan serta dididik oleh ibunya selaku orangtua tunggal dengan keprihatinan tinggi. Maka jadilah tokoh-tokoh hasil lembu peteng yang mengukir sejarah seperti halnya Ken Arok dan Bondan Kejawan, serta sejumlah tokoh lainnya yang diyakini masyarakat memiliki latar belakang hasil hubungan seks yang sama.

Tentu saja penulis tidak menganjurkan para sahabat melakukan hal yang seperti itu demi memiliki keturunan yang perkasa dan bisa menjadi penguasa ternama. Karena toh kalau anggapan seperti itu benar, berapa persen dari anak-anak hasil hubungan gelap yang bisa berkuasa, dan berapa persen yang gagal total dalam kehidupannya. Saya yakin yang gagal jauh lebih banyak. Lagi pula, keberhasilan menjadi penguasa, tidaklah menjamin yang bersangkutan mencapai ending atau akhir karier yang baik. Bahkan tidak jarang kehidupannya berakhir dengan tragis. Naudzubillah. (https://islamjawa.wordpress.com/2015/02/19/hubungan-seks-pengaruhnya-pada-anak-seks-dalam-peradaban-kebudayaan-jawa-3/ ).

Sahabatku, kita semua menyakini, seluruh kehidupan ini sudah tertulis dalam lauh mahfudz, kitab skenario atau catatan kejadian di alam semesta termasuk nasib, amal dan perbuatan manusia. Namun demikian Allah Yang Maha Agung juga masih memberikan ruang ikhtiar dan doa kepada umat manusia. Dari hikmah dan hakikat doa Rasulullah Saw serta untaian nasihat kearifan Jawa tadi, kita bisa menarik pelajaran adanya peluang ikhtiar manusia untuk memberikan pondasi kokoh pada anak keturunannya, semenjak benih dipancarkan dari sela tulang sulbinya, agar menjadi insan kamil dalam suatu peradaban nan mulia.

Insan yang sejak pembentukannya sudah diniatkan oleh kedua orang tuanya, akan bagaikan bahan baku kain lukisan kehidupan yang baik. Selanjutnya cat, corak, jenis dan gambar lukisan tergantung pada orangtua, guru dan masyarakat setelah sang anak lahir. Itulah pendidikan dan gemblengan kehidupan, yang akan menjadi lukisan pada kain. Semuanya saling terkait, saling mengisi dan melengkapi. Tentu saja, sebaik apapun bahan catnya, dan sehebat bagaimanapun pelukisnya, tapi apabila bahan kainnya buruk, tidaklah mungkin bisa dibuat lukisan kepemimpinan yang mumpuni, yang hebat dan diberkahi. Oleh karena itu marilah kita niatkan dan siapkan anak keturunan kita, generasi masa depan untuk menjadi pemimpin-pemimpin umat yang mulia dan diberkahi, semenjak belum terjadi pembuahan. Mari kita siapkan anak keturunan kita untuk memahami seni kearifan ini.  Aamiin. Berikutnya: WAHYU DAN SENI KEPEMIMPINAN.