Minggu, 24 Januari 2016

KEPEMIMPINAN GAJAH MADA, PARARATON dan KIDUNG SUNDA: Seri Etika & Moral Kepemimpinan (19).




Orang Indonesia siapakah yang tidak mengenal nama Gajah Mada? Dari semenjak Sekolah Dasar, nama Mahapatih Gajah Mada sudah masuk dalam pelajaran sejarah yang harus dihafal dan dipahami. Di Yogyakarta diabadikan menjadi nama Universitas yang merupakan salah satu universitas unggulan Indonesia. Di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia kejuangannya diabadikan dalam patung (tapi ada yang berpendapat dengan wajah salah seorang tokoh kepolisian), sedangkan di korps Polisi Militer Angkatan Darat, dijadikan lambang kebanggaan. Sementara itu sumpah ”Palapa” yang dicanangkannya, diabadikan menjadi nama satelit yang mempersatukan komunikasi se Nusantara.

Ada pun keberadaan makamnya diklaim oleh lima masyarakat di berbagai daerah, antara lain di Situs Wadu Nocu di Desa Padende, Donggo, Bima, Nusa Tenggara Barat.  Menurut keyakinan masyarakat setempat, Wadu Nocu adalah makam Gajah Mada. Keyakinan ini diungkapkan secara turun temurun oleh penjaga makam tersebut. (http://daerah.sindonews.com/read/1041185/29/misteri-lima-makam-gajah-mada-1441483605).
 
Di Selaparang, Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat juga terdapat makam yang dipercayai sebagai makam Gajah Mada. Makam tersebut dapat ditempuh perjalanan 2 (dua) jam dari Mataram. Bentuk makam seperti sumur bundar dengan susunan batu sungai berukuran sedang yang tertata rapi tanpa tulisan apa pun.

Masyarakat Tuban, Jawa Timur pun menyakini jika Gajah Mada dimakamkan di daerah mereka tepatnya di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Makam tersebut dikenal dengan nama Makam Barat Ketiga. Barat Ketiga merupakan istilah dari bahasa Jawa yang jika dialihbahasakan berarti angin kemarau.

Di Provinsi Lampung juga ada makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan yang terakhir bagi Patih Gajah Mada. Makam itu terletak di Pugung Tampak, Kabupaten Liwa, Provinsi Lampung. Konon dahulu kala Kapal yang ditumpangi Patih Gajah Mada tenggelam di Perairan Pugung, setelah tiba di Pugung Patih Gajah Mada jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di Pekon Pugung. Keyakinan itu dikuatkan dengan adanya pusara makam serta peninggalan berupa keris, mahkota, pedang, tombak, ikat pinggang, ikat kepala, dan peninggalan lainnya. Sejak dulu, tempat yang diyakini sebagai lokasi makam Gajah Mada itu hanya berupa gundukan tanah merah.
Baru pada 1981 dibangun pagar keliling. Setelah itu diperbaiki kembali dengan membuat lantai di sekitar lokasi makam pada 2010.

Di Buton, awal tahun 1974 penulis pernah berkunjung dan menjumpai masyarakat yang meyakini sebagai keturunan pasukan Gajah Mada. Mereka memiliki lagu-lagu pujian yang mengagungkan nama Gajah Mada dan Majapahit serta menghormati bendera merah putih yang warnanya dibuat dari kulit tumbuh-tumbuhan. Mereka adalah warga pesisir pantai antara Pelabuhan Sempo Liya dan Pulau Simpora, tepatnya di Kampung Mada, Desa Matiri, Batauga, Kepulauan Wangi-wangi, Buton, Sulawesi Tenggara.
Hal ini dibuktikan dengan adanya batu prasasti yang dinamakan Batu Mada. Konon Gajah Mada yang memiliki banyak kesaktian memilih salah satu gua di wilayah Togo Moori untuk bertapa. Di gua daratan Pulau Karang Wangiwangi yang bersambung ke laut lepas inilah konon Patih Gajah Mada moksa (menghilang dalam arti masuk surga dengan segenap jiwa raganya) saat semadi.

Mahapatih dari abad  XIV yang terkenal karena Sumpah Palapanya demi menyatukan Nusantara ini banyak dikenang dan dimuliakan oleh banyak ahli sejarah, kecuali oleh tiga kitab yang tidak jelas pengarangnya dan sangat lemah kesahihannya. Dua kitab diantaranya adalah Kidung Sunda dan Kidung Sundayana (lebih pendek), yang konon ditemukan di Bali pada tahun 1920-an. Kitab yang ketiga adalah Pararaton.

Baik Kidung Sunda dan Sundayana maupun Pararaton  mengisahkan perang yang tidak layak antara rombongan dari kerajaan Sunda di daerah Bubat dengan pasukan Majapahit atas perintah Gajah Mada, yang terjadi pada tahun 1357 M. Ketiga kitab tersebut tidak ditulis dalam bahasa Jawa Kuno atau Kawi sebagaimana lazimnya kitab dan prasasti sebelum abad XV,  melainkan dalam bahasa Jawa Madya atau Pertengahan yang mulai digunakan pada abad XVI bahkan XVII. Kejanggalan lain dari ketiga kitab tersebut adalah naskah asli tidak diketahui, demikian pula tidak ada nama penulisnya. Khusus untuk Pararaton bahkan konon baru selesai ditulis pada 3 Agustus 1613 M, pada awal masa pemerintahan Sultan Agung yang sangat dibenci Belanda, atau jangan-jangan bahkan baru pada awal abad ke 20. Ini berarti baru ditulis 4 abad atau bisa jadi 7 abad kemudian, dan tanpa dukungan fakta-fakta sejarah.

Sungguh sangat memprihatinkan, selama ini para ahli sejarah hanya menggunakan versi salinan dan bahkan pada umumnya hanya terjemahan, dan percaya begitu saja hanya dengan alasan itu hasil penemuan Belanda. Padahal di masa lalu, sebagai contoh kitab Kakawin Arjunawiwaha yang ditulis jauh sebelumnya, yaitu tahun 1030 M pada masa pemerintahan Raja Airlangga oleh Mpu Kanwa, berbahasa Jawa Kuno. Juga kitab Negarakartagama atau Kakawin Desawarnana yang menceritakan masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Majapahit), ditulis dalam bahsa Jawa Kuno dengan tahun serta nama pengarang yang jelas yaitu Mpu Prapanca atau Dang Acarya Nadendra pada tahun 1365 M, dan ada naskah aslinya.

Di samping kejanggalan-kejanggalan tersebut, juga masih terdapat lagi sejumlah kejanggalan dan ketidakcocokan terutama dengan Kitab Negarakertagama dan Kutara Manawadharmasastra (Undang-Undang Majapahit) yang sangat rapi, tegas dan keras. Demikian pula jika menilik tiada legenda atau pun cerita rakyat yang mengisahkan perang besar di suatu desa di Jawa Timur tersebut. Jika betul-betul ada bisa dibayangkan betapa dahsyat tragedi pertempuran, mengingat rombongan dari Pasundan disebut datang dengan menggunakan sekitar 2000 kapal. Suatu kisah kecil saja bagi masyarakat Jawa tempo dulu, sudah bisa menjadi legenda atau cerita rakyat yang menandai atau kemudian diabadikan menjadi nama sesuatu tempat. Padahal perang antara pasukan Pajajaran dan Majapahit yang disebutkan dalam Pararaton dan Kidung Sunda tersebut melibatkan ribuan orang.

Sayang sekali baik para ahli sejarah Indonesia dan lebih-lebih Pemerintah, sampai sekarang belum tergerak untuk melakukan penelitian dan kajian yang mendalam terhadap ketiga kitab tersebut, serta membiarkan menjadi bahan olok-olok, penghinaan dan sentimen kesukuan.  

Karena itu berdasarkan data-data sementara yang ada, pada hemat penulis ketiga kitab tadi bukan tidak mungkin sengaja dibuat oleh Belanda, pertama demi mengadudomba dan memecah belah orang Jawa dengan orang Sunda. Tujuan kedua khususnya melalui Pararaton, adalah untuk menghina para bangsawan Jawa terutama keluarga kerajaan Mataram termasuk Sultan Agung, dengan menyatakan sebagai keturunan Ken Arok  yang rekam jejak sejarahnya jelek, yang kelicikannya melebihi Machiavelli, yang mengakibatkan terjadinya “kutukan Mpu Gandring.” Sementara itu belum ada bukti dan fakta sejarah yang mendukung kebenaran kisah Pararaton (dan juga Kidung Sunda) tersebut.

Tapi biarlah itu menjadi tanggungjawab para ahli dan Pemerintah untuk mencari kebenaran sejarah. Kita kembali pada kebesaran nama Gajah Mada di sisi lain (lepas dari kekurangannya seandainya kelak ketiga kitab di atas memang benar). Sebagai anak bangsa, kita baru sekedar mengabadikan abu atau arang dari sesuatu peristiwa pembakaran, dan belum sampai pada melestarikan nyala api atau semangat juangnya.

Rakawi Prapanca dalam kitab Negarakartagama, merumuskan semangat tersebut ke dalam 15 sifat atau kiat kepemimpinan Gajah Mada yang menghantarkannya menjadi Mahapatih besar ((Gajah Mada, Muhammad Yamin, Penerbit Balai Pustaka, cetakan VII – 1972, halaman 90 – 94).


Pertama, Gajah Mada itu wijnya, artinya mampu melihat jauh ke depan dan bijaksana penuh hikmah dalam menghadapi berbagai macam kesukaran, sehingga akhirnya selalu berhasil menciptakan ketenteraman.

Kedua, mantriwira, artinya pembela negara yang berani tiada tara.
Ketiga, wicaksaneng naya, bijaksana penuh perhitungan yang senantiasa terpancar dalam  setiap  tindakan, baik ketika menghadapi lawan maupun kawan, bangsawan atau pun rakyat jelata.

Keempat, matanggwan, memperoleh kepercayaan karena rasa tanggungjawabnya yang besar sekali dan selalu menjunjung tinggi kepercayaan yang dilimpahkan kepadanya.
Kelima, satya bhakti aprabhu, setia dengan hati yang tulus kepada negara dan Raja. Selama empatpuluh lima tahun ia setia mengabdi. Padahal jika mau, dengan sedikit tenaga saja ia sudah bisa merebut mahkota dan menduduki singgasana. Setia bakti telah mendarah daging  dalam hidupnya, sehingga segenap pikiran dan tenaganya ditumpahkan buat mewujudkan Majapahit dan mempersatukan Nusantara,  diabdikan kepada tiga raja berturut-turut sejak 1319 sampai ajalnya tiba tahun 1364.

Keenam, wagmi wak, pandai berbicara dan berdiplomasi mempertahankan atau meyakinkan sesuatu.
Ketujuh, sarjjawo pasama, rendah hati, berbudi pekerti luhur, berhati emas, bermuka manis dan penyabar. Sifat ini pada umumnya hanya ditemukan pada ahli politik serta diplomat ulung.

Kedelapan, dhirotsaha, artinya terus-menerus bekerja rajin dan sungguh-sungguh.
Kesembilan, tan lalana, selalu nampak gembira walaupun pedalamannya sedang gundah atau pun terluka.
Kesepuluh, diwyacitta, mau mendengarkan pendapat orang lain dan bermusyawarah.

Kesebelas, tan satrisna, yaitu tidak mempunyai pamrih pribadi untuk menikmati kesenangan yang berisi girang dan birahi.
Keduabelas, sih-samastabhuwana, menyayangi sesamanya yang ada di dunia, sesuai atau dalam konteks falsafah hidup bahwa segala yang ada di dunia ini adalah fana dan bersifat sementara. Karena itu kehidupan dunia harus dijaga demi kehidupan abadi.

Ketigabelas, ginong pratidina, selalu mengerjakan yang baik dan membuang yang buruk. Setiap saat Gajah Mada mawas diri apakah sudah mengutamakan ginong pratidina. Ini sejalan dengan amar ma’ruf nahi munkar di dalam Islam, mengerjakan kebaikan dan menjauhi kemungkaran.

Keempatbelas, sumantri, menjadi pegawai kerajaan (pegawa negeri) yang senonoh dan sempurna kelakuannya. Gajah Mada  mengabdi kerajaan selama 45 tahun, 33 tahun di antaranya menjabat pangkat Patih Mangkubumi dan Perdana Menteri. Selama itu pula ia terpuji sebagai pegawai yang berjasa dan selalu berkelakuan baik.

Kelimabelas atau yang terakhir, anayaken musuh, bertindak tegas memusnahkan musuh negara. Ia selalu menjalankan politik kasih sayang kepada siapa pun yang setia kepada negara, namun tak pernah gentar dan ragu dalam mengambil tindakan membasmi musuh-musuh negara (kerajaan), termasuk tak gentar menewaskan lawan. Kebesaran Majapahit ditegakkan atas dasar perdamaian, dan tak takut menumpahkan darah dalam membelanya.

Sahabatku, demikianlah iktibar atau pelajaran yang dapat kita petik dari kepemimpinan Gajah Mada, peletak dasar kebesaran Nusantara II. Sebagai manusia tentu tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Marilah kita pandai-pandai memiliahnya. Semoga. Berikutnya: AJARAN KEPEMIMPINAN RAJA-RAJA MATARAM .



Minggu, 17 Januari 2016

FALSAFAH KEPEMIMPINAN HASTA BRATA : Seri Etika & Moral Kepemimpinan (18).




Tipe ideal kepemimpinan Jawa yang dituangkan ke dalam suluk pewayangan sebagaimana Seri (17), lebih lanjut diajarkan secara terinci dalam falsafah Hasta Brata yang berarti Delapan Sifat atau Laku Kepemimpinan.

Dalam cerita wayang versi Jawa, Hasta Brata telah diajarkan pertama kali dalam kisah atau lakon Rama Tundung, oleh Raden Rama Regawa yang merupakan titisan Dewa Wisnu kepada adiknya Raden Barata sebelum dinobatkan menjadi raja di Ayodya bergelar Prabu Barata. Yang kedua diajarkan pula oleh Raden Rama Regawa kepada Raden Wibisono sebelum dinobatkan menjadi raja di Alengka yang berganti nama menjadi Kerajaan Sindelo bergelar Prabu Wibisono dalam lakon Bedah Alengko. 

Yang ketiga diajarkan Parabu Kresna yang juga merupakan titisan Dewa Wisnu kepada Raden Arjuna, dalam lakon Wahyu Makutoromo. Berbeda dengan babon cerita aslinya yang dari India, antara epos Ramayana dan Mahabarata tidak ada hubungannya. Tetapi dalam versi Jawa, kedua epos tersebut dikaitkan satu sama lain oleh lakon Wahyu Makutoromo ini, yang mengisahkan adanya petunjuk dari para dewa mengenai diturunkannya wahyu kerajaan ke dunia berupa mahkota kerajaan yang disebut “Wahyu Makutoromo”. Syahdan, barangsiapa memiliki wahyu tersebut, akan menjadi sakti, dan kelak akan menurunkan raja-raja yang memerintah di marcapada atau di dunia. Di sini muncul dan berinteraksi satu sama lain, sejumlah tokoh dari epos Ramayana yaitu Wibisono dan Hanoman, serta  tokoh dari epos Mahabarata antara lain Kresna, Arjuna, Bima dan Karna.

Dikisahkan, Wahyu Makutarama bukanlah berwujud benda, melainkan berupa ajaran mulia yang patut dihayati dan dijadikan pedoman kehidupan oleh manusia, terutama bagi para pemimpin. Ajaran inilah yang disebut Hasta Brata. Ajaran ini selanjutnya diturunkan kepada tokoh Angkawijaya dan Prabu Parikesit. Tokoh yang terakhir ini di dalam cerita wayang versi Jawa merupakan leluhur para ksatria Jawa.

Dalam perkembangannya, gubahan Hasta Brata diajarkan dalam bahasa Jawa Tengahan oleh pujangga Keraton Kasunanan Surakarta, Yasadipura I ((1729-1803 M), kemudian oleh cucunya, yaitu pujangga Ranggawarsita dituangkan kembali dalam Serat Aji Pamasa. Di masa kepemimpinan Presiden Republik Indonesia yang kedua, Presiden Soeharto, Hasta Brata sering dijadikan bahan dalam penataran Pancasila serta dipahatkan dalam relief di dinding lobi gedung utama Sekretariat Negara di Jakarta.

Hasta Brata adalah ajaran mengenai seni kepemimpinan yang didasarkan pada sifat-sifat unsur alam. Nampaknya unsur alam seperti tanah, air, api, kayu, angin, logam dan ruang,  telah menjadi pedoman dasar penilaian kehidupan manusia bagi bangsa-bangsa di Asia seperti India, Cina, Jepang, Korea dan Indonesia.

Demikianlah Hasta Brata mengajarkan falsafah sekaligus seni kepemimpinan dengan meneladani ciri serta sifat utama delapan unsur alam. Dalam versi wayang, unsur alam diwakili oleh Dewa yang mengelola alam tersebut,  yaitu (1) matahari oleh Dewa Surya, (2) bulan oleh Dewa Candra, (3) bintang oleh Dewa Kartika, (4) angin oleh Dewa Bayu, (5) awan atau mendung oleh Dewa Himando, (6) api oleh Dewa Brama, (7) samudera atau lautan oleh Dewa Baruna, (8) bumi oleh Dewa Pratala.

Kedelapan unsur alam tadi harus dipahamai, dihayati dan dijadikan pegangan manajemen kepemimpinan, yang dijabarkan sebagai berikut:

Pertama, matahari atau Dewa (Betara atau Sang Hyang) Surya. Matahari mempunyai sifat panas dan berfungsi sebagai pemberi sarana kehidupan. Maka seorang pemimpin haruslah berperilaku bagaikan matahari yang dapat memberikan semangat dan kehidupan bagi rakyatnya. Tetapi di lain pihak matahari juga mampu membasmi anasir-anasir ataupun virus-virus jahat dalam kehidupan.

Kedua, bulan atau Dewa Candra. Bulan itu indah dipandang serta mampu menerangi kegelapan malam. Seorang pemimpin harus berperilaku seperti bulan, memberikan penerangan dan membimbing rakyatnya yang berada dalam kegelapan, dan bukan sebaliknya membingungkan apalagi menyesatkan.

Ketiga, bintang atau Dewa Kartika. Bintang memiliki bentuk yang manis serta dapat menjadi pedoman bagi mereka yang kehilangan arah. Dalam hal ini pemimpin harus bisa menjadi pedoman perilaku rakyatnya, menjadi teladan serta panutan masyarakat.

Keempat, angin atau udara atau Betara Bayu. Angin bersifat mengisi ruangan kosong. Angin bertiup ke semua arah sampai ke lubang-lebung sekecil apapun. Seorang pemimpin harus dapat bertindak secara teliti dan bijaksana, disamping harus juga bisa menyelami kehidupan seluruh masyarakat.

Kelima, awan, mendung atau Sang Hyang Himando. Mendung tampak menakutkan dan angker, akan tetapi bila telah turun menjadi hujan dapat bermanfaat bagi masyarakat, dapat menyuburkan tanah-tanah yang gersang.  Maka seorang pemimpin harus berwibawa sehingga tidak mudah dipermainkan orang, namun juga sekaligus memberikan pengayoman, kesejukan dan kemanfaatan. Kewibawaan pemimpin harus ditunjukkan baik secara fisik, non fisik maupun dalam bentuk pemikiran, tindakan, perilaku dan kebijakan. Dalam hal penampilan fisik misalkan, sedari kecil seorang ksatria sudah dilatih untuk tidak sembarangan bersiul apalagi di depan umum, dilarang mengeluh kepanasan di kala panas dan kedinginan di kala cuaca dingin, dilarang tertawa keras, dilarang minum minuman yang memabokkan agar senantiasa memiliki kesadaran diri secara penuh, tidak mudah kagum dan tidak mudah terkejut.
Keenam, api atau Betara Brama (Bromo). Api mempunyai sifat teguh serta dapat membakar apa saja. Seorang pemimpin harus dapat bertindak adil, memiliki prinsip, dispilin, tegas dalam bertindak tanpa pandang bulu. Api bisa memasak atau mematangkan hidangan bagi kesejahteraan rakyatnya, tapi sanggup juga membakar sampah kehidupan yang mengancam masyarakat, bangsa dan negaranya.

Ketujuh, samudera atau lautan atau Dewa Baruna. Samudera bersifat luas dan mampu menampung segala jenis materi. Seorang pemimpin harus memiliki wawasan yang luas bagaikan samudara raya nan tanpa batas, serta sanggup menerima segala macam persoalan, sanggup menerima saran, kritik bahkan kecaman dan pandai mengendalikan diri. Namun demikian jika diperlukan samudera bisa pula menggulung, menelan serta menenggelamkan segala bentuk ancaman terhadap ketenteraman, keadilan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negaranya.

Kedelapan, bumi atau Hyang Pratala. Bumi memiliki sifat suci, kokoh sentosa serta menjadi pijakan kehidupan. Meski terus digali dan dikuras isinya, bumi senantiasa rela, tanpa menuntut balik. Bumi senantiasa mengabdi kepada makhluk hidup khususnya manusia. Dalam hal ini seorang pemimpin harus mempunyai sifat jujur, berbudi luhur serta ikhlas dalam mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negaranya. Bumi juga bisa mengguncang, meruntuhkan apa pun bahkan menelan dan menyimpan bangkai beracun. Maka seorang pemimpin harus bisa memberikan hadiah bagi siapa saja baik punggawa negeri maupun rakyat jelata yang telah berjasa  kepada negara. Sebaliknya juga seperti matahari, angin, api dan samudera, bumi berani pula menghukum dan menggulung segala ancaman dan pengganggu kehidupan masyarakat, bangsa dan negaranya.

Sahabatku, itulah sekilas mengenai falsafah kepemimpinan Hasta Brata. Semoga kita memiliki para pemimpin yang menghayati falsafah kepemimpinan tersebut. Insya Allah berikutnya : Kepemimpinan Gajah Mada, Pararaton dan Kidung Sunda.



Minggu, 10 Januari 2016

TIPE PEMIMPIN IDEAL DALAM WAYANG: Seri Etika & Moral Kepemimpinan (17).




Gambaran ideal perihal sifat dan nilai-nilai kepemimpinan, terutama pucuk kepemimpinan seperti Raja di zaman dahulu dan Presiden di masa sekarang, sudah bersemai di masyarakat Jawa semenjak berabad-abad silam. Gambaran itu diperoleh dari cerita-cerita wayang Ramayana dan Mahabarata dari India, yang diperkirakan mulai masuk dan digubah menjadi versi Jawa Kuno dalam bentuk tembang pada abad ke 9 M.

Kakawin Ramayana adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana. Ditulis dalam bentuk tembang berbahasa Jawa Kuno, diduga dibuat di jaman Mataram Hindu pada masa pemerinthan Dyah Balitung sekitar tahun 820-832 Saka atau sekitar tahun 870 M. kakawin ini disebut-sebut sebagai adikakawin karena dianggap yang pertama, terpanjang, dan terindah gaya bahasanya dari periode Hindu-Jawa.

Sebagai relief, Ramayana dipahatkan di Candi Prambanan (abad 9) dan Candi Panataran (abad 14). Sedangkan Mahabarata dipahatkan sebagai relief pemandian Jalatunda abad 10. Sebagai  kakawin, Bharatayuda digubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh pada jaman pemerintahan raja Jayabaya di kerajaan Panjalu (Kediri) tahun 1157. Dalam perkembangannya, kedua kakawin tersebut digubah kembali oleh beberapa pujangga ke dalam bahasa Jawa Pertengahan (Madya) dan Jawa Baru.
Yang sangat menarik, kedua kakawin tadi berkembang di masyarakat dalam bentuk pertunjukkan wayang, mulai dari wayang beber yang seluruh kisahnya dilukiskan dalam satu atau beberapa lembar kain sebagaimana masih bisa kita jumpai di Bali sekarang, sampai ke bentuk wayang kulit, wayang golek dan seni pertunjukkan opera wayang orang seperti yang kita kenal dewasa ini.

Dalam seni pertunjukkan wayang, Sang Dalang mengawali dan bahkan memulai setiap babak baru dengan menembang, guna menggambarkan keadaan dalam babak yang akan dikisahkan. Oleh penyebar agama Islam, Walisongo, di abad ke 15 dan 16, kisah pewayangan diisi dengan ruh Islam, diperkenalkan cerita-cerita yang baru sama sekali, sedangkan tembang di awal babak juga diberi nama baru yaitu tembang suluk, yang berarti jalan atau cara menuju Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa (SULUK, TEMBANG DAKWAH WALISONGO: https://islamjawa.wordpress.com/2013/03/28/suluk-tembang-dakwah-walisongo-1-dari-suluk-tasawuf-ke-suluk-wayang/).

Salah satu suluk yang sangat terkenal di kalangan masyarakat penggemar wayang semenjak dahulu kala sampai sekarang, mengungkapkan gambaran ideal seorang pemimpin atau raja yang diharapkan oleh rakyat, sekaligus di lain pihak juga sebagai ajaran bagi para pemimpin, yaitu sebagai berikut:

Dèning utamaning nata ,
bêrbudi bawa laksana ,
liré bêrbudi mangkana ,
lila lêgawa ing driya ,
agung dènnya paring dêdana ,
anggêganjar sabên dina ,
liré kang bawa laksana ,
anêtêpi pangandika.


Terjemahan bebasnya:

Ada pun nilai-nilai keutamaan seorang raja ,
yaitu berbudi luhur, berwibawa dalam tindakan ,
contohnya berbudi luhur adalah ,
selalu ikhlas berbesar hati ,
banyak memberikan bantuan (dan sumbangan)
memberi anugerah (kesejahteraan) setiap hari ,
contoh berwibawa dalam tindakan ,
teguh melaksanakan apa yang telah diucapkan.

Selain menuangkan gambaran ideal seorang pemimpin, wali penyebar agama Islam yakni Sunan Kalijaga, pada abad ke XV juga menciptakan lakon atau cerita wayang khas Jawa dengan nafas Islami yaitu “Jamus Kalimasadha atau Pusaka Kalimat Syahadat”  Lakon ini mengisahkan tentang pusaka yang paling hebat, paling sakti, ampuh tiada tara yang tiada lain adalah dua kalimat syahadat.

Jamus Kalimasadha dimiliki oleh Raja Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa, yang oleh Sunan Kalijaga dilukiskan dengan ciri khas tidak memakai mahkota serta perlengkapan pakaian kebesaran lainnya yang lazim dikenakan oleh seorang raja. Ia hidup dan berpenampilan sederhana sebagaimana seorang ksatria biasa dengan rambut digelung di atas kepalanya. Muka dan kepalanya pun dilukiskan menunduk sebagai cerminan kerendahaan hati. Kecuali pernah melakukan kesalahan dengan berjudi mempertaruhkan kerajaannya sampai kalah dan terusir terlunta-lunta, kehidupan selebihnya suci bersih. Demikian pula hatinya, selalu ikhlas, jujur dan tidak pernah berbohong sehingga karena itu darahnya diceritakan berwarna putih.

Puntadewa adalah contoh pemimpin yang sudah dan harus mencapai maqam seorang hamba Allah yang hidup sederhana, amanah, jujur, rendah hati, tawadhu, tidak ujub – riya, ikhlas, taat dan tawakal.  Tidak sombong, tidak suka pamer dan tidak suka dipuji. Hidup dan tampil amat sederhana, bagaikan rakyat jelata, sangat jujur, hati tulus, tidak culas dan tidak suka mengadu domba dan adil bijaksana. Semua kelebihannya itu dipersembahkan demi mengabdi bagi semata-mata kesejahteraan rakyat.

Pemimpin yang seperti itulah yang oleh Sunan Kalijaga, digambarkan sebagai pemimpin yang selalu diridhoi, diberkahi dan dirahmati Gusti Allah. Pemimpin yang seperti inilah yang dapat melindungi, menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Pemimpin yang bisa membuat negeri dan rakyatnya disegani serta dihormati oleh para raja dan rakyat negeri-negeri tetangga. (Pusaka Tauhid Dalam Wayang dan Tipe Pemimpin Ideal

Tokoh wayang Prabu Puntadewa yang islami serta suluk yang menuangkan gambaran ideal seorang pemimpin seperti di atas, di masa lalu dihafal  (dan menjadi harapan) oleh hampir semua orang Jawa, dari kaum bangsawan sampai rakyat jelata di pelosok desa, karena wayang telah menjadi cerita rakyat. Apakah para pemimpin sekarang adalah tipe satria pinandita yang hidup sederhana, berbudi luhur, berwibawa, ikhlas dan tidak suka pamer, besar hati, sungguh-sungguh bekerja demi  kesejahteraan rakyat, teguh pendirian dan satunya kata dengan perbuatan? Melaksanakan apa yang telah diucapkan? Semoga. BERIKUTNYA: FALSAFAH KEPEMIMPINAN HASTA BRATA.







Senin, 04 Januari 2016

FALSAFAH KEPEMIMPINAN JAWA : Seri Etika & Moral Kepemimpinan(16).




Mayoritas bangsa Indonesia adalah suku Jawa. Bahkan sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Pemuda-pemudi dari luar Jawa banyak yang datang ke pula Jawa semenjak sebelum kemerdekaan, sebagian untuk mengadu nasib mencari pekerjaan dan sebagian lagi menuntut ilmu di sekolah-sekolah menengah, pesantren dan perguruan tinggi.
Tidak jarang di antara mereka yang kemudian menikah dengan pria atau wanita Jawa. Karena itu tidak mengherankan bila selanjutnya terjadi peleburan budaya antar suku. Namun lantaran mayoritas tinggal di pulau Jawa, tak pelak lagi apabila budaya dan falsafah Jawa cukup besar pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam gaya kepemimpinan.

Falsafah kepemimpinan Jawa semakin merasuk tatkala banyak dijadikan bahan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila di masa Orde Baru. Sayang sekali, pemilihannya kurang tepat karena terlalu menitikberatkan dari sumber Kadipaten Puro Mangkunegaran di Surakarta dan falsafah Hasta Brata.
Gaya Jawa yang sering dikemas sebagai falsafah kepemimpinan dan satria Jawa, tentulah tidak sebatas rentang serat atau naskah Tridarma karya Mangkunegoro I, Tripama karya Mangkunegoro IV dan Hasta Brata saja.

Konsep Hasta Brata atau Delapan Sifat Kepemimpinan, sesungguhnya merupakan konsep yang sangat baik dan sudah memasyarakat melalui kisah-kisah pewayangan. Tetapi konsep Tridarma dan Tripama pada hemat saya meskipun bagus, merupakan falsafah perjuangan yang bersifat situasional, serta lebih sebagai tuntutan pengabadian anak buah (kawulo atau prajurit) kepada pemimpinnya atau Raja dan negaranya, dan bukan tuntunan bagaimana seharusnya seorang pemimpin melayani dan mengabdi kepada anak buah atau rakyatnya (Cermin Diri Orang Jawa, B.Wiwoho, Bina Rena Pariwara, April 1998).

Gaya kepemimpinan Jawa dapat dibagi dalam tiga aliran. Pertama, aliran keraton atau kesatria Jawa. Kedua, aliran pesisiran yang bersifat lebih terbuka, lebih demokratis dan dinamis. Ketiga, aliran pesantren yang Islami. Ketiga aliran pada dasarnya memiliki benang merah yang sama yakni kearifan Jawa serta nilai-nilai etika dan moral yang universal.
Dari ketiga aliran tersebut, aliran pesisiran atau kawasan pantai utara Jawa, belum dijumpai memiliki konsep tertulis yang bernilai sejarah. Sedangkan aliran pesantren lebih banyak berpegang pada karya-karya Al Ghazali antara lain Ihya Ulumuddin dan Nasihat Bagi Penguasa (al-Tibbr Al-Masbuk fi Nasihat Al Muluk), yang berpadu dengan kearifan-kearifan Jawa.

Sementara itu aliran keraton memiliki tapak sejarah yang panjang. Sejarah mencatat kisah keutamaan Ratu Shima dari Kalingga yang tega memotong kaki puteranya karena merusak sejumlah barang dan harta pusaka yang sengaja diletakkan di jalanan guna menguji kejujuran serta ketertiban masyarakat. Bandingkan persamaannya dengan hadis Kanjeng Nabi Muhammad Saw, yang sangat terkenal yang menyatakan, “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.”

Berbagai prasasti dan naskah kuno Jawa banyak menceritakan nilai-nilai kepemimpinan dan keutamaam, misalkan Prasasti Mantuasih, Wan Wantengah, naskah karya Mpu Tantular, Raja Kapa-Kapa dan Negarakertagama di zaman Majapahit serta Hasta Brata yang menjadi suri tauladan dalam kisah-kisah pewayangan. Demikian pula naskah-naskah Keraton Kasunan Surakarta antara lain Serat Witaradya karangan Raden Ngabehi Ronggowarsito, Serat Wulangreh karya Pakubuwono IV, Serat Centini karya Paku Buwono V. Juga naskah-naskah dari Puro Mangkunegaran seperti Tripama, Tridarma dan Serat Wedhatama karya  Mangkunegoro IV.

Sifat-sifat kepemimpinan seorang raja digambarkan oleh Raja Majapahit - Hayam Wuruk melalui Raja Kapa-Kapa, yaitu sebagai berikut:
“Orang yang diharapkan petunjuknya yang pantas dilaksanakan. Maka ia dipuji dihargai karena perintahnya benar dan memenuhi maksud agar selamat sejahtera. Peraturannya bermanfaat merata, bukan sesuka hatinya dan tidak mengenal pilih kasih, senantiasa menetapkan benar atau salah, artinya menghukum. Meskipun ia hanya menganggur tak menyentuh cangkul, ia dijunjung tinggi, karena ia dapat dimohon sabdanya. Maka ia disebut narendra atau narpati. Artinya ia paling luhur, dihargai setinggi-tingginya oleh para punggawa, dimohon doa restunya agar tetap menjadi tempat bertanya dan wajib memberi petunjuk. Artinya rakyat seluruhnya besar kecil, laki perempuan diakuinya sebagai anak cucu dan kulit daging tunggal ayah ibu….” (Karkono K.Partakusumo, Kepemimpinan Jawa, Falsafah dan Aktualisasi, PT.Bina Rena Pariwara, Februari 1998, halaman 5 – 8).

Sahabatku, dari sifat kepemimpinan yang digambarkan dalam Raja Kapa-Kapa, ditambah lagi sistem hukum yang baik sebagaimana dituangkan dalam kitab Perundang-Undangan Majapahit  atau Kutara-Manawadharmasastra (Prof.Dr.Slamet Muljana, penerbit Bhratara, 1967), tak pelak lagi telah menghantarkan Majapahit menjadi kerajaan besar yang menguasai bukan saja Nusantara, tapi juga beberapa negara yang kini kita kenal sebagai negara tetangga. Bagaimana halnya dengan sifat-sifat kepemimpinan para elit Indonesia sekarang? Semoga mereka dianugerahi kesadaran dan gairah untuk meneladaninya. Aamiin. Berikutnya: TIPE PEMIMPIN IDEAL DALAM WAYANG.